Share

Aini menjadi ketua

Iklil menghampiri perempuan itu, memastikan. Saat didekati, perempuan itu  persis sekali seperti Aini. Iklil menyapanya,

"Permisi," kata Iklil. Perempuan itu menoleh, ternyata bukan. Mustahil juga jika Aini sekarang berada di rumah sakit. Bukankah Aini sekarang sedang di pesantren? 

"Iya, Mas?" Tanya perempuan itu, Iklil menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali itu.

"Hm, maaf Mbak, Saya salah orang."

"Ouh tidak apa-apa, Mas. Mas pasti sedang mencari istri Mas, ya?"

"A--apa? Istri? Saya masih kuliah, Mbak. Belum punya Istri,"

"Atau, Mas lagi memikirkan pacar, Mas, ya?"

"Huuss, Mbak ini. Kan di dalam Islam tidak boleh pacaran." Pipi Iklil memerah, mengapa ia malah memikirkan Aini, yang jelas-jelas bukan mahramnya.

"Aah, si Mas ini, pipi Mas tuh kemerahan. Saya tinggalkan dulu, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," Iklil langsung memegangi pipi-nya. Apakah merah? Aahh lupakan saja, batin Iklil. Iklil terus menyusuri koridor, mencari tempat solat. Saat menemukan tempat solat itu, Iklil langsung membuka sandalnya, masuk dengan melangkahkan kaki kanan dulu, lalu merapalkan doanya. Di tempat solat itu hanya ada Iklil saja, karena jam sudah menunjukkan pukul dua siang, mungkin semuanya sudah melaksanakan solat diawal waktu. Hiasan marmer di dinding masjid begitu menawan, lantai pualam tanpa cacat berwarna putih. Lampu gemerlap di atas kepala Iklil, menambah suasana siang itu. Iklil hendak berwudlu, mengawali dengan membasuh tangannya, hingga kaki dengan tertib. Setelah sebelumnya berwudlu, Iklil memulai solatnya dengan khusyuk. Tidak ada yang menggangu, semuanya tenang, tidak ada suara apapun selain bisikan surat Al-fatihah yang diucapkan Iklil. Selepas solat, Iklil membaca dzikir khususnya. Merapalkan doa-doa terbaik untuk dirinya, pesantrennya, keluarganya, termasuk kesehatan uminya. Dan tak lupa, Iklil meminta pasangan yang sholehah, mengerti agama tentunya. Saat Iklil merapalkan doa terakhir, fikirannya melayang pada sosok Aini. Aahh, Aini, kenapa dia selalu muncul dalam fikiran Iklil.

       ***

Bel pesantren seperti biasanya, memekakan telinga siapa saja yang mendengarnya. Aini belum terbiasa dengan jadwal di pesantrennya. Siang ini adalah jadwal kumpulan pengurus kamar dengan santri baru. Kamar Aini dipimpin oleh mbak Uci. Semua bersiap-siap, menduduki tempatnya masing-masing--duduk di depan lemarinya. Ruangan yang cukup luas, bisa menampung 50 santri. Yang akan disampaikanoleh pengurus kamar adalah, pengenalan, tata tertib, denda-denda, dan pemilihan ketua santri baru. Mengapa tidak disampaikan oleh pengurus inti? karena pengurus kamar adalah tangan kanannya pengurus inti. Pengurus inti hanya memberi selebaran kertas pada pengurus kamar untuk diberikan atau diarahkan pada santri baru. Tapi, jangan diragukan lagi, tugas dari pengurus inti sangatlah berat, mencakup seluruh pesantren baik eksternal maupun internal. Tugas dari pengurus kamar hanyalah memberi arahan pada santri baru, sangatlah gampang, tapi membutuhkan mental saat memberi arahan.

"Semuanya sudah terkumpul?" Mbak Uci membuka acara dengan tenang. Salah satu pengurus kamar lainnya menjawab pertanyaan mbak Uci, "Sudah," katanya. 

"Ok, Saya buka. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," kata mbak Uci membuka acara. Semua yang hadir membalas salamnya. Pengurus 

kamar sibyan hanya ada tiga orang, mbak Uci dan dua orang lainnya.

"Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah subhanahu wata'ala, karena kenikmatannya kita bisa berkumpul pada kumpulan santri baru ini. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada Nabi kita semua, Nabi Muhammad S.A.W." Yap, seperti biasanya, pembukaan yang panjang. Sepertinya, mbak Uci lebih pantas menjadi dewan reporter atau setaranya. 

"Sebelum ke inti, Perkenalkan nama Saya Suci Firda Awaliyah. Di samping kanan Saya, mbak Lida Kurnia, dan di sebelah kiri Saya, mbak Nafisa. Perkenalan singkat saja, ya, selebihnya bisa memulai obrolan hangat masing-masing. Jadi begini, berkumpulnya kalian di sini, akan di berikan arahan singkat tentang tata tertib pesantren, ta'ziran, dan pembagian kelas." kata mbak Uci, semua yang hadir di kamar sibyan hanya terdiam, mencermati setiap kata yang dilontarkan mbak Uci. Mbak Uci membagikan beberapa selebaran kertas berwarna putih yang sudah berisikan tata tertib dan lainnya. Mungkin jika di umumkan langsung, akan memakan waktu sampai tiga jam. Jadi, mbak Uci memutuskan untuk santri baru membaca sendiri-sendiri tata tertibnya. 

"Aini, untung saja kertasnya dibagikan. Jika tidak, kita akan mendengarkan ceramah membosankan dari mbak Uci." Ucap Raisya.

"Iya, benar sekali." Aini membuka setiap lembaran yang diberikan mbak Uci. Ada 15 halaman, panjang sekali. Ini baru tata tertibnya saja, belum ditambah ta'ziran--denda. 

"Perhatikan-perhatikan, kalian bisa baca tata tertibnya nanti saja setelah kumpulan ini selesai. Saya akan lanjut memberikan lembaran-lembaran denda, dan pembagian kelas beserta ketuanya. Kalian bisa lihat nama ketua kamar sibyan pada lembaran yang akan dibagikan." Mbak Uci memberikan selebaran berikutnya, nama Aini Halwa terpampang jelas di lembaran paling atas. Aini menjadi ketua kamar sibyan.

"Wiiih, Kamu ketua. Selamat ya, Aini." Ucap Raisya senang.

"Yaah, Aku tidak mau. Pasti sulit," kata Aini bernada sedih.

"Tenang, kan ada Raisya yang cantik. Semua pekerjaan Kamu akan mudah jika bersama Raisya."

"Terima kasih, tapi Aku tidak mau." Aini tetap tidak ingin menjadi pemimpin, baginya, menjadi pemimpin sangatlah sulit. Memimpin dirinya sendiri juga belum bisa, apalagi memimpin orang lain. Mbak Uci menghampiri Aini, memberikan selembaran khusus ketua.

"Selamat ya, Aini. Kamu sudah sah menjadi ketua kamar sibyan pada periode 2016-2017. Ini ada selembaran khusus untukmu." kata mbak Uci sambil memberikan selembaran.

"Tapi, Mbak, Aku tidak mau jadi ketua. Raisya saja, Aku tidak bisa."

"Loh, kenapa begitu. Begini, jika Kamu sudah diberikan amanah oleh seseorang, Kamu jangan menolak. Harusnya Kamu jalani dengan baik, aturlah sebisa Kamu, jika Kamu sulit? mintalah bantuan pada rekanmu. Mengerti, Aini?" 

"Iya, Mbak, maaf. Aku akan melaksanakan perintah Mbak dengan baik."

"Nah, begitu dong."

           ***

Iklil membuka pintu nomor 348. Uminya masih terbaring lemas, abahnya sedang duduk di pinggir uminya, merapalkan doa, meminta kesehatan bagi istri yang sangat dicintainya.

"Sudah selesai, Nak?" ucap abahnya.

"Sudah, oh iya, dokter sudah memeriksa umi hari ini belum?"

"Belum, kata suster, dokter hari ini tidak masuk. Dan kabar gembiranya, umi bisa pulang ke rumah besok. Tapi harus menunggu dokter dulu untuk pemeriksaan terakhir." 

"Alhamdulillah, akhirnya umi bisa pulang. Ini berkat doa-doa Abah dan doa Iklil," Iklil merasa tenang. Ia juga bisa secepatnya pergi ke pesantren. Benda tipis berukuran segi empat itu bergetar, arah suaranya dari saku celana Iklil. Telepon dari Zainal,

"[Assalamualaikum, Mas Iklil. Anu, kami sudah membeli semua keperluan koperasi. Maaf jika Mas Iklil kurang suka, atau ada barang yang kurang berkualitas, nanti Mas Iklil bisa beli lagi barang yang kurang.]" Ucap Zainal lewat telepon.

"[Ouh, tidak apa-apa Zainal. Semua barang yang kalian beli pasti berkualitas. Saya percaya sepenuhnya pada kalian. Terima kasih banyak Zainal, maaf Saya tidak ikut, besok atau lusa, Saya akan ke pesantren lagi.]"

"[Sama-sama, ucapanmu adalah perintah bagi Saya, Mas Iklil.]" Belum sempat Zainal mengucapkan salam, ada suara panik diseberang sana, bunyi dari mesin rumah sakit menyala, menandakan ada bahaya.

"[Hallo, Mas Iklil?]" Sambungan terputus, membuat Zainal panik. Ada apa ini? kenapa roisnya itu?


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status