Share

Pulangnya Iklil 2

"Sekali lagi terima kasih, Ra. Karena sudah memberi tahuku," 

"Sama-sama, Aini." Aini melamun, kenapa Iklil tidak memberi tahunya? Ahh, dia ingat, Aini bukan siapa-siapanya Iklil. Bagaimana mungkin Iklil akan memberi tahu pada Aini, mencari kabar Aini pun tidak, apalagi harus memberi tahukan apa sebab-sebabnya Iklil pulang. 

"Aini? Hallo? Yeh, malah melamun. Pasti karena Iklil, Aku merasa bersalah karena memberi tahumu."

"A--iya? Aduh, ini kenapa ya Allah. Ngga kok, masa memikirkan kak Iklil. Bukannya kalau memikirkan orang yang bukan mahram itu dosa, ya?" Ucap Aini terang-terangan. Padahal, yang sebenarnya terjadi ialah, Aini sedang memikirkan kak Iklil--lelaki yang bukan mahramnya.

"Aahh, Kamu. Bisa saja mengelaknya, Aku juga tau kok, Kamu sendiri yang dosa tau. Memikirkan kak Iklil kan? mana mungkin sekarang Kamu melamunkan tukang rujak, pastinya melamunkan kak Iklil-mu itu kan?" beberapa pertanyaan Raisya membuat Aini kesal.

"Astagfirullah, Ra, jangan begitu. Lantas, Kamu sendiri? menginginkan laki-laki yang sempat bertemu di koridor bawah bukan? Bagaimana itu?" Lagi-lagi, Aini tidak mau kalah argumen dengan Raisya. Untungnya, Raisya menyikapi Aini denagn biasa saja, mungkin jika orang lain yang sekarang sedang menghadapi Aini akan marah besar. Raisya adalah orang dengan kriteria ceria dan penyabar. Raisya juga tau, pasti Aini sekarang tengah dilanda emosi karena kepergian Iklil tanpa sepengetahuan Aini.

"Loh, kenapa Aini malah memojok-mojokkanku? memang benar kok, Aku menyukai laki-laki itu. Tapi Aku selalu meminta pada Allah untuk memberikan pasangan yang soleh untukku, bukan berarti itu dia. Sudahlah Aini, padamkan egomu, berdoalah, kirimkan rindu-rindumu, kasihmu, cintamu, lewat doa. Aku yakin Allah akan memberikan yang terbaik untukmu, dan untukku."

"Entahlah, Aku terlalu egois. Aku menginginkan kak Iklil, namun dia tidak menginginkanku. Itu sungguh lucu, sampai kapan Aku menunggu kepastian. Apakah dia mencintaiku? ataukah hanya memandangku sebagai santri baru saja?"

"Ingat Aini, di dalam ajaran agama islam, kita tidak boleh berpacaran. Hukumnya haram. Kamu harus tau itu,"

"Ya, Aku sangat tau. Aku tidak mau berpacaran, yang Aku inginkan hanyalah kak Iklil, bukan bayangannya."

"Sekarang Kamu sedang tidak mood ya?"

"Sepertinya, iya." Memang, Aini kalau sudah tidak mood ya begitu. Akan memarahi siapa saja orang yang ditemuinya.

"Nah, kalau yang ini, Aku tidak tahu. Bagaimana cara menghilangkan perasaan burukmu itu?"

"Biasanya, kalau Aku tidak mood, Aku makan cokelat."

"Sebentar," Raisya langsung keluar dari kamarnya, berlarian kecil. Tugas utama Raisya sekarang adalah membeli beberapa cokelat.

"Ahh, dasar teman aneh. Pergi begitu saja, meninggalkanku yang sedang tidak mood." Setelah beberapa menit kemudian, Raisya datang dengan membawa satu kresek cokelat. Memang dia sahabat Aini yang paling mengertikan keadaannya.

"Nih, khusus buat tuan putri yang sedang tidak mood." Raisya melemparkan kresek hitam yang berisikan cokelat itu kepada Aini, sekarang, Aini tersenyum, bahkan mengeluarkan air mata.

"Kamu, Raisya kan? kok romantis banget," Aini menangis, entahlah. Tidak ada kata-kata lagi yang harus diungkapkan pada sahabatnya itu. Raisya memeluk Aini, memberikan kenyamanan bagi sahabatnya.

"Makanya jangan gitu, Aku ngga suka. Udah dibilangin juga ngga suka kalau Kamu cemberut."

"Terima kasih, Ra. Aku harus balas apa atas kebaikan Kamu?" Aini mengusap air matanya, memberikan senyuman terbaik pada sahabatnya.

"Yang Kamu harus lakukan sekarang adalah tersenyum, jangan fikirkan lagi kak Iklil--jika itu menyakitkanmu. Toh, jika kalian jodoh, tidak akan bisa dipisahkan oleh siapapun. Percayalah pada takdir, berdoalah pada Sang Pencipta."

"Iya, Aku akan melaksanakan apa yang Kamu bilang tadi," Aini tersenyum, melaksanakan perintah Raisya.

        ***

Suara rem kereta berdecit, pertanda perjalanan akan berakhir. Iklil bersiap-siap, mengecek barangnya satu persatu agar tidak ada yang tertinggal. Sekali lagi, Iklil memberikan senyumannya pada Raina, gadis mungil itu. Ternyata, tujuan mereka sama, ke Jakarta. Prama dan Prami mengumumkan bahwa para penumpang kereta harus cepat bergegas keluar. Dan memerintahkan untuk mengecek barangnya kembali. Saat pintu utama dibuka, ratusan penumpang keluar dengan tertib, dibantu oleh Penjaga Jalan Lintasan atau PJL. 

"Senang bertemu dengan Kamu, Raina. Sampai jumpa," Iklil memberikan salam perpisahan pada Raina.

"Ayo Sayang, cium tangan Kakak ini, berikan salam." Kata ayahnya. Raina langsung menggaet tangan Iklil lalu menciumnya. Iklil tersenyum, mengingat Aini. Karena warna jilbab yang dipakai Raina persis sekali seperti jilbab Aini.

"Terima kasih, Pak, sudah membolehkan Saya mengobrol dengan Raina."

"Sama-sama, Nak. Bapak pergi duluan, ya. Kamu hati-hati dijalan." Iklil menatapi punggung Raina yang menjauh dipapah ayahnya. Tujuan Iklil sekarang bukan ke rumahnya. Melainkan langsung mendatangi rumah sakit Indra Medika yang letaknya tiga kilometer dari stasiun kereta api. Iklil menghentikan salah satu taxi,

"Rumah sakit Indra Medika, Pak. Secepatnya."

"Baik, jangan lupa pakai sabuk pengaman, Mas." Kata supir taxi itu.

Taxi itu melaju cepat, sesuai perintah Iklil. Baru saja hati Iklil sudah membaik karena kehadiran Raina, sekarang hati Iklil berubah menjadi tidak karuan. Bagaimana kondisi uminya? apakah sudah membaik? semoga saja sudah. 20 menit kemudian, taxi itu sudah terparkir rapi di depan rumah sakit. Iklil membayar transaksi, lalu turun dari taxi itu dengan terburu-buru.

"Terima kasih, Pak."

"Sama-sama, Mas. Ini kembaliannya ...." Iklil tidak menghiraukan supir itu. Berlari, ingin cepat bertemu uminya. Iklil mengahampiri resepsionis, menanyakan kamar uminya. Lantai empat pintu 348. Dengan cekatan, Iklil masuk lift, memencet tombol lantai empat. Dentingan berbunyi, hanya 30 detik, Iklil sudah berada di lantai empat. Sekarang mencari pintu nomor 348, bola mata Iklil mengamati, mencari satu persatu. Nomor itu terpampang pada pintu paling pojok sebelah kanan, yap, pintu 348. Iklil segera membuka pintu itu, terdapat Laki-laki paruh baya tengah mengerjakan solat dzuhur, dan wanita yang disayanginya tengah berbaring lemas--uminya. Umi Hana melihat kedatangan Iklil, ia menangis. 

"Nak, Kamu sudah sampai?" kata umi Hana--uminya Iklil. Iklil mematung, ikut menangis diambang pintu. Iklil berlari kecil, menghampiri uminya, mencium punggung tangannya, lalu memeluk dalam-dalam. Abahnya yang baru saja uluk salam, kini mendekati keluarga kecilnya, ikut memeluk.

"Kenapa Umi bisa sakit?" Iklil melepaskan pelukannya, menatapi wajah uminya yang terlihat sedikit keriput. Uminya hanya terkekeh sambil dihiasi batuk ringan.

"Tidak apa-apa, Nak. Ini sudah takdir,"

"Umi tidak melanggar perintah dokter kan?"

"Tidak sama sekali, Nak." Kali ini, abahnya yang berbicara.

"Umi hanya kecapekan sedikit, tadinya tidak akan dibawa kesini. Cuma Umi butuh infus-nya saja, biar segar." Imbuh abahnya.

"Kalian membuat Iklil khawatir, yasudah kalau begitu jika Umi baik-baik saja. Iklil senang mendengarnya."

"Kamu sudah solat dzuhur belum, Nak?" kata uminya.

"Astagfirullah, belum, Umi. Iklil baru saja sampai ke Jakarta 30 menit yang lalu, belum sempat solat."

"Kamu solat dulu gih, minta kesembuhan total untuk Umi Kamu," ucap abah Ahmad--abahnya Iklil.

"Iya, Abah, Iklil pergi dulu." Iklil berpamitan, menuju lantai dua, lantai itu di khususkan untuk beribadah, ada tempat solat disitu dengan dilengkapi toilet wanita dan toilet pria. Saat menyusuri lantai empat, Iklil melihat perempuan berjilbab ungu lavender, yap, seperti Aini. Entah mengapa, fikiran Iklil selalu berujung pada sosok Aini. ​

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status