Share

5. Kabar Buruk

"Sekarang katakan! Di mana Dimas sekarang? Dia mengatakan akan kembali, tapi sudah empat hari berlalu dia belum juga pulang. Tante tahu, Dimas sudah kembali ke Jakarta. Biasanya jika tidak pulang, Dimas akan berada di apartemennya tapi kali ini Dimas tidak ada di sana. Sebenarnya di mana Dimas?Tante yakin kau tahu di mana Dimas. Kalian pasti bersekongkol."

Revan memutar bola matanya malas sebelum memandang sinis ke arah ibu sahabatnya. "Bukahkah memang itu gunanya sahabat. Terlebih Dimas sudah seperti saudaraku sendiri. Bagaimana aku tidak membantunya jika dia minta tolong kepadaku?" balasnya dengan sinis.

Ibu dari Dimas ini benar-benar memancing emosinya. Jika tidak ingat ia sedang berhadapan dengan orang yang lebih tua, terlebih dengan ibu dari sahabatnya, ia mungkin sudah meninggikan suaranya untuk membalas perkataan Sarah. Namun, ia masih punya sopan santun dan menghormati wanita yang sedang memandang angkuh ke arahnya sehingga berusaha menahan diri. Lagi pula bukan saatnya untuk melampiaskan kekesalan saat ini. Ada hal lebih penting yang harus katakan sekarang pada dua orang di hadapannya.

"Terserah tante mau mengatakan apa, aku tidak peduli. Aku datang ke sini bukan untuk meladeni perkataan tante yang tidak berdasar itu. Apalagi berdebat dengan tante. Aku datang ke sini karena Dimas ..."

"Nah! Terbukti bukan perkataan, Tante?Kau datang ke sini karena Dimas," seru Sarah menyela perkataan Revan. "Jangan mengelak lagi."

"Ma!"

Adrian yang sedari tadi terdiam mulai angkat bicara saat sang istri mulai keterlaluan melayangkan tuduhan pada sahabat putranya. Dengan tegas ia menegur Sarah hingga wanita yang berstatus istrinya terdiam. "Biarkan Revan bicara dulu, jangan menyelanya," ujarnya pada sang istri lalu beralih menatap Revan yang juga sedang menatap ke arahnya. "Nak Revan, maafkan perkataan tantemu ini. Dia terlalu mencemaskan Dimas hingga tidak mampu menahan diri."

Revan mendengkus pelan mendengar perkataan Adrian. 'Mencemaskan Dimas? Atau mencemaskan reputasi di hadapan koleganya?' batin Revan meragukan perkataan pria paruh baya di hadapannya ini. Selama ini, yang ia tahu Sarah hanya mementingkan keinginan dan ambisinya, Bahkan tak jarang Sarah mengabaikan perasaan Dimas untuk mencapai tujuannya itu. Sekarang ia dengar Sarah mencemaskan Dimas? Oh! Ia sangsi akan hal itu. Mengingat Sarah hendak mengenalkan Dimas pada putri dari Tuan Alfandy sebelum sahabatnya itu memutuskan pergi ke Lembang. Pasti Sarah tidak ingin malu karena Dimas tidak datang ke pertemuan itu. Hal itu juga yang menjadi alasan mengapa Dimas memutuskan untuk pulang lebih awal dari liburan singkatnya hingga kecelakaan tidak terelakan itu terjadi.

Revan memaksakan senyumnya. "Tidak apa-apa, Paman. Aku mengerti! Tante Sarah pasti mencemaskan Dimas," balasnya dengan menekankan kata mencemaskan pada perkataannya, menyindir Sarah dan Adrian.

Tatapan Revan berubah serius. Memandang lekat pada orang tua dari sahabatnya. Hela napas berat terdengar dari bibirnya sebelum kembali membuka suara. "Maafkan aku harus mengatakan ini pada paman dan tante. Kedatanganku ke sini membawa kabar buruk mengenai Dimas," ujar Revan. Setelahnya ia terdiam sebentar, menatap bergantian ke arah dua orang yang menatapnya penasaran sebelum melanjutkan perkataannya. "Aku ... aku ingin memberi tahu jika Dimas kecelakaan saat akan kembali ke Jakarta. Sampai sekarang Dimas belum ditemukan, hanya mobilnya saja yang ditemukan di lokasi kecelakaan." Dengan satu tarikan napas ia mengatakan kabar buruk yang memang menjadi tujuannya datang ke kediaman sahabatnya.

"Apa kau bilang?"

"Dimas kecelakaan, Tante."

"Bohong!"

Raungan Sarah itu menggema di ruang tamu kediamannya setelah ia mendengar penuturan Revan. Wajahnya memerah menahan emosi. Perasaannya berkecamuk. Rasa khawatir dan takut mulai menghampirinya. "Kau pasti bohong! Tante tidak percaya. Kau pasti berbohong agar bisa menyembunyikan keberadaan Dimas sehingga kami tidak bisa bertemu dengannya. Tante tahu bagaimana persahabatan kalian, kau dan Dimas selalu saling mendukung dan berbagi. Jadi bukan tidak mungkin kau membantu Dimas untuk menghindar dari kami."

Sarah menoleh ke arah suaminya yang belum menunjukkan reaksi apa pun atas pernyataan yang baru saja mereka dengar. Tangannya mengamit dan meremas lengan suaminya. "Katakan, Pa! Katakan jika yang dikatakan Revan itu hanya kebohongan belaka. Katakan!" ujarnya memohon. "Katakan!Putraku pasti baik-baik saja dan sedang bersembunyi sekarang karena tidak ingin menurutiku," pungkasnya. Air mata mulai membasahi pipinya. Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Revan hanya mampu menghela napas mendengar penyangkalan Sarah. Jika boleh jujur, rasa iba itu tetap ada melihat Sarah menitikan air matanya, meski ia tidak menyukai sikap wanita di hadapannya ini. Bagaimanapun Sarah seorang ibu, pasti wanita paruh baya ini terkejut mendengar perkataannya tadi. "Aku tidak berbohong, Tante. Terserah tante mau percaya atau tidak, tapi itulah kebenarannya."

Sementara Adrian juga tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Bahkan ia tidak memedulikan Sarah meremas tangannya. Di pikirannya saat ini hanya ada sang putra. Berbagai pertanyaan terus terngiang di kepalanya. Bagaimana keadaan Dimas? Apakah putranya baik-baik saja? Di mana putranya sekarang? dan masih banyak pertanyaan yang ada di kepalanya mengenai keadaan Dimas hingga ia menyadari satu pertanyaan mungkin bisa menjadi petunjuk untuk mengetahui keberadaan putranya.

"Di mana lokasi kecelakaannya, Van?"

"Daerah perbatasan Bogor dan Cianjur. Orang-orang suruhanku menemukan mobil Dimas di sana. Ini buktinya," jawab Revan sembari menyerahkan beberapa foto mobil Dimas yang hampir hancur di atas meja.

Adrian mengambil foto yang diletakkan Revan. Tanpa sadar tangannya meremas foto tersebut. Ini benar foto mobil Dimas. Jadi putranya benar-benar ....

Adrian kehilangan kata-katanya. Masih shock menerima kenyataan ini. Netranya kembali memandang Revan. Berharap ini hanya sebuah lelucon, tapi ia tidak menemukannya. Hanya keseriusan yang ia lihat dalam tatapan Revan. Sikap sahabat putranya ini pun demikian. Tangannya terkepal erat, mencoba kuat dengan kabar yang baru saja diterimanya. "Sejak kapan kau mengetahui hal ini?"

"Sejak empat hari yang lalu. Aku mulai curiga karena Dimas tidak bisa dihubungi beberapa jam setelah ia mengatakan jika akan kembali ke Jakarta. Saat itu aku langsung menyuruh orang-orangku untuk mencari keberadaan Dimas. Akhirnya dengan melacak ponsel milik Dimas, mereka berhasil menemukannya. Namun, yang mereka temukan hanya mobil Dimas yang sudah hampir hancur. Ponsel milik Dimas pun ditemukan di sana, sementara Dimas sendiri menghilang entah ke mana."

"Apa orang-orangmu sudah menyusuri lokasi?"

"Sudah, Paman. Mereka memang menemukan jejak kaki di sekitar mobil Dimas, tapi itu hanya beberapa langkah saja. Dari analisis mereka, Dimas kemungkinan terjatuh karena tanah di sekitar tampak lebih tertekan dari tanah di dekatnya. Namun setelah mencari dan menyisir di sekitar lokasi tersebut, mereka tidak menemukan Dimas di sana."

Dari penuturan Revan, kemungkinan memang benar Dimas terjatuh setelah berusaha keluar dari mobilnya. Pun melihat foto mobil Dimas yang hampir hancur, bisa dipastikan juga jika Dimas terluka cukup parah. Jika perkiraannya benar, seharusnya Dimas sulit bergerak dari tempatnya terjatuh, tapi kenyataan yang ada putranya tidak ada di sana. Pertanyaannya sekarang adalah ada di mana Dimas sekarang?

Sementara itu, Sarah yang mendengar percakapan antara Revan dengan suaminya, tidak mampu menahan tangisnya. Air mata semakin deras membasahi pipinya. Tubuhnya melemas. Terkulai di bahu sang suami. Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Tidak mungkin ini terjadi pada putranya. Dimas pasti baik-baik saja. Iya, 'kan?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status