Share

Nawala Patra

Sukabumi, hari ini.

Aku memalukan. Baru saja berkenalan, sudah berani menitipkan harapan. Memang, susah sekali mengadaptasikan hati. Tidak mau mengerti. Berkali-kali diberitahu, tolong jangan kelewatan! Tetap saja keras kepala dan malah mengabaikan.

Di lain waktu sudah diperingati, jangan berandai-andai! Tapi tetap tak mau mendengarkan. Seolah sedang berada dalam keadaan paling aman. Padahal disisi lain ada yang berusaha memberantakkan angan.

Lemah sekali. Semoga tidak ku ulangi.

“Kamu kenapa sih?” tanya Uca.

Sebagai teman yang merasa telah begitu dekat. Aku menatap Uca dalam-dalam. Bibirku sudah manyun-manyun kedepan. Mataku sudah berkaca-kaca. Langsung saja ku peluk Uca, kemudian berteriak menangis tujuannya untuk membuat diri sendiri lega meskipun aku tahu teriakan ini tidak sehat bagi telinga orang lain.

“Udah, Lat. Ada apaan sih?” tanya Tarekha.

Aku tetap berteriak menangis dan mereka tetap tak bisa mengerti.

“Kalian tahu gak sih? Sakit hati aku.”

“Lat, kita gak akan tahu kalau kamu gak bilang”

“Kemarin aku cuma diajak ketemu di si Amang Rotbaq. Pokoknya aku kesel!”

Aku tetap menangis sejadi-jadinya dan mereka hanya bisa menghibur dengan segala upaya. Keberatan memang, jika hanya diri sendiri yang merasa diistimewakan. Maksudku keberatan menanggung bebannya sendiri sedangkan Kak Takdir tidak sama sekali.

Pada saat jam pulang, kita mampir dulu ke toilet perempuan yang ada di ujung koridor kelas untuk merapikan pakaian agar tidak kusut dan berdandan agar tidak kusam. Tentu saja, untuk menutupi mataku yang bengkak sehabis menangis tadi.

“Udah, Dir. Lupakan saja dia. Kau hanya pelarian saat dia bosan, percaya deh sama aku.”

“Emang kalau perempuan bilang belum bisa move on itu serius? Beneran gitu?”

Aku menegang mendengar suara lelaki-lelaki diluar, karena ada suara yang ku kenal. Siapa lagi kalau bukan Kak Takdir. Dan suara lainnya sudah pasti adalah teman-temannya.

Lalu, perempuan yang dimaksudnya itu siapa?

Aku segera menyelesaikan urusanku dengan cermin ajaib yang dapat membuat kita semua seolah terlihat cantik, ini alasan mengapa toilet ini selalu penuh.

Dengan full straight dan kesiapan raga yang utuh. Aku membuka pintu seraya membantingnya. Sudah jelas, geng Kak Takdir melihat pada kami bertiga. Tanpa melihat wajah mereka, aku langsung saja berjalan diikuti kedua temanku dari belakang yang juga tidak menghiraukan mereka.

“Kiblat!”

“Kiblat!” panggil Kak Takdir. Aku tahu persis suaranya.

“Kiblat!”

Kak Takdir berlari mengikuti langkahku yang sudah lumayan jauh.

“Kamu kenapa?” tanyanya.

Kalau aku berani menjawab sudah ku beri dia kata-kata yang menyakitkan, namun aku lemah untuk membuatnya terluka oleh lidahku sendiri. Aku tidak mau menyakitinya.

Aku menghentikan langkah. Begitu pun Kak Takdir, tetapi teman-temanku tidak. Mereka meninggalkanku tanpa basa-basi.

“Kenapa, Kak?”

“Kamu kenapa? Sepertinya menghindar.”

“Aku?” telunjukku menunjuk muka diriku sendiri, seraya tertawa kecil.

Kak Takdir membalasnya dengan anggukan.

“Mana ada” jawabku hemat.

“Terus kenapa?”

“Gak apa-apa. Aku sehat. Baik-baik aja. Kakak sendiri bisa lihat kan?”

Kak Takdir menatapku mataku, kemudian menundukkan kepalanya.

“Mau ku antar pulang?”

Aku menggelengkan kepala.

“Ayo!”

Dengan cepat Kak Takdir mengenggam pergelangan tanganku. Dia berjalan cepat didepanku. Seperti dalam film-film. Tetapi lama kelamaan langkahnya mengalun pelan. Aku tidak lagi kewalahan untuk mengikuti antara tarikan tangan dengan iringan jalannya.

Jemarinya yang menggenggam erat pergelangan tangan, sekarang turun kebawah menyusuri telapak, kemudian mengisi ruas jariku yang kosong. Sempat kaget, tetapi aku mencoba tetap tenang. Walau dalam hati ku tak tenang, takut Kak Takdir tahu apalagi sampe denger suara debaran di dada ku. Takutnya loadspeaker.

Sampai di dalam mobilnya Kak Takdir memulai percakapan.

“Eh, Lat”

“Twitter kamu masih aktif?”

Aku menengokan kepala ke kanan, melihat Kak Takdir yang sedang sibuk dengan tasnya.

“Iya, Kak.” Jawabku singkat.

“Follow Kakak ya.” Pintanya.

“Gak usah sekarang, nanti saja dirumah.” Lanjut Kak Takdir santai.

Diperjalanan aku hanya bisa menatap jalanan lurus, belok kanan, belok kiri, lampu merah, pos polisi, ibu-ibu bawa motor, polisi tidur, jalan berlubang, dan masih banyak lagi.

Kak Takdir pun hanya melirik ku, kemudian kembali fokus mengendarai. Aku tidak tahu pasti kenapa kita menjadi seperti ini dan rasanya sangat tidak enak. Sesekali ku lihat Kak Takdir. Dia pun melihatku.

“Apaan liat-liat?” tanyanya sambil cengengesan.

Aku mengerutkan dahi dan menggelengkan kepala.

“Aku tampan kan?” tanyanya lagi, masih cengengesen.

“Enggak! Biasa aja.”

Kita kembali tenang. Aku melakukannya lagi.

“Apa liat-liat? Naksir nanti” ujarnya sambil terus cengengesan.

“Ih, kepedean”

“ih… aku emang tampan dan mempesona”

“Di mata ku tetap biasa aja”

“Keras kepala memang!”

Kemudian, hening. Sampai depan rumah ku. Ya sudah, aku turun dan sebelumnya mengucapkan terima kasih. Sepersekian detik aku menutup pintu mobil lalu, berdiri menunggu mobil Kak Takdir melaju.

# # #

Setelah makan dan pakai skincare aku segera membaringkan badan di kasur. Tidak lupa sebelumnya shalat Isya. Lalu teringat ucapan Kak Takdir yang meminta di follow akun twitternya.

Tidak berapa lama, Takdir mengikuti anda.

Diiringi sebuah notifikasi direct message.

“Kalau aku telepon di What’s App. Kamu angkat gak?”

Dengan segera aku balas, “Diangkat. Asal gak video call aja.”

“Gak sekarang sih, aku lagi makan.”

Jadi kepikiran, kenapa dia bilang begitu. Padahal aku tidak pernah memberikan nomorku. Aku mencoba positif mungkin dapat dari teman atau dari tembok toilet lelaki yang banyak sekali coretan spidol dari nomor ponsel, pesan untuk kekasih, dan lain-lain. Darimana pun Kak Takdir dapatkan aku tidak peduli, tapi tetap saja kepikiran sih. Aneh.

Malam ini, aku banyak stalking akun twitternya. Ada beberapa foto yang masih menggemaskan. Foto jaman dulu. Tweet-nya pun puitis, sepertinya dia suka menulis. Tapi tak ada tanda-tanda Kak Takdir dekat dengan siapa. Aku jadi merasa sangat percaya diri dengan asumsiku sendiri. Namanya juga perempuan, dikasih nyaman sedikit langsung melabel lelaki itu berperasaan sama. Padahal kan belum tentu juga.

Akhirnya kita berbincang via what’s app. Banyak sekali yang kita bahas pada pukul sebelas malam itu. Rasanya tidak ingin cepat berlalu, tetapi yang disebut waktu bukanlah waktu kalau tidak bergerak perlahan.

“Yaudah, kamu tidur ya jangan begadang. Kesehatan mu itu lho” ucap Kak Takdir diseberang sana.

Aku sebenarnya masih ingin mendengar suaranya, masih ingin berbincang lebih banyak lagi, masih ingin memperpanjang durasi panggilan, namun aku tahu besok harus sekolah dan pasti kita akan bertemu.

Percaya diri dulu aja. Hasilnya, biar belakangan.

Santuy…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status