Share

Lima

Lima.

Sae menggunakan kemeja planel warna hijau dan kaus Doraemon warna hitam milikku. Celana nepada krem miliknya masih dia pakai. Setelah mandi dan berpamitan pada Ibu, akhirnya kami berangkat untuk jalan-jalan ke luar. Sae tidak bilang dia akan membawaku ke mana, dan itu selalu menjadi kejutan yang dia berikan.

Dia sering memberiku hal-hal kecil. Namun, manis. Seperti membawakanku minuman saat istirahat sekolah, atau membelikanku camilan dengan bungkus bergambar Doraemon.

Aku masih berdiri di depan Sae yang anteng memasang helm. Dia membawa motorku. Katanya dia akan menitipkan motornya di rumahku. Aku menunggunya sampai selesai memasang helm terlebih dahulu, baru kemudian aku akan naik ke belakang motor. Niatnya, sih seperti itu. Namun, ketika Sae melihatku masih berdiri memegangi helm Doraemon milikku, dia kemudian menarik benda itu dari tanganku.

“Sini. Enggak bisa pakai helm, ya?” ucapnya, kemudian memasangkan helm itu kepadaku. Kontan saja aku tersenyum bahagia. Dari pantulan kaca helm milik Sae, aku bisa yakin jika pipi-pipiku sudah memerah karena malu.

“Udah, ah! Entar Ibu lihat lagi,” kataku sambil menahan agar bibirku tidak tertarik ke dua sisi. Berkedut.

Aku melepas tangan Sae yang masih mencoba menautkan kunci helm, kemudian aku memberitahunya bahwa semuanya bisa kuselesaikan sendiri. Jangan sok romantis seperti di film-film, deh! Itu membuatku jantungan.

“Emang kenapa kalau ibumu lihat? Kan, aku enggak apa-apain kamu. Buruan naik. Aku mau bawa kamu ke ...,” katanya menggantung sambil tersenyum jahil.

Dia lalu memasukan kunci motor, menahannya sebentar sambil menoleh kepadaku. Aku yang tidak mau mendapat bocoran tentang tempat tujuan kami, kemudian memutuskan untuk menutup mulut Sae dengan telapak tangan.

“Kalau sampai bocor, aku enggak jadi ikut,” ancamku tegas. Tatapan mataku jahat. Sae mengangguk. Kedua matanya menyipit.

Sae kemudian memutuskan kembali fokus pada tujuan awalnya. Dia memutar kunci motor sepenuhnya sampai motor scoopy Doraemon milikku benar-benar menyala. Dia memutar gasnya sedikit sampai nyaring terdengar.

“Udah siap?” tanyanya sambil menoleh lewat kaca spion. Aku yang sudah duduk sejak tadi kemudian mengangguk. Sae paham, dia menutup kaca di helmnya lagi, lalu mulai meluncur meninggalkan gerbang rumahku.

Perjalanan cukup panjang. Aku juga tidak banyak bicara, dan hanya terdiam memerhatikan keadaan jalan di Kota Tangerang. Lalu-lalang orang menjadi sangat ramai kala siang. Belum lagi semua anak yang mulai berlibur, hampir memenuhi trotoar jalan.

Motor yang kami tumpangi memelesat ke sebuah jalan raya, mengambil sebuah pertigaan, lalu melewati tanda penunjuk arah. Kulihat Sae mengarahkan motornya ke sebelah kanan, mengambil jalur bawah, dan membawa motornya mengikuti sebuah bus hijau yang sedang melaju.

Aku tidak sempat membaca nama tempat yang ada di papan penunjuk jalan tadi. Meski begitu, aku juga tidak terlalu kepo sehingga memilih untuk diam sampai jawabannya kudapatkan sendiri.

Setelah jauh melewati jalan raya, Sae mulai melipir ke sebuah jalur khusus. Dari kejauhan, aku bisa melihat banyak bangunan besar yang menjulang tinggi ke angkasa. Salah satu dari gedung pencakar langit itu dipasangi sebuah layar kotak yang memaparkan nama tempat itu sendiri.

Aku melongo di tempat. Pantas saja, perjalanan dari rumah terasa cukup jauh, ternyata Sae membawaku ke LIPO Karawaci.

Selama melintasi jalur masuk, aku mendapati pohon ambon yang tertanam rapi di sisi jalan. Dari ujung jalur masuk sampai ke sudut pandangan di depan, pohon rimbun warna hijau itu cukup membuat suasana menjadi terasa sejuk. Mataku teduh dibuatnya. Belum lagi daun-daun ambon yang gugur tertiup angin. Aku merasa tengah berada dalam drama Korea.

Tepat di sebuah belokan yang menunjukan pintu masuk parkir motor, Sae mulai menurunkan kecepatan laju motor. Dia berhenti sejenak untuk meminta sesuatu padaku. Dia membuka kaca helmnya, lantas menyodorkan tangan yang terbuka.

“Apa?” tanyaku tidak peka.

“STNK. Kita enggak bisa masuk kalau STNK-nya enggak ada.”

Langsung saja aku merogoh saku celana dan memberikan benda itu kepada Sae. Setelahnya, dia mengangguk dan memelesat lagi memasuki area parkir.

Jika dilihat lebih saksama, tempat parkir di LIPO ini memiliki dua tingkat lahan parkir. Besi-besi berukuran besar menjadi penopang area parkir tersebut. Aku juga bisa melihat, beberapa dari besi itu dibentuk sedemikian rupa, menjadi lebih cantik dan menarik.

Setelah mendapat karcis, Sae tak membuang waktu lagi langsung memarkirkan scoopy di antara motor lainnya.

**

Kami berjalan di junction. Sae berada di sampingku sambil merapikan rambutnya yang acak-acakan. Kemeja hijaunya sengaja dia buka, memperlihatkan kaus hitam bergambar Doraemon milikku.

“Mau makan dulu?” tanyanya.

“Hmm. Boleh, sih. Terserah. Aku ikut aja.”

Aku di samping Sae berjalan pelan sambil menatapi keadaan sekitar dari lantai dua. Jujur, ini kali pertama aku datang ke tempat ini. Tidak pernah tahu sebelumnya jika LIPO yang sering orang lain katakan ternyata lebih besar dari dugaanku.

Luasnya, sekitar ... ah, tidak tahu! Aku tidak ahli menghitung. Hanya saja, aku yakin ini sangat luas.

“Kita cari sambil jalan.”

Dua bangunan pencakar langit yang tadi sangat mencolok itu sedang kami datangi dengan melewati junction.

“Oh, ya, Sae,” ucapku tiba-tiba di sela perjalanan.

Beberapa langkah lagi, akhirnya kami memasuki ruangan, melewati sebuah pintu temperd glass. Dua orang berbaju hitam menyambut kami. Salah satunya seorang wanita yang menyodorkan brosur produk ponsel. Dengan cekatan aku menolak.

Dua sampai tiga langkah setelah masuk, Sae bertanya lagi tentang ucapanku sebelumnya. Aku menoleh sambil terus melangkah.

“Kapan terakhir kali kita ambil foto berdua, ya?” tanyaku.

Aku berjalan dengan kedua tangan ditaruh di depan perut, teruntai ke bawah. Sae berjalan dengan santai sambil menatapi satu per satu kios.

“Kapan, ya? Aku juga enggak ingat punya foto kita pas berdua. Kenapa, ya?” Dia bertanya, tapi matanya masih menatapi kios satu-satu. Aku tidak tahu apa yang sedang dia cari.

“Mau foto bareng lagi kalau begitu? Lagian, kamu enggak sesering ini ajak aku main. Apalagi ke LIPO.”

“Boleh,” jawabnya singkat, membuatku merasa diabaikan.

Sae masih saja terlihat mencari sesuatu. Tidak jauh dari pintu masuk, kami melenggang melewati sebuah lorong antara kios elektronik. Aku berjalan sambil masih memerhatikan Sae. Pemuda itu tampak sedang mencari hal penting.

“Oh, ya, mau makan apa? Atau mau ikut ke toko sepatu dulu?” tanya Sae, lalu berhenti di depanku. Aku yang tadi berjalan sambil menatapi kios-kios yang Sae lihat, kemudian ikut berhenti.

“Kamu mau beli sepatu?” tanyaku memastikan. Tak lama setelah ucapanku, dia mengangguk, kemudian menunjuk ke arah eskalator. Dia bilang, toko sepatu ada di lantai tiga. Saat ini kami ada di lantai dua. Jadi, setelah keluar dari parkiran dua lantai itu, otomatis kami berada di lantai dua.

“Minggu kemarin, niatnya, sih aku mau beli sepatu, cuma belum ada waktu buat ke LIPO. Sekarang mumpung lagi di sini, sekalian beli aja.”

“Bukannya di area komplek rumahmu lagi ada bazar, ya sebulan ini?” kataku sambil mulai berjalan mengikutinya dari samping. Sae tak lepas dari kios-kios yang ada di bangunan ini. Aku tidak tahu benda apa yang sedang dia cari; selain kios sepatu tentunya.

“Iya, memang. Acaranya sudah dua minggu. Adikku beberapa kali ngajak ke sana. Bukannya sombong atau apa, aku cuma nyari sepatu dengan bahan yang oke.

Aku hanya mengangguk. Sae memang orang yang perfectionis.

“Aku lebih pilih kualitas, ketimbang kuantitas. Kalau bisa dapat satu tapi bertahan lama, kenapa enggak? Daripada dapat banyak, tapi masih harus beli lagi dan lagi, itu sama aja boros.”

Sae mulai melangkahkan kaki kanannya di anak eskalator pertama, kemudian kedua tangannya ditaruhdi railing eskalator. Aku membiarkan dia masuk lebih dulu, setelahnya aku menyusul.

Mendengar penjelasannya tadi membuatku mengangguk saja mengiakan.

Ternyata bangunan ini memang di luar dugaanku. Bahkan ini jauh dari apa yang aku pernah bayangkan. Bangunan ini lebih mewah jika dilihat dari dalam. Di sini juga ada banyak toko-toko besar yang sudah punya nama di masyarakat. Salah satu contoh yang sangat familier adalah Matahari.

Karena saking penasarannya, aku sampai buka google untuk mencari tahu tentang fakta dan sejarah bangunan megah ini. Ternyata di sini juga tempatnya timezone terbesar se-Asia Tenggara.

Benar-benar hebat!

“Jangan meleng,” ucap Sae sambil menarik tanganku.

Aku berhenti, menoleh ke arahnya, kemudian menutup layar ponsel. Ketika kualihkan pandangan dari benda putih di genggamanku, ternyata kami sudah sampai di depan sebuah toko sepatu. Sebuah ruangan mewah yang didominasi warna oren itu bertuliskan nama tempat, “Payless”.

Saking asyiknya mencaritahu tentang LIPO, sampai-sampai aku tidak sadar jika aku hampir saja bablas melewati tempat ini.

Sae masih berdiri di tempat dengan menggengam tanganku. Tatapannya lurus pada kedua manikku yang beberapa kali kututupi dengan kelopak mata. Aku mengerjap. Sebentar kemudian, sebuah senyum mencuat di bibirnya.

“Ayo, masuk!”

Aku mengangguk.

“Oke.”

Setelahnya aku memasukan ponsel ke saku celana. Sebelum benar-benar berada di dalam, kami harus melewati sebuah gapura warna abu-abu yang banyak dihiasi poletan warna oren di setiap sisinya. Pun kami melihat tiga buah balok yang dipasang berdiri. Aku tidak tahu benda apa itu, tapi warnanya abu-abu.

“Bantuin nyari,” titahnya. Kami berdiri di balik balok tadi, kemudian dia menyuruhku untuk ke sisi kanan ruangan yang di mana terdapat deretan sepatu warna merah.

“Ukuran kakimu berapa?”tanyaku

“Ehm, tiga puluh empat, deh kayaknya. Atau tiga puluh dua?”

Dia menilik sandal yang dikenakannya, lalu menoleh kepadaku dengan tatapan penuh tanya. Aku yang ditatap dan tidak tahu berapa ukuran kakinya yang panjang dan terlihat besar itu hanya bisa menggeleng.

“Satu ukuran sama kamu,” kata Sae sambil menunjuk telapak kakiku dengan dagunya.

“Enggak, Sae. Punya kamu lebih gede,” kataku sambil membuang tatapan ke sisi lain, di mana rak sepatu warna merah berdiri di ujung ruangan. Sebelum aku melenggang menghampiri rak itu, Sae menarikku, membuatku berhenti dan menoleh.

“Punyaku lebih gede? Kok, tahu?” tanyanya dengan nada selidik.

“Punyamu?” tanyaku terasa mengambang. Aku tidak paham apa yang dia katakan.

Sesaat kemudian, aku mulai sadar dengan apa yang Sae maksudkan setelah melihat raut wajahnya yang mesum. Oh, aku tahu apa yang dia bicarakan. Ah, sudahlah!

Tidak mau menaggapi lagi ucapannya yang mulai melantur, aku kemudian meninggalkannya ke sisi lain ruangan, mencari sepatu mana yang cocok dengannya.

Ternyata selama ini sudah banyak hal menarik dan menyenangkan yang aku lewatkan. Menjadi anak muda yang tidak memiliki motivasi hidup membuat siapa saja ketinggalan zaman, termasuk aku. Aku hampir-hampir menjadi sosok yang kuper dan udik. Aku tidak pernah tertarik dalam hal fashion.

Merek-merek sepatu ternama juga ada di sini, dan aku tidak tahu sama sekali. Selama ini aku hanya memakai sepatu yang dibelikan Ibu. Bahkan aku tak pernah tahu-menahu berapa harga semua barang yang aku pakai.

Main ke sini, berarti menambah lagi pengalaman baru. Tentunya.

Payless adalah gudangnya sepatu bermerek, tapi sebagus dan semenarik apa pun sepatu yang ada di tempat ini, tak ada satu pun yang menggugah minatku. Sungguh! Bahkan Sae sempat bertanya, kenapa aku tidak mencoba untuk memilih satu dan membelinya. Dia juga bilang akan membayar sepatu yang kupilih dengan uang miliknya. Sayangnya, karena aku tidak tertarik, jadi mulutku mengeluarkan kata penolakan. Kata tidak meluncur begitu saja dari mulutku.

Ketika kami berada di sudut ruangan, tepat di salah satu rak warna cokelat, Sae meminta izin untuk mencoba sepatu yang aku pakai. Dia hanya ingin memastikan jika ukuran kakinya memang sama dengan punyaku. Dia mencopot sepatu dari kakiku dengan paksa, kemudian membaca nomor yang ada di bagian alasnya. Aku merengut sebal karena dia menarik sepatuku begitu saja.

Dia tertawa sambil kembali memasangkan sepatu di kakiku. Katanya, kakiku terlalu mungil!

Setelah ke sana-kemari sampai memasuki tiga toko sepatu, akhirnya Sae benar-benar menemukan ukuran dan style yang cocok untuknya. Aku tidak banyak berkomentar untuk hal ini. Lagipula aku selalu suka apa yang Sae pakai. Kali ini dia membeli sepatu adidas full colour!

Sepatu itu dipenuhi warna campuran. Bagaimana aku menyebutnya? Warna-warni?

“Sae, aku ke toilet, ya?” kataku ketika kami berdiri di depan kasir untuk membayar. Sae mengeluarkan dompet dan mengangguk. Setelah dia menyodorkan lembaran uang, akhirnya aku memelesat meninggalkan toko sepatu.

“Aku tunggu di sini,” teriaknya. Aku berhenti di depan sebuah pilar berukuran raksasa dan menoleh kepadanya. Dia melambai dari depan toko sepatu, dan melangkah menuju kursi tunggu di depan pilar lainnya.

Bangunan seluas ini biasanya menaruh toilet di ujung ruangan. Karena aku sudah tahu hal itu, jadi tidak terlalu membuang-buang waktu untuk bertanya pada yang lain. Kontan saja, setelah berlari lurus dari pilar, aku menuju ujung ruangan.

Hanya saja niatku harus tertahan, aku menoleh pada sebuah etelase yang sedang dijaga oleh seorang cici. Etalase itu berada tepat di samping eskalator. Awalnya ingin ke toilet, tapi sirna ketika sebuah ide terbesit di kepalaku.

Aku memutar arah berlari, dan mulai mendekati toko itu.

Saat sampai, seorang cici menyapaku dengan senyuman. Matanya yang sipit makin merapat ketika dia tersenyum.

“Selamat siang, Dek. Silakan dipilih cincin dan kalungnya.”

Aku berdiri di balik etalase. Ada begitu banyak perhiasan di dalamnya. Semua mengilap indah. Ini toko perhiasan!

Mulai dari kalung, cincin, gelang, sampai hiasan lainnya terpajang rapi dari balik kotak kaca. Aku menilik satu per satu dengan takjub. Niatan pertamaku ketika melihat toko ini adalah membelikan Sae cincin yang sama denganku. Ah, bahasa kerennya itu, couple. Meski aku pikir akan terlihat aneh jika dua orang laki-laki memakai cincin yang sama.

Aku juga tidak tahu apakah Sae akan menerima cincin pemberianku atau tidak. Aku sempat menimbang baik-buruknya saat berdiri di depan etalase, tapi karena antusias dan semua kesenanganku lebih besar dari sebuah pertanyaan yang muncul tadi, jadi dengan tanpa membuang waktu lagi aku memutuskan untuk membelikan Sae cincin.

Setelah aku mencari ke sisi kanan dan kiri, akhirnya di tengah deretan cincin yang lain, aku menemukan sebuah kotak berwarna hitam yang di dalamnya ada dua cincin perak bertuliskan AA.

Kontan saja, aku tertarik dengan cincin itu.

“Yang itu!” tunjukku pada wadah hitam tadi. Cici yang berdiri di balik etalase menoleh pada benda yang kutunjuk, lantas mengambilkannya untukku.

“Ini bagus, Dek buat pasangan. Adek bisa pakai buat pacarnya juga. Atau bisa Adek simpan buat entar ngelamar pacarnya. Bagus ini.” Cici itu menjelaskan panjang kali lebar kali tinggi. Aku hanya mengangguk sambil masih menatapi lekat-lekat.

“Harganya?” tanyaku langsung pada hal kursial sambil mendongak menatap wanita bermata sipit di depanku. Dia lebih tinggi dariku.

“Tiga ratus ribu rupiha,” jawabnya.

“Dua cincin atau satu?” tanyaku sambil meraih satu cincin dan diletakan di telapak tangan, menilik benda itu lekat-lekat.

“Satu pasang harganya segitu. Kalau mau beli satu, setengah harga.”

“Bisa kurang, Ci?” Aku kembali mengarahkan pandangan pada wanita itu sambil menaruh lagi cincinnya. Cici itu tersenyum sambil menggeleng.

“Itu sudah paling murah, Dek.”

Dia meraih kotak hitam itu, kemudian kembali menutupnya.

“Ah, gimana, ya? Enggak mau kasih harga spesial?” tawarku sambil menatap wajah cici itu dengan tatapan semanis mungkin. Aku berharap dia luluh dengan pesona wajahku yang dekil ini. Ngarep!

“Tiga ratus itu sudah paling murah. Kalau mau, Adek bisa beli yang ini,” ucapnya sambil menaruh kotak hitam di tangannya untuk disimpan di sisi lain, sementara mengeluarkan lagi kotak baru berwarna merah.

Kutatapi lekat-lekat apa yang sedang dia kerjakan. Tak lama setelahnya, cici itu mengeluarkan dua cincin warna perak;serupa dengan yang tadi, hanya saja tidak memiliki huruf-huruf di dasarnya.

“Yang ini bisa lebih murah. Enggak sampai dua setengah,” jelasnya sambil menyodorkan benda itu kepadaku.

Anehnya, aku sama sekali tidak srek dengan kotak kedua. Benda merah itu tidak menunjukan hal yang spesial padaku. Untuk kedua kalinya aku menoleh pada benda hitam di samping cici itu.

“Saya tetap pilih yang hitam saja, Ci.” Aku menunjuk.

“Kamu punya selera bagus, Dek.”

Cici menutup kotak merah, menaruhnya di balik etalase, lalu mengembalikan kotak hitam tadi kepadaku.

“Satu pasang, dua ratus. Bagaimana?” tawarku.

Dia terlihat menimbang. Aku juga masih berusaha untuk tidak kalah darinya. Cincin di balik kotak hitam itu berhasil mencuri perhatianku. Aku tidak ingin melepaskannya. Menurutku itu benda istimewa yang cocok untuk kuberikan kepada Sae.

Keadaan hening sejenak. Dia masih menimbang. Aku terdiam memerhatikan. Langkah kaki di belakangku bergemuruh, orang-orang mulai berlarian setelah turun dari eskalator. Sedetik kemudian Cici itu mengangguk.

“Udahlah, dua ratus lima puluh ambil. Itu sudah paling murah,” katanya sambil melambaikan satu tangan, memberi tanda bahwa dia merelakan lima puluh ribunya untukku. Aku yang masih memerhatikan orang-orang yang berjalan di belakangku lantas menoleh lagi pada wanita sipit di depanku.

Senyum kuda merekah di bibirku.

“Oke. Tunggu!” Aku buru-buru merogoh saku celana, lalu mengeluarkan dompet warna biruku, mencari selembaran uang yang bersemayam di dompet. Yes, berhasil menawar! Lumayankan uang lima puluh ribu bisa aku pakai buat jajan gorengan.

Turun harga segitu saja itu sudah bagus. Keahlian tawar-menawarku buruk sekali. Ini kiranya kali pertama aku berhasil memenangkan taruhan nilai. Biasanya, aku hanya memerhatikan ibu yang sedang melakukan tawar-menawar harga.

Ternyata cukup mudah.

Dengan penuh semangat aku merogoh celah-celah di dompet biruku, menyisir satu per satu bagian yang memungkinkan terselipi selembaran uang. Namun, nahas, setelah menyisir ke sana kemari ternyata ....

Aku kaget sejadinya ketika mendapati uang dalam dompetku hanya ada selembaran pecahan seratus ribu. Mendadak saja air liurku meluncur ke tenggorokan dengan cepat. Keringat dingin bermunculan dari pori-poriku. Rasa mulas mulai datang di saat-saat seperti ini. Aku menoleh pada cici yang masih terdiam di balik etalase. Wajahnya terlihat menyelidik ke arahku.

Air liur meluncur lagi dengan cepat melewati kerongkongan. Sekarang aku harus bagaimana?

Aku sudah memesan cincin itu, menurunkan harganya pula dengan tawar-menawar yang sebelumnya tak pernah kulakukan, dan ketika akan membayar, isi dalam dompetku hanya tinggal seratus ribu? Ah!

Atmosfer di kepalaku terasa aneh dari sebelumnya. Dengan tangan yang mulai bergetar, aku memasukan dompet biru itu ke saku celana, lalu menggaruk kepala tak gatal sambil memasang sengiran kuda sepolos mungkin, berharap jika cici itu mau mengampuniku.

“Anu, Ci,” kataku.

Aku kembali menelan ludah. Cici itu menoleh lagi padaku setelah sebelumnya melayani pelayan yang baru saja datang.

“Jadi, Dek?”

Kulihat juga dia sudah mulai memasukan benda hitam tadi ke dalam keresek. Kontan saja hal tersebut membuatku semakin menciut malu.

“Maaf, Ci. Aduh, bagaimana ngomongnya, ya?”

Nadaku menurun ketika menyelesaikan perkataan barusan sambil cengengesan.  Satu tangan kutaruh di depan wajah sambil menunduk malu.

“Maaf, saya enggak jadi beli, Ci. Uang saya ... ketinggalan!”

Cici tadi berhenti sejenak. Separuh tangannya yang berhasil masuk ke kantung keresek mengambang di udara. Ketika mendengar perkataanku tadi, dia lantas menarik lagi benda hitam itu. Wajahnya terlihat muram. Ah!

“Ya, udah enggak apa-apa,” katanya kecut.

**

“Kamu mau pesan apa?” tanya Sae.

“Apa aja, deh.”

“Aku mau pesan ayam bakar sama lele goreng. Kamu mau?” Sae menyarankan. Aku masih duduk dengan terus menutup muka menggunakan satu tangan.

“Aku ikut aja,” jawabku.

Lagi-lagi aku menjawab sekenanya.

Sae mengangguk, lalu memesan masakan yang tadi dia sebutkan. Setelah puas berkeliling LIPO Karawaci, Sae mengajakku untuk pulang sebelum malam. Dia membeli sepatu dan sebuah topi. Sedangkan aku tidak membeli apa pun.

“Kamu banyak bengong. Lapar atau capek?”

“Aku merasa bikin dosa gede banget.”

Wajahku kubenamkan dalam sepuluh jari.

“Habis ngapain?” tanyanya. Tangannya menaruh daftar menu di samping kanan. Dia melipat kedua tangan di atas meja, menatapku lamat-lamat. Aku bisa mengintipnya dari balik celah jari.

“Kalau ngerjain orang, dosa enggak, sih?” ucapku, kemudian membuka sepuluh jari dari wajah. Sae menaikan satu alis matanya, lalu mengangkat kedua bahu enteng. Dia menggeleng setelahnya.

“Aku jadi merasa enggak enak, deh. Ah, sial!”

“Kenapa, sih, Dis? Kamu nabrak orang? Jailin orang tua? Ngintip Cici mandi di toilet?” Dia memberondong pertanyaan padaku sambil terkekeh-kekeh. Salah satu dari pertanyaanya mengingatkanku pada sosok cici yang kutemui di toko perhiasan tadi.

Ah, apa aku sudah membuat kesalahan? Apa itu memalukan? Bukankah aku sudah melakukan negosiasi dengan cici itu? Namun, aku malah batal beli cincinnya.

“Aku enggak semesum kamu, ya!” tukasku cepat, lalu menutup wajah, kali ini dengan buku menu di depanku.

“Terus apaan, dong? Aku bukan cenayang yang bisa tahu tanpa dikasihtahu.”

Aku tidak mau menjawab. Pikiranku sibuk dengan kejadian tadi. Padahal cincin perak bertuliskan AA itu sudah sangat sempurna untuk kujadikan hadiah. Sae pasti akan suka.  Inisial yang ada pada cincin itu juga sangat klop dengan awalan nama kami. A untuk Arsenio dan A untuk Adiysta.

Cocok, kan?

Namun, takdir cincin itu tidak cocok dengan takdirku. Kami tidak ditakdirkan bersama. Aku tidak bisa membelinya dan itu ... memalukan!

Ah! Aku menaruh daftar menu dengan kasar, kemudian mengacak rambut dengan sebal.

“Kamu kenapa, sih? Lapar apa gimana?”

“Tahu, ah! Aku mau makan aja! Aku lapar kali.”

Akhirnya aku hanya bisa melamun memikirkan banyak hal secara acak.

“Adis,” kata Sae membuyarkan semua lamunan. Dia menaikan barang belanjaanya ke atas meja makan, sebentar kemudian mulai menatapku.

“Aku sudah janji buat ngasih kamu hadiah, dan aku bakal nepatin hal itu.”

Dia mulai membuka kantung keresek putih di depannya, dan mengeluarkan kardus sepatu yang tadi Sae beli.

“Aku enggak tahu harus beli apa. Dua hari enggak cukup buat aku mikirin hadiah yang pas.” Dia mengangkat kardus itu dan menyerahkannya padaku. Aku tidak buru-buru merespons dan hanya diam memerhatikan.

“Eh, aku pikir ini sepatu kamu.”

“Ini hadiah buat keberanian kamu di panggung. Jujur, aku enggak tahu harus ngasih apa. Masa iya aku ngasih hal-hal yang berbau Doraemon. Kamu udah bosen kali sama begituan. Mungkin sepatu ini juga bisa berguna pas sekolah.”

Aku meraih kardus dari Sae, sementara dia mulai melipat kedua tangannya di atas meja.

“Tapi, ini mahal, loh! Kamu bilang seminggu yang lalu sudah rencanain buat beli sepatu, kan?”

Sae hanya tersenyum.

“Sae, asli, loh ini mahal. Terus kamu gimana?”

“Aku ada topi baru.”

“Sae, aku enggak---”

“Aku enggak suka kalau kamu menolak. Terima dan jaga baik-baik. Dengan begitu pun aku sudah senang.” Dia menyengir kuda sambil masih melipat kedua tangannya.

Tanpa aku sadari, bibirku merekah ke sisi kanan dan kiri. Jika saja aku boleh teriak, pasti aku sudah melakukannya sekarang. Wajahku memanas, yang kuyakini sudah merah padam. Di hatiku ada sesuatu yang meluncur dan berputar, membuatku merasakan bahagia saat ini juga.

“Makasih, Sae.” Aku tertunduk malu.

“Sam-sam---”

Seseorang datang dan menaruh menu yang kami pesan sebelum sempat Sae menyelesaikannya. Aku mengangkat pandangan dan tersenyum.

“Silakan,” kata pelayan itu.

Aku menarik kardus yang Sae berikan, menaruhnya di bawah kakiku, kemudian merapikan pesanan yang baru saja diletakan di meja.

Aku terlalu senang sekarang. Laparku saja sudah hilang. Aku kenyang oleh hal-hal manis yang Sae berikan. Sekarang mungkin aku bakalan diabetes karena Sae.

“Makan dulu, habis itu foto-foto.” Sae tersenyum. Aku hanya mengangguk setuju.

Sehabis makan, kami sempat mengambil beberapa foto bareng. Rasa bahagiaku benar-benar kentara di kamera. Sae berulang kali memergokiku tersenyum tanpa alasan sebelum tombol capture ditekan. Dia mengejekku beberapa kali.

Tak terhitung sudah berapa foto yang kami ambil, tapi satu hal yang aku tahu, bahwa memori ponselku sekarang sudah penuh oleh foto kami berdua.

Foto aku dengan ... Sae!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status