Share

Sembilan

Sembilan

Sudah kukatakan aku tidak apa-apa ketika Arrani terus menyanyakan kondisiku yang banyak diam dan memilih duduk di bagian paling ujung samping jendela. Aku hanya sedang tidak enak badan dan memilih untuk diam saja selama perjalanan. Lagipula, tidak banyak bahan pembicaraan menarik yang ingin aku bahas. Semua menjadi begitu menyebalkan. Bahkan, Ahmad tidak berani mengganguku. Sejak keberangkatan kami beberapa menit yang lalu, si Cebol tidak sedikiat pun mengusikku. Dia mungkin paham dengan suasana hatiku, lalu memilih untuk menjauh.

Di bangku bagian depan ada Resha yang duduk tepat di samping Sae yang sedang menyetir. Di barisan kedua ada aku, Tania, Arrani dan ada si Cebol yang sedang sibuk menggoda Resha. Empat teman Ahmad berada di belakang.

Sebelum berangkat tadi, Ahmad sempat menanyakan ke mana kita akan berangkat. Sae bilang, sebuah pulau tidak jauh dari Kota Tangerang. Aku tidak sempat mendengar dengan jelas nama pulaunya, tapi jika tidak salah Sae menyebutkan kata Tidung.

Mungkin sebuah pulau bernama Pulau Tidung?

Seharusnya aku senang dengan acara ini. Liburan ke pulau, sekaligus menginap di sana dua hari, itu adalah momen yang tidak akan terjadi setiap saat. Iya, seharusnya, sih senang. Namun, aku malah merasa jutek dan kesal sendiri.

Aku tidak mau bilang jika salah satu alasan aku seperti ini adalah dengan adanya Resha di kelompok kami, tapi tidak bisa dipungkiri juga jika hal itu salah satunya. Tak habis pikir, mengapa Sae malah mengajak orang itu bersam kami.

Kuembuskan napas yang terasa berat secara perlahan, membuat kaca jendela yang kusandari berembun. Mataku lurus ke depan, menatapi tiap inci trotoar yang sedang dilewati toyota rush yang katanya milik ayah Resha.

Dari arah depan, aku bisa mendengar jika Sae sedang asik bercanda dengan Resha. Ah, lihatlah mereka, seakan-akan dunia ini hanya milik mereka berdua. Bercanda sesuka hati tanpa ingat jika di belakang masih ada orang lain yang memerhatikan!

Sesekali Tania yang duduk di sampingku menyikut pinggangku, hanya menawari camilan atau minuman. Dia bilang khawatir melihatku terdiam cukup lama. Sudah sekitar hampir tiga puluh menit lebih aku tidak banyak bicara, sementara yang lain sibuk bercanda.

“Beneran mau nginep?” tanya seseorang dari arah depan. Aku bahkan tidak harus menolehkan pandangan untuk bisa tahu siapa yang sedang bertanya. Suara itu milik gadis berambut blonde, Resha.

“Enggak lama, kok. Tiga hari dua malam.” Sae menjawab. Aku masih diam menatapi jalanan sambil mendengarkan percakapan itu.

“Harusnya kami sudah pulang ke Jakarta dalam dua hari,” ucap Resha lagi.

“Cepet amat?” Kali ini bukan suara Sae yang aku dengar. Aku bisa tahu jika yang sekarang bertanya adalah Ahmad. Dari belakang kursi yang kududuki, bisa kudengar jika empat temannya tergelak.

Hening. Tak ada jawaban dari Resha. Karena penasaran, aku menoleh ke arah depan dan mendapati Resha sedang duduk menatapi Sae sambil tersenyum. Tak lama kualihkan pandangan pada Ahmad yang masih setia menanti jawaban dari Resha. Pemuda cebol itu memasang wajah menuntut.

“Enggak apa-apa,deh lama di pulau. Aku di sana sama Sesen,” ucap Resha, mengabaikan ucapan Ahmad. Dari hal itu, terdengar lagi sorak-sorak dari arah belakang. Mereka tergelak sambil mencibir si cebol karena tidak diacuhkan.

Tak mau menanggapi hal menyebalkan lebih lama, aku lantas merogoh saku di jaket hijau yang tadi kukenakan sebelum naik mobil, lalu kucari sebuah headset dan menyalakan lagu yang cukup membuatku merasa lebih baik di suasana menyebalkan seperti ini.

Dalam satu kali tarikan napas, aku mulai kembali lagi ke posisi semula;menatap jalan dari balik jendela.

**

Mataku terbuka setelah seseorang penepuk pundakku beberapa kali. Dengan masih mencoba untuk sadar sepenuhnya, aku mulai menoleh pada sosok yang sedari tadi membangunkanku. Dalam remang,  terlihat jika Tania sedang duduk menghadap ke arahku.

“Udah sampe Muara Saban, Dis,” ucapnya sambil merapikan barang-barang, kemudian kembali menghadap ke arahku. Aku yang masih manggut-manggut karena kantuk hanya bisa menguap panjang. Dari arah belakang, seseorang menyuruhku untuk keluar.

“Iya,” jawabku sambil masih menguap. Sebentar kemudian mencabut headset yang masih terpasang dan mulai membuka pintu. Ketika kubuka, hal pertama yang dirasakan adalah hawa panas. Aku lantas membuka jaket hijau tadi dan ditaruh di samping ransel.

“Dari sini kita naik kapal,” ucap Sae. Aku masih membetulkan posisi jaket, lalu menoleh kepadanya. Ada Arrani, Resha, juga Ahmad yang sedang berdiri di depan mobil. Sementara Tania dan empat teman Ahmad baru keluar setelahnya.

“Cepet banget sampenya,” ucapku pada Kemal yang baru saja turun diikuti Tania. Dia menutup pintu cukup kencang, lalu menatapku.

“Deket, kok. Lo aja yang tidur, jadi cepet.” Dia menaikan posisi ranselnya, kemudian melenggang ke arah kumpulan. Lelaki dengan rambut ikal itu meninggalkanku.

Jika kuperhatikan dengan saksama, tempatnya masih kumuh. Muara Saban adalah tempat untuk singgahnya kapal-kapal yang membawa siapa pun orang yang mau berkunjung ke Pulau Tidung. Memang, sih tempatnya masih kumuh, tapi Muara Saban juga tempat pasokan ikan di Tangerang.

Aku mulai berjalan ke arah kumpulan dengan memegangi dua tali ransel yang terikat di punggung, melilit ke atas pundak. Tak jauh dari parkir mobil yang ditempatkan di pelataran rumah warga, aku mulai berdiri berhadapan dengan Sae. Pemuda itu tersenyum ke arahku, sementara aku hanya diam tak merespons.

“Perjalanan dari sini lumayan jauh, bisa sampe sejam lebih. Kalau lapar, mending istirahat dulu, makan,” saran Sae. Entah jenis lem apa yang mereka pakai, tapi sepertinya jenis lem apa pun itu, sukses membuat Resha tidak bisa jauh dari Sae. Gadis itu menempel di sebelah Sae sambil masih memegangi tangan kanannya.

“Eh, Centong, gua minta roti,” ucap Ahmad. Aku yang sedang berdiri melamun menatapi kemesraan Sae dan Resha lalu mengerjap beberapa kali sampai akhirnya menoleh kepada Ahmad.

“Roti apa?” tanyaku sinis.

“Lu bawa roti, kan? Gua minta.” Ahmad mulai mendekatiku. Dia meletakkan tasnya di sebelah Kemal yang masih diam memerhatikan.

“Kamu geledah isi tasku?” tanyaku sedikit ditekan. Mataku memelotot ke arahnya.

“Enggak. Gua cuma nebak aja.” Kening Ahmad dikerutkan, kemudian menahan sebuah senyum yang terlihat sedang menyampaikan pesan tersirat, dan aku merasa pesan itu sangat menggangu. Apa pun itu.

Kutolehkan pandangan pada Kemal yang terlihat mencoba menyembunyikan sesuatu. Dia mengalihkan pandangannya cepat ke arah lain.

Alis mataku naik satu sambil memasang wajah penasaran, lalu bertanya lagi, “Jawab! Kamu geledah isi tasku?” tanyaku lagi.

Ahmad menoleh pada Kemal yang berdiri di belakangnya, kemudian kembali menatapku dan merangkulku dengan kencang. “Iya, kenapa? Gua laper, jadi gua nyuruh Kemal buat nyari makanan di tas lu. Tapi, yang gua temuin malah kado isinya ....” Mataku melotot ketika mendengar itu, lalu dengan cepat menepis tangannya dari pundakku dan menyumpal mulutnya dengan lima jariku.

Bisikku, “Kenapa kamu buka? Kamu bawa bekal sendiri, kan? Ngapain geledah tasku?” Aku masih memegangi mulut Ahmad dengan satu tanganku. Dia meronta, mencoba melepaskan diri. Karena aku lebih tinggi darinya, jadi dengan leluasa kukunci tubuh si Cebol itu.

“Lepasin, Malih!” katanya meronta.

“Enggak sopan!” Aku membisikkan kata itu sedikit ditekan sambil memelotot. Ahmad menyipitkan mata, kemudian sukses melepaskan diri.

“Kenapa, sih lu? Gua cuma mau roti di tas lu.”

“Kamu juga bawa bekal. Ngapain buka punyaku?” tanyaku mengulang karena belum mendapatkan jawaban apa pun darinya.

Aku menoleh ke belakang, di sana ada Arrani, Tania, Resha dan Sae. Mereka serempak menatap kami dengan ekspresi sama. Penasaran. Merasa tidak nyaman ditatap seperti itu sekaligus tidak ingin memperpanjang masalah tidak penting, aku lalu tersenyum.

“Ayo, ke pelabuhan dulu, kapalnya bentar lagi datang. Aku udah hubungi tukang kapalnya,” ucap Sae menganggukkan kepala beberapa kali. Dia berjalan lebih dulu sambil meraih tasnya yang sempat dia taruh di dekat kaki, diikuti Resha yang berlari pecicilan. Tak lama, Arrani dan Tania menyusul.

“Eh ….” Ahmad mau angkat bicara, tapi aku melengos meninggalkannya.

“Jangan dibahas!” kataku penuh tekanan sambil mulai berjalan ke arah pelabuhan, mengikuti mereka yang sudah lebih dulu berangkat. Sesaat sebelum terlalu jauh, aku berhenti, kemudian berbalik, “Oh, ya, ini ....” Aku melepaskan tas ransel, merogoh satu roti dan melemparnya pada Ahmad, “tutup mulutmu pake ini,” kataku kemudian kembali menyusul Arrani.

Setelah istirahat sebentar sambil menunggu kapal angkutan yang datang, kami sempat memakan bekal masing-masing. Aku dan Arrani duduk di tepi pelabuhan sambil menatapi air laut. Kami banyak membicarakan hal kecil, seperti kegiatan di sekolah yang cukup melelahkan sampai kisah cinta Arrani yang kupaksa untuk bercerita.

Gadis bersifat tegas itu terkadang bisa menjadi menyenangkan ketika diajak bicara santai. Dia menjadi pribadi yang lain di saat-saat tertentu. Seperti sekarang, Arrani membicarakan kisah cintanya saat masuk organisasi. Aku hanya diam mendengarkan.

Tak jauh dari tempat kami duduk, ada Sae yang juga sedang mengobrol dengan Resha. Aku tidak tahu mengapa gadis itu terus saja menempel kepadanya. Sungguh, mereka tidak memedulikan kami yang juga ikut berlibur. Merasa dunia milik berdua saja.

Kupandangi juga Tania, Ahmad dan empat teman lainnya sedang sibuk berfoto-foto di pelabuhan.

Dalam embusan napas berat, aku mencoba kembali menatap air laut. Di tengah pandanganku menatap ke ujung lautan, terlihat sebuah kapal warna putih dengan polet body merah datang ke arah pelabuhan. Kontan saja aku berdiri dan seketika semangat terbakar dalam diri.

Aku jadi ingin segera sampai di pulau.

**

Embusan angin menerpa halus pipiku, menerbangkan helai demi helai rambut hitam yang terkulai menutupi sebelah mata. Aku berdiri sambil menghirup angin laut cukup panjang. Tercium udara segar bercampur aroma garam yang masuk ke lubang hidung.

Aku merentangkan tangan sambil sesekali terpejam di bagian depan kapal.  Deru mesin masuk ke gendang telinga, bergantian dengan gemuruh air yang beradu tertabrak badan kapal.  Berdiri sendiran di bagian paling depan menjadikanku orang paling bebas dan berkuasa sekarang. Aku bisa melakukan apa pun sesukaku.

Dengan masih merentangkan tangan, aku mulai menutup mata lagi. Kurasakan embusan angin yang melajut cepat. Di sela-sela itu semua, tanpa kusadari, sesuatu terikat di tubuh bagian bawahku, mencengkram dengan erat seolah-olah tidak ingin dilepaskan.

Aku terbelalak, lalu menatap ke bawah dan mendapati dua lengan panjang yang saling bertautan memeluk tubuhku yang larut dalam sebuah pelampung warna oranye.

“Eh?” Aku menurunkan kedua tangan, kemudian mencoba melepaskan pegangan tangan di tubuhku sambil berusaha menoleh ke belakang.

“Tetaplah seperti ini untuk beberapa saat dan jangan bergerak!” bisik orang itu dari belakang. Embusan napasnya yang hangat terasa menyentuh belakang telingaku, membuatku sedikit bergidik.

“Sae?” tanyaku. Kali ini aku terdiam, memegani kedua lengannya yang melingkar di pinggangku.

“Lepasin, malu sama yang lain,” kataku, kemudian mencoba lagi untuk melepaskan diri.

“Aku bilang tetaplah kayak gini buat beberapa saat,” bisiknya sedikit keras sambil mengeratkan pelukannya. Aku yang tidak bisa melawan lantas menurut dan mulai menyerah, menurunkan kedua tangan ke bawah.

“Jangan tegang. Enggak bakal ada yang lihat, kok.” Kami sekarang sedang berdiri di bagian depan kapal, tepat di balik pagar besi. Pandanganku lurus ke hamparan air yang ada di hadapanku. Menyadari posisi kami yang sekarang seperti ini, membuatku teringat pada film Titanic. Aku merasa menjadi Rose dan Sae adalah Jack-nya.

Ludahku meluncur cepat ke tenggorokan. Pelukan Sae semakin erat dan mengantarkan sebuah aliran hangat yang membuat tubuhku merasa nyaman.

“Selamat ulang tahun,” ucapku di sela-sela tegang yang sedari tadi dirasakan. Aku masih berdiri dengan kedua tangan terkulai lemas ke bawah. Sementara Sae masih memelukku. Kurasakan wajahnya dia benamkan di tengkuk. Geli, merinding.

Dia tidak menjawab.

“Selamat juga atas pacar barunya,” lanjutku sambil menarik napas panjang setelahnya. Sae masih diam tak menjawab. Tanganku mulai mengepal. Untuk beberapa saat, tidak ada percakapan dari kami berdua. Benturan air dengan badan kapal semakin keras seiring semakin cepatnya laju kapal.

“Di hari spesialmu, aku enggak bisa ngasih apa-apa. Aku enggak bisa bikin kebahagiaan apa pun buat kamu .... “ Aku mengantung ucapan sambil berusaha untuk menyampaikan sisa kalimat barusan. Kutelan lagi ludah dengan kasar, lalu mengucap pelan. “Sahabatku.”

Setelah ucapan itu, Sae melonggarkan pelukannya. Itu membuatku sedikit lega karena bisa bernapas dengan bebas. Di sisi lain aku merasa tidak enak, merasa ucapanku salah dan membuat Sae marah sampai-sampai melepas pelukannya. Aku menunduk.

“Adis,” ucap Sae setelah beberapa saat terdiam. Aku kembali mengangkat pandangan. “Bicara yang bener,” katanya, membuat keningku berkerut.

Aku mencoba membalikan badan untuk menatap wajahnya yang sedari tadi berdiri di belakangku. Dengan perlahan sambil berusaha bernapas tenang, aku mulai melangkah, mengambil jalur kanan dan dalam hitungan beberapa detik saja sudah berhadapan dengan Sae.

Pemuda itu tersenyum ke arahku. Kemeja pantai warna hitamnya sangat kontras dengan kulitnya yang putih. Belum lagi celana pendek sebatas lutut warna krem yang menambah kesan keren pada Sae.

“Bicara yang bener. Kamu itu pacarku,” jelasnya, kemudian mencengkram satu tanganku. Aku terkesiap dengan semua itu. Tiba-tiba saja seperti ada yang menghantam dadaku, membuatku kaget setelah Sae mengatakan itu.

“Pa-pacar?” tanyaku gugup sendiri. Sae masih memegangi tanganku. Tatapannya lurus pada manik cokelat yang kumiliki.

Tak berselang lama, dia mengangguk. “Bukannya kita udah jadian?”

“Ka-kapan?” Aku semakin gugup.

Sae mengangkat lagi satu tangan kirinya dan meraih tangaku yang lain. Aku terdiam, membiarkan Sae melakukan itu kepadaku. Dan dalam detik berikutnya, kedua tangan kami sudah bertautan. Tatapan saling ikat.

“Kamu lupa?”

Otakku mencoba menggali semua hal yang pernah kulalui dengan Sae, mencari di mana potongan memori saat Sae benar-benar menjadikanku pacarnya. Saat dia resmi menyatakan cintanya kepadaku. Di tengah kebingungan dan ragu-ragu, aku mengangguk pelan. Pemuda itu hanya tersenyum.

Untuk waktu yang cukup lama, mata kami masih terikat, sebentar kemudian aku mulai memalingkan pandangan ke sisi lain. Sae yang tidak ingin hal itu terjadi, lalu beranjak dari diamnya, mulai melangkah satu kaki, menaiki satu undakan di pijakan badan kapal untuk bisa berdiri denganku di lantai yang sama. Ketika tangan panjang Sae meraih pipiku, kontan saja aku menoleh, dan melihat dia mulai mendekat.

“Sekarang kamu pacarku, kan?” Dia mengucapkan hal itu sambil meluruskan pandanganku untuk menatapnya.

Meski sebenarnya ragu, aku tetap menganggukkan kepala pelan.

“Kamu ingat kan?” tanyanya lagi. Entah mantra apa yang dia punya, tapi itu sukses membuatku mengangguk lagi.

“Boleh aku cium kamu? Sepasang kekasih biasa melakukannya, kan?” tanyanya, membuat wajahku memanas. Detak jantung berdegup sangat kencang. Aku tak lagi bisa membedakan bunyi mesin yang menyala di kabin kapal dan gemuruh air yang tertabrak badan kapal. Dan, jika saja aku bisa melihat wajahku dalam pantulan cermin, aku yakin wajahku merah sekarang.

Sae melangkah mendekat, kemudian sukses berdiri di depanku dengan tangan yang masih bertautan dengan tanganku. Tubuh jangkungnya sukses membuatku mendongkak hanya untuk menatap wajahnya. Cahaya matahari menyilaukan pandanganku pada fokus wajah Sae. Aku menyipit, kemudian dia menggerakan kepalanya ke sebelah kiri, menutupi cahaya matahari yang menyoroti mataku.

Dari balik bayangan aku bisa melihat Sae tersenyum, meski hanya remang-remang. Tak lama setelah itu, dia mulai bergerak, mendekatkan wajahnya kepadaku. Tangan kanannya menyentuh pipi kiriku, lalu memiringkan wajahnya ke sebelah kiri. Menyadari wajah Sae semakin dekat, aku mulai memejamkan mata. Kerutan di keningku makin keras terasa. Dalam hati aku berhitung dari satu sampai tiga, mencoba mengurangi ketegangan dalam diri. Aku belum pernah berciuman sebelumnya. Apalagi sekarang yang akan menciumku adalah seorang lelaki.

Kutarik napas panjang dan kutahan lama sekali. Dengan terus mengulang satu sampai tiga, aku makin mengeratkan kepalan tangan.  Tepat setelah aku menyebutkan angka tiga, ada sesuatu yang lembut menempel di bibirku. Pecah! Napas yang sedari tadi kutahan itu pecah sudah. Bibir tebal Sae sukses mendarat di bibirku. Uratku menegang. Dalam beberapa detik ke depan bibir kami masih bertabrakan, hingga akhirnya kuberanikan diri untuk membuka mata di tengah-tengah ciuman hangat itu berlangsung.

Mataku terbelalak ketika kedua manik cokelatku mendapati sosok cebol berambut jambul udang yang berada di hadapanku. Senyumnya merekah sambil mencoba menahan tawa. Aku yang kaget dengan hal itu lalu menggeleng dan menutup bibirku dengan tangan kiri. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Tawa pecah begitu saja ketika aku mulai panik.

“Kocak, anjay.” Ahmad tergelak di dekatku. Menyadari aku sedang terbaring, aku mulai beranjak bangkit dari posisi tiduran. Kulihat Ahmad berdiri tak jauh dariku sambil memegangi satu ikan di tangannya.

“Sialan,” umpatku, kemudian mengusap bibir dengan tangan.

“Mimpi cipokan sama siapa lu?” tanya Ahmad yang masih tertawa.

Aku menoleh pada Arrani yang terduduk di sampingku, dia juga tertawa. Kulihat semua orang yang ada di kabin kapal tertawa.

“Aku, kok ...” Kepalaku terasa pusing. Aku memijat pelipisku pelan.

“Kamu tadi mabuk laut, terus pingsan,” kata Arrani. Di tangannya ada freshcare. Kutarik tanganku dan mencium salah satu jari yang tadi kugunakan untuk memijat pelipis. Sepertinya selama aku pingsan, Arrani yang merawatku.

“Aku pingsan?” tanyaku.

“Anak Mami,” ucap Kemal. Dia duduk dekat jendela bersama Gugun, Zamil dan juga Agung.

“Masih pusing?” tanya Sae. Sontak saja aku menoleh pada sumber suara. Kulihat pemuda itu sedang duduk di dekat Tania yang tak jauh dari pintu masuk kabin. Ada Resha yang sedang asik menyantap roti.

Aku hanya menggeleng menjawab pertanyaan Sae. Aku memejamkan mata sebentar, mencoba mengingat semua kejadian yang kualami tadi.  Aku menerka, apakah semua itu asli? Atau hanya mimpi ketika aku tak sadarkan diri?

Ciuman itu, aku merasakannya saat bibir tebal Sae menempel di bibirku. Sensasinya terasa sangat nyata. Ludahku meluncur lagi dengan cepat ketika ekor mataku menatap Sae yang kini mulai mengobrol dengan Tania. Kulihat bibir tebalnya, membuatku kembali menelan ludah.

      Aku menggeleng pelan, berusaha mengenyahkan semua ingatan yang tadi terjadi. Berharap semua itu tak pernah benar-benar terjadi. Aku dan dia ciuman!

**

Aku memutuskan untuk memisahkan diri. Katanya perjalanan hingga sampai di pulau masih ada sekitar beberapa puluh menit lagi. Aku tidak mau terus-menerus merasa pusing dan sumpek, akhirnya kuputuskan untuk ke luar mencari tempat paling nyaman di kapal.

Aku sekarang berdiri sendirian di bagian paling depan, tepat di balik pagar besi. Tempat ini sangat cocok dengan yang ada di mimpiku tadi. Kulihat air di depan sana menampilkan warna biru gelap yang memesona. Di sela-sela keterkagumanku, aku menarik napas panjang, lalu menghirup aroma segar bercampur garam sambil memejamkan mata. Aku merentangkan tangan lebar-lebar, kemudian mendongkak ke atas.  Nyaman sekali.

Aku membayangkan kejadian di mimpi itu sekarang, berharap jika ketika melakukan ini, Sae benar-benar datang kepadaku. Dia akan menghampiriku dan memelukku dari belakang, persis seperti di mimpi tadi. Aku tersenyum ketir, lalu terkekeh-kekeh sendirian. Mengingat semua khayalan dan angan-angan menyedihkan itu membuatku tertawa sendiri. Sekarang, aku bagai orang bodoh yang terlalu berharap tinggi. Mana mungkin seorang Sae datang padaku dan memelukku dari belakang sambil bilang kalau aku ini pacarnya!

Dan, khayalan paling tinggi, dia menciumku. Bangun, Adis! Ini sudah siang.

Untuk beberapa saat aku masih terpejam dalam posisi yang sama sambil terkekeh-kekeh, tertawa untuk diriku yang terlalu berharap ini. Dalam gemuruh air yang tertabrak badan kapal, aku dapat mendengar suara langkah kaki. Mataku terkesiap terbuka sambil menurunkan kedua tangan. Aku menelan ludah dengan kasar secara tiba-tiba.

Semakin lama, langkah itu semakin dekat. Hal bodoh yang kuyakini sekarang, orang yang sedang berjalan ke arahku adalah Sae. Ah, dia benar-benar datang kepadaku. Apa dia juga akan memelukku?

Aku terdiam, begitu juga dengan langkah kaki di belakangku, membuat keningku berkerut. Untuk beberapa saat, hanya bunyi air yang terdengar. Aku masih diam. Tak lama, orang itu berdeham. Kontan saja aku menaikan satu alis mata ketika tahu pemilik suara dari orang yang ada di belakangku bukanlah Sae. Aku kenal suara Sae, dan kali ini berbeda.

“Cetta?” Orang itu menyebut namaku. Aku masih belum menolehkan pandangan atau pun berbalik. Cetta katanya? Tak ada yang memanggilku seperti itu selain si Cebol. Itu pun, dia memanggilku Centong.

“Aku boleh ke sana?” katanya lagi. Kali ini aku mulai penasaran. Dengan perlahan aku berbalik. Ketika aku menoleh, lelaki itu sedang berdiri sambil memasang senyum canggung.

“Ke-kemal?” tanyaku.

Pemuda berumur tak jauh dariku itu masih berdiri. Rambut ikalnya sedikit bergerak ketika diterpa angin laut. Dengan dipaksakan, dia mencoba tersenyum lebar, menunjukan sebelah giginya yang patah.

“Ada apa?” tanyaku.

“Ada yang ingin aku tanyakan. Boleh aku ke situ?”

“Tentu.”

Dia melangkah mendekatiku, membuat kami berdiri berhadapan. Tak lama aku mulai membalikkan badan, lalu menoleh ke depan, menatapi hamparan air laut. Ternyata Kemal melakukan hal yang sama sepertiku.

“Jadi, ada apa?”

“Ini enggak penting banget sebenernya. Tapi, gue ngerasa harus tanyain ini sama lo. Dan, gue rasa lo bisa bantu gue dalam hal ini,” jawabnya sambil memegangi pagar besi di depannya. Aku yang mendengar ucapan itu hanya diam tidak merespons.

“Gue lihat lo deket banget sama Sae. Terlalu deket malah. Apa kalian ....” Dia menatapku dengan tatapan menelisik, membuatku merasa tidak enak dengan perkataanya, lalu menelan ludah pelan sambil membalas tatapannya.

“Kamu tahu sendiri kalau Sae itu sahabatku. Jelas kami dekat. Aku juga lihat kamu sama si Cebol, eh, Ahmad maksudku, dekat. Kalian juga dekat.”

“Gue tahu. Tapi, kedekatan kalian bagi gue berbeda.”

“Ehm. Bagaimana maksudnya?” tanyaku masih pura-pura tidak mengerti. Dia terlihat bingung untuk bertanya sambil sesekali menoleh dan tersenyum kaku.

“Kalian terlalu dekat. Itu aja.”

“Ehm.”

“Oh,ya, omong-omong, lo bisa bantu gue?” tanya Kemal. Pemuda berwajah tirus dengan rambut ikal itu membalikan tatapannya padaku setelah sebelumnya memandangi pagar.

“Tergantung. Bantu apa dulu, nih?” kataku sambil menaikkan alis mata.

Dia menoleh, kemudian berbisik padaku mengutarakan semuanya. Aku yang mendengar ucapan itu terbelalak, kemudian hampir menjauhkan diri dari Kemal yang masih berdiri di tempat semula.

“Bisa?” tanyanya dengan senyum seringai. Ada aura licik yang dia tampilkan.

Aku terdiam sambil menggigit bibir bawah karena merasa tidak tahu harus bagaimana merespons. Apa yang baru saja dia katakan? Serius aku harus melakukannya?

“A-aku enggak bisa,” jawabku sambil bergegas kembali ke dalam kabin sambil mengangguk pamit pada Kemal yang masih berdiri. Pemuda itu masih tersenyum sinis. Aku yang tidak mau berurusan dengannya lalu berlari secepat mungkin.

“Pikirkan dua kali!” teriak Kemal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status