Share

Chapter 3

Entah apa yang kupikirkan setengah jam yang lalu hingga membuat Kenan datang ke rumah pada pukul dua dini hari. Saat semua isi kepala merespons perasaan kalut yang terus-menerus menjadi kekhawatiran, maka tidurku tidak akan tenang. Usaha kerasku untuk mengubur semua rapat-rapat serasa percuma. Mereka datang bak hujan dan terus menyerangku yang berdiri sendiri tanpa perlindungan.

"Ini tehnya, diminum dulu."

Kenan duduk di kursi kerjaku yang ia seret hingga ke sebelah sofa dan menjadi sandaran untuknya. Secangkir teh kuterima dan kusesap sedikit, mengabaikan rasa panas yang membentur lidah.

"Kamu lagi mikirin apa, sih? Kenapa bisa mimpiin itu lagi?"

Aku meletakkan kepala pada sandaran sofa, menatap garis-garis plafon memanjang yang memenuhi kamar kerjaku. Jika kuingat tentang obrolan dengan Ester tadi sore, sepertinya memang aku terlalu banyak berpikir setelahnya. Masa lalu suram yang belakangan terjadi—sebelum aku keluar dari rumah—seperti terulang kembali. Kemarahan dan kebencianku memuncak, membuat napasku berembus lebih berat dan cepat. Sigap, Kenan langsung berpindah tempat di sebelahku dan memeluk dengan erat.

"Enggak usah khawatir sama apa pun! Semua orang di sini bakal lindungin kamu."

Aku memejamkan mata, menikmati suhu tubuh Kenan yang bersinggungan dennganku. Benar, seharusnya aku tidak perlu takut akan apa pun karena ada dia di dekatku. Ester dan yang lainnya pun selalu berusaha membuatku lupa akan segala pikiran-pikiran negatif yang setiap hari hinggap di kepalaku. Namun, aku tidak bisa memungkiri jika keberanianku belum cukup untuk mengusir segala resah dan kecemasan yang kumiliki.

Seandainya ….

Sebuah kata yang selalu terlintas dalam pikiranku, berusaha untuk melawan semua takdir yang sudah terjadi.

Seandainya ibuku tidak menikah lagi

Seandainya aku bisa melawan setiap perlakuan buruk dari orang-orang itu terhadapku

Seandainya aku bisa mencegah Demian untuk tidak pergi kala itu.

Seandainya dan terus seandainya, menumpuk seluruh rasa penyesalan dan kemarahan yang membuatku takut setengah mati.

Napasku memberat, membuat Kenan bangun dan mengambil cangkir yang ada di meja dan ia serahkan kepadaku lagi. Aku tidak bisa berbohong ketika aku terus berpikir keras meski aku sudah mencoba untuk berhenti.

Selesai dengan minumanku, kuserahkan kembali cangkir putih itu untuk ia letakkan di meja, kemudian ia kembali mendekapku seraya berbisik, "Enggak apa-apa, enggak apa-apa. Sssst! Udah, yuk, tidur! Aku temenin, biar besok enggak ngantuk pas kerja."

Kami pun berpindah ke kamar di sebelah ruangan untuk mendapatkan tempat yang lebih luas untuk tidur bersama. Kugunakan kesempatan ini untuk lebih menyamankan diri di dalam dekapannya, berusaha menanamkan sugesti positif bahwa pelukan seorang pria tidak selalu buruk. Berbeda dengan rengkuhan paksa seorang lelaki yang gila seks. Berbeda dengan dekapan menyakitkan penuh kerinduan milik Demian, bahkan berbeda dari pelukan persahabatan yang kudapat dari Ester dan yang lainnya kala kami berhasil memenangkan project.

Nyatanya, dekapan Kenan benar-benar berhasil menenangkanku dan membawa lelap yang begitu nikmat. Berkat dia juga, aku berhasil mengenyahkan rasa lelah yang beberapa hari kutahan, alhasil aku bangun kesiangan. 

Aku mengucek mataku yang kini terasa lebih ringan, merasakan seluruh pegal di tubuhku telah menghilang. Aroma kopi semerbak tertangkap oleh indra penciuman, membuatku refleks menoleh ke arah meja di sebelah tempat tidur dan mendapati cangkir bergambar moggy—kucingku—ada di sana.

Aku tersenyum, perasaan lega sekaligus bahagia menyebar ke seluruh tubuh dan membawa kehangatan yang selama ini kurindukan. Sekali lagi, Kenan berhasil menembus rantai yang telah lama membelenggu pintu di hatiku.

Suara tawa beserta gurauan saling olok terdengar dari arah luar. Itu Ester yang sedang tergelak dengan cukup keras sembari mengumpat. Begitulah dia jika ada Kenan di rumahku, maka pekerjaan akan sedikit terbengkalai dan lebih banyak berisik yang mereka perbuat.

Aku beranjak dari tempat tidur, berjalan menuju kamar mandi satu-satunya yang terletak di sebelah dapur. Aku masih benci dingin, sehingga hanya dengan mencuci muka adalah jalan terbaik untuk kesehatan kulitku. Angin di musim kemarau tidak sehangat matahari, mereka kejam dan menyiksa.

"Udah bangun, Mbak?"

Aku menoleh, mendapati Ester yang berdiri di ambang pintu dan menatapku dengan tangan yang menyilang di dada. Aku mengangguk sesaat, kemudian meletakkan sikat gigi yang baru saja kucuci setelah kupakai.

"Ada makanan di meja. Habis sarapan, kita kumpul di depan sama yang lain buat bahas tentang tahap penyelesaian buat project Stardust."

Aku berjalan melewatinya, menuju rak yang ada di depan kamar mandi, mengambil handuk kecil bergambar kucing yang ada di gantungan tengah, kemudian menepuk wajahku pelan dengan benda berserat lembut itu. "Kenan?"

"Dia di depan, lagi ngedit kerjaanya." Ester hendak berjalan kembali ke depan. Namun, ia menghentikan langkahnya saat itu juga. "Sejak kapan dia di sini?"

Aku mengabaikan pertanyaan yang satu itu, memilih untuk berjalan lurus menuju dispenser dan menuangkan air ke dalam gelas. Aku baru sadar bahwa semua perabotan rumahku memiliki gambar yang sama. Kucing.

Merasa pertanyaanya tidak kunjung dijawab, Ester berdiri di sebelahku dengan tatapan tajam penuh curiga. "Mbak enggak lagi kambuh, 'kan?"

Aku menghela napas, beradu pandang dengan mata tajam Ester dan memberikan ekspresi sedatar mungkin terhadapnya. "Ter ..., aku enggak apa-apa. Dia datang semalam dan aku yang suruh dia nginep." Aku tidak sepenuhnya berbohong, 'kan?

Menyerah, Ester pun mengangguk dan menggusak rambutku, membuatnya semakin berantakan. "Ya udah, aku ke depan kalau gitu. Jangan lupa sarapan!"

***

Berhari-hari aku membiarkan Kenan menginap di rumahku. Ia tetap seperti saat terakhir kali aku memanggilnya, menjagaku setiap malam hingga fajar datang. Ia sendiri baru akan tertidur pada dini hari, setelah memastikan tidurku tidak bermasalah dan pekerjaanya telah selesai. Tidak ada perubahan dalam kondisiku, masih stabil seperti saat terakhir kali aku berkeringat di tengah malam dan mengalami kecemasan hingga pagi.

Project yang kukerjakan telah selesai. Seperti yang kurencanakan bahwa studio ini tidak akan lagi beroperasi, sehingga aku menjual beberapa perangkat komputer yang telah kuambil harddisknya untuk kusimpan sebagai arsip dan portofolio kami—Aku dan Ester.

Rencanaku untuk pindah sudah kupikirkan matang-matang dan berdiskusi dengan Kenan. Tadinya, ia ingin aku tinggal bersama di apartemennya, tetapi aku menolak. Aku berdalih bahwa ini belumlah saatnya kami untuk menciptakan momen seperti itu. Aku pun memutuskan untuk menyewa rumah kecil di dekat pantai di pesisir Kota Malang. Di sana, aku berharap bisa menemukan sesuatu yang bisa membuat hidupku sedikit lebih baik dan mencoba untuk memaafkan diriku sendiri. Namun, tetap dengan keposesifannya, Kenan melarangku pergi sendiri. Ia meminta Ester untuk menemani dan menjagaku dalam pengasingan. Ia tidak bisa meninggalkan pekerjaanya, maka dari itu, ia memilih untuk tetap mengawasiku melalui mata seseorang yang ia percaya.

Aku tidak bisa menolak sifat keras kepalanya. Setidaknya, aku bersyukur, meski menjauh dari kehidupan sosial yang melelahkan, masih ada teman yang menghiasi pandanganku di kala aku akan merasa kesepian.

"Kamu yakin, beneran mau pergi? Semua barangmu taruh di apartemenku aja biar enggak ngerepotin pemilik rumah ini."

Aku tidak membantah setiap perkataan Kenan yang ia tujukan untuk mengaturku selama seminggu terakhir. Sepertinya aku harus mempersiapkan diri untuk kemungkinan-kemungkinan besar ke depannya.

"Jadi nyewa Villa atau rumah biasa?"

Aku menjatuhkan diri pada sofa panjang yang ada di ruang kerjaku. Semua barang-barang sudah dikemas, kecuali perabot rumah yang tidak akan muat jika kumasukkan ke dalam kardus. "Rumah biasa aja, kalau Villa mahal."

"Berapa lama kamu bakal di sana?" Tangan Kenan menarik kepalaku untuk bersandar di bahunya. Aku tidak menolak, aromanya membawaku untuk semakin menyamankan diri dalam posisi tersebut.

"Enggak tahu. Paling cepet sebulan, mungkin."

"Enggak kerja berarti? Buat makan gimana?"

Tanganku bergerak, menggenggam telapak tangan Kenan yang bertengger santai di atas paha. "Jangan khawatir! Cuma cuti kerja seminggu. Aku enggak keluar dari proyek dengan penerbit dan ilustrasiku masih jalan."

Pelukan Kenan mengerat seiring keintiman yang kami lakukan hari ini. Diiringi sinar matahari senja yang menembus jendela ruang kerja yang sebentar lagi akan kutinggalkan, kami menikmati sisa waktu yang kami miliki sebelum berpisah dalam waktu yang cukup lama.

"Aku enggak bisa buat enggak khawatir, Lun!"

"Percaya sama Ester, dia bakal jagain aku dengan baik." Kuberikan senyum terbaikku hari ini untuknya. Kenan pun hanya mampu mengembuskan napas secara pasrah.

"Oke, tapi jangan lupa telepon aku segera kalau ada apa-apa!"

Aku hanya mengangguk, kemudian kembali menyandarkan kepalaku di bahunya, menyamankan diri hingga mata terasa semakin berat, menginginkan lelap membalut tubuh untuk menjadi lebih rileks.

Setidaknya, aku bisa tenang untuk hari ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status