Share

Sensation

Hari ke-2 aku belajar disekolah ini. Rasanya senang, karena sekarang ada teman baru. Namanya Tarekha Alanam, orangnya cantik, baik, pintar, dan disekolah ini yang suka sama dia bukan hanya angkatan kita, tetapi kakak kelas juga. Aku saja yang perempuan tidak bosan-bosan melihat wajahnya, apalagi lelaki.

“Kha, kantin yuk?” ajak Uca.

Uca ini teman ku juga. Nama aslinya Kautsar. Udah, itu saja. Singkat, padat, dan jelas. Panggil saja, Uca. Selain jago dibidang matematika, Uca juga jago dibidang pergibahan. Dia akan membongkar semua gossip-gossip yang beredar disekolah ini. Bahkan, gossip yang lagi hangat-hangatnya dibicarakan, dia tahu detailnya seperti apa. Uca sudah punya pacar, teman sekelas kita. Namanya Satrio Wira. Biasa dipanggil Iyo.

“Yuk!” jawab Tarekha yang langsung menggandeng aku dan Uca.

Di koridor sekolah udah banyak siswa-siswi yang keluar kelas untuk memenuhi egonya, yaitu makan sepuasnya di kantin. Sepuasnya sampai mereka kenyang, tapi tetap bayar sendiri. Tidak gratis.

Dari kelas sampai ke kantin. Kita dilihat tanpa kedip oleh banyak orang. Aku akui kita bertiga cantik, hanya saja, Tarekha lebih terpancar aura positifnya. Kalau aku dan Uca sisa. Kita cepat-cepat membeli makanan dan minuman, kemudian duduk di pojok.

“Kiblat, ya?” Sapa kak Takdir.

Aku senyum dan mengangguk.

“Kiblat, tahu gak perbedaan kamu sama Siti Hawa?” tanya kak Thawaf.

Tapi, mereka tidak berdua kali ini. ada satu orang lagi tidak kalah tampan. Cuma tetap saja, kak Takdir nomor satu.

“Gak tahu, kak”

“Kalau Siti Hawa dipertemukan dengan Nabi Adam di Jabal Rahmah. Kalau Kiblat dipertemukan dengan Takdir di si Amang Rotbaq”

“Ya.. Roti Bakar Mang Asep.” Ledek kakak kelas satu ini yang baru ku lihat.

“Bisa aja, kak Thawaf”

Kak Takdir menyisir rambutnya dengan jari-jarinya, seperti anak-anak gaul pada umumnya, kemudian berkata, “Kiblat, nanti pulang sekolah aku tunggu ya di…”

“si Amang Rotbaq!” lanjut kedua teman kak Takdir dengan kompak.

Lagi-lagi aku hanya membalas dengan anggukan dan senyuman, padahal di dalem hati sangat, sangat, sangat, ambyar. Bagaimana tidak, kalau yang mengajak ku bertemu sepulang sekolah itu adalah Kak Takdir. Aku memang sudah suka dengan Kak Takdir sejak hari kemarin. Namun berpura-pura biasa saja. Mengesampingkan perasaan suka dan mengutamakan berkaca, siapa aku ini berani naksir kakak kelas yang tampan dan sempurna menurut ku. Pasti bukan hanya aku yang suka. Malas saja, kalau sainganku harus satu sekolah. Senang sih kalau menang, kalau kalah hanya makan hati setiap hari. Mending makan nasi, kenyang.

“Jadi, anak baru dikelas kita udah ditaksir kakak kelas aja nih?” goda Uca.

“Iya, kok kamu bisa kenal Kak Takdir?” Tarekha mulai penasaran. Jiwa-jiwa keponya bangkit. Padahal kan yang tukang gossip Uca, tetapi kenapa dia yang mancing-mancing.

“Ya gitu deh. Aku juga gak tahu kenapa Kak Takdir bisa tahu nama ku. Padahal kemarin kita gak sempet kenalan”

“Ketemu dimana?”

“Di itu depan Mang Rotbaq.”

“Rotbaq apaan sih?” Uca keheranan.

“Roti Bakar”

Kemudian, Iyo dan teman-temannya yang berlima itu datang ke meja kita.

“Sayang, tadi kakak kelas ngapain datengin kamu?”

“Oh, Kak Takdir?” tanya Uca.

“Aku ndak mau tahu namanya! Ngapain? Gangguin pacar ku? Belum tahu apa kamu udah punya aku? Ini aku, Satrio Wira!” suara khasnya yang cempreng dan kental dengan logat Jawa, Iyo kelihatan tidak suka kalau Uca di dekati lelaki lain, meskipun belum jelas apa yang sebenarnya terjadi.

“Kak Takdir kesini nyamperin aku” jawab ku perlahan tapi pasti.

“Oh gitu?”

“Iya, Sayang. Jangan marah. Kalau aku digodain kan tandanya aku cantik” jelas Uca mulai merangkul lengan kekasihnya.

“Tapi, aku gak suka!”

“Tapi, ya udah. Kamu makan aja yang banyak.” Lanjut Iyo yang kemudian pergi bersama teman-temannya yang berlima itu meninggalkan meja kita.

“Mereka rame banget kaya tim futsal” celetuk aku.

Uca hanya menatap Tarekha yang sedang memasukkan siomay kedalam mulutnya. Sejenis dengan komunikasi verbal yang hanya mengangkat-angkat halis saja. Mereka seperti sedang bercakap-cakap via kontak batin. Aku yang melihatnya bingung sendiri.

“Ini ada apaan sih?” akhirnya aku bertanya juga.

“Iya, iya, Lat. Maafin kita, biasa ini komunikasi via alam ghaib” jawab Uca mencairkan suasana.

“Yuk ngobrol lagi, biar kamu gak ngerasa didiemin” ajak Tarekha.

“Ya elah, kalau telor mata sapi, aku ini kayaknya udah setengah mateng”

“Jangan marah-marah. Nanti kan mau ketemu Kak Takdir pulang sekolah.”

“Tapi kan itu nanti”

“Lagian bentar lagi juga pelajaran selesai, Lat.” Bela Tarekha.

Aku hanya menghela nafas, kemudian meninggalkan mereka yang masih menyantap makan siangnya. Lahap banget sampai aku kenyang melihat mereka berdua makan. Cantik-Cantik gembul juga. Nanti giliran gemukan pasti rewel, lalu berniat diet ekstrim sampe gejala gizi buruk.

Lebih baik aku pergi ke kelas, gak baik lama-lama sama mereka, bahaya. Cilaka dunia akherat.

* * *

Aku melangkahkan kaki menuju masjid sebelum menemui Kak Takdir di si Amang Rotbaq. Seperti biasa, aku sembahyang untuk berdoa agar dilancarkannya hari pertama kencan dengan Kak Takdir.

‘Kok mau mendekati Zina aja berdoa dilancarkan? Astagfirullah, Kiblat!’ Batinku.

Aku geleng-geleng kepala sembari tersenyum.

Aku ambil air wudhu untuk mensucikan diri, air wudhu dulu saja. Kalau mengambil hati Kak Takdir, perlu sabar, doa, ikhtiar, dan tawakkal. Tidak perlu buru-buru.

Baru saja berbalik badan, kepala ku mengenai tubuh seseorang. Sontak aku minta maaf, padahal hanya basa-basi, karena aku memang tidak salah. Meski sebenarnya didalam hati, aku menggerutu kepadanya.

“Maaf, ya, maaf. Aku gak sengaja.” Ucapku sambil menunduk dan membungkukkan badan.

Tapi tidak ada jawaban. Dia hanya mematung disana.

Aku diam beberapa saat. Menghitung kancing untuk mendapat jawaban tengok, tidak, tengok, tidak, tengok.

Mau bagaimana lagi kalau yang muncul itu pernyataan tengok? Aku menarik nafas dan menghembuskannya sampai tiga kali. Lalu, mulai mendongakkan kepala.

“Kak Takdir?!”

Mata ku melotot melihat Kak Takdir ada didepanku. Seharusnya aku senang, tapi kali ini tidak. Karena make up diwajahku sudah terhapus air suci tadi.

“Kenapa?” tanya Kak Takdir.

“Kamu gak apa-apa kan?” lanjutnya.

“Iya, Kak. Aku gak apa-apa. Duluan ya.”

Aku cepat-cepat menyeselaikan sembahyang agar bisa segera siap-siap sebelum Kak Takdir menghampiriku. Ya, meskipun belum tentu demikian. Aku duduk sambil melihat wajahku dalam cermin. Pikiran-pikiran buruk mulai menggangguku, setan-setan mulai membisikkan rayu jahanam, elemen-elemen ditubuh ku sudah mulai bekerja perlahan agar aku merasa insecure, dan cermin yang ku genggam pun seolah berkata, buat kamu yang ada didepan ku yang sedang insecure, ingat! Kamu memang jelek.

Dengan sekali hentakan tangan, aku melempar cermin itu. Cermin yang berukuran 15x15 cm itu kini terbelah menjadi dua.

‘Haduh, sayang sekali. Padahal baru beli. Untung udah selesai dandan.

Tapi, kalau dipikir-pikir untuk apa aku mengeluh lagian belum tentu juga Kak Takdir ngajak kencan. Hanya bilang ditunggu di si Amang Rotbaq saja.’

Terus saja aku mengeluh sambil berjalan menuju tempat yang sudah diberitahu para kakak kelas itu. Dari tempat ku berjalan, aku sudah melihat Kak Takdir sedang duduk bersama kedua temannya. Namun ditangannya, terselip rokok yang sudah setengah batang. Aku sungguh tidak kaget.

“Lama banget. Ngapain aja? Dzikir dulu?” tanya Kak Takdir.

“Apa sih, Kak Takdir, Bukan kok.” Jawabku sedikit cemberut.

“Oh, aku tahu. Pasti abis dandan. Iya, kan?”

“Memangnya salah kalau perempuan dandan?” bela ku.

“Siapa yang bilang?” tanyanya heran.

“Eh, meskipun perempuan dandannya lama, itukan untuk lelakinya juga” sanggah Kak Thawaf.

“Iya kan, Ril?”

Lelaki itu mengangguk saja sambil memainkan gitarnya. Sempat terlintas dipikiran saat Kak Thawaf memanggil nama pendeknya. Ril. Aril? Hahaha vokalis Peter Pan kali.

“Kamu cantik kalau dandan. Aku suka, tapi tidak menutup kemungkinan kamu juga tetap terlihat cantik tanpa polesan make up.” Ujar Kak Takdir.

“Kak Takdir bisa aja.” Responku.

“Kenapa nama kamu Kiblat?” tanya Kak Takdir.

“Pasti kamu gak tahu kan?” tanyanya lagi.

Aku diam.

“Tahu gak?” desaknya.

“Enggak, Kak. Emang Kakak tahu?”

“Coba siapa nama lengkapmu?”

“Kiblat Imani” jawabku singkat.

“Bagus, ya. Kamu tahu nama ku?”

Aku menggelengkan kepala.

Kak Takdir langsung menyodorkan tangannya, kemudian aku menjabatnya.

“Takdir Abdala Jihad”

“Kamu harus inget terus sama nama ku, ya!”

Aku mengangguk sekalian melepas jabatan tangannya.

“Kak”

“Kenapa obrolan kita kaku banget? Perasaan tadi kakak nanya alasan kenapa nama ku Kiblat kan?”

Kak Takdir tertawa.

“Oh iya, lupa. Udah deh gak usah dipikirin.”

“Hayu atuh, Dir” ajak kakak yang main gitar tadi.

“Ayeuna wae?”

Mereka menganggukkan kepala tanda mengiyakan pertanyaan Kak Takdir.

Sungguh. Detak jantungku meningkat. Membayangkan Kak Takdir hari ini mengajakku ke suatu tempat yang indah atau sederhana, seperti warung kopi. Walaupun mereka berdua ikut. Anggap saja mereka adalah pengawal aku dan Kak Takdir.

Hari ini pasti rasanya menyenangkan. Aku akan mengabari teman-temanku sepulang kencan pertama ku dengan Kak Takdir. Aku menarik nafas panjang, mencoba tetap kalem dan tidak nervous. Sampai Kak Takdir berdiri. Aku pun ikut berdiri.

“Dia mau diajak?” tanya Kak Thawaf.

“Dia?”

Telunjuk Kak Takdir mengarah kepadaku. Perasaanku mulai tidak enak, namun tetap mencoba positif thinking. Mungkin ini bagian dari cara mereka bercanda.

Aku senyum-senyum sendiri.

“Kamu mau kemana?” Tanya Kak Takdir.

Aku kaget dan melongo mendapat pertanyaan itu.

Aku balik bertanya, “Jawaban apa yang kakak harapkan dari pertanyaan itu?”

“Hmm… aku duluan, ya!” Ucap Kak Takdir, kemudian berjalan tanpa melihat lagi ke belakang.

Hari ini, sungguh, aku begitu kecewa. Ingin menangis, karena merasa begitu malu.

“Neng?” tanya Mang Rotbaq.

Aku tak menghiraukan si Amang Rotbaq. Berlari menjauh dari gerobaknya yang glowing itu, yang kini terlihat tidak menarik bagiku. Begitu juga dengan aroma roti panggangnya yang sangat khas, pada siang itu tidak lagi menggiurkan, seperti kemarin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status