Share

8. Luka yang Sama

"Andrea ..."

"Andrea?"

"Huh? Paman?"

"Kau melamun?" tanya Danu saat menemukan Andrea termenung sendiri di meja makan sampai-sampai gadis yang masih menunjukkan raut kebingungannya ini tidak menanggapi pangilannya sedari tadi. "Apa yang sedang kau pikir, 'kan, hm?"

"Aku ..." Andrea menggantung perkataannya. Ragu untuk mengatakan hal yang mengganggu pikirannya. "Bukan apa-apa, Paman," jawabnya. "Mungkin aku hanya lelah," elak Andrea.

Danu memandang penuh selidik ke arah Andrea yang sedari tadi menghindari tatapannya. "Kau tidak sedang berbohong pada paman, bukan?"

Andrea kembali menoleh ke arah Danu sebelum kembali menunduk. Menghindari tatapan pria paruh baya yang masih menunjukkan raut ketidakpercayaan atas jawaban yang ia berikan. 

Sementara Danu tersenyum melihat sikap Andrea. Gadis ini memang terlalu polos untuk bisa berbohong. Tidak berubah sejak dulu. "Paman mengenalmu bukan satu dua tahun, Andrea, tapi sejak kau masih kanak-kanak. Kau tidak mudah untuk bisa berbohong. Jadi katakan apa yang mengganggu pikiranmu?"

Andrea menggigit bibirnya. Matanya sudah memerah menahan tangis yang siap pecah. Kenapa? Kenapa justru orang yang tidak memiliki hubungan darah dengannya yang selalu memberinya perhatian yang ia harapkan? Kenapa justru orang lain yang lebih mengerti dirinya dibandingkan dengan mereka yang ia harapkan ada untuknya? 

Danu yang melihat bahu Andrea bergetar, mendekat ke arah Andrea yang masih duduk di tempatnya. Mengulurkan tangannya lalu memegang bahu Andrea yang membuat gadis itu mendongak menatapnya dengan mata yang sudah basah oleh air mata. "Paman, aku ..." Lagi! Andrea tidak mampu melanjutkan perkataannya karena tangisnya justru lebih dulu pecah. Tangannya langsung terulur memeluk tubuh Danu yang berdiri di sampingnya.

Sesak! Itulah yang dirasakan Danu saat melihat manik milik Andrea yang telah basah oleh air mata dan hatinya semakin berdenyut sakit saat Andrea memeluk tubuhnya seraya terisak. Tangannya kembali terulur, mengusap kepala Andrea. Tidak ada yang bisa ia lakukan lagi selain hal ini. Kenyataannya bukan ia yang gadis ini butuhkan untuk mengusap air matanya, tapi mereka yang ada jauh di sana. "Paman tahu! Kau merindukan mereka. Bersabarlah! Paman yakin mereka ..."

"Sampai kapan, Paman? Sampai kapan aku harus menunggu? Sampai kapan?" tanya Andrea disela tangisnya. Akhirnya isi hatinya tumpah. Pertanyaan yang selalu ditahannya selama ini keluar dari bibirnya. Pertanyaan yang selalu ia rapalkan dalam hati setiap saat. Setiap ia merindukan mereka, keluarganya. Keluarga yang entah masih mengingatnya atau tidak.

Usapan tangan Danu terhenti mendengar pertanyaan Andrea. Bibirnya terkatup rapat, tidak dapat menjawab pertanyaan gadis yang telah ia anggap sebagai putrinya sendiri. Kenyataannya, ia pun tidak tahu kapan hari itu datang. Ia sendiri tidak tahu kapan mereka yang membuat Andrea berada di sini akan menjemput dan membawa Andrea kembali ke sana. Tempat yang seharusnya menjadi rumah bagi gadis malang ini. Hanya kata maaf yang ia bisa terucap dalam hatinya karena tidak berdaya untuk memberi Andrea kepastian apa pun. "Menangislah! Jika itu membuatmu lebih baik, tapi setelah ini, kau harus menjadi Andrea yang kuat, yang selalu ceria dan membawa kebahagiaan bagi orang-orang di sekitarnya."

"Aku lelah, Paman."

"Paman tahu, tapi bukan berarti kau harus menyerah. Paman yakin kau bisa melewati ini. Suatu hari nanti kau akan mendapatkan kebahagiaan. Jika bukan dengan mereka, maka kau bisa menemukan kebahagian lainnya."

Andrea melepaskan pelukannya, lalu mendongak. "Benarkah?" tanyanya pelan pada Danu yang mengulas tersenyum ke arahnya.

Danu mengangguk. "Tentu! Paman yakin, kebahagian akan datang padamu. Percayalah!"

Andrea terdiam, tidak membalas perkataan Danu. Ia pun berharap demikian. Hanya anggukan lemah sebagai jawabannya. "Terima kasih karena selalu ada untukku, Paman. Terima kasih karena telah menemaniku di sini. Terima kasih ..."

"Jangan berterima kasih pada paman," ujar Danu menyela perkataan Andrea. "Sudah tugas paman."

Andrea hanya mengulas senyum. Bersyukur ada Danu yang setia menemaninya di sini. Jika tidak, entah bagaimana nasibnya di sini. 

Melihat Andrea yang tersenyum, mau tidak mau membuat Danu ikut tersenyum lega. Setidaknya Andrea sudah bisa tersenyum lagi. Ia harap senyum itu tidak hilang dari gadis malang ini. Andrea berhak bahagia. "Sekarang hapus air matamu dan istirahatlah!"

Andrea dengan cepat mengusap jejak air mata yang membasahi pipinya. "Terima kasih untuk semuanya, Paman."

"Sudah paman bilang, jangan mengucapkan terima kasih lagi. Kau ini!" ujarnya seraya menjitak pelan kepala Andrea yang dibalas kekehan oleh gadis itu. "Sudah sana!"

"Jangan memaksa, Paman. Aku belum mengantuk. Lagi pula aku masih harus mengecek kondisi pria itu."

"Tidak perlu! Biar paman yang akan mengecek dan menjaganya malam ini. Kau bisa beristirahat. Bukannya tadi kau mengatakan lelah, hm?"

"Tapi itu ..."

"Hari ini tidak ada bantahan sama sekali."

Mendengar nada tegas Danu, mau tidak mau Andrea menurut. "Baiklah! Tapi jika terjadi sesuatu atau paman butuh sesuatu, bangunkan aku."

"Iya, akan paman lakukan." 

Setelahnya, Andrea beranjak dari kursi yang didudukinya. Melangkah menuju kamarnya untuk beristirahat. Sementara Danu hanya menghela napasnya dengan berat. "Maafkan paman, Andrea," gumamnya seraya memandang Andrea dengan sendu.

***

"Eh? Andrea?"

"Oh! Apa aku membangunkan paman?"

"Tidak apa-apa. Lagi pula ini sudah pagi."

"Kalau begitu, paman membersihkan diri dan sarapan saja dulu. Makanannya sudah siap di meja makan. Aku akan menyusul setelah membersihkan pria ini dulu," ujar Andrea sembari meletakkan baskom berisi air dan handuk kecil di atas nakas.

Danu mengangguk pelan. "Kapan Dokter Dania akan datang lagi untuk memeriksa keadaannya?" tanya Danu sembari memerhatikan pria yang tergolek lemah di atas ranjang di hadapannya.

"Dokter Dania mengatakan akan datang hari ini. Kemarin dia masih memeriksa beberapa penduduk di desa sebelah."

"Beruntung kau sudah diajari memasang infus, jadi Dokter Dania tidak harus datang setiap hari untuk memeriksanya."

"Beda cerita kalau jarus infusnya terlepas, maka aku tidak akan bisa melakukannya."

"Beruntungnya lagi itu tidak sampai terjadi."

"Haha! Kau benar!"

Andrea merengut mendengar tawa Danu. Ada-ada saja! "Lebih baik paman sarapan sekarang sebelum makananya dingin," ketusnya.

Seketika Danu menghentikan tawanya mendengar nada ketus dari Andrea. "Baiklah! Cepat menyusul sebelum paman menghabiskan makanannya nanti," ujarnya sambil bergurau lalu meninggalkan Andrea. 

Andrea hanya menggumam pelan sebagai balasan. Ia sibuk memeras handuk untuk membersihkan pria yang masih tertidur ini. Tangannya mengusap tubuh pria di hadapannya dengan telaten.

Usapan tangannya terhenti, pandangannya tertuju pada wajah pria itu. Andrea memperhatikannya dengan lekat. Hanya dalam hitungan hari, pria ini sudah mengambil alih perhatiannya. Ia sendiri tidak mengerti dengan hal ini, tapi ada sesuatu yang membuatnya terus melihat ke arah pria yang ditolong tetangganya ini. Perasan ini sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya? Kenapa?

Tanpa sadar tangannya yang bebas membelai lembut wajah penuh luka itu. Meski tersamarkan oleh luka, gurat kelelahan tergambar jelas di wajah tampan ini. Entah mengapa ia merasa pria ini sama sepertinya. Sama-sama merasakan kepedihan dan kesepian. Matanya menyendu "Apakah kau sama sepertiku? Sama-sama merasakan sakit? Di sini?" tanyanya sambil meletakkan tangannya di dada priayang masih enggan membuka mata itu. 

Sesak kembali ia rasakan, kenapa selalu seperti ini? Tidakkah rasa ini ingin pergi darinya? Kenapa rasa rindu pada mereka, ia rasakan hanya karena menatap wajah pria ini? Pun dengan rasa itu? Rasa terabaikan dan terbuang ini? Kenapa?

Andrea menggeleng berusaha mengenyahkan pikiran yang melayang entah ke mana pun dengan perasaan yang menyusup ke hatinya. Ia menghapus air mata yang entah sejak kapan membasahi pipinya. Ia kembali melanjutkan sisa pekerjaannya. Namun, gerakan tangannya kembali terhenti saat sebuah gelang terlepas dari pergelangan tangan pria itu. Gelang rajut dari rotan yang indah. Ia mengambil gelang itu. Mata bulatnya menyusuri ukiran pada gelang itu sampai ia menemukan satu nama terpatri indah di sana. 

"Dimas Ardiantara ...," gumamnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status