Share

Tiga

Tiga.

Dua hari ternyata tidak membuatku benar-benar bisa menghafal pidato ini dengan benar. Beberapa kali aku lupa isi yang sedang kuhafalkan. Ini terlalu rumit. Namun, Sae terus saja memberiku semangat. Dua hari ini, entah itu pagi, siang, sore atau malam, dia akan mengirim stiker berupa beruang cokelat yang menggebu-gebu dibakar api. Itu adalah tanda seseorang yang sedang bersemangat.

Sae percaya bahwa aku bisa menyelesaikan semua ini dengan baik. Jujur saja, semua semangat yang Sae berikan membuatku semakin termotivasi. Meskipun itu tidak membantuku memperlancar semua naskah yang sedang kuhafalkan.

Hari ini, aku sudah duduk di kantin. Beberapa menit lagi, semua orang yang ikut lomba sudah harus berkumpul di belakang panggung, di dalam aula. Dua sampai tiga kali aku mengulang naskah yang sudah hampir semua kuhafal itu agar tidak lupa sambil memperagakan gerakan yang ada dalam naskah.

Dentum dari langkah kaki murid yang berlalu-lalang di teras kantin membuat fokusku buyar beberapa kali. Belum lagi kekehan anak gadis di ujung kantin dekat dengan tiang kolom warna hijau. Mereka mengganggu sekali!

Saat aku mencoba untuk kembali fokus dari semua keributan yang ada, tiba-tiba saja ponselku berbunyi. LINE-ku berkedip. Sambil masih menghafal satu-dua kata, aku mulai meraih ponsel yang tergeletak di atas meja kayu bercat hijau untuk kuperiksa.

Dengan perasaan menggebu, aku berharap yang mengirimiku pesan adalah Sae. Di saat-saat seperti ini, pesan darinya adalah sebuah moodbooster.

Ternyata harapanku tidak berujung manis. Orang yang mengirim LINE itu adalah ibuku. Dia bilang akan datang saat lomba diadakan. Aku tidak langsung membalas pesan itu, hanya terdiam termenung sambil memikirkan sesuatu.

Aku pikir Ibu ataupun Ayah tidak pernah kuberitahu soal lomba ini. Bagaimana Ibu bisa tahu?

“Adis, buruan masuk!”

Seseorang membuyarkan semua teka-teki yang baru saja terrangkai di otakku. Aku menoleh ke asal suara, dan di ujung pintu masuk kantin, ada Arrani yang sudah berdiri dengan kedua tangan di taruh di pinggang.

Gadis itu selalu saja memiliki aura menyeramkan. Entah mengapa, meski dia menggunakan hijab yang membuat sebagian wanita terlihat sejuk dan menenangkan, justru malah membuat Arrani terlihat memiliki aura aneh serta menyeramkan. Matanya memelotot.

“Iya. Aku datang,” jawabku.

Aku memasukan ponsel tanpa membalas pesan Ibu, kemudian berlari menghampiri Arrani. Sesampainya di hadapan gadis berparas cantik berhati iblis itu, kemudian dia menyerahkan nomor urut untukku. Katanya, perwakilan kelas sudah melakukan runding untuk urutan tampil, tapi karen aku tidak ada, jadi dia yang menggantikanku.

“Nomor lima? Baguslah. Enggak terlalu cepet dan enggak terlalu lama juga,” kataku sambil menerima nomor itu darinya. Dia sempat berpesan jangan terlalu gerogi, cukup bersikap seperti saat latihan dan biarkan semuanya mengalir alami. Aku mengangguk lalu melenggang meninggalkannya.

“Ingat soal hukuman!” teriaknya lagi. Aku tidak peduli.

Ketika aku sampai di belakang panggung, ternyata sudah banyak orang juga. Mereka membawa selembaran kertas, sama sepertiku. Kebanyakan yang ikut adalah perempuan, hanya ada dua peserta lelaki selain aku. Di ujung ruangan, tepat di samping tumpukan steropom, lelaki bertubuh gendut sedang asik membaca naskah di tangannya, sementara lelaki lainnya-yang memakai kacamata- sedang berbincang dengan salah satu gadis di belakang layar.

Aku melenggang memasuki area, untuk lebih dekat ke belakang panggung. Sesampainya di sebuah bangku panjang terbuat dari kayu, aku mulai duduk. Tak lama, lelaki gendut tadi melenggang ke arahku, mendekati layar.

“Tegang,” ucapnya. Aku hanya mengangguk diiringi senyuman canggung.

Tak berselang lama, suara dari kepala sekolah terdengar. Dia menyampaikan beberapa sambutan dan pembukaan. Aku tidak terlalu mendengarkan. Batinku bilang, fokuslah untuk berlatih. Aku pun mulai mengeluarkan naskah yang sempat kulipat dan dimasukan ke saku untuk kubaca ulang.

Hari ini aku harus menang demi Sae.

Jika ingat soal Sae, otomatis saja semua terasa menjadi menggebu. Aku selalu dibuat deg-degan sendiri hanya dengan menyebut namanya saja. Apalagi kalau sampai dia datang ke perlombaan ini dan menyemangatiku secara langsung, seperti yang biasa dia lakukan dua hari ini.

Aku menaruh kertas yang sedang kuhafalkan, lantas merogoh saku untuk mencari ponselku. Aku memutuskan untuk menghubunginya lebih dulu. Sekaligus mengurangi semua ketegangan yang sedari tadi menghinggapiku.

“Sae,” kataku dalam pesan, lantas kukirim, diikuti sebuah stiker melambaikan lima jari.

Tidak memakan waktu sampai satu menit, dia membalas pesanku diawali stiker beruang yang kepalanya penuh dengan tanda tanya, baru kemudian dia menanyakan kenapa aku mengirimi pesan.

Sebenarnya, aku tidak usah mengirim pesan pada Sae di saat seperti ini, tapi aku selalu gugup dan gerogi bahkan sebelum semua ini dimulai. Ketika aku bisa berbicara dengan Sae, meski hanya lewat LINE, itu sudah membuatku sedikit lebih baik.

“Kamu datang?”

“Agak telat. Kamu urutan keberapa?”

“Dapat nomor lima. Masih keburu kayaknya. Kamu di mana?”

Sebentar lagi sampai. Aku lagi dapat masalah. Banku bocor.”

Ketika membaca pesan itu, aku sedikit terkejut dan membuatku agak down. Aku langsung berpikir jika dia tidak akan bisa sampai tepat waktu sebelum aku tampil nanti.

“Ya, udah, aku tunggu. Harus datang!”

“Oke.”

Setelah itu, aku kembali menutup ponsel, membaca lagi naskah pidato dan menghafal semuanya agar acaranya lancar seperti yang kuharapkan.

**

Peserta yang sudah tampil di urutan sebelum aku, menampilkan semua pidatonya dengan baik. Bahkan hampir semuanya mendapat tepuk tangan meriah dari penonton. Di depan sana, ada seorang gadis dari jurusan IPS 4 yang sedang membacakan pidatonya. Aku mengintip dari balik layar panggung. Dia terlihat sangat lihai dan menikmati pidato yang dibawakannya.

Seketika saja, rasa gerogi menghinggapiku lagi. Keringat dingin mulai keluar di seluruh tubuh. Aku merasakan sakit perut tiba-tiba. Padahal bagianku saja belum dimulai, tapi aku sudah menciut duluan.

Saat aku menatapi peserta nomor empat di depanku itu, tiba-tiba saja aku teringat ucapan Sae sehari yang lalu, saat kami berada di depan lapangan. Dia memberitahuku, bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Saat itu, hari sudah semakin sore, aku dan Sae memutuskan untuk lebih lama berada di sekolah sambil berlatih naskah pidatoku.

Hanya ada aku dan Sae di depan lapangan voli yang biasa digunakan untuk pertandingan antar kelas. Sae duduk di kursi kayu warna hijau, tepat di bawah pohon mangga sambil memerhatikan, sementara aku berdiri di dekat tiang net sembari meneriakkan pidato tanpa kertas naskah itu dengan lantang.

Semburat jingga sukses menyinari tubuhku dari arah barat. Aku bisa melihat Sae tersenyum sambil masih mengangkat dua jempolnya ke arahku. Aku tahu dia memujiku, padahal pada kenyataanya, aku masih terus saja salah saat membaca pidato bahasa Inggris ini.

Ketika aku benar-benar merasa tidak sanggup untuk menghafal semuanya, dan bilang pada Sae untuk menghentikan semua kegiatan ini, lantas pemuda itu bangkit dari duduknya dan berlari menghampiriku.

Dia terlihat marah, lalu meraih kertas dan menunjukan benda di tangannya padaku.

Aku bilang, bahasa Inggris terlalu sulit untuk kuhafalkan. Dia melipat kertas di tangannya, kemudian menaruh kedua tangan di bahuku. Kami saling tatap. Aku yang merasa payah dan malu dengan kemampuan diri sendiri, dan merasa telah menodai kepercayaan Sae padaku, hanya bisa menolehkan pandangan ke arah lain tanpa berani menatap kedua bola matanya langsung.

“Dengar, Adis! Ini adalah sebuah tanggung jawab. Tanggung jawab yang harus kamu selesaikan. Apa kamu mau lari dari semua ini? Orang-orang percaya sama kamu,” katanya sembari masih memegangi bahuku. Aku masih tak berani menatap kedua bola matanya.

“Kamu juga udah berjanji sama aku untuk menang lomba. Terus kamu mau jadi pecundang dan lari dari semua tanggung jawab?”

Dia lalu mengarahkan tangannya untuk meraih pipiku dan memosisikan wajahku untuk lurus menatapnya. Aku yang diperlakukan seperti itu hanya bisa mengigit bibir sambil memberanikan diri menatapnya.

“Aku enggak sehebat kamu, Sae. Aku enggak seberani kamu. Pidato ini enggak bisa aku selesaikan!”

“Enggak ada yang enggak bisa selama kamu mau berlatih dan terus berusaha.”

“Buktinya aku enggak bisa hafalin semua ini dengan benar.”

Aku kembali membuang pandangan ke sisi lain. Sae berusaha lagi mengembalikan tatapanku untuk saling berhadapan dengannya.

“Kamu bisa! Aku tahu itu. Kalau kamu enggak bisa, enggak mungkin kamu akan berdiri di sini dan bacain naskah pidato ini kayak tadi tanpa menyontek. Aku tahu kamu bisa,” tegasnya sambil menguatkan pegangan tangan di pipiku. Sorot mata Sae menyalurkan semacam aura aneh yang membuatku sedikit nyaman di bawah ketidakmampuan yang aku rasakan.

“Tapi, Sae---”

“Kita sudah sama-sama berjanji. Kamu harus menepatinya,” katanya lagi memotong ucapanku dengan tatapan  penuh penegasan. Aku yang tak bisa apa-apa hanya menatapnya dengan terus menggigit bibir bawah. Sebentar kemudian, aku mengangguk.

Aku mengembuskan napas berat untuk membuat diriku setenang mungkin menghadapi situasi sekarang. Untuk kedua kalinya, sakit perut itu muncul. Beberapa kali aku memejamkan mata sambil terus mengatur napas agar merasa rileks.

Di saat embusan napas habis, saat itulah tepuk tangan dari semua orang yang hadir di  acara lomba ini terdengar, membuat suasana yang tadinya hening karena semuanya menikmati acara menjadi ramai.

Aku mengintip lagi dari balik tirai sambil menatapi satu per satu orang yang datang. Dari bangku urutan kedua, di posisi sebelah kanan tempat di mana semua orangtua hadir, ada ibuku yang masih sibuk bermain ponsel.Dia benar-benar datang. Namun, aku tidak bisa melihat di mana Sae. Apa mungkin ban motornya masih belum selesai diperbaiki?

Saking seriusnya mencari di mana Sae duduk, sampai-sampai aku tidak sadar jika peserta nomor empat sudah keluar dari balik tirai. Dia sempat menabrakku yang masih duduk anteng mengintip.

“Eh, ada orang?” tanyanya terkejut.

Dia agak mundur sedikit setelah tahu menabrak seseorang. Aku kemudian sadar dan mundur. Sebentar kemudian, gadis itu keluar dari balik tirai.

“Kamu enggak apa-apa?” tanya lelaki tambun yang tadi duduk di kursi kayu itu. Aku yang berdiri di dekatnya hanya menoleh lantas mengangguk.

“Semangat, ya?” ucap gadis bernomor urut empat padaku. Aku menatapnya, lalu mengangguk diiringi senyum.

**

Tepuk tangan bergemuruh ketika aku masuk melewati tirai. Semua orang terlihat antusias ketika mereka melihatku memasuki panggung. Aku tidak tahu apa alasannya, tapi ini benar-benar membuatku kembali merasa gerogi. Tegang.

Dari ujung barisan, di dekat pintu aula depan, di bawah pengeras suara, ada anak-anak dari jurusanku. Di sana mereka berteriak sambil menyebut namaku keras-keras. Ada Arrani juga, berdiri dengan kedua tangan ditaruh di depan dada. Dia tersenyum. Kali ini, senyumya manis dan sedikit membuatku tenang.

Aku melangkah perlahan tapi pasti menuju standing mic sambil terus berusaha untuk tenang. Setelah posisiku mantap, aku berdiri tegap dengan tatapan lurus ke depan, menyaksikan semua orang yang duduk di hadapanku.

Aku sempat memerhatikan keadaan sekitar. Aula ini terlihat lebih sempit dari biasanya. Entah karena banyaknya orang yang memenuhi ruangan, membuat ruangan sebesar ini menjadi terlihat lebih kecil, atau memang kapasitas aula yang tidak bisa menampung orang sebanyak ini.

Kualihkan pandangan dari orang-orang yang hadir ke deretan foto yang terpasang rapi di dinding. Di sana, terpampang semua gambar siswa berprestasi yang sempat mengharumkan nama sekolahan. Di deretan foto itu juga, aku bisa melihat Sae sedang tersenyum dengan sebuah piala di tangannya. Dia menjadi perwakilan sekolah waktu itu.

Melihat hal itu, aku jadi teringat pada Sae yang masih belum juga aku lihat sejak tadi. Kontan saja, yang kucari sekarang adalah dia. Mataku memindai satu per satu orang yang ada. Mereka menatapku heran. Mungkin lebih tepatnya, mempertanyakan tentang tindakanku yang masih belum juga membuka salam.

Saat aku masih sibuk mencari, membuat seorang MC berdeham pelan. Aku tersadar, lantas menoleh.

Aku berdeham pelan sambil memosisikan mic di depanku agar lebih nyaman digunakan. Setelah semuanya merasa siap, juri-juri yang duduk berbaris di bagian paling depan mempersilakanku sambil memencet sebuah tombol pada sebuah kotak berupa benda penghitung waktu.

Ludahku meluncur cepat ke tenggorokan.

Go-good morning all.”

Semua orang serempak menjawab. Di samping Arrani, ada satu orang yang terus mengacungkan kepalan tangan ke arahku. Dia memelotot sejadinya dengan tatapan mengancam. Tak mau menanggapi lelaki aneh itu, kemudian aku kembali fokus pada pidato.

Aku sempat menggeleng pelan, mencoba fokus mengucapkan salam pembukaan. Setelahnya, kuembuskan napas perlahan sampai merasa lega. Belum apa-apa, aku sudah kehilangan fokus. Melihat semua tatapan penonton, sukses membuat nyaliku terkikis.

Honorable ones; the principle of-of ....”

Kakiku bergetar.

Aku memejamkan mata, mengingat kata apa lagi yang akan kuucapkan setelahnya. Awalnya, semua orang terdiam ketika aku mulai gugup, sebentar kemudian mulai memberikan tepuk tangan. Mereka meneriaki namaku. Kontan saja, aula ini menjadi ramai oleh suara tepuk tangan.

Hal itu justru memperburuk keadaan.

Pejamku semakin kuat ketika gerogi semakin menggelayuti seluruh tubuhku. Pikiranku berkecambuk. Aku mengingat banyak hal saat ini, mengingat tentang kegagalan, tentang semua orang yang datang, tentang semua harapan yang teman-teman gantungkan padaku, juga mengingat tentang ... Sae!

And all my friends in XII, X and XI grade ....

“First of all, let ussss ....p-epeeraise to the Almighty God, because of His blessing we-w-ee are able to gather here, to attend a farewell ceremony for the students of SMA Angkasa, XII grade in academic year 2017-2018.”

Aku hampir saja salah menyebutkan nama sekolahku. Dalam pejam yang ke sekian kali, aku kembali menggali kalimat apa yang akan diucapkan selanjutnya.

My friends, in-in this good opportunity, I stand here to res-represent all the students of SMA Angkasa. Grade XII to give a valedictory speech.”

Di hitungan dua detik setelah mengutarakan kalimat tersebut, aku membuka mata, lantas mulai menoleh ke deretan foto yang ada di dinding aula. Satu foto yang menjadi fokus utamaku adalah milik lelaki bernama Saelandra. Dia tersenyum ke arahku. Tersenyum lewat foto.

“On the behalf of all students XI grade, there are so many things tt-that ... that ... that that i-i want to say here to express ho-ho-how thankful we are. I can't ... i can’t ... i ican’t find a word to express this tears of joy of---”

Tanganku mengepal erat, merutuki diriku sendiri. Mengapa hal semacam ini bisa terjadi? Ayolah, Adis, tenang!

“Remembering all mem-mee-memories that we have been through during this past three years. All we wwa-ant to say is we are proud to belong here, to study here and to meet all great teachers that we have ever met.” 

Tubuhku sudah dikuasai gerogi. Gugup. Tubuhku bergetar lagi.

Semua kata-kata yang kuucapkan tadi, mengingatkanku pada perjuangan Sae yang sudah meluangkan waktunya untukku dua hari ini. Sae yang dengan semua ketegasannya, membimbingku untuk terus berjuang, memberikan semua yang kupunya untuk pidato ini. Sae juga yang sudah memberikanku harapan, ketika aku sudah tidak mau memperjuangkan lagi pidato bahasa Inggris ini.

Mataku masih jelalatan mencari keberadaan pemuda beraroma bayi itu, tapi kenapa, di saat semua yang sudah kupersiapkan untuk hari ini, dia malah tidak datang. Sae tidak hadir di saat aku tampil untuknya?

Fokusku buyar. Aku tidak bisa menjaga konsentrasi. Diriku yang paling dalam hanya menginginkan satu hal, yaitu Sae. Kehadirannya, adalah satu-satunya yang kuinginkan.

Jika semua yang aku siapkan untuk dirinya selama dua hari ini tak dapat Sae lihat, untuk apa aku terus berjuang? Toh, di awal saja aku sudah merasa putus asa. Satu-satunya tujuanku untuk memang adalah demi Sae. Jika dia tidak datang, masih bisakah aku berjuang?

Aku mematung di tempat. Lidahku seakan kelu. Otakku tak mampu lagi menggali kata apa yang akan kuucapkan selanjutnya. Suasana terasa canggung. Atmosfer yang tidak mengenakan ini menyebar ke seluruh ruangan. Semua orang yang tadi sempat bertepuk tangan, kini mulai melongo, termasuk Ibu.

Aku masih terdiam. Kedua bola mataku bisa melihat Ibu yang sedang duduk dengan tatapan penuh tanda tanya. Jika saja aku bisa paham apa yang dia pancarkan dari raut wajahnya, mungkin akan seperti ini, Kamu kenapa Adis? Lanjutkan pidatonya!

            “We would like to sss-say th-th-thank you v-very much for all the ttt-teachers.

            “W-we ....”

Aku mengacak rambut. Dari ekor mataku, dapat kulihat salah satu juri masih menaruh satu tangannya di atas benda penghitung waktu. Waktu yang tersisa tinggal dua menit lagi, dan aku baru saja mengucapkan seperempat isi dari pidato yang Sae tulis.

Semua juri saling pandang, mereka sepertinya tidak mengerti dengan apa yang kurasakan.

Waktu lima menitku terbuang sia-sia.

Berbagai ingatan kembali berputar di kepalaku. Aku memejamkan mata dengan tangan yang terus bergetar. Tubuhku menggigil. Seluruh kulit terasa dingin dan dipenuhi keringat. Telingaku terasa menangkap bunyi jarum penghitung waktu itu semakin berdengung. Semakin keras sampai aku merasa dikelilingi oleh semua hal mengerikan.

Aula yang kudiami terasa berubah menjadi bangunan lenjong. Semua orang yang hadir seakan menatapku dengan wajah mengejek, termasuk tatapan Ibu yang terlihat menyeramkan. Aku bersikeras untuk mengingat, menggali semua ingatan saat latihan bersama Sae. Berusaha menggali semua kenangan manis yang bisa kujadikan obat di saat seperti ini.

Bunyi jantungku semakin keras. Detak jantungnya terasa terpompa lebih cepat. Aku kaget sejadinya ketika sebuah suara terdengar membuyarkan semua rasa takut yang mengelilingi.

“Ananda Adis, Saudara tidak apa-apa?” tanya MC padaku. Wanita berpakaian formal serba hitam itu menatapku sedikit khawatir. Keadaan lengang. Tak ada satu suara pun yang kutangkap selain bunyi jantung yang makin terpompa kencang.

Aku tidak tahu harus apa sekarang. Semuanya sudah terjadi. Untuk mundur saja, aku tidak bisa. Jikapun aku kembali sekarang, semua orang akan mengingatku sebagai orang yang gagal dalam pidato. Namun jika aku masih bersikeras untuk melanjutkan, aku tidak tahu apa yang harus kuucapkan. Aku sudah sepenuhnya lupa dengan naskahku.

Pada kenyataanya, berbicara di depan orang itu bukan saja sekadar hafal apa yang harus dibawakan, tapi juga harus mempersiapkan semua aspek yang lain. Mengasah kekuatan mental misalnya. Dua hari ini aku terlalu fokus untuk bisa menghafal naskah pidato, tanpa sadar jika kesiapan mental sama pentingnya dengan hafalan naskah.

Aku mematung.

“Sa-sa ....”

Aku gugup. Mataku masih menoleh pada orang-orang di depan. Kulihat waktu yang tersisa tinggal empat puluh detik.

“Sa-sa ....”

Aku menoleh pada wanita itu sambil menelan ludah.

Sangat sulit untuk mengucapkan, saya sudah tidak bisa lagi melanjutkannya. Hanya itu saja. Itu terlalu sulit untuk diutarakan. Entah apa yang mengganguku kali ini.

Wanita berpakaian formal itu menautkan kedua alis matanya. Dia menatapku dengan penuh tanda tanya, sementara aku masih berusaha untuk bilang, kalau aku sudah menyerah. Wanita itu kemudian menoleh pada juri yang duduk di bawah panggung. Dia meminta pendapat soal keputusan selanjutnya.

Salah satu juri mengangkat tangan. Kontan saja itu membuatku terkejut sejadinya. Tindakan itu membuat jantungku kembali terpompa. Aku siap dinyatakan gagal!

Ludah dengan cepat meluncur lagi. Kutarik standing mic dan kucoba utarakan lagi.

“Sa ....”

Di saat aku benar-benar akan mengucapkannya, dengan tanpa sengaja, mataku menoleh ke arah pintu masuk aula bagian depan, tepat di mana semua teman-temanku duduk. Di sana, aku melihat sosok pemuda yang baru saja datang dengan napas yang masih sesenggal. Dia berdiri dengan dada yang naik-turun.

Napasnya berderu sambil menatap ke arahku. Setelah menelan ludahnya dengan kasar, dia kemudian menarik napas cukup panjang dan dalam hitungan kesekian detik, dia meneriakkan namaku dengan keras.

Dia memberiku kalimat yang sedari tadi kutunggu-tunggu, Adis, aku datang untuk semua kerja kerasmu. Berjuang! Aku tahu kamu bisa!

Semua orang yang mendengar itu sontak saja menoleh serempak ke asal suara. Aku yang senang dengan kehadirannya, lalu tersenyum sambil menggigit bibir bawahku. Rasa senangku benar-benar tak terbendung kali ini.

“Sae,” teriakku, melanjutkan ucapan sebelumnya yang sempat tertunda, yang pada kenyataanya, bukan kata itulah yang seharusnya keluar dari mulutku.

Dia mengangkat satu tangannya yang mengepal, memberi tanda bahwa dia datang untukku. Bibirnya merekah lebar. Aku bisa melihat aliran semangat yang Sae pancarkan dari raut mukanya.

Tanpa membuang waktu lagi, kutarik kembali standing mic dan siap kembali memulai pidato. Namun, ketika aku baru saja akan memulai, salah satu juri mengangkat kedua tangan di depan wajahnya dengan membentuk pola X, yang artinya waktuku untuk berpidato sudah habis.

Sialan!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status