Share

Empat

Empat.

Dua hari ini aku tidak keluar rumah. Tidak ada satu pun media sosial yang aku buka. Data internet dalam ponselku juga kumatikan. Setelah perlombaan itu, aku benar-benar mengurung diri di kamar sendirian. Bukannya menghindari ejekan orang-orang, hanya saja, aku tidak punya cukup keberanian untuk menunjukan wajahku pada mereka yang sudah percaya kepadaku, terlebih kepada Sae.

Setelah perlombaan hari itu, aku yang sudah dinyatakan gagal, kemudian meninggalkan panggung buru-buru. Aku berlari ke luar aula untuk menghindari Sae yang sudah pasti akan menyusulku ke belakang panggung.

Rasa marah bergejolak di dalam diri.

Saat itu, ada dua hal yang aku rasakan, aku marah kepadanya karena dia tidak bisa datang untuk melihat pidato yang sudah kupersiapkan untuknya, dan hal kedua adalah aku merasa malu untuk menunjukan wajahku kepadanya.

Setelah melewati pintu aula, aku langsung saja berlari menuju parkiran, mencari di mana posisi motorku berada. Saat aku sudah menemukan sepeda motorku yang terparkir di bawah pohon, dan sudah hampir kugapai, seseorang menarik tanganku.

Kontan saja tubuhku berhenti. Aku tahu siapa dia. Dengan tanpa menoleh saja, aku bisa mengetahui jika orang yang baru saja menahanku adalah Sae. Aroma bayi yang khas di tubuhnya menyeruak di udara sampai masuk ke lubang hidungku.

“Adis,” katanya sambil masih menggengam tanganku. Aku menelan ludah dengan kasar. “Maaf aku enggak bisa hadir tadi. Aku beneran enggak bisa. Harusnya aku datang dan nonton kamu pas lomba.” Sae masih memegangi tanganku. Aku belum sedikit pun mengubah posisi tubuhku dari sikap semula.

Aku terdiam.

“Tapi, aku berusaha buat datang. Aku juga mati-matian cari angkutan buat bisa sampai ke sini. Tapi---”

“Kamu enggak perlu minta maaf, Sae,” potongku. “Orang yang seharusnya minta maaf itu aku. Aku enggak bisa bawain pidato itu dengan baik sesuai apa yang kamu minta. Maaf, Sae.”

Ucapanku terasa berat. Aku merasa seperti akan menangis. Sesak di dada tiba-tiba terasa begitu saja. Aku melihat motor di depanku semakin kabur, remang-remang.

“Lagian dari awal aku udah enggak yakin bisa bawain pidatonya. Aku sudah bilang itu, kan sama kamu,” kataku sambil berusaha terkekeh-kekeh.

Aku tahu sekarang mataku sudah mengeluarkan butiran air. Aku menangis.

“Adis,” katanya lirih.

“Cuma karena kamu aja aku mau berusaha. Cuma karena janji kita aja aku mau terus berjuang. Tapi, ternyata aku tetap gagal.”

“Maafin aku, Adis,” ucapnya dengan nada yang terkesan menyesal. “Aku beneran minta maaf karena enggak bisa datang buat lihat kamu pidato.”

Aku tidak bisa melakukan apa pun. Aku hanya diam membiarkan Sae memegangi pundakku dari belakang. Setelah hal itu, aku lantas memintanya untuk melepaskan pegangan tangannya dari pundakku. Namun, dia tak mau mendengar.

“Aku pengin pulang, Sae. Aku enggak enak badan,” kataku tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya.

“Aku antar kamu pulang, ya,” usulnya.

Aku membentak, “Enggak! Kamu dengar aku? Aku mau pulang sendirian!” Aku lalu pergi menghampiri motorku dan mulai memelesat meninggalkannya.

Sejak hari itu, aku tidak mau menerima pesan dari siapa pun, dan dua hari itu pula, aku tidak bertemu Sae. Bukannya apa-apa, aku terlalu malu untuk melihat wajahnya.

“Adis!” teriak sebuah suara.

Seseorang dari balik pintu kamar mengetuk pintuku beberapa kali. Itu suara Ibu, membuyarkan lamunanku yang sedang kunikmati di bawah jendela kamar.

Oh, ya, dua hari lalu, Ibu juga menanyakan hal yang sama dengan apa yang Arrani tanyakan kepadaku dalam whatsapp. Ibu bilang, kenapa aku bisa sampai kehilangan konsentrasi dan kacau saat berpidato. Aku tidak bisa memberitahu Ibu soal alasan kenapa aku bisa menjadi seperti itu. Aku juga tidak bercerita kepada Arrani ketika dia bertanya, dan dia memaksaku untuk ke sekolah karena teman-teman ingin menghukumku.

 “Adis, ada tamu. Keluar dulu sini!” Ibu masih mengetuk pintu. Aku mengerjap, lantas mulai bangkit dari posisi duduk di bawah jendela dan berdiri dengan memegangi kursi belajar; posisinya berada di sampingku.

Kemarin juga seperti ini. Ibu menyuruhku keluar karena katanya ada tamu, tapi aku bersikeras bilang untuk menyuruh tamu itu pulang. Aku tahu sebenarnya yang datang adalah Sae.

Namun, kali ini, Ibu bilang aku harus keluar dulu dan temui tamunya.

“Bu, suruh pulang saja,” kataku sambil mulai duduk di kursi, menatap ke luar jendela lantai dua kamarku. Dari sini aku bisa melihat rumah tetanggaku yang juga dua lantai. Dari sini juga, aku bisa lihat jalanan yang dilewati beberapa orang komplek.

“Jangan begitu. Dari kemarin kamu suruh dia pulang. Ayo, ah keluar dulu. Enggak enak sama Nak Sae.”

Aku menoleh pada pintu. Sudah kuduga jika yang datang memang Sae. Aku mengembuskan napas berat, kemudian memutuskan untuk menyuruh Sae masuk kamarku saja. Aku terlalu malas untuk keluar dan turun ke ruang tamu.

Setelah ucapan itu, Ibu tidak lagi mengetuk pintu. Dia sepertinya turun mendatangi Sae. Sebentar kemudian, seseorang mengetuk pintu kamarku lagi. Kali ini, hanya satu kali dan menyebut nama lengkapku.

Aku buru-buru berdiri dan melangkah cepat hingga belakang pintu. Ketika aku akan meraih gagang pintu, Sae berkata, tetaplah di balik pintu dan jangan membukanya. Dia bilang masih bisa menyampaikan semua hal yang akan dia utarakan meski terhalang pintu.

Sebentar kemudian aku menoleh ke bawah, tepat ke ujung pintu kamarku.

“Kamu boleh diam dan enggak usah bukain pintu ini, Adis. Aku akan bicara dari sini aja.”

Mendengar ucapan itu membuatku mengurungkan niat dan terdiam. Aku berdiri tepat di balik daun pintu, sambil posisi tangan yang kuangkat dengan ragu-ragu. Aku masih terdiam menunggu. Mungkin, sekarang kami sedang berhadapan, hanya saja terhalang oleh pintu kayu yang membuat kami tidak bisa saling tatap satu sama lain.

Aku tidak bisa melihat bagaimana ekspresi Sae sekarang, dan tentu Sae tidak tahu aku sedang apa sekarang.

“Aku juga enggak bakal memaksa kamu buat keluar dan lihat aku sekarang. Aku enggak punya hak untuk mengatur seseorang, terlebih mempermainkan kehendak manusia. Apa yang akan aku lakukan di sini hanya memperjelas semuanya. Aku ingin meluruskan kesalahpahaman ini, Adis.”

Aku masih berdiri di balik pintu. Aku menatap ke bawah, pintu kamarku berada lima sentimeter dari lantai keramik, yang membuat ada celah di bawahnya.

“Untuk semua kejadian yang sudah terjadi dua hari lalu, sebenarnya aku enggak pernah menyalahkanmu, dan enggak pernah merasa kecewa dengan hasil yang sudah kamu buat. Aku juga enggak pernah marah dengan semuanya. Aku enggak tahu kenapa kamu malah pergi menjauh dan menghindariku,” katanya. Suaranya terdengar lirih dan penuh kesedihan. Aku hanya bisa menggigit bibir bawah kuat-kuat sambil mengepal erat. Ada rasa sakit yang menjalar di dada, tapi entah apa penyebabnya.

Aku bungkam, tidak mengucapkan apa pun. Bunyi pendingin ruangan terdengar lebih keras. Deru mesinnya menggema, mengisi gendang telingaku. Mataku terpejam sambil masih berniat untuk mengangkat tangan, yang pada kenyataanya masih ragu-ragu.

Dari balik pintu, suara napas kami beradu.

“Apa kamu malu denganku, Adis?” katanya di sela keheningan yang melanda.

Hening. Semua kembali hening. Keheningan ini terjadi sampai beberapa saat. Aku masih tidak tahu harus menjawab apa.

“Jawab, Adis! Apa kamu malu sampai enggak berani menatap wajahku? Kenapa sampai sejauh ini? Kenapa sampai menghindar?”

“Aku ....”

Ludahku mengalir cepat. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Jika dipikirkan, memang Sae tidak sepenuhnya salah. Aku juga tidak pernah menyalahkannya atas ketidakhadiran itu. Sejujurnya, semua itu hanya sebuah kecelakaan, tapi tetap saja hal itu membuatku sedikit marah dan ... malu!

“Aku sudah ingkar janji,” jawabku. Aku tidak tahu kenapa malah kalimat itu yang keluar dari mulutku. Sae tampaknya terdiam mendengarkan, menyadari hal itu aku lantas berniat melanjutkan ucapanku, “sore itu, aku berjanji untuk memenangkan perlombaanya buat kamu. Tapi, aku malah gagal, bahkan sebelum berperang.”

Tanganku bergetar. Bayangan dari tubuh Sae di balik pintu masih sama seperti semula. Dia belum bergerak sama sekali.

“Hanya karena alasan itu kamu menghindar selama dua hari ini, Adis? Hanya karena itu?” tanyanya dengan nada yang tak kusukai. Aku masih menundukan kepala, menatap celah pintu bagian bawah. Ada rasa panas yang mulai berkeliaran di kelopak mata. Aku siap menangis.

Cengeng!

“Itu penting buatku. Itu berarti buatku,” jawabku dengan intonasi meninggi, tidak mampu menahan emosi yang mulai tidak stabil. Suaraku bergetar.

“Kalau memang penting, kenapa kamu malah mengacaukan semuanya? Kenapa enggak sedikit saja berjuang sampai aku datang?”

Kalimat itu memohokku. Jemariku mengepal erat. Rasa sesak menjalar di dada. Sae berkata seperti itu padaku?

“Bagaimana aku bisa tahu kalau kamu bakal datang sebelum lomba selesai dan lihat aku berpidato? Aku berjuang ini buat kamu, Sae. Semua buat kamu!”

“Lakukan buat diri kamu sendiri, Adis.”

“Dan kamu enggak datang saat aku berjuang!” kataku kesal.

“Buktinya aku datang!” jawabnya tak kalah membentak.

“Tapi, kamu terlambat,” bentakku. Sae terdiam. Kami sama-sama terdiam. Sebentar kemudian, embusan napas di balik pintu terdengar cukup panjang dan keras. Setelah adu mulut cukup keras, keadaan lenggang. Canggung.

“Jadi, semua ini salahku?” tanyanya dengan nada menyesal, membuatku tersentak dan sadar dari lamunan panjangku. Aku menoleh ke arah daun pintu yang hanya menampilkan kekosongan.

“Eh, enggak. Bukan. Maksudku ....”

Aku keceplosan. Sekarang aku tidak tahu harus bagaimana merespons. Mulutku terlalu menyebalkan. Aku salah mengucap. Kudengar embusan napas Sae dari balik pintu sedikit lebih keras dari sebelumnya. Beberapa saat kemudian, aku mendengar langkah kaki menjauh.

Sae pulang?

“Tunggu,” kataku sambil membuka pintu. Kulihat Sae sudah ada tiga langkah berjalan meninggalkan mulut pintu.

Dia berhenti, lalu menoleh.

“Kupikir kamu enggak akan keluar, dan enggak mau lihat wajahku.”

Setelah dia mengatakan itu aku tertunduk sambil mengepalkan tangan erat-erat. Dari dalam mulutku terasa dengan kuat saat gigi-gigiku gemertak. Keheningan kembali melanda beberapa jenak, sampai akhirnya aku memutuskan mendongak melihat wajahnya yang tampak sedih. Tanpa sadar, bibirku tersungging ke samping, lalu tanpa aba-aba aku berlari ke arahnya.

“Gila kamu, Saelandara!” ucapku sambil meninju bahunya kirinya dengan keras, menumpahkan semua kekesalanku kepadanya dalam satu pukulan. “Bisa banget buat orang lain kacau, berantakan,” lanjutku sambil merengut sebal. Sae di depanku hanya terkekeh-kekeh.

“Oh, ini orang yang tadi ngambek sampai enggak berani nunjukin wajahnya sama aku?” tanya dengan senyum mengejek. Aku siap melempar pukulan lagi ke bahunya, tapi kali ini dengan sigap Sae menghindar. Dia mencekal lenganku sambil terkekeh-kekeh.

“Nah, mulai, kan sifat menyebalkannya,” ucapku sambil menarik lagi tanganku.

Dari jarak sedekat ini membuat aroma bayi dari tubuhnya menyeruak, menjelajahi lubang hidungku.

“Jadi, sekarang kamu udah enggak marah, nih?” tanyanya sambil melipat kedua tangannya di dada. Kebiasaan menyombongkan dirinya keluar lagi.

“Huh! Aku bilang, kan cuma enggak bisa menepati janji. Itu bikin aku merasa bersalah, Sae.:

“Aku minta maaf kalau begitu, Adis.”

Aku menggeleng. “Aku yang minta maaf. Aku enggak bisa menyelesaikan apa pun. Janji kuingkari, lomba pun gagal. Aku yang minta maaf.” Aku mengucek kelopak mata, bertingkah sewajarnya ketika keadaan mulai terasa canggung dengan sesekali menyusut lubang hidung.

“Enggak apa-apa. Tapi, ada satu syarat,” katanya sambil mengangkat jari telunjuknya.

Kontan saja aku mendongak menatapnya. Dia menyodorkan telunjuknya padaku. Di bawah senyumnya yang manis, dia mulai mengutarakan apa syarat barusan.

“Enggak ada adegan menangis dan enggak ada marah-marahan lagi.”

“Itu dua syarat,” sergahku cepat. Dia berbohong!

“Intinya tetap satu! Kamu jangan marah lagi. Itu saja sudah cukup.”

Aku hanya mengangguk. Tangan kecil dan mungilku terangkat, dan meraih tangan milik Sae. Tak berselang lama, aku menariknya masuk ke kamar. Lebih baik berbicara di dalam daripada berdiri di lorong.

“Seharusnya enggak usah kayak begini. Kamu bikin aku khawatir.” Sae berjalan masuk, kemudian melenggang ke arah jendela dan duduk di bangku yang tadi kugunakan. Sementara aku berjalan gontai menuju kasur, dan duduk di sana.

Sae bersandar ke dinding jendela sambil memerhatikan suasana di luar.

Dia khawatir kepadaku?

Setelah puas menatap ke luar jendela, dia mengalihkan pandangan pada tumpukan buku yang tersimpan rapi di sebuah nakas kecil di samping ranjang tidurku. Nakas yang dipenuhi gambar Doraemon.

“Ehm. Sori,” kataku.

Pemuda itu tak merespons apa pun lagi. Dia anteng menatap tumpukan buku di nakas.

Sae mengenakan kaos berkerah warna hijau tua, dipadukan dengan celana nepada selutut warna krem. Dada bidangnya menonjol, membuat Sae terlihat lebih seksi dari biasanya.

“Aku beneran enggak tahu harus gimana kasih tahu kamu soal ini. Tapi, semuanya bikin aku merasa sangat bersalah dan itu bikin aku berpikir yang enggak-enggak. Overthink. Sori, Sae. Kamu tahu itu, kan?” tanyaku sambil menatap wajahnya yang selalu tampak memesona setiap saat.

“Kalau kayak begini, aku yang merasa enggak enak. Kamu tahu, semalaman aku enggak bisa tidur. Huh, bikin khawatir aja nih anak.”

Aku pura-pura tidak peka dan bertanya kenapa dia sampai tidak bisa tidur. Sae yang merasa kesal karena ulahku, lantas bangkit dari bangku dekat jendela dan mulai duduk di sampingku. Sebelum duduk, dia sempat mengamati bed cover warna biru dengan gambar Doraemon yang terpasang di ranjangku. Katanya, kamarku terkesan lucu. Semua dinding dipasangi gambar Doraemon. Aku suka kucing biru itu.

“Aku enggak bisa tidur karena mikirin bocah nakal,” katanya sambil menekan hidungku yang pesek. Dia menariknya ke depan, aku mengaduh kemudian menjitak kepalanya karena sukses membuat hidungku jadi merah. Dia hanya terkekeh geli.

“Entah kenapa, aku jadi gerogi dan enggak tahu harus ngomong apa saat acara itu berlangsung. Pikiranku ....” Aku menggantung ucapan, menghentikan perkataanku sebelum mengatakan hal yang tidak-tidak dan malah kelepasan. Kugigit bibir bawah, dan menoleh pada Sae yang masih duduk di sampingku.

“Hmm?”

Aku menggeleng.

“Tapi, aku tetep bakal kasih kamu hadiah.”

Sae memosisikan tubuhnya menghadapku. Sendalnya dia taruh di atas karpet, yang menjadi dasar lantai ranjangku. Setelahnya mengangkat kaki dan duduk sambil melipat kedua kakinya rapi.

“Kok, gitu? Aku, kan enggak menang lomba.”

“Aku akan kasih kamu hadiah karena udah mau berjuang sampai berani tampil di depan semua orang,” ucapnya sambil tersenyum.

“Tapi, aku gagal ikut lomba dan enggak menepati janji. Aku enggak pantas dapat hadiah,” kataku sambi menggeleng pelan.

“Kalau begitu, lain kali pas bikin janji berusahalah untuk menepatinya.”

Sae senyum kuda. Kali ini senyumnya manis sekali.

Aku tidak tahu harus merespons bagaimana. Aku terdiam.

“Lagipula, aku harus menepati janjiku,” kata Sae.

Sae menaruh kedua tangannya di dada, kepalanya sedikit miring, lalu manik-manik indahnya menggerling ke atas, dia berpikir.

“Libur sekolah kita ke pulau, yuk?” ajaknya setelah berpikir sejenak. Kupikir dia masih membahas soal hadiah.

“Ngapain?”

“Liburan. Kita ngabisin waktu akhir sekolah.”

“Enggak tahu, deh, ya. Ibuku kayaknya udah urus jadwal buat mudik ke Jawa Timur, dan aku bakal---eh, harus ikut.” Aku terduduk dengan posisi sama seperti Sae, hanya saja kedua tanganku ditaruh di atas kaki-kaki yang bertumpangan.

“Sebelum ibumu bikin semuanya jadi fiks, mending kamu usul aja dulu. Bilang aja kalau kamu mau main ke pulau, bareng aku,” katanya.

“Nanti aku pikirin, deh.” Aku mengangkat kedua bahu, lalu menggeleng pelan.

“Ya, udah, oke. Berarti sekarang kamu sudah enggak marah, nih? Jadi aku ajak kamu ke luar, yah! Aku mau kasih kamu hadiah.”

Ketika pemuda itu tersenyum padaku, ada aliran hangat yang menjalar ke seluruh tubuh, dan berpusat tepat di hati. Sae selalu sukses membuatku senang dengan caranya.

Aku bisa bilang kalau aku menyukainya. Jujur saja, aku memang menyukai Sae karena jelas dia sahabatku. Aku juga menyayanginya. Sudah wajar, kan jika sahabat saling menyayangi dan saling menjaga satu sama lain.

Harusnya, sih tidak apa-apa, tapi aku selalu merasa ada yang aneh. Aku selalu ada rasa entah apa itu yang tak bisa kujabarkan dengan kata-kata. Aku tidak mengerti mengapa hal itu seakan-akan berbeda dengan rasa sayangku terhadap seorang sahabat. Seakan-akan aku ... mencintainya!

Namun, jelas ini tidak wajar. Kami sama-sama laki-laki. Cinta seperti itu tidak akan pernah direstui oleh pihak keluargaku ataupun keluarganya. Mungkin saja aku keliru. Aku hanya terlalu mengaguminya.

Jika sudah menyangkut hal yang berhubungan dengan Sae, aku akan dengan sukarela melakukannya. Bahkan soal lomba pidato itu, aku tidak pernah berpikir untuk ikutserta di dalamnya. Jika saja aku tak pernah mengenalnya, mungkin aku juga tidak akan berani untuk menerima keputusan Arrani tentang lomba itu.

Dia selalu berhasil membuatku bertindak lebih dari Adis yang biasa. Meski pada akhirnya selalu gagal. Namun, sosok Sae lah yang selalu bisa membuatku mau mencoba terlebih dahulu.

“Ya, udah, kalau begitu aku mandi di sini saja. Kita berangkat langsung dari rumah kamu,” katanya membuyarkan lamunanku. Aku mengerjap, lantas menggeleng ketika sadar dia mengatakan akan mandi di kamarku.

Dia beranjak dari duduknya, lalu menoleh padaku. “Mau ikut?” tanyanya.

“ENGGAK!” jawabku sambil melempar bantal ke arahnya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Gusty Ibunda Alwufi
ya ampun dr awal.baca aku kira adis cewek.eh ngak tau nya cowok y.ngak seru
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status