Share

Tujuh

Tujuh

Dingin dari embusan angin malam cukup untuk membuatku menggigil. Selimut warna biru yang melahap habis tubuhku masih dirasa kurang untuk bisa menghilangkan efek dingin malam ini.  Gigiku gemertak kencang. Sebenarnya tidak aneh, sih saat aku terus menggigil karena aku membuka daun jendela kamarku lebar-lebar. Dari sini aku duduk dan diam memerhatikan milyaran bintang di langit.

Malam ini langit sedang dalam kondisi cerahnya. Aku juga tak punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Terlebih setelah pembagian buku tahunan sekolah. Tugas-tugas sekolah pun sudah kuselesaikan seminggu yang lalu.

Sudah sekitar dua jam aku duduk termangu di balik jendela. Tatapanku lurus ke langit. Sejak tadi maghrib aku tidak keluar kamar, toh tidak akan ada siapa pun yang menemaniku di ruang tamu sana. Ibu dan Ayah belum juga pulang.

Memiliki orangtua yang sibuk mengurusi karier itu tidaklah menyenangkan. Waktu luang untuk kami kumpul sangat sedikit. Ibu yang selalu saja keluar rumah untuk alasan pekerjaan dagangannya, dan Ayah yang tak juga selesai dengan semua proyeknya menjadikanku satu-satunya yang mengisi rumah dua lantai ini.

Jujur saja, aku selalu merindukan kehangatan dari mereka. Kehangatan saat kami bercanda bersama. Jika aku boleh katakan kapan terakhir kali aku merasakan semua kehangatan itu, maka jawabannya adalah tiga tahun lalu. Dahulu! Sebelum Ayah masuk ke dalam dunia kontruksi seperti sekarang ini.

Awalnya keluarga kami berada dalam barisan orang-orang kelas bawah. Aku tidak menyebut diriku miskin karena memang itulah faktanya. Maksudku, keluarga kami tidak sesejahtera sekarang.

Dahulu yang bekerja itu hanya Ayah, sementara Ibu selalu di rumah untuk mengurusi kebutuhan keluarga. Keharmonisan keluarga kami juga masih terjaga. Dengan penghasilan Ayah yang dulu sebagai seorang tukang service komputer masih mampu mengunci keharmonisan yang terjalin di rumah ini. Namun, semua itu mulai terkikis ketika salah satu temannya mengajak Ayah untuk ikut bekerja di kontruksi.

Dari sanalah, Ayah menjadi semakin sibuk dan jarang pulang. Ibu selalu di rumah menunggunya pulang. Meski setiap bulannya selalu mengirimi uang untuk kami. Tetap saja, bukan hanya uang yang kami butuhkan, tapi Ayah yang harus pulang!

Sementara Ibu baru satu tahun ini menggeluti bisnis rumahan yang menjadikannya sering berada di luar.

Sekarang, kami berkecukupan. Namun, aku yang tak pernah cukup mendapatkan perhatian dari mereka.

Kembali kutautkan ujung selimut yang melilit tubuhku untuk lebih melahap habis tubuh mungil yang menggigil. Kutarik daun jendela yang masih menganga terbuka, lalu            menutupnya rapat-rapat. Setelah lama duduk di balik jendela, aku mulai merasa nyamuk semakin banyak berputar di kepalaku.

Dalam satu kali tarikan napas, kunci yang ada di jendela kaca itu kutautkan dan sukses membuatnya tertutup sangat rapat. Tak membuang waktu lama, aku pun beranjak untuk segera beralih ke tempat tidur.

Aku menarik kursi belajar, lalu memasukannya ke bawah meja, kemudian melunturkan selimut yang terlilit di badan. Aku melemparnya secara asal sebelum bergegas ke atas ranjang. Ada yang harus aku lakukan lebih dulu.

Setelah mandi tadi aku tidak langsung berpakaian. Otakku malah memberikan intruksi untuk melilit tubuh tanpa busana dengan selimut dan bergegas menyaksikan milyaran bintang lewat jendela lantai dua.

Beginilah aku sekarang. Seorang lelaki berumur sembilan belas tahun yang sedang berdiri di hadapan lemari tanpa sehelai benang pun. Aku menatapi tubuh pendekku dari cermin di lemari. Kau benar-benar kurus, Adis!

Banyak faktor yang menjadi penyebab hal ini terjadi. Aku sebut saja salah satu alasannya. Aku, Adiysta Adelio Cetta, seorang pemuda yang tidak pernah menyukai olahraga. Menurutku kegiatan itu membuatku harus berkeringat dan malah menyebabkan aku tidak nyaman dengan diriku sendiri. Bidang olahraga apa pun itu, aku tidak menyukainya. Hal-hal yang menyebabkan aku berkeringat, sebisa mungkin kujauhi.

Namun, aku tetap makan dengan sehat. Istilahnya, empat sehat lima sempurna masih aku terapkan dalam hidup.

Tak ada otot. Tak ada roti sobek. Tak ada pundak-pundak kokoh yang terbentuk seperti para binaraga di teve-teve. Tidak ada!

Ketika aku sibuk menatapi tubuh kurusku di cermin, ponselku yang berada di atas meja di samping jendela berkedip. Nada dering dari penanda whatsapp berbunyi. Tak langsung kuhampiri, tapi aku segera bergegas untuk mencari baju tidurku.

Adis, anak-anak mau ada acara. Kamu mau ikut?

Pesan itu tertulis dalam ponselku. Nama pengirimnya adalah si gadis cantik berhati iblis, Arrani. Aku menautkan kancing-kancing di pajamaku, lantas mulai mengetik.

“Acara apa?”

Aku rasa Arrani sedang menatapi ponselnya lekat-lekat. Dapat kulihat dari responsnya yang cepat. Dua tanda ceklis dalam pesan hanya di hitungan kurang dari satu detik sudah berubah warna menjadi biru. Tak lama kemudian  Arrani [Cewek jahad] sedang mengetik ....

Liburan. Kemarin aku mau kasih tahu kamu soal ini.

Katanya, sih mereka mau menginap juga dua atau tiga hari gitu. Tapi, aku enggak tahu info lebih lanjutnya. Kamu datang aja dulu, ya ke sekolah. Kita diskusikan.

Aku berjalan pelan ke arah ranjang berbalut seprai Doraemon sambil menapaki lantai keramik warna putih. Tak langsung merebahkan diri, aku hanya duduk di bibir ranjang sembari mengetik, membalas pesan Arrani.

“Siapa aja?

“Dan ke mana liburannya?”

Arrani membalas lagi.

Semua anak di kelas.

Eh, enggak, ding, cuma beberapa doang. Kita mau liburan ke pulau. Kamu siap menginap?

Aku tak langsung membalas, lalu menurunkan ponsel yang sedang kugenggam sambil memejamkan mata. Membaca kata “pulau” dari pesan yang Arrani kirimkan membuatku teringat sesuatu. Seminggu yang lalu, jika tidak salah Sae pernah mengajakku untuk berlibur ke pulau juga.

“Kapan kumpulannya?”

Besok. Datang aja dulu.

Oh, ya, ini saran dari Sae, loh. Awalnya kita mau ke puncak, tapi Sae bilang kita berlibur ke pulau aja.

Ini saran dari Sae? Jadi, dia mengusulkan liburan ke pulau itu bukan hanya kepadaku saja? Dia menawarkan itu pada semua orang?

“Oke. Aku usahakan,” balasku kemudian.

**

Mataku berkedip pelan. Pandangan remang-remang menatap lurus ke plafon. Di balik selimut, aku bisa mendengar kegaduhan yang terjadi di luar kamar. Bising yang sudah terjadi entah sejak kapan itu sukses merobek mataku, memaksa untuk terbangun dari tidur.

Untuk kedua kalinya aku memejamkan mata. Kali ini mencoba untuk menahan rasa kantuk yang masih bergelayut di kelopak mata. Tak lama, aku mengerjap sekali, lalu menguap cukup panjang sambil mengembuskan napas hangat.

“Itu suara ibu,” gumamku di bawah manggut-manggut. Kusibakkan selimut biru Doraemon, lantas mulai turun dari ranjang. Aku melangkah gontai menuju arah pintu dan dengan tatapan remang-remang, kuputar gagangnya sampai sukses membuat pintu itu terbuka sedikit.

“Udah berapa lama, heh? Jadi selama ini, begitu kelakuan kamu di belakang?”

“Apa, sih?”

Saat kubuka daun pintu semakin lebar, suara-suara itu makin keras terdengar. Dengan sambil menggosok mata, aku berjalan menyusuri koridor antara kamarku dan kamar kosong. Tak jauh berjalan, aku sampai di depan tangga.

“Kamu pikir aku enggak tahu kalau kamu kayak gitu?”

Ruang tamu terlihat gelap, lampunya dibiarkan mati. Hanya lampu di bagian dapur saja yang masih menyala, membuatku bisa melihat dua sosok manusia yang sedang berada di ruang tamu tersebut.

Dari semua gelagat yang ditunjukan, aku bisa menebak mereka sedang berbicara dengan nada dan suasana yang tidak bersahabat. Sesekali, Ayah mencoba melayangkan tangannya yang terlihat ringan itu pada wajah Ibu. Kontan saja, hal itu membuatku terbelalak dan mengenyahkan rasa kantuk yang sedari tadi bergelayut di mata.

Ayah menampar Ibu? Kenapa?

Aku bergegas menuruni anak tangga, tapi saat di anak tangga ketiga, Ibu mulai berbicara lagi sambil menangis. Dia terlihat memegangi satu pipi kirinya dengan tangan kanan. Pundaknya naik-turun sambil memaki-maki Ayah. Langkahku terhenti begitu saja.

“Kamu pikir aku enggak pernah tahu soal wanita-wanita yang kamu hubungi itu?”

Ibu menangis.

Ayah masih terdiam. Tangan-tangannya mengepal erat. Sementara Ibu masih memaki Ayah dengan sambil masih melayangkan ucapan-ucapan yang sedari tadi belum bisa kucerna maksudnya.

“Selama ini aku mantau kamu lewat hp. Aku diam karena aku pikir kamu enggak bakal sejauh ini. Tapi, semakin aku diam, semakin kamu menggila.” Ibu berteriak, dia mengutarakan semua itu di bawah isak tangis.

Seketika saja, telingaku terasa ditusuk dari dua arah. Ibu membahas soal wanita. Wanita mana, dan siapa dia?

“Kamu lancang! Buat apa buka-buka hp-ku?” bentak Ayah tidak terima. Dia hampir-hampir saja menampar Ibu lagi jika Ibu tidak berteriak lebih dulu yang membuat Ayah menahan tangannya di udara.

“Yang lancang itu kamu! Buat apa kamu main-main perempuan di luar? Kamu enggak menghargai aku sebagai istrimu!” Ibu membentak Ayah, tangan kanan yang tadi dia gunakan untuk memegangi pipi kirinya sekarang dibuat mengepal dan ditinjukan beberapa kali pada dada Ayah sambil menangis.

Dari sini, di atas tangga, aku yang melihat hal itu mendadak lemas. Ada sesuatu yang memelesat di dalam tubuhku, mendarat di hati, yang membuat rasa sakit dan menyesakkan dada. Ibu bilang, Ayah bermain wanita di luar?

Mataku terasa panas. Pandangan remang-remang.

“Kenapa, Mas? Kenapa?” Ibu mulai melemas di depan Ayah. Kepalan tangannya meluntur, mengikuti tubuh ibu yang sekarang sudah berada di bawah, memerosot. Ayah diam tak melakukan apa pun untuk mencegah tubuh Ibu yang sekarang sudah terkapar di lantai. Dia hanya memerhatikan dengan tangan-tangan yang mengepal erat.

Melihat hal itu, aku buru-buru bangkit dari posisiku, lantas berlari menuruni anak tangga. Di undakan anak tangga terakhir, aku melompat, memelesat ke ruang tamu yang gelap untuk menghampiri Ibu. Sepertinya Ayah terkejut dengan kehadiranku. Dia menoleh dengan tatapan tegang.

Sebelum aku meraih tubuh Ibu yang terkapar di lantai, aku sempat menatap wajah Ayah sekilas. Percikan api mulai tumbuh begitu saja di hatiku. Entah, aku merasa marah melihat Ayah sekarang.

“Ibu!” Aku langsung berjongkok di dekat Ibu. Wanita itu terkulai lemas dengan masih sesenggukan. Dadaku sesak lagi.

Aku berdiri, kemudian menghadap pada Ayah. Lelaki itu terdiam dengan ekspresi yang tidak bisa kujelaskan. Tangan-tangannya sudah tidak lagi mengepal. Dengan napas sesenggal, aku mulai mengepalkan tangan kanan. Aku merasa ingin meninju wajahnya sekarang juga.

“Adis,” ucap Ayah pelan. Tatapannya dia buang ke sisi lain sambil masih mematung. Lelaki itu tidak berani menatapku. Aku sebisa mungkin tetap menahan emosi yang mulai membeludak dalam diri. Rasanya, ingin berteriak dan meninju Ayah berkali-kali sambil memakinya dengan kasar.

Dadaku semakin sesak. Kepalan tangan mengeras. Saat aku akan meneriaki namanya, dan hampir meraih kerah kemeja putih yang dia kenakan, cengkraman tangan halus Ibu mendarat di betisku. Dia menghentikan semua niatan yang sempat akan kulancarkan.

“Jangan, Adis. Jangan gegabah,” katanya lirih. Napasnya berat. Ibu makin mengencangkan tangan di betisku. Aku menoleh, lantas mengembuskan napas yang sedari tadi terasa sesak. Melihat Ibu terbaring di bawah sambil memegangi betisku, sukses membuatku menangis.

“Ibu enggak apa-apa?”

Kuurungkan niatku untuk menghantam wajahnya. Lelaki dengan dasi kotak-kotak itu mulai melangkahkan kaki dari ruang tamu. Dia meraih tas hitamnya, lantas melenggang ke arah pintu. Dalam remang dan gelap, aku terus memerhatikannya.

“Jangan cari Ayah. Jaga Ibumu!” Ayah berdiri di ambang pintu sambil mengucapkan kalimat tersebut. Aku masih terdiam, memerhatikan.

Bukannya menjawab perkataan Ayah, aku justru malah berjuang mati-matian menahan tangis dan nafsu yang mulai berkumpul di dada. Rasa-rasanya, jika Ibu tidak menahanku, aku sudah mendaratkan tinju di pipinya. Berani-beraninya dia menyakiti ibuku.

“Sudah, Nak. Biarkan dia, enggak usah dipikirin,” ucap Ibu, kemudian mulai bangkit. Aku menoleh karena ucapan Ibu, membantunya berdiri dan membopongnya menuju sofa. Kubiarkan dia berbaring di sana sementara aku mencari sakelar untuk kuhidupkan lampu ruang tamu.

Sembari berjalan menuju kulkas, aku juga mulai menekan sebuah sakelar ganda yang berposisi tepat di samping benda kotak pendingin makanan itu. Kontan saja ruang tamu kembali terang.

Kucabut satu botol mineral dari deretan paling bawah, dan kembali ke Ibu dengan satu gelas plastik warna biru di tangan kiri. Wanita itu masih diam berbaring di sofa sambil terus memegangi pipinya yang kini kulihat memerah. Dia memakai jaket kuning-hitam. Rambutnya yang panjang sembraut karena kejadian tadi.

“Ibu tidak apa-apa?” tanyaku mengulang. Kutuang  air itu ke dalam gelas, lalu kusodorkan kepadanya.

“Enggak apa-apa. Udah, enggak usah dipikirin.”

Dengan susah payah, Ibu meraih gelas dariku dan beranjak duduk. Diposisikannya kaki-kaki terbalut jins hitam itu ke depan, membiarkannya terjontai melewati batas sofa.

“Ehm,” jawabku.

“Kamu dengar semuanya?” tanya Ibu. Air dalam gelas itu habis dalam satu kali tegukan. Dia menoleh, kemudian menyerahkan gelasnya kepadaku.

Dengan satu kali anggukan aku menjawab. Jelas sekali aku melihat Ayah menampar Ibu. Itu adalah kali pertamaku melihat Ayah memperlakukan Ibu seperti tadi. Memang, seperti apa yang kukatakan, keharmonisan keluarga kami mulai terkikis setelah Ayah bekerja di dunia kontruksi.

Aku tak pernah berpikir sejauh itu tentang Ayah yang selalu berada di luar rumah, jauh dari kami yang merindukannya. Tak pernah terpikirkan soal wanita-wanita simpanan Ayah, seperti yang Ibu bilang tadi.

Menyaksikan Ibu disakiti, membuat hatiku juga sakit.

      “Sayang sekali kamu harus menyaksikannya, Nak.” Ibu menghela napas panjang, membenamkan wajahnya dalam sepuluh jari, kemudian kembali menangis. Suaranya bergema di ruang tamu. Pundaknya yang habis dibalut jaket, naik-turun, menandakan jika isaknya keras.

Tak pernah aku melihat Ibu sesenggukan seperti ini. Aku mulai menangis, sambil mengusap pundaknya dari samping. Aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk membuatnya lebih baik. Bahkan, ketika Ayah menamparnya, aku hanya bisa terdiam mematung, dikuasai rasa lemas dan malah ... menangis! Aku hanya lelaki cengeng yang tak bisa menyelamatkan ibuku. Sedikit-sedikit aku hanya menangis. Bagaimana aku bisa melindungi Ibu jika terus seperti ini?

 “Adis, Ibu akan pulang ke Jawa Timur besok.” Ibu membuka jari-jarinya yang tadi menutupi wajahnya. Dia menoleh kepadaku dengan wajah serius. “Ibu akan pulang ke sana untuk tinggal sama nenek kamu. Ibu udah enggak kuat, Adis. Ini bukan yang pertama kalinya.”

Bukan pertama kali? Jadi ....

“Ibu selalu berusaha bertahan untuk tidak mengambil tindakan dan melarangnya. Ibu tahu pada akhirnya hanya akan seperti ini. Tapi, ini sudah sering terjadi. Hati wanita itu rapuh, Adis.”

Aku tidak tahu harus bagaimana merespons. Hatiku semakin sakit ketika Ibu bilang begitu. Selama ini aku tidak tahu apa pun soal masalah yang menimpa ibu. Aku terlalu bodoh untuk menyadarinya.

“Selama ini, Ibu bertahan agar tidak pernah terjadi pertengkaran ini. Bukan cuma hati Ibu yang Ibu pikirkan, tapi juga kamu. Ibu enggak mau kamu melihat kejadian kayak tadi.”

Ibu berjuang sendirian, menahan semua rasa sakit itu sendiri. Bahkan, di saat hatinya teriris menjadi kecil dan disayat dengan jutaan luka, dia tetap memikirkanku. Dia mencari cara agar aku tidak ikut bersedih atas semua hal seperti ini.

Ibu melindungiku.

“Aku akan ikut dengan Ibu.”

Ibu menggeleng. Dia mulai mengarahkan tangannya padaku, mengelus halus rambut hitamku.

“Kamu di sini saja, Nak. Jaga Ayah. Biar Ibu saja yang pulang.”

“Enggak, Bu. Aku mau ikut. Aku enggak mau di sini, aku mau sama Ibu.”

“Jangan menangis. Ibu cuma pulang sebentar. Ibu hanya ingin istirahat di sana.”

“Tapi, Bu ....”

Meski Ibu bilang aku jangan menangis, tapi air mata ini tidak bisa kukendalikan. Mataku kembali terasa panas dan berair. Ibu yang melihat hal itu kemudian mulai menyeka kelopak mataku sambil tersenyum. Senyum yang biasa sukses membuatku tenang, kali ini malah justru membuatku terluka. Aku tidak sanggup membuat senyum itu sirna, digantikan raut wajah kesedihan.

“Aku akan jaga Ibu,” ucapku mantap. Ibu hanya mengangguk, mengelus kepalaku, kemudian tersenyum setuju.

**

Tak banyak barang yang aku bawa untuk pulang ke Jawa Timur, aku hanya memasukan beberapa pakaian yang sering digunakan, dan perlengkapan elektronik saja; charger. Ibu jga sepertiku, dia hanya membawa tas jinjing warna hitam yang di dalamnya terdapat baju ganti miliknya.

Saat aku lihat jam di tangan kiriku, ternyata sudah sangat siang semenjak kegiatan beres-beres pagi tadi. Seingatku, setelah acara menangis di ruang tamu, kami berdua tertidur di sofa sampai fajar tiba. Ibu membangunkanku setelah jam melewati angka tujuh.

Tak banyak melamun, aku lantas bergegas menge-pack barang-barang yang akan dibawa pulang. Ketika aku meraih ponselku di atas meja di dalam kamar, ternyata ponsel itu sudah mati entah sejak kapan. Aku lupa mengisi dayanya.

Ibu berteriak di bawah, kemudian dengan segera aku meraih ponsel itu dan kumasukan ke saku celana, lalu bergegas menghampiri Ibu yang sedang berdiri di luar sana. Sambil menuruni anak tangga, tiba-tiba saja aku teringat soal janji yang sudah kami buat untuk hari ini. Seingatku, Arrani mengajakku untuk datang ke sekolah.

Di undakan anak tangga terakhir, aku melompat dan mendarat di lantai keramik sewarna cokelat. Aku menoleh ke ruang tamu. Bayangan kejadian semalam masih terngiang jelas di kepala. Adegan demi adegan berputar, terkuak bagai kaset yang dimainkan terus-menerus.

Aku gontai melangkah menuju kotak es di ujung ruang tamu, kemudian menyentuh sebuah sakelar ganda, dan kutekan dalam satu kali tarikan napas. Kontan saja, cahaya dari lampu pijar di ruangan ini padam.

Ketika aku sibuk meratapi semua kenangan buruk tadi malam, tiba-tiba saja suara Ibu melengking menerobos gendang telingaku. Aku terbuyar dan sadar, dilanjut menoleh ke luar, melalui celah jendela.

Terlihat dari dalam, ada seseorang yang sedang berdiri di sana, di hadapan Ibu. Aku mengernyitkan dahi karena merasa penasaran dengan keberadaanya. Setelah kuselidiki dengan cara melangkah pelan menuju jendela dan mengintipnya, baru kutahu jika orang itu adalah Sae.

Pemuda itu terlihat sedang asik berbincang dengan Ibu. Tangan kanannya dia gerakan, menyertai mulutnya yang entah sedang mengucapkan apa. Sementara satu tangan lainnya dia gunakan untuk memegangi helm di pinggang kirinya.

Jaket kulit hitam, helm hitam dan sepatu hitam menjadi hal yang mencolok kali ini. Lelaki itu terlihat lebih misterius sekarang. Aku lantas mulai melangkah menuju mulut pintu untuk segera keluar menghampirinya. Sae sudah tidak memakai jaket baseball biru dongkernya.

Sae datang ke rumahku? Untuk apa? Atau jangan-jangan dia datang karena dia ingin mengajakku ke sekolah, mengenai diskusi liburan itu? Sambil terus melangkah, sebisa mungkin aku menggali jawaban sendiri di otakku.

Tepat di ambang pintu, aku diam berdiri. Menyadari keberadaanku, Sae yang awalnya masih berbicara dengan Ibu, lantas menoleh ke arahku. Sebentar kemudian mengangkat tangan kanannya sembari tersenyum.

“Yo, Adis.”

Aku hanya tersenyum seadanya, kemudian berjalan mendekati Ibu dan Sae secara gontai.

Dia tampak memerhatikan penampilanku dari bawah hingga atas, lalu sebaliknya, dari atas hingga bawah dengan tatapan melongo. Aku yang tidak nyaman dengan tatapannya lantas sedikit bergidik sambil menepuk dadanya dari depan. Kataku, “Heh, bengong!”

“Kamu beneran ikut sama Ibu?”

Sae maju satu langkah, lantas memegangi pundakku. Dia memutar tubuhku sambil masih meracau tidak jelas. Pertama, mulutnya mengomentari atasan yang aku pakai. Tubuh kurusku dibalut habis oleh t-shirt hodie warna abu-abu. Sementara bagian bawah tubuhku, disempurnakan dengan celana sebatas lutut warna krem. Jam tangan hitam, serta beberapa aksesoris berupa gelang di tangan kiriku juga tidak luput dari komentarnya.

Oh,ya, Sae tidak mengomentari sepatu yang kupakai. Padahal, ini adalah sepatu hadiah darinya. Warnanya mencolok sekali!

“Iya.” Aku menjawab seadanya.

“Katanya mau liburan sama aku?”

Aku memegangi tangan Sae, kemudian kuturunkan dari pundak. Tak lama setelahnya, mulai berjalan menghampiri Ibu yang sedari tadi berdiri di balik pagar besi. Sae masih berdiri di tempat sambil matanya mengikuti ke mana aku berjalan.

“Aku lupa bilang sama Ibu kalau aku mau liburan,” kataku.

“Oh.” Sae mengangguk.

“Oh, ya, kenapa kamu ke sini?” Aku teringat masalah itu sekarang. Pertanyaan yang dari tadi berputar di kepala. Aku masih berdiri di samping Ibu. Wanita jelemaan malaikat di sampingku melangkah pelan, lalu mengelus rambutku halus.

“Aku mau ajak kamu ke sekolah. Habisnya aku telepon enggak aktif. Aku kirim LINE enggak dibalas. Hubungi lewat WA, enggak dibaca.”

Seketika saja aku menepuk jidat. Ah! Ponselku mati. Astaga, sudah berapa banyak LINE yang Sae kirim untukku, dan berapa isi WA-ku pas dibuka nanti? Aku segera merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel milikku, kemudian kutunjukan padanya.

“Habis baterai. Sorry.

Dia hanya mengangguk paham.

“Ke sekolah, masih belajar? Bukannya sudah enggak sekolah, ya, Nak Sae?”

“Anu, Bu, kami ada diskusi soal liburan,” jawab Sae sambil menundukan kepala pelan, diikuti rekahan senyum yang terlihat sangat manis. Tidak mau terlalu teralihkan oleh senyum Sae, buru-buru aku menoleh ke sisi lain, menatapi pagar besi di sekeliling rumahku.

“Tuh, kamu ikut sama nak Sae saja liburan, biarin Ibu sendirian pulang.”

Sae menyengir kuda sambil manggut-manggut.

“Tapi, aku mau sama Ibu.”

“Enggak apa-apa, Ibu bisa sendiri. Lagian, kamu di sana mau ngapain? Mendingan ikut sama Nak Sae. Kamu bisa jagain rumah juga. Ajak teman-teman kamu menginap di sini.” Ibu mendekapku kali ini. Aku diam dalam rengkuhannya sambil memejamkan mata, menikmati tiap elusan tangan lembut di rambut hitamku.

Aku terlalu jatuh oleh buaian ibu, sampai-sampai aku lupa dengan situasi sekarang. Aku lupa jika di hadapanku masih ada Sae yang sedang berdiri dengan helm hitamnya. Buru-buru aku membelalakan mata, mencoba melepaskan pelukan ibu.

Sae berkedip dua sampai tiga kali sambil menaik-naikan alis matanya. Dia mengejekku!

“Gimana, Adis? Kamu ikut aku aja!”

“Kok, kamu yang ngatur?” Aku menjulurkan lidah padanya.

“Udah enggak apa-apa. Ibu sendiran aja. Kamu di sini, ya?” bujuk Ibu.

Dengan ragu-ragu setelah mempertimbangkan semuanya, aku pun mulai mengangguk. Awalnya memang aku sudah bulat untuk ikut dengan Ibu. Terlebih setelah tahu kejadian semalam. Aku bahkan berniat untuk membatalkan acara berlibur dengan semua teman di kelas. Namun, saat ibu bilang lebih baik aku ikut Sae, kemudian mengangguk begitu saja.

Entah mengapa aku setuju.

“Mau saya antar, Bu?” tanya Sae pada ibu. Dia nyelonong melewatiku yang berdiri dengan masih memegang ponsel mati. Sae buru-buru mengangkat tas jinjing sewarna hitam milik ibu, kemudian menaikkannya ke motor miliknya. Vixion hitam.

Ibu yang awalnya mau menolak, mendadak urung ketika melihat Sae sudah menaikan barangnya ke atas motor. Mau tidak mau, ibu hanya mengangguk diikuti kekehan kecil. Aku juga melihat kejadian itu di sini, dari posisi semula. Sekarang, aku dicuekin!

“Aku ambil motor dulu. Aku juga mau anter ibu ke stasiun.” Aku bergerak, meraih ransel yang tergeletak bawah, kemudian berlari menuju rumah.

Entah mengapa, aku merasa ada hal yang membuatku bahagia hari ini. Mendadak saja, semua masalah yang semalam terjadi itu seolah terkikis perlahan. Aku sedikit melupakannya. Selain itu, dorongan dari ibu memberiku sedikit semangat. Aku mengkhawatirkan ibu, tapi ibu lebih tahu apa yang harus kulakukan.

Bukannya tidak mau menemaninya sampai ke Jawa Timur, hanya saja, membatalkan niatku untuk ikut pulang ke JaTim adalah pilihan ibu juga. Jadi, mau tidak mau aku ikut menurutinya.

Tak berselang lama setelah mengembalikan ranselku ke tempat semula, aku bergegas mencari kunci motor di kamarku dan memelesat menuju garasi.

Hari ini, aku dan Sae akan mengantar ibu ke stasiun.

     

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status