Share

What You Didn't Say

Namanya juga orang kaya kadang gak punya etika, tapi gak semuanya gitu. Bisa jadi orang yang saling mengasihi sesama manusia, cuma sayangnya aku belum nemu yang demikian. Semisal ada pun sudah yakin itu karena orang tersebut mencintai aku. Suatu saat nanti, mungkin, kak Takdir akan menjadi orang kaya pertama yang aku temuin dengan perilaku yang sangat baik.

Di kamar ku yang tidak luas ini, aku mondar-mandir kebingungan. Harus bawa apa aja kalau berlibur 2 hari. Maklum, aku belum pernah diajak berpergian jauh sama teman. Sewaktu disekolah lama ku itu, sepertinya semua orang disana tidak menyukai aku. Mereka tak ada yang mau menemaniku bahkan untuk sekedar duduk sebangku saat jam pelajaran. 

Sepi menjadi temanku yang paling lengket, tapi aku gak ngerasa kesepian. Aku punya selalu punya pacar, meskipun sebentar atau baru saja putus. Gosip-gosip disekolah lama ku rasanya sudah kelewatan. Entah siapa yang memulai kalau yang ingin menjadi pacarku adalah mereka yang haus akan seks.

Untungnya aku punya sifat percaya diri yang kuat. Aku berasumsi kalau-kalau mereka hanya iri pada ku yang punya wajah cantik dan termasuk siswa cerdas. Prestasi-prestasiku menjadi perisai untuk aku menguatkan pertahanan diri dilingkungan yang buruk itu. Setahun aku disana sama seperti 53725 abad. Lama banget.

Akhirnya aku berani untuk meminta pindah sekolah, meskipun ya cukup sulit juga. Berbagai cara aku lakukan untuk meyakinkan kedua orangtua ku, bahwa aku tidak memiliki masalah apapun disana. Hanya kurangnyaman dengan sistem belajarnya. Biasa, biar kelihatan ambis aja.

Dan aku memilih sekolah ini, tanpa alasan. Ternyata memang sesuatu yang aku pilih itu baik untuk kesehatan jiwa. Selain teman yang asik, ada juga lelaki tampan yang gak boleh aku lewatkan. Lelaki yang kini sedang duduk diruang tamu menunggu aku yang sedang siap-siap. Padahal aku masih bingung harus memasukkan apa saja ke dalam ransel.

"Kak, bawa apalagi ya selain baju tidur, baju main, baju santai, pakaian dalam, skincare, make up, body care, jaket, apalagi dong?" tanyaku pada kak takdir yang ku hampiri sedang memainkan ponselnya dengan serius.

"Mau pindahan?" dia balik tanya.

"Namanya juga perempuan, Kak. Emang kakak bawa apa aja?"

"Badan aja"

"KENAPA GAK BAWA APA-APA?!" teriakku padanya.

"RUMAHKU KAN DISANA WAHAI PENGIKUT ABU JAHAL"

"Ohiya yah" jawabku sambil mengangguk-anggukkan kepala.

"Yaudah berangkat sekarang aja, gimana?"

"Bentar, handuk. Iya, aku lupa, hehe" jelasku

"Astaga, Kiblat Imani. Disana juga handuk mah banyak"

"Gak dong, aku gak mau pakai bekas orang lain. Itu kotor. Kita gak tahu orang lain bagaimana, maka harus siap sedia untuk membawa keperluan pribadi" jelasku lagi.

"YAUDAH CEPET ATAU GUE TINGGALIN."

Aku paham, dia pasti kesal padaku. Ya gak apa-apa, memang dia saja yang bisa membuat orang lain kesal dan bersabar menghadapi kekesalan? Aku juga bisa. Aku tahu ini egois. Gak apa-apa, sekali ini doang.

Kami meluncur menggunakan mobil kesayangan kak Takdir untuk menjemput pasangan yang sedang dilema berat antara melanjutkan hidup sebagai siswa atau orang tua. Kasihan sih, tapi aku juga tidak bisa memberikan solusi untuk mereka.

Sesampai di rumah kak Thawaf yang sangat megah dan mewah ini, aku duduk di teras rumahnya. Ku lihat seorang perempuan memakai dress pink menggemaskan sedang duduk melihat ke arahku. Aku langsung melempar senyum, dia pun membalas. Aku tarik tangan kak Takdir agar masuk juga, kemudian kami duduk berdekatan.

"Mana Thawaf?" tanya kak Takdir

"Masih di kamar, bentar ya, Dir" jawab perempuan itu.

Aku tebak kalau dia adalah pacarnya kak Thawaf, tapi jujur dia sangat cantik. Ramah dan anggun. Tidak lupa rambutnya dikuncir satu kebelakang membuatnya terlihat sangat rapi. Apalagi kulitnya yang putih mulus bagai bidadari, mirip iklan di tv. Aku minder sekali setelah membandingkan kulitku dengannya lewat kedua mataku sendiri.

"Kak Takdir, nanti dijalan kita beli makan dulu yuk?" ajak ku.

"Gak usah, lama"

"Ih tapi aku laper"

"Tahan dulu, cuma 2 jam doang kok"

"Ttttt-tapi 2 jam itu sama dengan 120 menit, kak" jelasku.

"Iya memang, kamu kenapa gak makan dulu?" tanya kak Takdir.

"Kakak yang buru-buru!"

"Temenku gak diajak, kak? Padahal mereka pasti senang bisa liburan sama aku" lanjutku.

Kak Takdir hanya melirikku, lalu membetulkan posisi duduknya, Tanpa merespon ucapanku. Kesalkan menjadi aku? Sedikit-sedikit didiamkan, seolah tidak dipedulikan. Untung aku bermental baja, begini doang mah aku gak nge-down.

Kak Thawaf membuka pintu kamar dengan menenteng 2 buah tas ransel besar. Aku kira bukan hanya aku yang terlihat seperti mau pindahan. Sebab kak Thawaf pun begitu. Tanpa basa-basi kak Thawaf segera menuju mobil untuk menyimpan barang-barangnya. Diiringi langkah kami, termasuk pacar kak Thawaf yang pake dress pink itu.

"Langsung berangkat wae?" tanya Kak Takdir.

"Iya. Sudah sore ini." jawab kak Thawaf.

"Yang, duduknya jangan jauh-jauh dari aku, oke?"

"Yaelah, gakkan ilang kali, Kak" timpalku meledek.

Kak Takdir hanya tersenyum tipis. Dia memang dingin, makanya jarang sekali aku bercanda dengan lelaki ini. Kaku, seperti kanebo kering.

Sedangkan pacarnya kak Thawaf, ah iya Tiara namanya. Hampir aku lupa. Dia tersenyum senang sambil menatap kak Thawaf. Rupanya kakak kelas ku yang satu ini sangatlah romantis kepada pasangannya, bertolak belakang dengan lelaki yang aku cintai. Lelaki dingin penuh misteri, tetapi tak sanggup ku lepas atau ku biarkan bersama wanita lain.

Kebetulan hari ini hari sabtu, jalanan cukup macet. Malas sebenarnya berpergian jauh begini kalau bukan untuk bersama kak Takdir, aku lebih baik tidak. Jangan tanya bagaimana hubunganku dengan kak Takdir, aku tak bisa menjelaskan lebih selain kami saling ketergantungan.

Rasanya memang seperti orang yang sedang berpacaran, tetapi kami sangat tahu betul kalau kami berdua bukanlah sepasang kekasih. Berkali aku ingin meyakinkan kalau dia punya bagian berbeda dari teman-teman lelaki ku, tapi mungkin kak Takdir sudah tahu makanya dia tidak pernah cemburu.

Meski diawal kami kenal, kak Takdir selalu memberikan rasa sakit yang luar biasa. Aku cukup sadar kalau aku memang bukan yang utama saat itu, bahkan sampai sekarang. Aku sudah lupa kejadian menuju pantai tentang lagu yang diberikan oleh mantannya itu. Tidak mau mengingat lagi, tepatnya.

"Kalian pacaran?" tanya Tiara.

Hening.

Tidak ada jawaban dariku ataupun kak Takdir.

Didalam mobil kini menjadi gerah dan dadaku berdebar begitu cepat. Sungguh. Rasanya ingin sekali mendengar kak Takdir berbicara iya. Tetapi harapanku padam oleh suara klakson dari arah belakang. Mobil avanza dengan kecepatan super berhasil menyalip mobil yang kami tumpangi.

"ANJING?!" teriak kak Takdir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status