Share

Chapter 5

"Hidup adalah sebuah perjalanan," kata seseorang yang suaranya terus-menerus mengisi rongga di kepalaku. Seseorang yang tidak henti-hentinya kurindukan.

Dahulu, ia hanya tertawa saat mendengarkanku melontarkan sebuah respons negatif. Meski begitu, ia tetap menerimanya dengan senyum yang menawan.

"Memangnya ke mana kita pergi selama kita hidup? Bukannya kita bakal tetap ada di satu tempat yang nyatanya udah kita pijak selama lebih dari dua puluh tahun?"

Saat itu, semua pertanyaan-pertanyaan yang kulontarkan seolah-olah menolak semua opininya. Namun, tanpa kusadari, setiap jejer kata yang ia susun malah membekas dan meresahkan batinku sendiri hingga sekarang. Bahkan, empat tahun berlalu. Setelah selama itu aku dipaksa oleh semesta untuk mengikhlaskan dia yang melebur bersama bumi.

Nyatanya, saat ini, bahkan ketika aku masih duduk terdiam di ruang tunggu keberangkatan kereta api, kalimat itu masih terngiang satu per satu, mengingatkan tentang semua hal yang telah menimpaku.

Aku sadar bahwa kehadirannya adalah sebagai obat yang mampu meredakan segala emosi yang dengan kurang ajarnya meluluhlantakkan hidupku. Tak ayal, aku merasa sangat sulit untuk melepaskan.

Bahkan, ketika sosok baru yang kini setia meski tanpa status yang jelas bersamaku, telah berhasil menarik salah satu katup jantungku dan terisi oleh namanya, aku masih dilanda dilema.

Bagaimana mungkin aku merasa sangat bersalah karena telah jatuh cinta pada Kenan?

Aku merasa sangat bersalah terhadap Demian karena telah mencoba melepas dan melupakannya. Lebih tidak masuk akal ketimbang aku dan Ester yang sering dikira pasangan padahal bukan.

Sebuah hawa dingin datang dalam rasa menakutkan layaknya teror. Bukan sesuatu yang horor, sih, tetapi cukup mengejutkan dan membuatku sedikit melompat akibat kaleng minuman yang baru saja Ester ambil dari pendingin di dalam swalayan di sebelah ruang tunggu ia tempelkan di pipiku.

Sekaleng kopi rasanya sudah cukup untuk membuatku rileks. Itu pun jika tidak malah membuat jantung semakin berdebar akibat aku yang tidak bisa mentolerir kafein.

"Makasih, Ter."

Ester tersenyum ke arahku, kemudian menarik tuas penutup kaleng miliknya sendiri sebelum akhirnya dia duduk dan meminumnya.

"Mbak jangan kebanyakan ngelamun. Kita lagi ada di tempat umum, nanti kalau kecopetan gimana?"

Aku mengangguk, kemudian mengikuti apa yang Ester lakukan terhadap kaleng minumannya.

Setidaknya, di sampingku saat ini masih ada orang yang memahami tentang kebutuhan damai.

***

Aku terdiam sembari menatap ke hamparan sawah yang terlewati oleh kereta yang kunaiki. Guncangan-guncangan kecil yag terjadi pada gerbong bercambur dengan aroma AC yang diberi pengharum ruangan membuatku sedikit mual. Beruntung, itu bukan aroma jeruk yang sering kudapati pada dashboard mobil angkutan umum.

Ester yang berada di sampingku sedari tadi hanya memejamkan mata sembari mendengarkan musik melalui earphone yang tersambung pada ponselnya. Sesekali kepalanya terantuk ringan ke depan sebelum ia bangkit dan menyandar kembali pada kursi. Beberapa kali juga kulihat ia tampak menguap.

Di hadapanku, ada sepasang suami istri yang sudah sepuh. Mereka tampak berpegangan tangan sembari menyandarkan kepala satu sama lain.

Aku mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya kembali menoleh ke arah bentangan hijau di luar sana. Matahari pun sudah sangat terik, membuat pantulannya yang menembus ke dalam gerbong melalui kaca terasa begitu panas. Aku pun berinisiatif menutupnya dengan tirai, kemudian menyandarkan kepalaku pada kursi.

Bayangan-bayangan liar dalam kepalaku terus-menerus berputar. Kenangan yang datang dalam beberapa periode benar-benar menjadi rasa trauma tersendiri. Apa yang terjadi setelah pertengkaran terakhirku dengan ibu semakin membuat aku menjadi orang yang bimbang terhadap sebuah pilihan, bagaiman caraku menjalankan kehidupan.

Benar kata Demian. Apakah ini akibat perbuatan nekatku dahulu, sehingga Tuhan benar-benar menghukumku?

Aku mengembuskan napas berat disertai lelehan air mata yang sepertinya sudah lama tidak kubuang. Kalau tidak salah ingat, terakhir kali aku menangis adalah saat aku berkunjung ke makam mendiang Demian dua tahun yang lalu. Kunjungan terakhir yang kulakukan sebagai bentuk pamitku agar bisa menjalani kehidupan yang lebih sempurna, membawa mimpi yang kami ukir bersama sebagai motivasi agar aku benar-benar bisa hidup.

Namun, saat ini realita yang terjadi adalah miimpi itu tidak cukup kuat untuk melawan egoku yang begitu besar.

Setelah melewati badai kehidupan yang cukup pelik—setidaknya hanya bagian permukaanya, belum banjir bandangnya—aku memutuskan untuk tidak lagi berada dalam jangkauan lelaki yang terlebih dahulu kembali pada Sang Agung tersebut. Aku pergi meninggalkan semua yang kumiliki. Harta, keluarga, pekerjaan, dan bahkan cintaku.

Meski ada Kenan, saat itu ia sama sekali tidak tahu apa yang kualami. Ia hanya tahu bahwasanya aku mungkin masih belum bisa ikhlas melepas kepergian Demian. Nyatanya, peristiwa yang kuhadapi tidak sedangkal itu.

Aku menghindari segala kerusakan dalam lingkaran yang membuat mentalku semakin terbakar. Rasanya jika aku bisa, maka sebaiknya aku menghilang dan tidak pernah ada untuk kembali. Sayangnya itu tidak bisa.

Jadi, aku memutuskan untuk keluar dari rumah dan memindahkan semua bentuk karya impianku ke kota besar yang saat ini masih menjadi tujuan favorit para perantau. Sidoarjo.

Dalam lamunanku yang cukup panjang, aku masih memikirkan bagaimana cara mengentaskan rasa takut berlebihan untuk melawan arus hidup yang sedikit lebih kejam dibandingkan ekspektasi.

"Mbak, kita udah sampai."

Aku menoleh ke sekeliling, menyaksikan orang-orang mulai menyebar ke arah pintu untuk keluar dari gerbong. Aku pun turut mengikuti mereka karena stasiun tujuanku memang berada di bawah kakiku saat ini.

Ester menggandeng pelan menuju pintu keluar, mempersilakan aku duduk di kursi  halte di seberang stasiun yang penuh sesak. "Bentar, Mbak, aku pesan taksi online aja biar langsung diantar ke rumah."

Aku mengangguk tetap dengan mulut yang terkunci, tidak bisa bercakap selama seharian akibat kepala yang terasa mengawang.

Beberapa menit kami menunggu dengan penuh kesabaran disertai kondisi kepadatan lalu-lintas dan hujan yang mengguyur, akhirnya mobil pesanan Ester datang.

Jarak dari stasiun ke pemukiman pantai kami cukup jauh, jadi aku memutuskan untuk terlelap barang sebentar, menyandarkan beban berat di atas ubun-ubun ke dalam bunga tidur yang menyenangkan.

Meski tidak mungkin bisa nyenyak akibat suara jalanan yang cukup mengganggu. Klakson saling bersahutan, bunyi peluit dari tukang parkir di swalayan pinggir jalan, bahkan suara alarm perlintasan kereta pun terdengar cukup jelas di telingaku. Dalam tidur ayamku, meski hanya sedetik mendapatkan lelap, itu sudah cukup.

Berbagai bayangan muncul saat mataku mulai terpejam. Rasanya otakku benar-benar tidak bisa diajak berkompromi untuk menciptakan suatu ilusi yang sedikit lebih bagus. Aku tahu bahwa itu berarti aku harus terus-menerus membohongi diriku dengan hal-hal yang tidak nyata. Sebatas ekspektasi semu dari masa yang telah terjadi. Meski fakta sebenarnya tidak bisa kusadur sama sekali.

"Lepaskan aku, Luna."

Bisikan pelan itu terdengar cukup jelas di kepala, tampak seperti sebuah ungkapan yang langsung tertangkap indraku yang masih cukup terganggu dengan suara knalpot motor hasil modivikasi. Aku cukup sadar untuk akhirnya membuka mata meski dengan kelagetan yang kuat. Dadaku bergemuruh dengan napas sesak, seolah-olah usiaku akan dicabut saat itu juga.

Aku ketakutan.

Melihatku yang tiba-tiba mengalami serangan panik, Ester langsung mengambil sebotol air mineral dari tas, membuka tutupnya dan menyerahkan padaku.

Dengan gemetar, tanganku terjulur untuk meraihnya, membuat Ester berinisiatif memberikan bantuan dengan tetap memegang botol itu beserta tanganku.

Perasaan menenangkan itu datang perlahan, meluruhkan setiap jengkal kekhawatiran yang tertancap begitu kuat di jantungku, melenyapkan ketakutan yang mengakar saat melihat sosoknya dalam mimpiku. Demian benar-benar jahat karena terus-menerus menghantuiku.

"Makasih, Ter."

Aku menarik sudut bibirku, membiarkan Ester menatapku dengan wajah khawatirnya. Ia mengembuskan napas saat aku mengalihkan pandangan pada jalanan yang mulai sepi berkelok di depanku.

"Mbak udah mendingan?"

Aku mengangguk, kemudian kembali menyandarkan kepala dengan masih berusaha mengendalikan embusan napas secara teratur. Setidaknya selama di luar rumah, aku tidak boleh mengalami hal yang membuat diriku kesulitan atau berada dalam ancaman.

"Jangan tidur kalau belum sampai rumah. Perasaan gelisah bisa bikin Mbak makin enggak tenang pas merem."

Sekali lagi, aku menatapnya, memberikan kedipan pelan dari sepasang mataku sebagai isyarat aku mengatakan, "Ya."

Hingga pada akhirnya, apa yang kulakukan sesuai dengan pilihan-pilihan atas keraguanku menentukan satu jawaban pasti untuk beraksi malah menimbulkan masalah lain yang lebih menyiksa. Dan aku membencinya ….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status