Share

I. Spring | Six

"Louis Miller?"

Vander memandang ke arah pria bersurai perak  dengan bathrobenya dan Chloe bergantian. Ia tak tahu kalau masa lalunya kini bisa berubah menjadi mimpi buruk. Dan seperti dejavu.

Lagi. Ia menemukan pria yang ia kira sahabatnya itu menjadi benalu di hidupnya.

Pria bernama Louis itu terkejut, "Vander? Is that you? Kau bersama... Chloe?" Memerhatikan penampilan baru Vander yang dengan kacamata.

Tak lagi berlari seperti masa lalu. Vander maju selangkah dan memberi pukulan telak pada rahang Louis.

"Terima kasih untuk kembali karena aku belum memberi salam perpisahanku dengan benar dulu. Goodbye, Jerk!"

Setelah merubuhkan Louis yang tak bisa berkutik, Vander beralih ke arah Chloe. "Mulai detik ini. Jangan pernah mengusik hidupku lagi atau aku tak segan-segan menyakitimu!" Lalu beranjak pergi dengan sebelumnya menubrukkan bahu Chloe terlebih dahulu.

Ia muak dengan segala kenangan masa lalu. Dan entah kenapa, malam ini Vander seperti terlempar kembali ke lubang hitam itu.

Kalau biasanya ia akan berlari untuk menghindari segalanya. Kini Vander mulai menetapkan hati untuk menghadapinya.

At your own risk!

Sedikit merasakan sakit untuk menyembuhkan luka sepertinya tak masalah. Daripada membiarkan luka itu menganga dan tak mengobatinya. Mulai detik ini Vander akan memperbaki segala kesalahannya. Tanpa melupakan langkah pertama pastinya.

Heal yourself, first. The rest will come later.

Vander akan mengikuti kata ayahnya kali ini. Menjadi lelaki sejati bukan hanya bisa memperbaiki dirinya sendiri tetapi tentang berani mengakui segala kesalahan dan tak menghindar dari masalah yang dihadapi. Dan yang paling penting adalah tidak gengsi untuk mengucapkan kata maaf.

Bukankah suatu perubahan yang baik dimulai dengan langkah kecil. Ya, Vander siap untuk perubahan itu lagi. Dan ia berjanji, takkan ada lagi yang harus ia tutupi dari dirinya. Karena sebenarnya topeng yang selama ini ia pakai membuatnya...

It makes you insecure, confused and angry. And makes you like a beast.

"Shit!"

Vander kembali mengingat ucapan Chloe tadi saat di mobil. Dan entah kenapa itu sedikit mempengaruhinya. Mengingatkannya akan wajah gadis itu tadi sebelum ia pergi.

Chloe terlihat terluka. Wajah penuh ceria itu akhirnya bisa menunjukkan awan hitamnya. Bukannya menyesal, Vander justru menginginkannya. Karena sudah waktunya gadis itu pergi dari hidupnya.

Apalagi mengetahui kalau gadis yang mengejarnya itu berhubungan dengan sang pengkhianat dari masa lalu. Jadi, untuk apa Chloe mengejarnya kalau memang ia sudah memiliki kekasih? Bukankah artinya ia juga pengkhianat? Sungguh keduanya membuat Vander muak.

Ingatkan Vander untuk tidak berurusan dengan keduanya lagi. Karena ia tak ingin berjumpa dengan mereka di masa depan. Mereka bukan bagian yang penting dari hidup Vander. Begitu juga sebaliknya.

Setelah keluar dari gedung apartemen mewah itu, Vander berjalan di sepanjang trotoar yang ramai sambil sesekali melihat apakah ada taksi yang lewat. Namun tak jua menemukan kendaraan berwarna kuning itu di sekitar.

Membuat dirinya semakin resah karena waktu hampir menunjukkan tengah malam. Pasti ibunya sudah khawatir padanya. Dan sang ayah pasti akan kecewa lagi padanya bila ia tak pulang sesuai janji.

Jalanan yang ramai, membuat Vander sedikit bersusah payah untuk menembusnya. Karena di kawasan yang ia lewati sekarang ini merupakan kawasan yang dipadati banyak pertokoan, sehingga sudah tentu banyak pejalan kaki yang berlalu lalang.

"Hey, Zeckar."

Vander berbalik karena ada suara yang ia kenal memanggilnya. Dan maniknya langsung mendapati sosok berseragam melambai ke arahnya sedang bersandar pada mobil dinas putih kebanggaannya.

"Clooney." Vander mendekat dan melihat mobil menganggur di belakang Billy.

"Yeah, that's my name. Apa yang kau lakukan malam-malam di Midtown? Biasanya kau sudah memakai kaos kakimu di tempat tidur. Jangan bilang kau sedang mencari sebelah sepatumu yang hilang?" Ledek Billy sembari melihat penampilan kacau Vander.

"Benda ini," tunjuk Vander pada mobil dinas Billy, "Apa bisa membawaku pergi dari sini?" tanya Vander menghiraukan ocehan Billy tadi.

Billy melihat arah pandang Vander. "What?! Kau kira aku kereta labumu? No way! Cari saja taksi."

Aura Vander menggelap. Ia berjalan satu langkah lagi ke depan menangkap kedua bahu Billy.

"Antarkan aku atau tuan Hernandez tahu kau mendekati anak gadisnya yang masih belia!" ucap Vander penuh ancaman.

Vander tahu kalau polisi itu sedang menjalin asmara dengan anak tetangga sebelahnya yang masih berusia delapan belas tahun. Karena Billy juga adalah tetangganya di Brooklyn.

Polisi naif itu sangat sering membantu ibunya. Mungkin karena ia yatim-piatu yang merindukan kasih sayang seorang ibu. Dan otomatis mereka menjadi dekat, namun Vander menampik kalau mereka bersahabat. Karena Billy terbilang nyentrik dan sedikit unik. Bertolak belakang dengan sifat Vander yang dingin.

Wajah Billy tiba-tiba memucat. "Sialan. Darimana kau tahu?"

Vander membalikkan tubuh polisi dua puluh lima tahunan itu, dan mendorongnya ke arah pintu kemudi.

"Sudah cepat jalan! Kau punya waktu setengah jam."

"Sial!"

Terpaksa pria berseragam itu masuk ke dalam mobil dengan wajah merah padam. Sedangkan Vander ia sudah berputar untuk memasuki kursi penumpang di depan.

Sepanjang perjalanan pulang, tak ada percakapan antara keduanya. Hanya suara dari radio rig yang merupakan alat komunikasi yang dapat dijadikan base station dan juga dapat sebagai alat komunikasi bergerak. Alat itu selalu tersedia di setiap mobil kepolisian manapun.

Beberapa kali Vander mendengar Billy menjawab panggilan dari operator kepolisian, apakah di wilayahnya aman atau tidak. Seterusnya hanya informasi tentang alur lalu lintas, berita kecelakaan, pengendara mabuk dan adanya balapan liar.

"Oh, come on, Zeckar. Aku harus bertugas. Ada panggilan di—"

Ucapan Billy terhenti karena Vander menyalangkan matanya.

"Oke. You win!" ucap Billy ketus, "apa-apaan ini? Seorang polisi di ancam oleh warga sipil? Lucu sekali."

Billy terus mengoceh sambil sesekali menyindir Vander yang dengan cueknya bersandar di jok dan membuka kaca disampingnya merasakan hembusan angin membelai kulit kasarnya. Dan itu sukses menenangkan pikirannya yang sedari tadi berkecamuk.

Vander tak tahu kalau Manhattan dikala malam sangat luar biasa. Kota ini seakan tak ada matinya. Terlihat dari pemandangan di depannya yang begitu ramai dengan ribuan manusia berseliweran. Kerlap-kerlip lampu dari setiap gedung seakan menghipnotisnya.

Ia jarang sekali keluar malam. Apalagi ditengah kota metropolitan dan hingar bingar dunia. Tempat seperti itu sudah lama ia tinggalkan. Dan ketika melihat semuanya kembali, Vander merasa sesak di dadanya. Jiwanya ingin bebas kembali, namun mengingat janjinya pada sang ayah— ia harus mengurungkan niatnya. Ada yang harus ia selesaikan terlebih dahulu.

"Arrghh... sucks!"

Vander terhenyak dari lamunannya. Suara geraman Billy mengagetkannya. Dan ketika pria naif itu mematikan radio rig serta handy talkie-nya, Vander tahu kalau Billy muak dengan semua omong kosong yang keluar dari berbagai titik.

"Lebih baik aku mendengarkan radio dari frekuensi lokal saja," ucap Billy lagi dengan sambil menyalakan radio biasa dan mengaturnya sampai terdengar suara melodi yang tak asing di telinganya.

"Ha! Queen!" soraknya riang seraya menepuk bahu Vander yang memerhatikannya sedari tadi, "ayo bernyanyi bersama!" ajak Billy dan hanya mendapat respon malas oleh Vander.

Billy mendekus, "Dasar payah!" Lalu melanjutkan senandungnya sembari menyetir. Mereka memasuki jalan jembatan Brooklyn sekarang.

Lagi. Vander melewati sungai east yang memisahkan borough Manhattan dan borough Brooklyn.

Ada kisah dibalik jembatan Brooklyn yang fenomenal itu. Sebuah monumen yang melambangkan determinasi dan persistensi yang luar biasa, yang dapat diperlihatkan oleh orang-orang yang berjuang untuk mewujudkan mimpinya.

Jembatan Brooklyn adalah sebuah monumen cinta sejati. Pembangunannya merupakan kisah nyata inpirasional yang menjadi wujud dari perjuangan gigih, kerja keras, kesetiaan dan dedikasi tinggi yang dilakukan seorang perempuan bernama Emily Warren Roeblings untuk mewujudkan mimpi suaminya, Washington Roeblings yang merupakan arsitek jenius cacat.

Bagi Vander, monumen yang paling romantis di dunia adalah Jembatan Brooklyn. Bukan Menara Eiffel di Paris, Taj Mahal di India atau Namsan Tower yang penuh gembok cinta di Korea Selatan.

Berbeda terbalik dengan kisah cintanya yang tragis. Disaat ia sedang berjuang antara hidup dan mati, gadis yang ia cintai sibuk menjalin kasih dengan pria yang ia ketahui adalah sahabatnya.

Dan kini pengkhianat itu kembali merusak harinya tanpa ada rasa bersalah sama sekali. Membuatnya benar-benar muak dan kehilangan kesadaran untuk meninju Louis Miller tadi.

Louis Miller pernah menjadi sahabat sekaligus saudara laki-lakinya yang paling berharga. Tapi tidak setelah kejadian yang hampir menewaskannya dulu. Bahkan sosok Louis tak ada saat ia membuka matanya untuk pertama kali. Juga yang tiba-tiba keberadaannya tak diketahui alias menghilang.

Awalnya Vander sangat khawatir dan sempat mencari keberadaan sahabatnya itu sekaligus ingin pamit karena dirinya yang akan pindah ke sisi kota lain. Namun apa yang dilihatnya saat ia kerumah sang kekasih, Vander melihat sahabatnya yang selama itu ia cari disana bersama sang kekasih berpelukan dan keduanya tampak... seperti pasangan.

Membuat hati Vander hancur sejadi-jadinya dan memutuskan menjadi pengecut dengan melarikan diri tanpa menyelesaikan atau mengakhiri segalanya. Ia lebih memilih menghilang ditelan angin.

Mengingat itu, hati Vander perih. Bahkan ia selalu bermimpi buruk sejak saat itu. Terlalu banyak pengkhianat dalam hidupnya; entah itu dari kelompoknya, sahabatnya bahkan sang kekasih. Semuanya benar-benar membuatnya hancur dan berubah. Bahkan Vander merasa jati dirinya hilang. Ia tersesat.

🎶"Love of my life, you've hurt me.

You've broken my heart and now you leave me.

Love of my life can't you see?

Bring it back, bring it back!

Don't take it away from me because you don't know what it means to me."

Vander menghela napasnya saat lagu di radio terputar diikuti suara sumbang Billy. Sungguh membuatnya ingin menangis. Entah itu karena lirik lagunya atau suara si polisi yang memecahkan gendang telinga.

"Stop! Billy, kau sungguh menulikan telingaku," protes Vander dengan menajamkan matanya.

Namun Billy tetaplah Billy. Ia tak pernah benar-benar takut akan ancaman Vander atau wajah menyeramkan pria itu. Ia dengan santai melanjutkan nyanyiannya dengan aksi penghayatan yang luar biasa dan membuat Vander mual.

🎶"You will remember.

When this is blown over.

And everything's all by the way

When I grow older.

I will be there at your side to remind you how I still love you, I still love you."

Vander mengusap wajahnya kasar, lalu bersedekap sambil memandang keluar. Billy sudah tak tertolong. Aksi drama sabunnya sudah dimulai. Namun Billy masih saja merayu Vander untuk bernyanyi bersama.

"Come on, Zeckar. Singing!"

Vander memejamkan matanya dan mencoba menulikan telinga. Namun alunan melodi gitar dan piano menggelitik pendengarannya. Dan tiba saat nada memasuki intro klimaks, Vander meremas rambutnya dan berteriak lalu ikut menggila dengan Billy yang bersorak menertawakan Vander.

🎶"Back, hurry back..

Please, bring it back home to me, because you don't know what it means to me.

Love of my life

Love of my life.."

Mereka akhirnya bernyanyi bersama. Seperti dua orang frustasi yang mendapatkan kesenangannya— keduanya tak peduli dengan pengendara lain. Dan mereka bersorak ketika lagu itu berada di penghujung dengan muka puas dan hati yang lega.

Tanpa sadar ada yang memerhatikan mereka dari mobil seberang yang tak sengaja melewati kendaraan kepolisian  itu. 

Sosok itu tersenyum lucu memperhatikan kejadian apa yang ditangkap netranya. Seraya memegang kemudinya, sesekali iris coklat itu melihat jalan dan ke arah dua orang penumpang di seberangnya.

"Senang bisa melihatmu kembali, Vander."

To Be Continued...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status