Share

2. Keinginan Hati



"Terima kasih, Rea. Makananmu ini yang terbaik," puji Yudi setelah menikmati makanan yang dihidangkan oleh Andrea. Perkataan pria paruh baya itu diangguki oleh semua yang ada di halaman rumah Andrea yang cukup luas. Warga desa memang acap kali mengadakan makan bersama setelah mereka selesai memanen hasil pertanian yang mereka tanam. Kali ini mereka memilih halaman rumah Andrea karena gadis itu yang ingin menyajikan makanan utamanya dibantu beberapa warga. Ya setidaknya lebih meringankan beban gadis malang itu. Lagi pula di antara rumah mereka, rumah Andrea yang paling luas.

"Kembali kasih, Paman. Aku senang jika paman menyukai makanan yang aku sajikan," balas Andrea sambil mengulas senyum pada Yudi dan yang lainnya ada di sana. Tangannya masih sibuk menyajikan beberapa makanan untuk warga desa. Bibirnya tidak henti mengulas senyum mendengar jika makanan yang dimasaknya disukai para orang tua ini.

"Kami pasti menyukai apa pun yang kau masak, Rea. Seperti yang Yudi katakan tadi, makananmu sangat enak," ujar pria paruh baya yang lainnya.

"Oh jadi makanan Rea lebih enak dibandingkan manakanku begitu?"

"Tentu sa ..." Pria paruh baya itu menggantung perkataannya saat menyadari siapa yang bertanya padanya. Ia mendongak dan mendapati sang istri tengah berkacak pinggang dan mendelik ke arahnya. "Setelah makanan buatan istriku tentunya," lanjutnya seraya terkekeh, dan setelahnya ia tersedak karena masih ada sisa makanan di mulutnya.

Sontak saja hal itu membuat mereka tertawa. 'Ada-ada saja,' batin mereka semua yang ada di sana, termasuk juga Andrea. Manik bulatnya berbinar melihat bagaimana tetangga-tetangganya saling bercanda, senda gurau bersama. Ia merasa benar-benar merasa seperti memiliki keluarga saat bersama orang-orang ini. Hatinya menghangat, berbeda halnya dengan mereka yang entah merindukannya atau tidak.

***

Setelah satu persatu warga pulang ke rumah masing-masing, Andrea menghela napas pelan. Ia meletakkan piring terakhir yang dicucinya. Ia melangkahkan kakinya ke kamarnya. Ia cukup lelah hari ini, tapi cukup senang karena bisa membantu tetangganya di lahan pertanian milik mereka. Merebahkan diri mencoba beristirahat, tapi belum lama ia memejamkan mata, kelopak matanya kembali terbuka menampilkan mata bulat yang indah. Namun ada yang berbeda, manik bulatnya tidak lagi memancarkan binarnya, yang ada hanya kehampaan, kesedihan dan kerinduan. Berbeda sekali saat tadi siang, ia bisa tersenyum lepas di antara orang-orang yang telah ia anggap keluarga.

Inilah dirinya yang sebenarnya, sosok yang selalu merasa kesepian. Isak tangis tak pelak selalu menemani kesunyian malamnya. "Pa! Ma! Kenapa kalian meninggalkanku?" isaknya pelan. "Kakak ... dia ... dia meninggalku sendiri di sini. Katanya, dia akan menjemputku tapi sampai sekarang dia tidak pernah datang. Dia mengingkari janjinya.  Papa! Mama! Tolong! Aku kesepian. Tolong minta pada Tuhan agar mengirimkan seseorang untuk menemaniku hingga aku tidak kesepian dan sendiri lagi. Aku lelah, bisakah ini berakhir?" lirihnya. Entah berapa lama ia menangis sampai akhirnya tertidur karena kelelahan.

***

"Tenanglah, Van! Kenapa kau terdengar gusar hanya karena aku tidak ada dì Jakarta, hm?" tanya Dimas sembari terkekeh, membayangkan wajah kesal Revan karena ia tidak memberi tahu sahabatnya itu, jika ia sedang berada di salah satu tempat yang selalu membuatnya tenang. Tempat di mana ayah dan ibunya berasal, di sebuah kota di Jawa Barat yang masih asri, Lembang.

Revan yang diseberang sana hanya mendengkus keras. "Biasanya kau mengajakku jika ingin pergi ke sana. Meski kadang aku tidak bisa, setidaknya kau memberi tahuku," gerutu Revan dengan kesal.

"Aku hanya ingin menenangkan diri beberapa hari, Van. Secepatnya aku kembali."

"Beberapa hari kau bilang? Ini sudah lebih dari empat hari, jika kau lupa!"

"Hahaha! Baru empat hari, 'kan? Belum juga satu minggu."

"Dasar! Kau ini! Hah! Sudahlah! Lama-lama aku bisa gila jika terus berdebat denganmu. Cepatlah kembali, di sini sepi tanpamu."

Dengkusan keras terdengar dari bibir Dimas. "Apa-apaan perkataanmu itu? Seakan kita sepasang kekasih saja," ujar Dimas sembari bergidik geli.

"Bukankah kita memang pasangan, hm? Pasangan, ah lebih tepatnya partner dalam mencari sosok yang kita cintai dan mencintai kita."

Dimas terbahak mendengar perkataan Revan. "Ya! Ya! Kau benar! Secepatnya aku akan kembali."

"Nikmati waktumu di sana. Berhati-hatilah saat pulang nanti."

"Terima kasih, Van!"

Revan hanya menggumam pelan sebagai balasannya. Netranya memejam perlahan setelah mematikan sambungan ponselnya dengan Dimas. Perasaannya benar-benar tidak tenang saat mengetahui Dimas pergi sendiri. Ia merasa akan terjadi sesuatu pada sahabatnya itu. Hah! Semoga ini perasaannya saja.

Begitupun dengan Dimas, ia mematikan ponselnya, lalu hendak kembali ke dalam setelah menikmati teh dan camilannya di halaman rumahnya. Menikmati angin yang berembus di siang hari. Namun, baru beberapa langkah berjalan, ia kembali berhenti karena ponselnya kembali berdering.

Drrtt ... drttt ...

Dimas merogoh dan mengambil ponselnya di dalam saku. Desah lelah terdengar dari bibirnya setelah mengetahui siapa yang menghubunginya. Namun, meski begitu ia tetap mengangkatnya. Lagi lagi desah lelah mengalun dari bibirnya setelah menerima telepon itu. Tidak bisakah ia menikmati hari liburnya lebih lama dan tenang? Kenapa harus ibunya tetap merecokinya dan mengganggu ketenangan di sini, rumah keluarganya di Lembang?

"Andai saja bisa, ia lebih memilih memiliki kehidupan yang sederhana daripada hidup dalam kekangan setiap saat. Namun, ia tidak bisa bukan? Banyak orang yang menggantungkan hidup mereka padanya. Ia menghela napas dan segera melangkah memasuki rumah dan bersiap untuk pulang. Sepertinya ia harus kembali ke Jakarta hari ini juga.

***

Entah berapa lama Dimas mengemudikan mobilnya, ia tidak ingat. Pikirannya kembali melayang akan ucapan ibunya. Ia mendesah lelah. Kenapa ibunya itu tidak mengerti juga akan perasaannya? Ia tahu, saat tiba di Jakarta pasti ibunya kembali merecokinya untuk menerima perjodohan dengan salah satu putri rekan bisnisnya. Andai saja ia bisa menghilang untuk menghindari permintaan ibunya itu, ia tidak akan berpikir dua kali untuk mengambil kesempatan itu.

Dimas terlalu sibuk dengan pikirannya sampai tidak memperhatikan jalan, bahkan ia tidak melihat sebuah mobil lepas kendali di belakangnya. Mobil itu melaju dengan kencang hingga menabrak bagian belakang mobil Dimas. Tidak sempat menghindar, Dimas membanting kemudi membuat mobilnya terperosok dan terguling keluar dari pembatas jalan.

Tubuh Dimas membentur pintu mobil yang sudah remuk, ia berusaha mendorong pintu itu agar ia dapat keluar dari mobil. Ia berhasil melakukannya, tapi tubuhnya tiba-tiba limbung karena tidak kuat untuk menahan sakit dan luka yang dideritanya, sampai tubuhnya terjatuh dan kembali terguling semakin ke bawah karena tanah tempatnya berpijak sedikit miring. Beberapa kali ia membentur akar-akar pohon dan bebatuan sampai ia tidak kuat lagi menahan denyutan di kepalanya. 'Apa ini saatnya ia menghilang dari hidup yang memuakkan ini? Inikah akhirnya?' batinnya sebelum akhirnya kegelapan menghampirinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status