Share

Chapter 7

Keheningan semakin menggelayut kala larut menemukan khusyunya. Deburan suara ombak yang kian naik menggelitik telinga, seolah-olah merasakan dengan jelas bahwa lautan tengah memanggil, mengundang jiwa-jiwa yang tengah sibuk melamun di tepian untuk datang dan menyelaminya jauh lebih dalam. Seolah-olah terhipnotis, aku menatap ke ujung cakrawala yang kini terselimuti dalam gulita. Embusan angin yang menghantarkan nyanyian laut yang begitu menenangkan. Rasanya jika aku tidak ingat akan betapa bahayanya ombak laut selatan yang cukup besar dan mampu menenggelamkan siapa pun tanpan ampun, mungkin aku sudah menceburkan diri ke sana dan menyelam bersama para penghuni dasar samudera yang menakjubkan.

Aku masih tetap terdiam lamunan bintang menyambut, membuatku sedikit kedinginan akibat sapuan angin yang cukup ganas malam ini. Aku hanya berharap sepulang dari sini aku tidak akan masuk angin.

Dalam senyapku, percampuran akan rasa tenang dan kontemplasi. Aku mengingat kembali hari ini. Betapa memukaunya tatapan mata Kenan ketika kata perpisahan itu terucap. Meski hanya sementara, itu membuatku cukup terbuai akan gelayar rindu yang bahkan belum terwujud. Kuembuskan napas pelan demi menetralkan degup jantung yang luar biasa keras.

Kembali, mataku menelusuri bukan hanya deretan air yang menari-nari di bawah sana. Sebuah bayangan atas kejadian-kejadian hari ini pun muncul ke permukaan, menyembulkan semua isi kepala dalam sekali sentakan. Kesadaranku secara penuh mengingat kejadian di dalam gerbong kereta beberapa jam yang lalu. Ketika melihat sepasang kekasih lanjut usia yang saling menggenggam dan menjaga kenyamanan lelap mereka di sela-sela goncangan rel. Tanpa ada yang tahu kecuali diriku sendiri, rasa iri itu muncul, menggelayut dalam benakku. Seolah-olah menuntut takdir dan bertanya, "Apa nantinya aku akan punya ending kayak mereka?"

Kembali, embusan napas yang lebih besar terdorong begitu saja dari paru-paruku. Aku yang bahkan tidak tahu kegelapan macam apa yang menggelayutiku secara terus menerus, membuatku sedikit merengek pada Tuhan. Tanganku saling mengatup, menggenggam satu sama lain. Dalam lirihnya bisikan angin aku menggumam, "Jika Tuhan memang begitu mencintai umatnya, kenapa Kau memberiku skenario hidup segila ini? Membiarkanku terombang-ambing penuh pertanyaan yang sama sekali enggak terjawab sejak aku membuka mata. Aku harus bagaimana?!"

Lelehan air mata turun perlahan, menggenang di bagian tengah pipi, lalu menghilang. Tiupan udara cukup kuat untuk melenyapkan tetesan air yang bahkan masih menempel pada inangnya.

Resah yang mengundang berbagai macam prasangka dan pikiran-pikiran negatif, menginginkan tubuh ini bergerak dan melayangkan protes lebih keras lagi. Namun, sebuah suara bariton menginterupsi doa—atau lebih tepatnya sambatku.

"Bukankah itu pilihanmu sendiri mengambil satu dari sekian banyak skenario yang Tuhan sodorkan di hadapanmu?"

Suara yang tidak pernah kukenal. Aku menoleh ke sebelah kiri, asal dari jawaban yang cukup keras tersebut mampu sedikit menamparku. Aku terdiam menatap paras remang. Hanya terlihat warna rambut yang kemungkinan hasil dari pewarnaan. Sosoknya tinggi, dengan balutan jaket berwarna gelap dan celana jeans biru pudar, menatap ke arah lautan yang semakin berisik.

Aku tertegun hingga ia membuka suara lagi. "Aku enggak pernah lihat kamu di sekitar sini. Orang baru?"

Aku diam, sama sekali belum tertarik untuk meladeni percakapan dari pria asing yang kini tengah mencoba mengobrol denganku. Namun, ia tidak goyah untuk tetap ramah meski kuabaikan.

Lelaki itu mengembuskan napas ringan, seolah-olah tengah mencoba bersabar menghadapi kejenuhanku.

"Aku Jeremiah. Aku tinggal di sekitar sini."

Aku kembali menoleh kepadanya yang kirni telah duduk di sampingku sejauh satu meter. "Luna."

Lelaki itu tersenyum. "Kau penghuni baru rumah itu?"

Aku menoleh ke belakang, ke arah rumah yang saat ini tengah gelap gulita akibat salah satu penghuninya tengah tertidur. Aku hanya menganggukkan kepala, merasa cukup untuk menjawab pertanyaan mereka.

"Darimana kamu tahu jalan ke tempat ini?"

"Enggak ada. Di sebelah rumahmu itu jalanan umum, omong-omong."

Kembali, sebuah anggukan samar kutunjukkan. Entah dia melihatnya atau tidak. Aku mengembuskan napas entah yang ke berapa kali sekarang, memejamkan mata sejenak untuk kembali menyamankan diriku dengan atmosfer malam yang kelam. Dadaku berdebar, entah kenapa. Seaneh perasaanku yang sebelumnya tidak ingin diganggu sama sekali, kini aku malah mempersilakn sosok yang tidak kukenali duduk di sebelahku, ikut serta menikmati karya terbaik Sang Agung yang menghanyutkan.

Aku bukan tipe orang yang mudah akrab dengan siapa pun, bahkan jika diperkenalkan dengan teman dari temanku, aku hanya akan diam, tersenyum, lalu menjauh jika bagiku dia tidak cukup menarik untuk diamati. Bagiku, orang-orang tidak lebih hanya sebagai penghias mata yang berlalu lalang di hadapanku. Berbeda dengan pria yang mengaku bernama Jeremiah ini. Dia tenang, sunyi, dan membuat atmosfer berubah hangat.

"Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Cuma mencoba buat hilangin penat setelah seharian kerja."

"Pekerjaan macam apa?"

Jeremiah menatapku, menyalurkan rasa tentram yang membuat gelisah dan overthinkingku memudar perlahan. Dia tersenyum sembari menundukkan kepalanya, kemudian kembali menatap lurus ke lautan. Matanya tampak menerawang sedikit sebelum berkedip untuk kembali fokus pada percakapan kami.

Rahangnya yang terpahat senpurna, hidungnya yang mancung dengan tahi lalat datar kecil di ujungnya, membuat paras dengan alis tebal itu tampak begitu memesona. Sadar, Luna! Kau sudah memiliki Kenan, meski hubungan kalian tampak menggantung.

"Menyediakan makanan untuk orang-orang."

Sebelah alisku terangkat, menuliskan sebaris tanda tanya tak kasat mata secara acak di sekitar kepalaku. "Seorang koki?"

Ia tersenyum lebar, menampakkan gigi-giginya yang rapi. Cahaya remang dari pantulan bulan purnama di air menyorot sebagian wajahnya, membuat rupa bak Dewa Ares tersebut berkilauan. Kekehannya terdengar merdu meski tidak cukup keras untuk bisa mendobrak getaran dalam sanubariku. "Hmm … bisa dibilang begitu."

Aku berdecak kagum. "Wow …."

Mata kami bersitatap sejenak, degub jantung yang kian memberontak membuatku kembali gelisah. Aku mengerjap, lalu memperbaiki posisi duduk sebelum akhirnya menyerah dengan salah tingkahku. Aku mengembuskan napas perlahan saat ia terkekeh.

"Maaf, Luna. Tapi, sejak tadi aku lihat kamu duduk di sini termenung. Kamu kelihatan kayak lagi banyak pikiran."

Aku menunduk, kedua tanganku saling menautkan jari dan bermain dalam pangkuan. Sesak kembali datang menyerang dadaku. Namun, sekuat tenaga aku berusaha untuk menetralkan emosi ketika semua bayangan dan pikiran yang sejak sore berusaha kuhempas bersama deburan ombak bergaram. Kepalaku tetap bertahan pada posisinya, menyimpan semuanya rapat-rapat dan berusaha untuk tidak tampak terpuruk.

"Aku cuma … ngerasa penat sama pekerjaan yang berantakan aja sih," ungkapku sembari menggaruk alis secara iseng. Sebuah gerak refleks konyol yang kutunjukan ketika bingung dengan jawaban apa yang harus kuberikan.

"Oh ya?"

Aku mengangguk perlahan. Kedua gigiku mengatup, menggigit bagian dalam mulut untuk memaksanya agar tidak gemetar. "Hal yang wajar buat seorang kreator seni. Semua ada masa naik dan turun."

"Jadi kamu datang ke tempat ini untuk refreshing ya? Semacam meredakan stress yang melanda akibat kerasnya dunia kerja."

"Aku enggak bisa bilang banyak hal karena kita baru aja kenal beberapa menit yang lalu. Yang pasti, tebakanmu lumayan."

Jeremiah tergelak. Ia kemudian mengatupkan kupluk jaketnya yang tampak tebal. Udara memang semakin dingin dan aku melilitkan selimut yang kupakai lebih kencang. Meski itu percuma karena wajahku masih dapat menerima terpaan angin yang cukup kejam.

"Aku han—"

"Mbak Lunaaaa!" Suara Ester menggema dari arah rumah. Saat aku menoleh, ia berjalan perlahan dengan hanya mengenakan kaus berwarna kuning dan celana kanvas selutut. Apa dia tidak merasa kedinginan hanya dengan memakai benda itu?

Aku memincingkan mata, menuntut sebuah alasan kenapa Ester harus berteriak sekencang itu.

"Mbak ini, kenapa enggak bangunin aku kalau mau keluar? Aku syok banget waktu enggak lihat Mbak ada di rumah."

Aku memutar bola mata, merasa heran dan jengah. Kenapa Ester sekarang bersikap seposesif ini? Bukan sebenarnya Ester yang kukenal. Baiklah, otakku mencoba untuk berpikir positif. Mungkin pemuda itu dibayar mahal oleh Kenan untuk mengawasiku selama 24 jam.

"Maaf. Aku cuma cari udara segar."

Ester mengembuskan napas kasar, hingga ia tersadar akan sosok yang saat ini tengah duduk tepat di sebelahku. Matanya melotot tajam, seolah mengintimidasi sosok yang jauh lebih tinggi darinya itu.

"Dia siapa?"

"Warga sini lagi cari angin juga."

Ester mendekat ke arah Jeremiah, kemudian memperlihatkan senyum lembutnya yang sama sekali tidak menunjukkan sebuah keseriusan. Tangannya terulur untuk memberikan salam secara formal.

"Hai, Mas. Aku Ester, adiknya Mbak Luna."

"Jeremiah."

Jeremiah menyambut uluran tangan Ester dengan senang hati. Tangan mereka bertautan. Tampak membeku selama beberapa detik sebelum aku membuyarkan ekspektasi oenuh bunga-bunga di kepala.

"Ngapain kamu manggil-manggil?"

Ester menggaruk kepalanya kasar, kemudian menarikku untuk segera masuk ke dalam rumah tanpa sempat berpamitam pada lelaki tinggi berparas dewa tersebut.

"Aku diteror sama Tante Indah."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status