Share

Chapter 2

Jika aku bisa, aku hanya ingin mengingat bagaimana rasanya mati.

Aku tidak tahu sejak kapan perasaan ini datang dan membelenggu setiap jengkal hati dan pikiranku. Berkali-kali aku mencoba mengingatkan pada diriku sendiri, bahwa setiap pilihan yang kuambil akan berdampak sangat besar pada jalan hidupku.

Jika ditanya, apa alasanku melakukan setiap hal mengecewakan yang tidak pernah bisa kuhapus dari ingatanku adalah ... tidak ada.

Perasaan itu terus menerus datang dan memintaku untuk melakukan perbuatan bodoh yang telah membuatku dibenci oleh seseorang yang namanya tidak pernah bisa kuhapus dari benakku.

"Apa kamu pengen Tuhan nyiksa kamu lebih dari ini?"

Dia mengatakannya tepat di hadapanku yang tengah menyesali kejadian itu. Ketika aku masih terbaring lemas dengan jarum infus dan selang oksigen yang menancap di tubuhku.

Kupikir percobaan bunuh diri saat itu akan berhasil. Nyatanya, kegagalan justru menumpuk penyesalan yang lain. Kenapa aku harus dilahirkan jika hanya untuk dikecewakan?

Aku duduk di ruang kerja yang ada di kamarku, melamunkan setiap kejadian masa lalu yang ingin sekali kulupakan.

Rumah kontrakan yang kusulap menjadi sebuah studio produksi memiliki empat orang staff tetap yang bekerja di bidangnya masing-masing. Semuanya berada di ruang tamu, kecuali kamar depan yang kujadikan ruang kerja sekaligus perpustakaan dengan sofa sebagai tempat tidurku. Aku lebih suka terlelap di sini ketimbang di kamarku sendiri.

Dokumen yang tertampil di layar komputerku masih sama seperti beberapa hari sebelumnya. Data keuangan yang semakin hari angkanya semakin berkurang karena kerugian. Karya-karya para kreator dengan kualitas yang masih belum mumpuni memaksa para editor bekerja keras. Belum lagi sifat malas mereka untuk mempromosikan hasil karya mereka sendiri membuat penjualan terus merosot.

Itu membuatku berpikir ulang, meski banyak sekali karya terbaik yang berhasil terbit dengan logo dari studio ini. Aku memikirkan nasib mereka yang hanya bergantung pada pekerjaan lepas dengan upah berdasarkan hasil penjualan. Sebelum aku benar-benar merugi dan membuat mereka jauh lebih jatuh daripada aku.

Sebenarnya, kerugian untukku bukanlah masalah, tetapi semua yang terlibat di studio ini butuh menjaga asap dapur agar tetap mengepul. Sayangnya, aku akan memberitahukan ini pada mereka secepatnya dan meminta maaf karena mereka harus berusaha keras untuk mencari pekerjaan baru.

Aku menghela napas berat, menatap sebuah bingkai foto di atas kabinet yang berada tepat di sebelah meja kerjaku. Sebuah portet seseorang yang menyumpahiku berkali-kali ketika aku berbuat nekat hendak mengakhiri hidup, mengikatku ketika aku mengamuk, dan mengurungku ketika aku berusaha lari. Namun, dia juga akan memelukku ketika perasaan hampa, kesepian, dan kesakitan itu tengah menyerang.

Aku mencintai lelaki itu ….

"Udah empat tahun berlalu. Seandainya kamu masih ada, apa yang akan kita lakuin sekarang? Apa masih sama-sama berjuang untuk semua mimpi yang kita ukir?" Aku terkekeh mengingat momen-momen manis yang pernah kami lalui, meskipun tidak sebanyak momen menegangkan yang terjadi akibat kegilaanku.

"Aku juga kangen sama kamu …."

Seolah aku bisa mendengar suaranya di kepalaku, menjawab setiap kata rindu yang terucap setiap kali aku membutuhkan sebuah pelukan.

Teriakan dari ruang depan membuatku berjengit. Ini masih pagi dan ada yang sedang kesal karena sesuatu yang sudah bisa kutebak.

"Aaaaaaah! Damn it! Belum kesimpan!"

Itu suara Ester, satu-satunya ilustrator dengan jam terbang yang cukup padat di studio ini. Hal itu terlihat jelas dari tempramen dan kantung mata yang dia miliki.

Aku tertawa keras akibat masalah yang ia alami sepagi ini. Sudah beberapa kali dia memintaku untuk mengganti perangkat yang dia gunakan karena sering berhenti atau mati secara tiba-tiba. Namun, mengingat nasib tempat ini berada di ujung tanduk, aku terpaksa harus menolak permintaaanya.

"Mbak Luna enggak usah ketawa!" Aku menghentikan tawaku tepat ketika Ester berteriak lantang, "untung aja belum banyak ngeditnya!"

Aku mengembuskan napas sekali lagi, memilih berjalan ke luar ruangan dan menuju dapur untuk sekadar mengambil minuman.

Pikiranku kembali mengawang ketika meneguk setiap cairan yang masuk ke kerongkonganku. Melihat setiap sudut rumah ini mengingatkanku akan perjuangan-perjuangan yang kulalui hanya untuk mewujudkan janji bersama kami. Meski pada akhirnya akulah yang berusaha sendirian demi 'dia'.

"Kayaknya aku juga harus batalin kontrak rumah ini buat cari tempat tinggal baru."

"Mbak serius mau berhenti?"

Aku menoleh ke asal suara yang memanggil. Ester berdiri tepat di belakangku. Matanya memincing, ekspresinya menuntut sebuah jawaban.

"Aku enggak punya motif yang kuat buat lanjutin semua ini, Ter. Kalau cuma modal janji, aku udah wujudin selama lima tahun terakhir dan aku enggak kuat."

Ester tersenyum dan menggusak kepalaku, menyebabkan rambut yang kuurai bebas menjadi sedikit berantakan. "Ter, aku ini lima bulan lebih tua dari kamu, loh!"

Kembali, ia tertawa. "Tapi mbak itu lebih cocok jadi adikku." Ia memberi jeda untuk mengambil sebuah apel dari kulkas dan memotongnya menjadi beberapa bagian. Sembari mengupas sedikit bagian kulit menjadi berbentuk kelinci, ia melanjutkan, "Kalau emang Mbak lelah, berhenti aja. Jangan nyiksa diri Mbak sendiri. Aku yakin Mas Demian juga bakal ngerti."

"Ini lebih dari sekadar alasanku buat Demian, Ter. Banyak hal yang kulalui dan kamu sendiri yang jadi saksi selama dua puluh tahun kita temenan."

"Aku enggak ngerti banyak hal tentang kamu, Mbak. Kamu kurang terbuka, tapi aku bisa nangkap apa yang kamu rasain."

Aku tersenyum ke arah Ester, sejenak mengingat betapa lamanya kami bersama sebagai seorang 'teman kecil' membuatku bersyukur.

"Omong-omong, setelah ini kamu bakal pulang atau masih mau netap di sini?"

Ester mendongak, menatap plafon monokrom yang masih terlihat sangat terawat. "Entah, ya, Mbak, cari kerja di kota ini kan susah. Kalaupun pulang ya enggak ada pilihan lain selain bantuin bapak jadi juragan beras."

Bukan tidak ada pilihan lain. Keahlian seperti kita ini mau bekerja di mana kecuali freelance?

Melihat bagaimana kebingungan melanda Ester akan masa depannya, aku jadi meminta maaf akan hal itu. Dia laki-laki yang suatu saat pastilah harus menghidupi keluarganya.

"Kalau Mbak sendiri, habis ini mau ke mana? Masih mau ngelanjutin pengembaraanya? Atau mau nikah aja sama Mas Kenan?"

Aku mencomot satu potong apel yang sudah sangat mirip dengan kelinci akibat olah tangan Ester, mengunyahnya sebentar sebelum berkata, "Entah, ya …, hidupku, 'kan, enggak pernah siap untuk apa pun."

***

Jika mengingat tentang hari-hariku bersama Kenan, tidak pernah sehari pun kami menghabiskannya dengan suasana romantis. Yang kami lewati selama ini hanyalah hari-hari penuh pekerjaan dan 'ranjang'.

Empat tahun yang lalu, ketika aku sedang dalam kondisi terburuk hidupku yang menyebabkan segala apa yang ada di depan mata menjadi sebuah alasan untuk membenci. Kami bertemu sebagai rekan kerja dan melawati profesionalisme dengan sangat baik. Hingga setahun yang lalu, saat dia menyatakan perasaan yang dia pendam demi menunggu agar mentalku lebih baik.

Seolah-olah telah terkurung oleh keputus asaan akan bayang-bayang kepergian seseorang, pengkhianatan, serta masa lalu yang kelam. Aku tidak mengucapkan apa pun tentang bagaimana aku harus membalas perasaan Kenan. Mulutku seolah memiliki kehendak sendiri untuk berbuat dosa.

"Tidurlah denganku!"

Sekarang, jika aku mengingat masa setahun ke belakang saat kami menjalin sebuah hubungan yang salah ini, perlahan rasa itu tumbuh. Namun, rasa takut yang lebih besar seperti sedang mencegatku di depan sana. Seolah jika aku maju selangkah saja, maka aku akan dijatuhkan kembali.

Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri kala mimpi buruk itu selalu datang dan menagih sebuah kebesaran hati untuk menerima dan memaafkan takdir.

Keringat membasahi tubuhku yang terbaring lemas karena keterkejutan dalam mimpi membuatku terjaga pada dini hari. Rumah yang sepi dan gelapnya langit tanpa satelit membuatku semakin terkubur dalam rasa takut.

Suara dengkuran kucing yang berada di sebelahku sedikit memberikan keberanian untuk tetap membuka mata dan kesempatan untuk menenangkan diri. Namun, ini akan bertahan cukup lama. Tangan yang gemetar memaksaku meraih ponsel di samping bantal untuk menghubungi nomor seseorang.

Nada sambung klasik terdengar cukup lama sebelum suara itu membuat pertahanan rasa beraniku runtuh seketika.

"Halo, Luna …, ada apa?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status