Share

05 Melamar Kerja (2)

Author’s POV

Naomi menyeka keringatnya, hari ini ia harus mempersiapkan makanan untuk jualan ayahnya. Benny berjualan bakso keliling dan setiap harinya ada Naomi yang membantunya mempersiapkan bahan jualannya. Melihat sang anak yang tampaknya kelelahan, ia meminta gadis itu untuk berehat sejenak dan menyerahkan sisanya kepada dirinya.

“Tidak usah, yah… tinggal sedikit lagi kok,” ujarnya sembaru membuat bola-bola bakso.”

Benny tersenyum teduh, ia beruntung memiliki anak yang mengerti kondisinya. Ia merasa sangat bersalah atas apa yang telah terjadi di keluarganya. Mulai dari merosotnya ekonomi keluarga mereka, hingga ia menaruh beban untuk anak sematang wayangnya yang seharusnya di usianya saat ini ia bersenang-senang. Tidak pernah ia dengar putrinya itu mengeluh, tidak pernah.

“Yosh! Akhirnya selesai,” ujar Naomi dengan senyuman bangganya.

Waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi, dan gadis itu hanya mendapat jatah tidur selama 3 jam saja karena dini hari tadi dia mengerjakan CV untuk ia kirim ke perusahaan Lewis Studios. Dan ia baru tidur di jam 2 pagi tadi dan jam 5 nya ia bangun untuk membantu ayahnya.

“Oh ya… Ayah, aku lagi melamar kerja loh,” ujar gadis itu dengan sangat antusias. Ia hampir saja lupa untuk membicarakan ini kepada sang ayah,

“Benarkah?! Melamar dimana?” tanya sang ayah yang ikut antusias,

“Itu yah, tempat kerjanya kak Seira. Kebetulan mereka butuh senior 3D artist. Aku udah masukkan lamaranku sih, tapi nanti kalau CV ku di terima, mereka akan panggil aku buat wawancara,” ujar gadis itu dengan senyuman yang tak lepas dari bibirnya. Benny juga ikut tersenyum melihat sang putri yang sedang tersenyum kepadanya.

“Hari ini aku ikut ayah jualan yah…” ujar gadis itu yang digelengkan kuat oleh pria itu,

“Tidak usah… bagaimana dengan kerjaan kamu, udah siap belum?” tanya sang ayah yang dimanyunkan oleh sang putri. Beruntung sang ayah memperingatinya karena ia juga baru ingat jika ia ada deadline di sore hari,

“Yaudah deh… tapi ayah hati-hati ya…” ujarnya yang diangguki oleh Benny. Keduanya saling membantu untuk merapikan dan memasukkan bakso-bakso tersebut ke dalam gerobak sang ayah. Setelah semuanya selesai, keduanya kembali masuk ke dalam rumah untuk membersihkan diri. Setelah gadis itu selesai mandi, ia kembali masuk ke dalam kamarnya dan membuka laptopnya. Ia kembali mengerjakan pekerjaannya yang deadline sore nanti.

****

“Yosh!”

Naomi sudah menyelesaikan desain karakternya untuk ia kirim ke client. Ia merenggangkan tubuhnya yang sudah mulai kaku tersebut karena ia mengerjakan kerjaannya dengan sangat serius. Sesekali ia menguap karena ia kurang tidur.

Melihat ranjangnya yang seakan tengah memanggil namanya, ia kemudian membanting dirinya di ranjang tersebut untuk melepas segala kepenatannya. Ia menghela nafas dan mencoba untuk menutup matanya.

Begitu ia menutup matanya, bayang-bayang Alex mulai menghantui dirinya. Seketika itu juga, ia memutar bola matanya dengan malas, mengapa ia harus terbayang sosok Alex yang beberapa hari lalu berjumpa dengannya.

Gadis itu memikirkan perkataan Alex yang seakan ingin gadis itu kembali kepada dirinya. Ia hanya tertawa kecil, mungkin pria itu sedang meracau karena sampai sekarang ia tidak menunjukkan batang hidungnya kepada dirinya.

Namun entah mengapa sedikit dari sisi dirinya menyayangkan hal itu.

Kecewa.

Gadis itu menggelengkan kepalanya dengan cepat, untuk apa kecewa jika pria itu tidak sungguh-sungguh dengan perkataannya? Gadis itu kembali mengingat pertemuannya dengan Alex yang benar-benar tidak terduga. Jika saja Alex tidak kejar para banci itu, mungkin mereka tidak akan bertemu untuk selamanya.  

Kenapa harus di kejar banci sih?

Tidak ada yang lebih bagus, begitu?

Gadis itu kembali membayangkan betapa berbedanya penampilan pria itu dari yang pernah ia lihat dahulu. Pria itu bertambah tinggi dan tentunya wajahnya semakin maskulin. Tidak hanya itu saja, tubuhnya semakin kokoh dan lebih bidang ketimbang yang dahulu.

Pemikiran gadis itu semakin mendalam, mengingat bagaimana tubuh itu pernah memberikannya sensasi yang belum pernah ia rasakan seumur hidupnya.

Ia akui ia merindukan tubuh itu,

Namun untuk merindukan dan kembali ke pria itu, ia rasa itu tidak akan terjadi karena luka yang pria itu torehkan kepadanya bukanlah sebuah luka biasa yang bisa obati. Pria itu adalah awal dari segala luka yang ada daripadanya.

Tidak bisa dibiarkan.

Mata gadis itu berair, mengingat apa saja yang sudah ia lalui. Dimulai dari trauma yang pria itu torehkan kepadanya hingga kepada trauma yang seorang lainnya torehkan kepadanya. Hidupnya penuh dengan drama menyedihkan dan gadis itu membencinya dengan sangat.

Mengapa semua ini harus terjadi kepadanya?

Yang ia inginkan adalah hidup yang tenang, karir yang bagus hingga menjadi wanita yang sukses, baik dari segi karir maupun kehidupannya. Impiannya untuk mendirikan perusahaan sendiri masih ia pegang saat ini walaupun saat ini ia berada di titik yang tidak memungkinkan untuk mencapainya.

Tidak ada sesiapapun yang berhak menghentikan mimpinya. Ia tidak perduli dengan celaan orang lain begitu mereka mendengar apa yang menjadi impiannya. Ia akan terus berusaha walaupun mungkin ia akan menjadi orang yang sukses di usia yang tidak muda lagi. 

“Aku harus berusaha,” ujarnya, sembari menatap langit-langit kamarnya. Tidak perduli apa yang akan menjadi perkataan orang, tapi ia yakin pada dirinya sendiri.  

Pikirannya tidak berhenti memikirkan Alex dan ia benci akan hal itu. Ia menggigit bibirnya dengan geram, mengapa ia tidak berhenti memikirkan pria itu sedari tadi. Ia membuka matanya dengan nafas yang kasar,

Ia harap pria itu benar-benar menghilang saja dari kehidupannya.

Dan mengapa ia jadi terus memikirkan pria itu?

“Sadarlah, Naomi. Jangan terjatuh diperangkap yang sama,” batinnya sambil menempuk-nepuk kedua pipinya,

Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam dan sebentar lagi ayahnya akan pulang. Gadis itu menantikan kepulangan sang ayah, supaya nantinya ia bisa bantu membereskan gerobak sebelum dia benar-benar bisa tidur dengan terlelap.

Ia kembali membalikkan tubuhnya ke kiri, berusaha untuk menahan kantuknya yang mulai menyerangnya. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk bangkit dari ranjangnya dan mulai berjalan-jalan tidak jelas, untuk meredakan kantuknya,

Hingga, ia mendengar ketokan kayu yang ia yakini adalah sang ayah yang sudah pulang. Dengan cepat, ia keluar rumah dan membantu sang ayah untuk mengeluarkan sisa dagangan sang ayah yang sudah mulai habis tersebut. Naomi tersenyum senang, dagangan sang ayah ternyata laku keras hari ini.

“Udah mau habis ya, yah…” ujar gadis itu yang tengah meletakkan sisa dagangan sang ayah ke dalam sebuah wadah,

“Iya, syukurnya udah mau habis…” ujarnya dengan senyuman yang gadis itu sukai. Setelah ia selesai memasukkan ayam-ayam tersebut ke dalam wadah, ia bergerak ke dapur untuk memasukkan ayam-ayam tersebut ke dalam kulkas. Begitu juga dengan pria itu yang juga ikut memasukkan bakso ke dalam kulkas mereka,

Setelah itu, gadis itu mendorong gerobak tersebut ke tempat yang masih terjangkau dengan atap rumahnya, supaya jika nanti hujan, gerobak itu setidaknya tidak terlalu basah.

“Kamu masak apa hari ini, Naomi?” tanya Benny ketika gadis itu baru saja meletakkan gerobak itu pada tempatnya,

“Hari ini cuman cah kangkung sama tempe aja sih yah…” ujarnya dengan pelan. Karena desakan ekonomi, keduanya terkadang hanya memakan makanan dagangan mereka sendiri. Sangat jarang untuk mereka memakan daging seperti yang dulu sering mereka makan.

Makanya tidak heran jika terkadang gadis itu tidak memasak apapun.

Benny mengangguk mengerti dan mengajak sang anak untuk ikut masuk ke dalam rumah. Disana, mereka bersenda gurau sembari menikmati lauk mereka yang sudah dimasak Naomi.  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status