Share

Sepuluh

Sepuluh

Embusan angin malam cukup membuatku menggigil. Satu dua kali aku menggosok telapak tangan, mencoba menghangatkan diri dari cuaca yang tak mengenakan ini. Jaket hijau yang tadi dipakai saat perjalanan, sudah menempel lagi di tubuhku.

Sebuah papan berukuran tujuh puluh kali satu meter terbuat dari kayu yang diraut tipis dijadikan sebuah meja berdiri di hadapanku. Bagian tengah kayu tersebut dibuat bolong untuk memberi celah pohon kecil yang menjadi kaki meja itu sendiri. Di sisi kanan dan kirinya ada bilah kayu lainnya yang dijadikan kursi. Di kursi itulah aku duduk sendirian, mataku lurus pada air laut malam hari.

Tadi siang sebelum kapal kami sampai di pelabuhan, kata Arrani aku kembali pingsan. Tak banyak yang aku ingat hal apa saja yang terjadi sebelum pingsan itu. Namun, yang jelas, ketika aku tersadar sudah ada di penginapan.

Rumah bercat ungu dengan keramik lantai warna cokelat di belakangku ini adalah homestay yang berhasil didapatkan untuk acara liburan kami tiga hari ke depan. Bangunan memanjang itu memiliki empat pilar sebagai penunjang bagian depan kanopi. Dinding setinggi enam puluh sentimeter berbentuk balok sengaja dibuat untuk tempat duduk. Belum cukup indah dengan dekorasi tersebut, si pemilik menambahkan tanaman hias yang ditaruh sepanjang rabat rumah dari ujung kanan hingga ujung kiri.

Teman-temanku belum banyak melakukan kegiatan. Selain karena aku yang baru sadar setelah pingsan tadi, mereka juga masih terlalu lelah untuk beraktivitas. Tak jauh dari bangku kayu yang kududuki, ada sebuah saung tepat di samping laut. Di saung itulah mereka sedang beristirahat sambil becanda. Lima sampai enam buah sepeda warna biru dengan keranjang besar terparkir rapi di depan saung. Fasilitas itu memang disediakan untuk kami.

Duduk di bawah pohon sambil memandangi air laut, aku anteng memainkan ponsel. Aku sedang menanyakan bagaimana kabar ibu di kampung. Dua hari ini dia tak ada kabar. Aku juga mulai merindukannya.

Tadi siang saat kami di Muara Saban sebelum naik ke kapal, aku sempat melihat sepasang kekasih dengan satu gadis kecil yang sedang menunggu kapal. Melihat hal itu, mendadak membuat hatiku sakit. Aku jadi teringat pada Ayah dan Ibu yang sempat bertengkar malam itu. Kenapa Ayah bisa bertindak seperti itu di saat Ibu selalu ada di sisinya? Selalu setia menantinya? Ah, aku tidak habis pikir. Apa semua hubungan akan berakhir seperti yang terjadi dengan kedua orangtuaku? Apa semua lelaki suka dengan selingkuh?

Perpisahan itu ternyata memang menyakitkan. Lebih menyedihkan dari isi pidatoku tentang perpisahan kelas tiga waktu itu. Aku mengembuskan napas berat setelah mengingatnya. Aku kembali memainkan ponsel sambil sesekali menoleh ke arah laut. Ponselku berkedip, menampilkan sebuah pesan di line. Itu pesan dari Sae. Aku terkesiap, lalu dengan cepat menoleh ke arah saung. Di sana ada Sae yang sedang menunduk memainkan ponsel.

Saelandra : Ada masalah?

Adis : Enggak. Enggak ada. Kenapa?

Tidak lama Sae menjawab lagi.

Saelandra : Aku mau ajak kamu keliling pulau pake sepeda. Mau?”

Masih dengan posisi sama sambil menatapi layar ponsel dan membuka Line, aku terdiam menunggu. Sesekali aku melempar pandangan ke arah saung, menatapi pemuda itu sedang asik membalas. Tidak lama, line berbunyi lagi.

Saelandra : Mau?

Adis : Enggak tahu. Terus, yang lain ikut juga?

Saelandra : Kita aja berdua. Aku akan ke sana sekarang.

Aku tidak membalas lagi, lalu menutup line dan mematikan layar ponsel. Kulihat Sae bangkit dari duduknya, lalu memasukan ponsel dan mulai melangkah meninggalkan tempatnya.

Aku yang masih duduk sambil melihat hal itu sempat beradu pandang dengan Sae, membuatku dengan cepat membuang tatapan ke arah laut. Aku pura-pura tidak peduli. Tidak lama, terdengar bunyi berisik dari besi sepeda yang berbenturan. Aku menoleh, mendapati dia sedang berusaha mengeluarkan satu sepeda.

“Ayo!” ajaknya setelah sampai di depanku. Aku hanya memerhatikannya sejak tadi, sampai membuatku tidak sadar jika dia sudah berada di depanku dengan sepedanya.

Aku mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya bertanya, “Beneran cuma berdua?”

“Iya. Kita berdua,” jawabnya sambil tersenyum.

“Ini cuma satu sepeda? Atau aku naik di belakang?” tanyaku memastikan. Sae memutar bola mata tampak jengah, lalu mengembuskan napas pelan, setelahnya mengangguk.

“Tapi ....”

“Udah, naik aja!” Dia menepuk jok belakang beberapa kali, menyuruhku untuk duduk di sana, sementara dirinya sudah mantap duduk dan menatap ke depan. Aku beranjak dari duduk, lalu memasukan ponsel ke saku celana dan mulai melangkah meninggalkan bangku kayu.

Namun, saat aku akan duduk di sana, tiba-tiba saja sebuah tangan dengan cepat mendarat di jok yang akan kududuki. Aku terkesiap, lalu menoleh ke pemilik tangan itu dan mendapati Resha sedang berdiri terbungkuk.

“Kamu enggak ajak aku naik sepeda, Sesen!” katanya sambil memelotot kepada Sae, lalu tatapan matanya teralih kepadaku. “Aku yang akan naik sepeda sama Sesen.” Dia tersenyum kepadaku, kemudian mulai duduk tanpa permisi. Aku mundur, membiarkannya duduk di sana.

“Eh, Resha?” tanya Sae sambil menoleh ke belakang.

“Ayo, keliling sebelum malam,” ucap Resha manja. Dia membenamkan wajahnya di punggung Sae dan kedua tangannya yang berbulu itu tertaut di pinggang Sae. Aku hanya bisa terdiam menyaksikan.

Sae menoleh kepadaku, membuatku memalingkan pandangan ke arah lain, menatap pada teman-temanku yang masih terduduk di saung. Terlihat Arrani menoleh kepadaku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan. Tidak lama dia bangkit dan berjalan ke arah kami diikuti yang lain.

“Kalian mau keliling pulau pake sepeda, ya?” tanya Arrani.

“Rencananya, sih gitu,” jawabku pelan. Arrani mengangguk, kemudian melenggang lagi pada tumpukan sepeda. Tampaknya dia tertarik untuk bergabung.

Tidak lama setelah salah satu sepeda dia tarik keluar dari barisan, Arrani menoleh kepadaku. “Ikut aku, Adis! Sini!” katanya sambil melambaikan tangan menyuruhku mendekat.

“Aku sama kamu di situ?” tanyaku sambil menunjuk diri sendiri dengan tampang bodoh.

“Iya, Bawel. Kamu sama aku aja sini. Buruan naik!” jawabnya sambil menepuki jok belakang seperti apa yang Sae lakukan tadi. Tidak mau membuang waktu dan membiarkan kecanggungan berputar cukup lama, akhirnya aku menyerah mendekati Arrani.

“Kenapa?” tanyaku pelan.

“Apanya yang kenapa? Bukannya kita ke sini buat liburan, ya?” jawabnya.

Aku tidak menjawab, lalu melenggang ke belakang dan duduk di jok dengan nyaman. Ada rasa malu yang menyeruak ke atas kepala ketika menyadari kejanggalan. Aku seharusnya yang berkendara dan bukan Arrani.

“Jadi, ke mana kita mau bersepeda?” tanya Arrani pada Sae yang sudah siap mengayuh pedalnya. Namun, terhenti karena suara Ahmad menginterupsi.

“Kami ikut,” kata Ahmad tiba-tiba saja berdiri di sampingku sambil menaruh kedua tangan di dada. Dia memakai kaus oblong warna cokelat. Apa dia tidak kedinginan.

“Kamu sama Tania, Mad?” tanya Sae. Dia masih duduk sambil menoleh pada Ahmad yang berdiri di dekat empat temannya.

“Iya, kamu sama aku, Tan.” Ahmad menyetujui. Sementara keempat temannya tergelak sambil men-cie-kan tindakan Ahmad barusan.

Setelah semua berpasangan, akhirnya kami memutuskan untuk berkeliling pulau dengan sepeda. Diawali dengan Sae yang sudah memelesat di depan, kemudian Arrani, Ahmad dan empat temannya di belakang.

Saat Arrani mengayuh pedal sepeda, aku hanya diam menatapi air laut sepanjang jalan setapak sambil menikmati sensasi sejuk dari angin malam hari. Ban sepeda yang Arrani naiki berputar di atas jalan kecil yang membawa kami pada sebuah tempat bernama Jembatan Cinta.

Malam ini langit sedang dalam kondisi cerahnya, membuat bintang di angkasa terlihat jelas sekali. Kedua bola mataku memelotot mendapati milyaran cahaya yang kutangkap dari bawah sini. Ini sungguh pemandangan yang luar biasa. Tanpa awan sedikit pun.

Aku terus mendongkak menatapi bintang-bintang, sementara pikiranku berputar mengingat Sae. Andai saja yang sedang mengayuh sepeda ini adalah Sae dan bukan Arrani, rasanya akan berbeda dengan sekarang. Akan sangat romantis untukku.

Sesekali kualihkan pandangan pada sepeda yang melaju di depan kami. Di sana ada Sae yang sedang bercanda dengan Resha. Gadis berambut cepol itu sedang memeluk Sae dari belakang sambil mendongakkan pandangannya ke langit, menatapi bintang-bintang di angkasa. Ah, sungguh mereka romantis sekali.

Melihat hal itu membuatku merasa tidak nyaman. Seakan-akan ada sesuatu yang berputar dalam tubuhku dan memelesat cepat ke atas, menghantam bagian dada. Aku merasa sesak sendiri. Tak mau lama-lama menyaksikannya, kemudian kualihkan pandangan ke sisi lain menatapi laut malam hari.

Selama perjalanan menuju Jembatan Cinta, terdengar gesekan daun kelapa yang tertiup angin. Arrani anteng mengayuh, sementara aku sedang berusaha untuk tidak menangis.

       **

Tidak memakan waktu lama, akhirnya kami sampai di sebuah jalur kecil yang terbentang lurus ke depan, tepat ke sebuah jembatan yang melengkung. Tanpa membuang waktu Arrani mengayuh lagi pedal sepedanya mendekati jembatan tersebut.

“Namanya Jembatan Cinta?” tanyaku.

“Terkenalnya, sih gitu. Katanya itu jembatan cinta,” jawab Arrani sambil masih fokus pada kayuhan pedalnya.

“Kenapa?”

“Apanya yang kenapa?”

“Namanya. Kenapa namanya Jembatan Cinta?”

“Ya, karena banyak yang pacaran,” jawabnya singkat. Aku mengernyitkan dahi lalu menolehkan pandangan pada jembatan sambil memiringkan kepala sedikit.

“Sesederhana itu?” tanyaku yang masih dilanda penasaran.

Arrani tidak menjawab, malah mempercepat kayuhannya dan berteriak sekencang-kencangnya. Aku terkejut bukan main mendapati hal itu. Entah karena hal apa dia berteriak, tapi itu cukup mengganggu.

Jika dilihat dengan saksama, tidak ada orang lain yang datang ke jembatan malam ini, hanya ada kami saja yang berkunjung. Setelah sampai, Arrani menyuruhku turun dan menaruh sepedanya asal. Dia berlari ke arah jalan yang melengkung tinggi, lalu menjerit lagi sambil merentangkan kedua tangan.

“Dia seneng banget keliatannya,” kata seseorang dari arah samping. Aku yang berdiri menatapi Arrani kemudian menoleh dan mendapati Sae sedang berdiri di sampingku. Dia memakai jaket parasut warna marun sambil tersenyum padaku.

“Ehm, ya. Seneng banget.”

“Kamu seneng?” tanyanya lagi. Sebelum sempat kujawab, aku melangkah menghindarinya dengan berjalan menuju pagar besi yang dicat warna merah muda, lalu menatap ke arah air laut sambil memegangi pagar itu pelan.

“Ada apa?” Pertanyaan pertama saja belum sempat kujawab, Sae sudah menanyakan hal lain. Dia lalu berdiri di sampingku dengan posisi sama.

“Enggak ada apa-apa.”

“Hari ini kamu aneh,” katanya sambil menaruh kedua tangannya di dada, lalu berbalik, menyandarkan punggungnya di pagar besi.

“Enggak. Aku biasa aja.”

“Kamu bukan tipe orang yang biasa berbohong, Adis. Kamu lagi enggak jujur sekarang. Ada apa?”

“Apa, Sae? Ada apa? Aku enggak apa-apa,” jawabku masih menatap air laut, tanpa berani menatap wajahnya. Riak air terlihat, menggerakan pantulan cahaya lampu jembatan. Pendar sewarna kuning merekah, menyeruak dalam air.

“Aku ajak kamu ke sini supaya kamu seneng.”

Aku menarik napas pelan, kemudian diembuskan sambil mencoba berbalik menatap Sae yang ada di sampingku. “Aku senang, kok. Terima kasih,” kataku sambil tersenyum, lalu membuang lagi pandangan ke laut. “Aku duluan, ya.” Sebentar kemudian mulai beranjak, melangkah meninggalkannya sendirian. Aku berlari secepatnya ke arah Arrani yang sedang difoto oleh Tania di bawah tiang lampu.

“Ikutan, dong,” ucap Ahmad sambil berlari ke arah Arrani sebelum aku sampai. Dia mencoba merangkul gadis berhijab itu dengan satu tangan, tapi dengan cekatan Arrani menangkis tangan Ahmad dan menaruh kedua tangannya di pinggang.

“Mau aku tampar pake selop?” tanyanya, membuat Ahmad merengut kesal, lalu mundur karena takut oleh tatapan iblis Arrani.

“Sakit, kan?” tanya seseorang dari arah belakang, memaksaku menoleh dan mendapati Kemal berdiri tak jauh dariku. Dia menaruh kedua tanganya di depan dada sambil melenggang pelan padaku.

“Apa?” tanyaku. Aku merasa malam ini sedang ketus. Entah apa yang terjadi, tapi semuanya terasa menyebalkan. Mood-ku hancur begitu saja. Sialan.

“Lihat orang yang disukai sama yang lain,” jawab Kemal sambil menurunkan tangannya, lalu melangkah ke arahku dan merangkulku sambil berbisik pelan. “Lebih sakit lagi pas tahu semua harapan adalah ketidakmungkinan.”

Mendengar kalimat itu dari mulutnya membuatku terbelalak terkejut, kemudian mencoba menepis rangkulan tangannya di pundakku dan mendorongnya dengan kencang.

“Apa maksud kamu?” tanyaku penuh penekanan. Kemal hanya mengangkat bahunya sambil memutar bola mata. Gigiku bergetar. Aku mengepal erat mendengar perkataanya.

“Tahu, deh. Pikir aja sendiri,” jawabnya sambil menggeleng. “Oh, ya, gue cuma mau ingetin soal itu. Gue harap lo pikirkan dua kali sebelum sesuatu yang ….” Kemal menggantung ucapannya sambil mengedikkan bahu pelan, “Ya, lo tahu sendirilah.”

Napasku memburu dan pundakku turun-naik semakin kencang. Kepalan tanganku semakin erat, sudah siap dilayangkan jika saja seseorang tidak menepuk pundakku. Aku berhenti sebelum rencana meninju pipi Kemal dijalankan.

“Lo enggak keberatan kalau dia sama gue, kan?” kata Sae pada Kemal yang kini terdiam dengan wajah kesal. Sae melenggang melewati Kemal, lalu merangkulku dan membawaku menjauhi Kemal.

“Ayo kita nyebrang ke jembatan lengkungnya,” ucap Sae sambil menarikku mendekati jembatan di depan. Aku yang masih mencoba untuk mereda tidak bisa menahan ajakan Sae dan hanya menurut ke mana dia membawaku.

“Trims,” ucapku, membuat Sae berhenti dan menoleh ke arahku.

“Buat?”

“Karena udah bawa aku lari dari Kemal,” jawabku sambil menoleh ke belakang, menatap pada Kemal yang sekarang sudah bergabung dengan teman-temannya.

“Udah, enggak usah dipikirin. Kita ke sana, kan?” ajaknya. Aku hanya mengangguk mengiakan.

Dia pun kembali berlari di depan dengan satu tangan memegangi lenganku. Perlahan amarahku mereda. Aku mengembuskan napas sambil terus berlari di belakangnya. Sedikit demi sedikit bibirku tertarik ke samping, mulai tersenyum.

Lihatlah, tangan panjangnya meraih lenganku. Dia membawaku berlari di bawah milyaran bintang tepat di atas jembatan cinta. Sebuah tempat yang erat kaitannya dengan kisah romansa.

“Kamu tahu kenapa dinamakan jembatan cinta?” tanya Sae saat berhenti berlari dan menoleh ke arahku.

Aku menggelengkan kepala pelan sebagai jawaban. Dia tersenyum, lalu melepas tangannya dariku. Saat ini kami berada tepat di mulut jembatan lengkung. Satu langkah lagi saja kami siap mendaki lengkungan.

“Eh, aku tahu,” kataku setelah terdiam cukup lama.

“Apa?”

“Karena ini tempat orang pacaran?” tanyaku memastikan, lebih seperti mengulang penjelasan Arrani beberapa saat lalu.

Sae tergelak, lalu enggeleng pelan sambil berjalan ke arah pagar warna merah muda. Pipa-pipa besi yang menjadi pagar itu dibuat dengan warna yang memiliki arti kuat untuk sebuah percintaan.

“Terus, apaan, dong?” tanyaku sambil menaikkan satu alis mata.

“Begini,” katanya sambil membalikan badan dari pagar dan menatapku. Dia merentangkan kedua tangannya, merasakan terpaan angin malam. Matanya terpejam sebentar, lalu kembali menatapku setelahnya. “Ini adalah jembatan yang konon bisa membuat sebuah pasangan jadi langgeng. Barang siapa yang berjalan melewati jembatan sambil bergandengan tangan, maka hubungan mereka akan abadi,” jelasnya diiringi senyum manis.

“Apa hubungannya?” kataku tidak mengerti. Kutaruh kedua tangan di dada sambil memiringkan kepala sedikit ke kanan.

“Hubungannya? Ya, karena jembatan ini selalu mengabulkan harapan pasangan yang pacaran, makanya namanya Jembatan Cinta. Terlepas dari benar atau enggaknya mitos itu. Tapi, mitosnya tetap berjalan sampai sekarang.”

“Kenapa enggak kamu coba?” tanyaku memasang senyum sinis saat bertanya. Sae menaikan satu alis mata, kemudian melangkah ke arahku.

“Mencoba menyebrang?” katanya sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku, membuatku salah tingkah dan merasa panas-dingin.

“Ka-kamu mau coba nyebrang ke sana ba-bareng aku?” tanyaku gugup. Aku sama sekali tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak gerogi.

“Hmm, bukan ide buruk. Kamu mau nyoba nyebrang temenin aku ke sana?”

Aku tersentak lagi dengan pertanyaannya. Mataku bergerak gelisah ke segala arah, mencari sesuatu yang bisa kugunakan sebagai pegangan dalam ketidakmampuanku menghadapi situasi ini.

“A-aku enggak tahu. Mungkin bukan ide bagus,” kataku gugup. Dia terlihat menahan tangannya di udara saat akan meraih lenganku lagi. Kutangkupkan kedua tangan di depan perut, menggosok sikut yang terasa dingin. Padahal aku pakai jaket.

“Mau? Halah, mau aja, ayo!” Dia mulai menggerakan tanganya dan siap meraih tanganku. Namun, ketika aku akan merespons dan meraih tangannya, seseorang menabrak kami dan membuat sebuah jarak antara aku dan Sae. Orang itu berlari kencang dan berhenti setelah sukses mengacau.

“Sesen, kata si Pendek Ahmad, orang yang lewatin jembatan sambil pegangan tangan sama pasangannya bakal langgeng sampe tua. Ayo, kita nyebrang! Aku mau tua bersamamu, Sesen.” Resha jingkrak-jingkrak di depanku sambil menahan teriakkannya. Kulihat dia menaruh kedua tanganya di dagu.

“Hah? Apa? Gimana?” tanya Sae tidak mengerti apa yang disampaikan Resha barusan.

“Ayo, ke sana.”

“Emang harus, ya?” tanya Sae. Dia baru saja berdiri tegap setelah tadi hampir tersungkur ke belakang.

“Buruan sebrangi jembatannya.” Resha bergerak cekatan, lalu menyambar tangan Sae dan menariknya ke arah jembatan, kemudian berlari diikuti Sae.

Embusan angin malam seakan membelai pipiku dengan kasar, menyisipkan sayatan-sayatan kecil di beberapa bagian, menaruh luka cukup dalam di dada. Untuk kesekian kalinya menyaksikan adegan mereka berdua, membuatku kembali sakit.

Dengan spontan aku menarik napas dan diembuskan dengan bergetar. Rasa sakit yang terasa di bagian dada itu sukses membuat pandanganku remang-remang. Sambil masih menahan napas sesekali, aku mencoba untuk tidak menangis.

Tanganku mengepal erat di bawah cahaya lampu jembatan.

**

Malam berjalan cukup panjang dengan semua rasa sakit yang menjalar di dada. Sungguh, itu membuatku jengkel sendiri. Entah kenapa, ketika aku sedang tidak ingin melalukan apa pun dan tidak semangat menghadapi siapa pun, waktu justru berjalan sangat lambat.

Sepulang dari Jembatan Cinta, aku tidak banyak bicara lagi dengan yang lain. Aku memilih untuk tidur dan mengunci pintu sendirian di kamar. Sementara teman-teman yang lain sedang asik dengan acara bakar-bakar jagung, merayakan pesta ulang tahun Sae.

Kamar yang aku tempati berada di bagian paling depan. Rumah yang kami sewa memiliki tiga kamar tidur, satu ruang tamu, dapur dan kamar mandi. Satu kamar yang letaknya berada tepat di samping pintu masuk adalah ruanganku. Dari sini aku bisa mendengar tawa mereka. Aku juga bisa melihat sesekali kegiatan jika memang ingin. Tinggal mengintip saja dari jendela, beres!

Namun, karena aku tidak ingin sakit hati lagi, makanya aku lebih memilih menjauh dan tidak mau kepo.

Entah kenapa, aku selalu merasa sesak di bagian dada ketika melihat Sae bersama yang lain. Sebenarnya aku dan dia tidak lebih dari seorang sahabat. Aku orang yang mengenalnya sejak dua tahun yang lalu dan menjadi orang yang selalu ada untuknya. Itu saja. Namun, entah mengapa selalu ada rasa lain yang tumbuh dalam diriku.

Hati ini selalu merasa jika Sae adalah orang yang berada di posisi bukan sahabat untukku. Dia berada di posisi pacar. Mengingat hal itu dan mengaitkannya dengan realita membuatku stres dan pusing.

Aku seorang lelaki dan dia juga lelaki. Ini bukan hal yang diwajarkan di Indonesia. Hubungan seperti ini dilarang. Namun, entah kenapa aku seakan-akan mengabaikannya dan lebih ingin bersama Sae ketimbang menuruti aturan yang ada.

Entah bagaimana reaksi orangtuaku jika tahu bahwa anaknya seorang gay. Namun, tunggu, aku bukan gay! Aku normal. Aku hanya menyukai Sae. Pemuda. Lelaki. Berjakun. Dan, berbatang.

Apa Ibu akan sedih? Marah? Aku tidak ingin menambah beban pikirannya setelah semua yang terjadi kepadanya beberapa hari lalu. Mengurusi Ayah yang sedang bertikai dengannya saja Ibu masih harus minta bantuan dari nenek dan kakek. Aku tidak ingin dia semakin menderita ketika tahu aku gay.

Kuembuskan napas perlahan. Terdengar anak-anak tertawa. Tetap saja rasa penasaran tidak bisa kucegah. Otakku berpacu, memaksaku untuk mengintip dari jendela. Aku ingin tahu.

Dengan cepat aku menggeleng dan meraih lagi ponsel yang sempat diletakan di atas kasur, tepat di depanku. Lebih baik main game untuk mengalihkan perhatian dan mencoba menyibukan diri. Kubuka Arena of valor dan mulai bermain.

Satu menit, dua menit masih bisa aku tahan untuk tidak penasaran sambil memejamkan mataku perlahan berusaha tenang. Aku kembali fokus pada permainan. Namun, tidak berselang lama, gelak tawa terdengar lagi dan sukses membuatku menyerah. Aku melempar ponselku asal ke arah bantal dan beranjak menghampiri jendela.

Dengan satu kali tarikan napas, aku menyibakkan tirai, mencoba mengintip. Dapat terlihat dengan jelas di sana mereka sedang duduk berputar mengelilingi sebuah panggangan yang sengaja dibawa dari rumah Sae.

Mereka tertawa sambil bermain permainan. Aku berdecak sebal melihat mereka asik di sana. Rasa sebal begitu saja muncul dalam diri dan aku kembali menutup tirai. Namun, saat aku akan kembali ke kasur, suara Ahmad terdengar menyebutkan nama Sae yang menyuruhnya untuk menyuapi Resha. Semua bertepuk tangan dan menyoraki nama Sae.

Dengan cekatan dan dalam satu tarikan napas aku berbalik, memelesat kembali ke jendela. Kusibakkan dengan cepat tirai itu dan mengintip lagi. Ternyata benar saja, Sae sedang menyuapkan sesuatu ke dalam mulut Resha yang duduk membelakangiku.

Aku mengentak-entakkan kaki gemas sambil mengumpat nama Resha.

**

Ternyata tidak makan itu bikin aku lapar. Malam-malam seperti ini paling menjengkelkan ketika harus kelaparan. Aku juga tidak bisa tidur karena perut kosong. Terpaksa harus mencari sisa makanan bekas pesta tadi ke dapur.

Tak mau membangunkan yang lain, aku mengendap-endap keluar kamar. Saat akan membuka pintu, aku sempat menabrak meja sebelah pintu masuk. Tak mempermasalahkan hal itu, aku mulai menutup pintu perlahan dan memelesat ke arah dapur.

Saat di dapur, hal yang pertama kulakukan adalah menyalakan lampu. Ruangan ini gelap. Dengan tergopoh-gopoh aku mencari saklar. Ketika semua ruangan terang, terlihat seseorang sedang tertidur di meja makan. Dia duduk di kursi dengan posisi tubuh terkulai ke atas meja. Ada gelas yang isinya sudah habis setengah. Dengan perlahan aku melangkah ke arah pemuda itu.

Sebenarnya dari jauh saja aku sudah tahu jika itu Sae. Aku kemudian menarik resleting jaket, melepas jaket hijauku untuk dipasangkan pada Sae yang masih tertidur. Dia bisa kedingininan tertidur dengan kaus polos pendek yang menempel di tubuhnya.

Dengan pelan tapi pasti aku mulai memasangkan jaket itu ke punggungnya, menutupi beberapa bagian yang bisa membuatnya menggigil. Saat aku akan beranjak dari kegiatanku dan mencari makanan, Sae meraih tanganku, membuatku terdiam.

“Jangan ke mana-mana. Di sini. Tetep di sini,” katanya mulai mengangkat pandangan dan menatapku dengan tatapan teduhnya.

“Sae,” kataku.

“Jangan jauh-jauh, Kucing Biru!” katanya sambil tersenyum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status