Share

Delapan

Delapan.

Tangan halus serta putih tidak habis-habisnya mengelus kepalaku, menyusuri tiap inci rambut hitam lebat yang kumiliki sambil sesekali menyanyikan lagu kesukaanku saat masih kecil. Dalam merdunya suara yang tertangkap gendang telinga, ada pepatah-pepatah kecil yang Ibu selipkan, mencoba memberikan nasihat-nasihat tentang kehidupan yang kejam di masa depan nanti. Ibu bilang aku harus kuat menghadapi semuanya.

Aku terpejam, menikmati elusan lembut di rambutku sambil terus mendengarkan ucapannya yang masuk ke gendang telinga.

“Adis,” ucap Ibu pelan. Tangan halusnya masih mengelus kepalaku, menggerakkannya naik-turun, membuatku nyaman. Sedangkan aku hanya bisa memejamkan mata, menikmati tiap elusan tangannya. “Ibu selalu bersyukur dengan apa yang sudah terjadi. Ibu tidak pernah menyesal untuk apa yang sudah Ibu lakukan untuk semuanya.”

Aku membuka mata setelah ucapannya terhenti, lalu membalikan posisi tidurku yang awalnya menindihkan pipi kiriku di paha Ibu sambil menatap ke depan, kini mulai bergerak menatap lurus ke atas, tepat pada dua manik cokelatnya yang terlihat nanar. Wajah Ibu semakin terlihat sedih dari sebelumnya.

Aku belum mengatakan apa pun untuk merespons perkataanya, membiarkannya mengutarakan apa pun yang sedang berkecambuk dalam kepalanya saat ini.

“Ibu juga sangat berterima kasih karena hidup kita bisa berubah menjadi jauh lebih baik dari yang dulu.”

Aku masih tidak menjawab, membiarkan Ibu menyelesaikan semuanya. Menyadari aku yang tidak akan banyak merespons, lantas Ibu melanjutkan perkataanya. “Hanya saja Ibu sedikit sedih karena keadaan keluarga kita yang sekarang. Seiring berubahnya ekonomi keluarga ini, berubah juga sifat dan sikap ayahmu akhir-akhir ini.”

Ibu berhenti mengelus kepalaku sambil menatapku sekejap dalam tatapan nanar sebelumnya, kemudian menolehkan pandangannya lurus ke depan, pada sebuah bingkai foto yang ada di atas nakas kayu warna cokelat di seberang ruang tamu. Di foto itu ada aku, Ibu dan juga Ayah yang sedang berada di taman bermain. Saat itu aku masih berumur sekitar empat atau lima tahun. Tampak jelas kebahagiaan di wajah kami. Rasa bahagia yang belum direnggut habis oleh jarak dan keadaan.

Ibu menatapi foto itu lekat-lekat, sementara aku mulai bangkit dari posisi berbaring di pangkuannya, mengubah posisi menjadi duduk sejajar dengan Ibu. Kami sedang berada di ruang tamu, di atas sofa panjang sewarna putih.

Insting dan rasa ingin tahuku bangkit seketika saat Ibu menyinggung soal Ayah. Aku yang penasaran lantas bertanya, “Ayah kenapa, Bu? Apa yang terjadi?”

Ibu sempat mengalihkan tatapannya dari foto di atas nakas itu ke arahku, kemudian menggeleng sebelum menjawab, “Ibu tidak tahu. Ibu merasa Ayah berubah, bukan seperti sosok yang Ibu kenal selama ini. Ibu tidak tahu apa yang sudah terjadi.”

Aku terdiam, merasa tidak puas dengan jawabannya sekaligus tidak paham harus bagaimana merespons.

Ibu mengelus punggung tanganku pelan, kemudian berkata, “Apa sesibuk itu ayahmu di tempat kerjanya, Nak? Sampai dia tidak bisa memberi kabar kepada Ibu?” tanyanya. Aku hanya bisa diam. Ibu juga terdiam setelah mengelus tanganku dengan lembut. Aku tahu pertanyaan itu tidak memerlukan jawaban. Maksudku, Ibu mengerti dengan jelas kalau aku sama sekali tidak tahu-menahu soal kesibukan ayah di luar sana. Jangankan aku, Ibu saja tidak tahu. Dia melemparkan pertanyaan retorik.

Aku masih diam, sampai akhirnya membalas mengelus tangannya yang tampak kurus. Ibu menarik tangannya dariku, lalu membetulkan dua sisi blazer abu-abu miliknya untuk lebih menutupi bagian depan tubuhnya, sebentar kemudian meluruskan kaki-kaki yang tadi ditekuk untuk dijadikan bantal kepalaku.

“Ayah pasti pulang. Ayah sayang Ibu. Aku tahu itu.” Aku angkat bicara sambil menoleh kepadanya dengan tatapan nanar. Ibu hanya terdiam sambil membalas tatapanku dengan tak kalah nanarnya.

“Ya, Ibu tahu,” jawabnya lirih. Ada rasa sakit yang terbang di sekeliling atmosfer, membuatku merasakan nyeri di bagian dada. Entah apa penyebabnya.

Beberapa detik kami saling tatap, membuatku begitu jelas melihat kesedihan di raut wajah yang dia pancarkan. Kesedihan yang nyata tersorot langsung dari tatapan matanya kepadaku. Ibu seakan-akan masih menahan sesuatu yang disembunyikan dariku.

Saat aku hendak berbicara lagi, Ibu mulai mengubah ekspresinya dan menyambar perkataanku lebih dulu. “Oh, ya, saat lomba pidato waktu itu, kamu terlalu gugup. Padahal Ibu yakin kamu bisa menyelesaikannya, Adis.”

Aku memelotot. Kenapa tiba-tiba sekali membahas soal itu? Ibu mencoba tersenyum. Raut wajah yang dia pancarkan sebelumnya hilang, diganti dengan raut wajah baru. Aku tahu itu tidak natural dan sangat dipaksakan.

“Iya. Ibu datang ke sana. Maaf karena aku enggak kasih tahu Ibu soal lomba,” ucapku merasa bersalah.

“Waktu itu Ibu lagi ada acara di deket sekolah kamu. Ibu juga enggak tahu kalau kamu ikut lomba.”

Aku menaikan satu alis mata, mencoba mencerna ucapannya.

“Kok, bisa tahu aku lomba?” tanyaku sambil masih menaikkan satu alis mata, membuat Ibu tersenyum sambil mengelus punggung tanganku di atas paha.

“Kebetulan Nak Sae kirim pesan buat Ibu. Dia bilang kamu ikut lomba. Awalnya Ibu sedih karena kamu enggak kasih tahu soal itu, tapi ketika Nak Sae bilang kalau kamu pengin buat Ibu bangga, Ibu merasa senang,” jawabnya, membuatku mengerutkan kening kuat-kuat. Padahal, kan aku tidak bilang hal itu kepada Sae. Anak itu ada-ada saja!

“Kenapa dia ngasih tahu Ibu?” tanyaku setelah menghapus semua kekesalanku kepada Sae karena sudah membohongi Ibu sekaligus membuat alasan seenaknya.

“Katanya, dia enggak yakin bisa datang ke sekolah lihat kamu lomba karena motornya ada masalah.”

“Jadi, Sae nyuruh Ibu, dong? Enggak ada sopan-sopannya tuh anak!”

“Bukan begitu, Adis. Nak Sae bilang, saat kamu tampil, harus ada yang menyaksikan. Kebetulan pas Ibu dapat pesan, pas lagi ada deket sekolah kamu. Ya, Ibu ke sekolah saja.” Ibu menautkan lagi dua ujung blazer  itu sampai erat, lalu menarik napas panjang, sampai akhirnya diembuskan perlahan. Aku hanya mengangguk sambil masih menatapnya.

“Terima kasih,” kataku.

“Nak Sae ingin kamu lomba tanpa banyak pikiran. Lagian, kenapa kamu enggak ngasih tahu Ibu?”

Wajah Ibu berubah, kemudian memasang ekspresi menuntut.

Ah, gawat! Tadi Sae bilang begitu, tapi, kan kenyataanya bukan seperti itu.

Aku tidak mungkin bilang jika alasan aku tidak memberitahu soal lomba itu karena tidak yakin Ibu bisa datang. Lagipula, kesibukannya terlalu padat dan pikiran paling negaitf yang terlintas di otakku adalah Ibu tidak akan peduli dengan acara lombaku.

Aku mengernyitkan dahi, menyipitkan satu mata, kemudian mencoba tersenyum menanggapi pertanyaanya. Ibu yang masih duduk dengan kedua tangan bertautan di depan perut hanya diam menunggu jawaban dariku.

“Aku enggak mau ganggu kesibukan Ibu. Dan, Ibu sudah tahu itu dari Sae, kan? Aku, aku ingin buat Ibu bangga,” jawabku sambil menelan ludah kasar, merasa tidak enak karena sudah berbohong, lalu melanjutkan, “Lagian itu cuma lomba pidato, Bu.” Tidak ingin Ibu menyadari aku sedang berbohong, lantas kualihkan pandangan kembali ke bingkai foto di atas nakas cokelat.

“Ibu selalu peduli dengan apa yang kamu lakukan, Adis. Apa pun itu. Sekecil apa pun itu.”

Ibu mengelus rambut belakangku ketika aku sibuk menatapi bingkai di sana. Suara ibu terdengar lebih santai dari sebelumnya.

“Kamu anak ibu yang sangat Ibu bangga-banggakan. Apa pun yang kamu lakukan, Ibu akan memerhatikannya. Ibu tahu, selama ini terlalu sibuk dengan pekerjaan. Tapi, meskipun Ibu sibuk di luar, Ibu masih ingat sama kamu. Anak Ibu.” Tangan halus dan putihnya dia taruh di pundak kananku, lalu mencoba merangkulku lebih dekat, dibawa ke dalam rengkuhannya.

“Ibu, terima kasih,” ucapku pelan, merasa sangat bersalah karena sudah berpikiran macam-macam kepadanya.

 “Teruslah buat Ibu bangga,” bisik Ibu. Aku dalam dekapannya terpejam, lalu mengangguk diikuti rekahan senyum di bibirku.

      **

Sae : Aku datang agak telat. Duluan aja.

Adis : Oke. Aku tunggu di lokasi.

Pesan barusan itu dari Sae. Dia menyuruhku untuk berangkat ke sekolah lebih dulu. Katanya di sana semua anak yang akan berlibur ke pulau sudah berkumpul. Dua hari yang lalu setelah diskusi di sekolah, akhirnya kami sepakat keberangkatan dilakukan dua hari setelah diskusi.

Hari ini tepat dua hari semenjak hari itu. Jarum pada jam tanganku menunjukan pukul sembilan pagi. Aku harus segera bergegas sebelum siang. Barang bawaanku tidak begitu banyak. Maksudku, tidak sebanyak saat persiapan mudikku dua hari lalu. Sekarang aku hanya membawa dua baju, makanan ringan, roti dan beberapa makanan cepat saji.

Setelah mempersiapkan semuanya, aku mulai berjalan ke arah tempat tidur, di mana ponselku tergeletak tanpa tuan. Hari ini aku tidak akan mengikutsertakan motor scoopy Doraemon milikku. Dia takkan kuajak berlibur!

Setelah menapaki tiga sampai empat petak keramik, akhirnya aku sampai di bibir ranjang. Kuraih benda pipih itu, kemudian kubuka icon ojek daring untuk segera memesan jasa antarku ke sekolah. Saat aku akan memesan, ternyata sebuah pesan WA masuk begitu saja, mengurungkan niat yang hampir kujalankan. Aku terdiam sebentar ketika melihat nama Arrani [Cewek Jahad] yang mengirimiku pesan.

Dengan cepat, lalu aku mengerjap, setelahnya membuka pesan dari Arrani. Di dalamnya terdapat sebuah pertanyaan.

Arrani [Cewek Jahad] : Adis, apa yang kamu siapkan buat Sae?

Aku sempat mengerutkan dahi membaca pesan dari Arrani. Apa maksudnya dengan mempersiapkan sesuatu untuk Sae? Merasa tidak paham dengan pertanyaanya, lalu aku segera membalas. Dia ada-ada saja, deh!

Adis : Persiapkan apa? Apa yang harus disiapkan?

Tak lama Arrani membalas lagi.

Arrani [Cewek Jahad] : Kamu lupa? Hari ini, kan 1 November, ulang tahun Sae.

Aku kaget sejadinya ketika membaca balasan dari Arrani. Seakan-akan bergerak tanpa dikomando, tanganku meluncur menepuk jidat sekencang mungkin. Bagaimana aku bisa lupa soal ulang tahun Sae? Adis, kau menyedihkan!

Aku mengangkat ponselku, lalu kembali membalas pesan dari Arrani.

Adis : Baru bilang!

Arrani [Cewek Jahad] : Hem.

Setelahnya pesan itu tak kubalas lagi karena merasa perlu melakukan sesuatu yang lebih penting. Niatku untuk memesan ojek sirna begitu saja. Aku sekarang sedang merasakan banyak hal. Dua di antaranya adalah kebingungan dan kebahagiaan. Aku bingung harus memberikan kado apa untuk Sae. Dan, aku bahagia karena ini adalah hari istimewa untuk sahabatku.

Ya, orang yang aku cintai.

Namun, secepat kabar itu masuk ke kepalaku, secepat itu pula aku tersadar pada satu hal yang langsung menggangguku. Jika hari ini adalah hari ulang tahun Sae dan semua orang sudah tahu, maka ini sudah direncanakan sebelumnya oleh Sae. Ah! Seharusnya aku sadar dengan hal ini sejak kemarin. Aku menepuk lagi jidatku dengan keras, kemudian mulai bangkit dari duduk. Aku berlari ke arah lemari dan mencari sesuatu di sana.

     **

Kata mereka, jika seseorang sedang jatuh cinta, maka akan terasa seperti ada jutaan kupu-kupu terbang di dalam perutnya. Ah, entahlah, aku tidak tahu benar apa tidaknya hal itu, tapi aku seperti merasakannya sekarang. Aku senang, kepalang senang!

Aku berjalan penuh semangat sambil memegangi sebuah kotak abu-abu di tangan menuju gerbang sekolah. Katanya, mereka akan berkumpul di depan pos satpam. Setelah turun dari ojek tadi, aku langsung berlari sekencang yang aku bisa.

Aku berlari melewati beberapa pohon ambon yang tumbuh di sepanjang jalan, kemudian berbelok di sebuah pertigaan sebelum lampu merah. Setelah itu, aku melihat semua orang di ujung jalan. Kulihat Arrani juga yang sedang melambai ke arahku. Jika mataku tidak salah lihat, di sana hanya ada tujuh orang. Lima di antaranya adalah lelaki. Aku yakin kalian tahu siapa para lelaki itu. Grup yang diketuai oleh si Cebol Ahmad.

Ahmad melenggang dengan angkuh melewati Arrani, lalu menaruh dua tangannya di depan dada. Senyum seringai merekah di bibirnya ketika aku sudah terlihat oleh kedua matanya yang memelotot kejam. Aku yang masih berjalan mulai memelankan langkah, merasa ogah menghampirinya.

“Eh, Centong! Lama jasa. Kita udah telat ini.” Dia berteriak di depan Arrani sambil masih menyilangkan kedua tangannya yang pendek di depan dada.

Aku akhirnya sampai di depan rombongan dan bisa melihat semua orang dengan jelas dari jarak sedekat ini. Ternyata satu gadis yang berada di belakang Arrani tadi adalah Tania. Jadi hanya dua orang saja, yaa perempuannya? Dan, aku tidak tahu kenapa Sae mengajak Tania.

“Namaku Cetta,” koreksiku cepat pada Ahmad yang sekarang tampak merengut tidak suka.

“Bodo amat, Malih,” jawabnya.

“Oh, ya, Sae di mana?” tanyaku pada Arrani. Aku tidak memedulikan Ahmad yang sudah buka mulut hendak membalas ucapanku. Melayani orang seperti Ahmad membuang tenaga saja. Jadi lebih baik dijauhi saja!

“Dia agak telat,” jawab Arrani. Gadis itu memakai hijab hitam yang membalut habis kepalanya, menyisakan sedikit untaian kain hijab itu sendiri yang dibiarkan terjuntai ke sebelah pipi kanan. Kedua tangan angkuh yang biasa dia taruh di dada itu ditutupi oleh pakaian berupa cardigan warna krem. Bagian dalamnya terdapat kaos polos warna putih.

“Tania juga ikut, ya?” tanyaku pada gadis di samping Arrani. Gadis berambut panjang itu mengerjap dua kali, kemudian mengangguk. Tubuh tinggi Tania sangat serasi ketika menggunakan sebuah blus warna biru, dipadukan dengan jins warna putih. Atau entahlah, aku tidak tahu jenis celana apa yang dia kenakan. Mata bulatnya menggerling ke arahku.

“Ya, aku ikut diundang Sae,” katanya.

“Biasa, biar si Cebol seneng,” bisik Arrani kepadaku yang kuangguki dengan pasti.

“Kalian udah lama?” tanyaku lagi.

“Banget. Lu lama banget kayak putri, gila! Ngapain aja, heh?” Ahmad berjalan ke arahku dengan membusungkan dadanya. Rambut ijuknya dia tata sedemikian rupa membentuk sebuah jambul udang.

“Sori,” jawabku.

Tak lama setelah percakapan itu, kami dibuat berhenti oleh sebuah mobil yang memelesat di samping kami. Sebuah Toyota Rush warna putih terparkir cantik di depan gerbang, tepat di samping jalan. Aku melongo di tempat, begitu juga teman-temanku yang lain.

Hal pertama yang terlintas di otakku, orang yang ada di dalam mobil itu pasti Sae. Aku sangat yakin.  Tanpa kusadari, bibirku tertarik ke dua sisi. Aku tersenyum sambil memegangi kotak abu-abu di tangan. Itu adalah kado yang aku siapkan untuknya.

Ingin rasanya aku segera melompat, memeluknya dan bilang selamat ulang tahun kepadanya. Pada orang yang selama ini sudah mengisi hariku, menjadi bagian dari semua kesedihan dan kepedihanku. Orang yang selalu ada di saat semua meninggalkanku.

Tak banyak yang bisa kuberikan untukmu, Sae. Isi dalam kotak ini, kuyakin tidak akan sepadan dengan semua yang telah kamu berikan untukku. Hanya saja, aku merasa harus memberikannya kepadamu di hari spesial ini.

Aku tidak tahu ini akan menjadi spesial atau tidak di matamu.

Aku mulai mengangkat satu kaki untuk segera melangkah menghampiri mobil itu sambil menaruh kotak di depan dada. Aku siap memberikannya. Satu tarikan gagang pintu mobil terdengar, benda itu bergerak pelan, kemudian mendorong daun pintunya, membuat sebuah celah angin terlihat. Senyumku semakin merekah saat pintu semakin lebar. Membayangkan wajah Sae yang tampan membuatku semakin bahagia. Aku menerka pakaian apa kiranya yang dipakai Sae hari ini? Jaket baseball-nya kah?

“Yeah,” gumamku sambil mengembuskan napas, mencoba menenangkan diri. Aku terlalu senang, sampai-sampai tak bisa mengendalikan diri.

Namun, senyum yang merekah lebar di bibirku itu harus hancur begitu saja ketika kedua bola mataku menangkap sesuatu yang justru tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Manik cokelatku melihat sebuah sepatu berhak tinggi yang baru saja keluar dari pintu yang terbuka. Kontan saja aku terdiam dan melongo di tempat.

Tidak mungkin bagi Sae memakai sepatu hak tinggi. Apalagi itu adalah sepatu untuk ukuran seorang wanita. Tak lama setelah keterkejutanku, sosok wanita berambut panjang warna blonde keluar dari mulut pintu seutuhnya. Gadis itu keluar dengan semangat, lantas menutup pintu mobilnya dengan pelan. Tak lama kemudian, dia menoleh pada kami yang pada kenyataanya sedang dilanda kebingungan. Dia terdiam di tempat, lalu tersenyum manis sekali.

Dia memakai pakaian biru toska model kancing yang kulihat sepertinya berbahan halus, kemudian sebuah rok motif bunga-bunga warna serupa. Rambut panjang blonde-nya dia biarkan tergerai ke belakang punggung.

“Hai,” sapanya tanpa ragu-ragu. Kami semua melongo dalam keterkejutan.

Terdengar suara pintu yang baru ditutup, tak lama kemudian Sae datang dari balik Toyota Rush dan menyapa kami yang sedang terbengong. Lelaki itu tersenyum simpul sambil berjalan ke arahku lebih dulu. Belum sempat dia sampai, tangan perempuan tadi menarik Sae dari samping. Dia menautkan tangannya pada tangan Sae, lantas bergandengan. Melihat hal itu aku mendadak sakit hati. Dadaku terasa sesak tiba-tiba. Tak mau terlalu lama menyaksikan hal itu, aku lalu menoleh ke sisi lain jalan.

Sorry, telat,” katanya.

“Enggak apa-apa,” jawab seseorang di belakang.

“Sesen, kenalin aku, dong!” ucap gadis di samping Sae. Aku terkesiap ketika gadis itu berucap. Seketika saja aku menoleh lagi kepadanya. Sekarang dia sedang merengek di depan Sae.

Kulihat Sae tersenyum dan masih membiarkan gadis itu menggandeng tangannya. Lagi-lagi, dadaku terasa sesak. Kenapa?

“Oh, ya, kenalin, ini ....” Sae menggantung ucapannya, dia menoleh kepadaku sebentar, membuat kami sempat beradu tatapan, kemudian aku membuang wajah ke sisi lain. Sae mengernyit pelan, lalu melanjutkan perkenalannya. “Panggil aja Resha. Dia ....” Sae kembali menggantung ucapannya.

Kudengar gadis itu mulai berkata, “Aku calon pacarnya Sesen,” katanya menggebu, sama menggebunya hatiku ketika mendengar kalimat itu dari mulutnya yang merah.

“Hah?” Semua orang terkejut serempak.

“Ah,” desah Sae seakan-akan sedang berusaha menyampaikan sesuatu. Aku kembali memberanikan diri untuk menatap dua insan yang sedang menjadi pusat perhatian itu dengan tatapan sebiasa mungkin.

Jujur, aku merasakan sakit di dada. Aku juga tidak tahu mengapa ada sesak yang menjalar di bagian itu. Terlebih ketika mendengar kalimat dari gadis di samping Sae. Aku merasakan semacam sayatan kecil tapi tajam di hati.

“Dia anaknya teman ayahku. Dia datang dari Jakarta karena mau ikut rayain acara ulangtahunku. Tapi---“

“Tapi karena Sesen mau ke pulau, aku jadi ikut sama Sesen,” jawab gadis itu memotong ucapan Sae.

Sudah yang kesekian kalinya aku mendengar kata Sesen. Sebenarnya siapa Sesen? Apa yang dimaksud dengan Sesen itu Sae? Kok, aneh, ya? Mungkinkah itu nama panggilan sayang darinya?

“Ehm, begitu.Ya, udah, oke. Salam kenal.” Arrani berjalan melewatiku kemudian menjabat tangan gadis bernama Resha. Dengan riang, gadis itu membalas jabat tangan Arrani.

Saat yang lain mulai berkenalan, aku justru mencoba memisahkan diri dari kelompok.  Ahmad juga sudah ribut memperkenalkan namanya pada Resha. Tak mau terlibat, aku melenggang menghampiri gerbang yang tertutup rapat. Niat pertamaku adalah ingin menghindar. Untuk apa aku menghindar? Ah, entahlah.

Buru-buru kumasukan kotak abu-abu yang ada di tangan ke dalam tas sebelum Sae melihatnya. Dengan terus berusaha untuk kuat, aku mulai membuka resleting ranselku dan mendorong benda itu agar lebih masuk di antara tumpukan baju dan makanan.

Sakit di dada terasa lagi. Pandanganku mulai remang. Penglihatanku selalu saja seperti ini jika suasana hatiku sedang buruk. Aku selalu menangis. Kupendam dalam-dalam isakan itu sambil mengepalkan tangan. Kata-kata yang diucapkan Resha berputar di kepalaku. Aku menundukkan kepala karena merasa pusing dan kepalaku terasa berat.

Resha adalah calon pacar Sae? Hah! Wajar saja, mereka sepasang Adam dan Hawa. Itu wajar. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Lagipula, Sae adalah lelaki normal yang mencintai seorang gadis, bukan seorang lelaki gay denial sepertiku. Itu sangat mungkin terjadi.

Kuseka air mataku dalam satu kali tarikan napas ketika mendengar entak kaki mendekatiku. Buru-buru aku mengenyahkan semua jejak tangisku. Aku tidak ingin siapa pun yang datang ke arahku sekarang melihatku habis menangis. Tidak!

“Enggak apa-apa?” tanya orang itu. Suaranya jauh berbeda dari yang aku bayangkan. Aku berpikir orang yang menghampiriku adalah Sae, tapi pada kenyataanya adalah Arrani. Gadis itu menepuk pundakku pelan, kemudian menarikku untuk berhadapan dengannya.

Dengan terus mencoba bernapas senormal mungkin, aku berbalik. Saat tubuh kami sukses berhadapan, Arrani memiringkan kepalanya sedikit ke sebelah kanan. Tatapannya penuh selidik. Sementara aku sebisa mungkin bersikap normal.

 “Aku, aku keinget Ibu,” kataku tanpa menatap lagi wajah Arrani. Aku bukan tipe orang yang pandai berbohong. Aku takut ketahuan.

“Ehm, oke.” Arrani tampaknya masih diam. Aku juga tidak banyak bergerak, hanya mematung di depannya dengan tatapan mengarah ke kanstin jalan. Arrani menarik tanganku dengan kasar, lantas membawaku kembali ke kumpulan.

“Jangan sedih. Hari ini sahabatmu lagi ulang tahun. Bikin dia seneng, jangan cuma nangis di sini, Adis. Ayo!” Tubuhku tertarik begitu saja oleh gadis di depanku. Dia melangkah cepat tanpa menoleh lagi ke belakang.

       Dengan langkah ragu-ragu aku mengikutinya. Mengikuti Arrani kembali pada kumpulan, mengarah pada pusat rasa sakit yang terjadi di dadaku, menghampiri seseorang yang kini sedang tersenyum ke arahku seperti biasanya. Hanya saja, kali ini bukan manis yang kurasakan. Namun, sakit yang melesat tepat di hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status