Share

Pulangnya Iklil

Telepon genggam milik Iklil lengang. Tak ada yang menyahut satu pun, hanya diam. Detak jantung Iklil berdetak dua kali lebih cepat, menunggu jawaban dari abahnya.

"[Abah? tolong jawab. Mengapa Abah hanya diam,]" desak Iklil.

"[Umi, Nak. Umi sedang sakit, kanker jantungnya kambuh lagi, tadi sore kami bergegas pergi ke rumah sakit terdekat. Umi selalu mengigau, menyebutkan namamu berulang-ulang. Jika Kamu luang, pulang lah, Nak. Temui Umi,]" pinta Abah. Bagaimana ini, besok ia harus pergi berbelanja koperasi dengan Zainal, kyai kholil juga meminta untuk ditemani ke acara haul. Ah, pulang saja, urusan umi lebih penting dari apapun, batin Iklil berucap.

"[Hallo, Nak. Bagaimana?]"

"[Iya Abah, nanti Iklil akan pulang. Diusahakan sebisa mungkin Iklil harus pulang. Nanti jam tujuh pagi, Iklil akan meminta izin pada kyai, semoga saja diberi izin.]"

"[Bagus kalau begitu, Abah matikan ya, assalamualaikum.]"

"[Waalaikumsalam.]" 

"Huufft, rintangan apa lagi ini ya rabb, ku mohon jaga keluargaku di sana." Sekarang Iklil tak mau lagi melamun atau merangkai kata-kata, yang ia inginkan adalah segera menemui uminya. Iklil memutuskan untuk beristirahat, karena besok jika ia di izinkan maka ia akan melakukan perjalanan dari Jawa Timur ke Jakarta. Yap, perjalanan yang sangat jauh, memakan waktu hingga seharian. 

           ***

Pagi sekali, selepas pengajian subuh, Iklil mencoba meminta izin pada kyai Kholil. Rasa cemas menyeruak hati Iklil, cemas jika pulangnya kali ini tidak diberi izin. Cemas jika uminya menunggu terlalu lama. Iklil melangkah dengan gontai, hatinya tak karuan. Setelah sampai di depan pintu utama, Iklil membuka pintu rumah kyai Kholil karena memang sudah terbiasa, ia boleh membukanya kapan saja. 

"Iklil? ada apa? pagi-pagi sekali. Memang abah mau pergi kemana?" ucap nyai Fatimah yang mendapati Iklil tengah masuk ke dalam rumahnya.

"Anu, Nyai. Memang kyai akan pergi, tapi tidak bersama Saya." Iklil gugup, semua santri pasti begitu. Saat meminta izin pada kyai ataupun nyai, hanya akan ada degupan kencang, keringat bercucuran, kaki bergemetar. Sungguh lucu jika dibayangkan. 

"Lah, kenapa tidak bersama Iklil. Memangnya Iklil mau kemana?"

"A-anu, Saya ingin meminta izin pulang, Nyai. Umi Saya sedang sakit keras, kanker jantungnya kambuh. Dan abah, meminta Saya pulang untuk menemui umi. Tujuan Saya kesini pagi-pagi sekali untuk meminta izin pada kyai ataupun nyai." Ucap Iklil dengan sedetail-detailnya.

"Masya allah, bagaimana bisa kambuh? sejak kapan Iklil?" Nyai Fatimah adalah wanita penyayang, ia sangat simpati pada siapapun yang sedang mengalami musibah. Ia juga sangat menyayangi Iklil, sudah menganggapnya seperti anak kandung sendiri.

"Kemarin sore, Nyai. Saya mendapat telepon dari abah tadi malam," imbuh Iklil.

"Abah--kyai sedang berada di ruang mengaji, kita tidak bisa menggangunya. Begini saja, sekarang Kamu boleh pulang, Saya yang mengizinkan. Nanti Saya yang akan memberi tau kyai." Nyai Fatimah tersenyum, begitu pun Iklil.

"Terima kasih banyak, Nyai. Saya pamit, assalamualaikum." Ucap Iklil seraya mencium punggung tangan nyai Fatimah.

"Waalaikumsalam ... hati-hati dijalan ya, Iklil." Nyai fatimah sangat khawatir, ia tidak mau berjauhan dengan Iklil karena Iklil selalu membuat hari-hari nyai Fatimah berwarna, Iklil selalu menjadi obat penawar rindunya pada gus Rayhan--anaknya.

              ***

Nyai Fatimah menutup pintu, setelah sebelumnya melihat punggung Iklil menjauh. Ada yang mengganjal, nyai Fatimah sangat khawatir sekali. Mengapa perasaannya pada Iklil lebih kuat tinimbang perasaannya pada gus Rayhan. Aahh sudahlah, ini hal biasa, biasa karena gus Rayhan ke luar negeri sejak dari kecil.

"Tadi siapa? sepertinya buru-buru. Abah tadinya mau lihat, cuma keburu pergi orangnya." Kata kyai Kholil keluar dari ruang mengaji.

"Itu tadi Iklil, meminta izin pulang. Kata dia uminya sedang sakit keras, kanker jantungnya kambuh. Jadi, dia pulang. Umi izinkan, boleh kan, Abah?" Ucap nyai Fatimah persis yang dikatakan Iklil tadi.

"Masya allah, kenapa begitu? semoga keluarga Iklil mendapati keringanan dari Allah. Iya boleh, lagian kan mendesak, Umi boleh memutuskan apapun," kyai Kholil menyunggingkan bibirnya, tersenyum pada nyai Fatimah karena kebijakannya hari ini.

"Iya Abah, terima kasih sudah mempercayai Umi." Sebenarnya hanya Iklil yang meminta izin pada kyai ataupun nyai, santri lainnya hanya boleh izin pada pengurus inti bagian keamanan. Setelah izin pada pengurus inti, maka bagian keamanan akan meminta izin langsung pada kyai dengan melalui surat-surat bukti yang akan di periksa oleh kyai. 

            ***

Iklil tergesa-gesa, belum mempersiapkan apa saja yang harus dibawa pulang. Pakaian, kitab untuk murojaah dan perlengkapan lainnya. Dentingan telepon Iklil bergetar, pertanda pesan masuk. Dari Zainal,

"[Mas Iklil, dimana? cepat siap-siap, bukannya sekarang mau belanja koperasi.]"

Iklil membalas pesan dari Zainal, "[Saya ndak ikut, mau pulang. Kamu saja sama yang lainnya.]" 

           ***

Perjalanan di dalam kereta begitu membosankan, setelah sebelumnya memesan tiket, Iklil hanya melamun. melangkah gontai dengan hati tak karuan. Perhatian Iklil tertuju pada anak kecil berjilbab ungu lavender, seperti jilbab Aini. Iklil tersenyum, hatinya luluh saat melihat anak itu tertawa. Iklil mendekati, ingin mengajaknya mengobrol. Ayah dari anak itu juga sangat baik, mempersilakan Iklil untuk duduk di sampingnya.

"Hai, Dek. Kamu sangat menggemaskan, siapa namamu?" kata Iklil, ingin sekali ia mencubit pipinya yang tembam itu. Ia hanya diam, anak itu sangat pemalu.

"Nak, ayo jawab. Kakak ini menanyakan namamu," katanya ramah.

"Nama Aku, laini." Ucap anak itu.

"Namanya, Raini, ia belum bisa menyebutkan "R" dengan fasih," imbuh ayahnya sambil tertawa ringan.

"Nama yang bagus, Raini. Ibu Kamu dimana?" sekali lagi, ia hanya terdiam. 

"Ibunya meninggal saat Raina lahir. Kami hanya hidup berdua, sungguh mengenaskan. Raina tidak pernah menyaksikan tawa ibunya, dan tidak pernah menikmati asuhan ibunya," ayahnya Raina tersenyum tipis.

"Masya allah, Bapak harus sabar, ya. Semoga Raina menjadi anak yang sholehah, dan berbakti pada Bapak. Umi Saya juga sedang sakit, dadakan sekali. Saya pulang dari pondok ke rumah hanya untuk menjenguk umi Saya. Saya minta doanya ya, Pak."

"Saya sangat mendoakan, agar umi Kamu cepat membaik. Kamu dari pesantren? subhanallah, Kamu anak sholeh, Nak. Yang semangat menuntut ilmunya, bahagiakan kedua orang tuamu." 

"Iya, Pak, insya allah Saya akan bahkan harus semangat menimba ilmu di pesantren." Iklil sangat bersyukur bertemu dengan Raina dan bapak itu, menjadi penghiburnya selama perjalanan. Sekarang, Iklil kembali merenung. Menunggu.

      ***

"Eh, Aini, tau tidak, kak Iklil sedang pulang looh." Seru Raisya.

"Pulang? kenapa?" Aini sangat ingin tahu.

"Tidak tahu, tadi Aku dapat kabar dari kamar sebelah. Heboh sekali mereka saat membicarakan kak Iklil."

"Ouh, terima kasih sudah memberi tahu." Aini cemberut, membuka buku diary-nya.

"Lah, nyesel deh Aku ngasih tau Kamu. Malah cemberut gitu, ngga suka."

"Ngga apa-apa kok,"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status