Share

Hari Pertama

Seperti biasa, pria berpeci hitam itu menyunggingkan senyumannya. Memberikan keramahan pada setiap orang. Ucapan salam seperti biasa jika bertemu dengan orang sudah menjadi kewajibannya.

"Eh, ada Nak Iklil. Sudah selesai kah acaranya?" Dari awal, Pak Amar sangat senang terhadap perlakuan Iklil. Cara menyambutnya, saat mengajak ngobrol, memperkenalkan dirinya, Pak Amar sangat suka pada remaja yang seperti itu.

"Sudah, Pak. Tadi, baru saja ditutup sama rekan Saya." 

Diseberang sana, ada yang memanggil Iklil, sambil melambaikan tangannya pertanda bahwa orang tersebut memanggil Iklil.

"Pak, maaf sekali. Saya ada urusan lagi," kata Iklil terburu-buru.

"Tidak apa-apa, Nak."

Iklil segera pergi, menghampiri Zainal, yang memanggilnya tadi. Pak Amar dan Bu Aidah juga pamit ke tempat penginapan sebentar. Aini, sekali lagi, Ia terluka walaupun hanya luka yang kecil. Aini mengira bahwa Iklil akan mengetahui namanya pada saat pertemuan tadi. Hasilnya nihil, saat Iklil menghampiri Ayahnya Aini, Iklil tak melihat keberadaannya Aini, sedikit pun. 

"Bagaimana Aku bisa memiliki Mu? menganggapku ada pun, Kamu tidak." Kata Aini pelan, namun telinga Raisya selalu awas. Orang yang sedang berbisik pun Raisya dengar, apalagi suara Aini sekarang.

"Ouh, jadi Pria yang kamu maksud itu kak Iklil?" terka Raisya.

"Bukan, Pria yang Aku maksud itu, yang itu tuh." Telunjuk jemari Aini mengarahkan pada Bapak yang sedang berjualan rujak asem.

"Wah, ngayal kamu. Mana ada Bapak itu suka sama kamu. Yang ada dia kesal sama kamu, soalnya Kamu lebih jago jualan wajah asem dari pada Bapak itu, jadi kalian saingan deh, hahaha.."

"Nggak lucu, Ra," Aini meninggalkan Raisya yang terbahak.

"Eh, masa ditinggalkan." Raisya mengejar Aini yang sudah jauh meninggalkannya.

                       ***

Siang itu terasa sekali panasnya, sepanas hati Aini sekarang yang tengah melihat seorang Pria idamannya sedang bersamaan dengan perempuan lain. Iklil, Rois itu sedang bercengkrama dengan santri putri. Pembicaraan serius, namun ada hangat dibalik obrolan tersebut.

"Hm... tercium aroma asap nih. Kayanya ada yang lagi kebakaran hati," gumam Raisya.

"Kenapa, si, Ra. Aku tau kok, dia bukan siapa-siapanya Aku. Tapi egoku, selalu begini." Ucap Aini lirih.

"Biarkan sajalah. Jika Dia jodohmu, orang lain tak akan bisa berbuat apa-apa." 

"Iyakan sajalah, biar cepat. Eh, menurutmu gimana? apakah Kak Iklil sedang dekat dengan Mbak itu?" tanyanya was-was.

"Kalau tidak salah sih, kemarin Aku dapat info tentang Mbak yang sekarang lagi ngobrol sama Kak Iklil itu Roisah di pondok ini, ketua santri putri. Mungkin mereka sedang merencanakan sesuatu, jangan su'udzon dulu Aini," hibur Raisya. Sejak perkenalannya tadi pagi, Raisya tidak mau membuat hati kecil Aini terluka. Maka dari itu, Raisya selalu membuat lelucon omong kosong agar Aini terhibur.

"Bagaimana orang tuamu Aini? sudah pulang kah?" Ini sudah siang, pastinya para wali santri sudah meninggalkan pesantren.

"Belum, Ra. Ayah belum kasih tau aku, mungkin nanti sore mereka pulang," jawab Aini. Seorang santriwati menghampiri Aini dan Raisya, mungkin itu salah satu pengurus kamar, dengan membawa pulpen dan papan dada yang sedang Ia bawa, terlihat sekali bahwa Mba itu sedang sibuk, mengurusi santri baru,

"Hai kalian, kenapa masih disini? bukankah sudah ada pengumuman bahwa harus segera ke kamarnya masing-masing?" cecar Mbak itu.

"Maaf Mbak, tadi kami hanya sedikit melihat sekitar pesantren," jawab Raisya takut, sedangkan Aini hanya terdiam, tidak bisa menjawab. Penampilan Mbak ini sepertinya termasuk dalam jajaran Mbak-mbak killer, untungnya Mbak ini cantik. Kalo saja gendut, hitam, killer pula, sudah ngeri membayangkannya juga.

"Sedikit, sedikit ..., dari tadi Saya perhatikan kalian bercanda mulu, lari-larian gak jelas. Cepat kalian pergi ke kamar!" bentaknya seperti orang medan, terlihat kasar namun menurut mereka biasa saja.

Tanpa pamit, Aini dan Raisya langsung berlarian terbirit-birit, seperti sedang dikejar hantu disiang bolong. Setelah memutar-mutar, mencari kamar, akhirnya ketemu juga. Dengan nafas yang memburu, Aini dan Raisya  duduk dibawah rindangan pohon. Beristirahat sejenak.

"Emang gila itu si Mbak, buat aku ngos-ngosan gini. Tapi lucu juga, ya, Aini. Pengalaman pertama kita dipondok. Harusnya sih pengalaman yang bagus-bagus, eh, ini malah ketemu sama singa." Canda Raisya, Aini tertawa. Keduanya terbahak membayangkan kejadian tadi. Aini berhenti tertawa saat melihat sesosok orang yang tadi barusan dibicarakan Raisya.

"Kenapa berhenti, Aini? sudah tidak lucu kah?" Raisya masih terbahak.

"Itu, ituu ...," Aini terbata-bata, sudah mulai ketakutan, membayangkan mereka akan dimarahi lagi. Raisya membalikan badannya mengikuti arah tatapan Aini, mereka langsung berdiri. Saat mata Raisya bersitubruk dengan Mba itu, Raisya menelan salivanya, entah apa yang harus mereka lakukan sekarang.

"Aini, kenapa tiba-tiba dia ada disini. Cepat sekali datangnya kaya genderuwo," bisik Raisya pelan.

"Aku juga nggak tau, Ra." Ujar Aini pelan juga.

sambil membawa kayu panjang yang siap dipukulkan pada siapa saja yang berani melawan Mbak itu, kayu itu dipukul-pukulkan pada tangannya sendiri, menatap galak pada Aini dan Raisya.

"Enak, ya, siang bolong gini udah ghibah. Dari tadi saya dengarkan kalian, kalian bilang kalau saya singa? keterlaluan, saya cantik begini dibilang singa. Sudahlah, kalian lama sekali datang kesini. Padahal tempat dari pertama kita bertemu ke kamar putri sangat dekat," kata Mbak itu dengan nada bersahabat. Mungkin sudah turun pangkat dari ratu killer ke rakyat biasa. Sambil menunjukan tempat pertama kali Ia bertemu, sangat dekat. Mungkin hanya lima meter, dari tadi Aini dan Raisya hanya berputar-putar, tak tahu jalan. Seketika, mereka terduduk kembali, lemas, kenapa tidak dari tadi ya Allah, batin keduanya berucap.

"Kenapa kalian? sakit?" lanjut Mbak itu.

"Tidak Mbak, kami hanya lelah. Dari tadi kami lari-lari, putar arah, gak tau jalan. Eh, nyatanya dekat ..." Ujar Aini, lemas.

"Ya, sudah. Kalian masuk ke kamar dulu, didekat pintu masuk ada kulkas kecil berisikan minuman, ada makanan ringan juga. Kalian bisa ambil beberapa, buat mengganjal perut kalian, dari tadi kedengaran cacingnya pada demo. Nanti saya akan beri arahan jika kalian sudah kumpul dikamar." Perintah Mbak itu, lalu segera dilaksanakan oleh Aini dan Raisya. Saat menyusuri koridor, ada laki-laki berpeci putih namun kali ini bukan berpakaian santri, melainkan memakai jubah. Seperti pakaian yang biasa dipakai Gus, anaknya Pak Kyai. Dari tadi, laki-laki itu hanya terdiam, menatap sekitar.

"Eh, kok ada santri putra disini? bukannya tidak boleh ya, Ra,?" gumam Aini.

"Iya, sih. Tapi, laki-laki ini beda. Dari cara berpakaiannya seperti Gus, anaknya Pak Kyai. Mungkin tamu, atau mungkin juga Wali Santri. Ganteng, ya," ucap Raisya.

"Ganteng? menurutku biasa saja, lebih ganteng kak Ikli. Kamu suka ya, Ra?" terka Aini, melihat wajah Raisya yang kemerahan menandakan bahwa Raisya menyukai laki-laki itu.

"Apaan si, sekarang gantian ya, menjailinya. Awas aja kalau ada Kak Iklil, aku kasih tau dia bahwa kamu suka padanya." Ancam Raisya.

"Hehe ...., iya, deh. Maaf," setelah perdebatan tadi, mereka mulai pada haluannya masing-masing. Aini, Ia sibuk dengan fikirannya tentang Iklil. Dan, sekarang, temannya Aini, Raisya, sedang memikirkan laki-laki yang tadi sempat berpapasan di koridor putri, apakah Raisya bisa mengenal lebih jauh Laki-laki tadi? ataukah akan sama nasibnya dengan Aini? Semoga saja, keduanya mendapatkan kebahagiaan yang layak.


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status