Share

I. Spring | Seven

Suara langkah kaki dari lantai atas terdengar sedikit gaduh, disusul dengam suara kursi bergeser, membuat Zallyn mengalihkan pandangannya ketika ia baru saja mengangkat waffle dari cetakannya.

Wanita paruh baya itu cukup terkejut dengan kehadiran putranya di pagi hari.

Lantas ia bertanya sambil mengerutkan keningnya. "Vander, kau bangun pagi lagi? Apa ada kelas pagi hari ini?"

Vander duduk di meja makan saat ibunya membalikkan badan dari arah pantry menghadapnya. Sepertinya paruh baya itu belum terbiasa dengan kebiasaan baru anaknya- bangun pagi.

"Ada janji dengan dad, Mom. Lagipula tidak ada kelas hari ini."

Sang ibu berjalan ke arah meja makan seraya membawa waffle hangat yang baru saja dibuatnya.

"Makanlah. Mungkin sebentar lagi dad akan turun. Mom lupa, kalau kalian akan ke acara pameran mobil itu, bukan?"

Vander mengangguk. "Thank's, Mom." Saat sarapannya tiba, "Kami akan ke Javits hari ini." Lanjutnya sambil menuangkan madu di atas waffle miliknya.

Saat Vander ingin memasukkan suapan pertamanya, sang ayah hadir dari balik dinding memasuki ruang dapur.

"Good morning," ucap pria setengah abad itu dengan suara baritonenya yang khas.

"Morning," sahut sang Ibu riang seraya mendekati suaminya dan mengecup bibirnya singkat. Lalu membawanya ke meja makan untuk duduk.

Sungguh manis, pikir Vander. Membuatnya mengalihkan pandangannya ke piring.

"Morning, Dad," sambut Vander pelan sembari menuangkan susu kotak ke gelas ayahnya.

Sang ayah menaikkan sebelah alisnya karena perhatian kecil Vander. Sempat melirik sang istri, namun wanita cantik itu hanya mengendikkan bahunya dan tersenyum.

"Thank you, Son." balas sang Ayah lalu duduk dan meneguk segelas susu yang sudah disediakan anaknya itu.

Zallyn yang melihat kedua orang tersayangnya tampak akrab tersenyum haru.

"Mom selalu menginginkan hari ini tiba. Dan akhirnya bisa terwujud sekarang."

Kedua pria yang ada di meja makan itu terhenti sesaat, namun langsung tersadar dan melanjutkan sarapannya lagi.

"Makanlah, sayang. Jangan menangis saat mentari baru menyingsing," tegur sang suami saat melihat istri cantiknya itu menyeka air mata dengan jari-jari lentiknya duduk di samping.

Vander yang sedari tadi menunduk, melihat ke arah sang ibu. Dilihatnya sang ibu meninju kecil bahu ayahnya. Yang dibalas sang ayah dengan kecupan mesra di dahi wanita itu.

Mata Vander berotasi saat melihat adegan romantis orang tuanya lagi. Ia yang muda saja tak pernah melakukan hal manis semacam itu. Walau dulu ia pernah memiliki kekasih, tetapi Vander jarang melakukan hal selembut itu. Entahlah mungkin ia tipe yang... sedikit liar.

"Kau membuat seseorang cemburu, Honey," sindir Ibunya sambil melihat Vander yang tiba-tiba mendelik.

Sang ayah melihat ke arah Vander, dan pria muda itu langsung berdeham kembali melanjutkan makannya. Rasanya ada yang menyangkut di tenggorokannya sekarang.

"Minum," perintah Ayahnya. Lantas Vander menurut karena memang ia membutuhkannya.

"Percuma wajah tampan tapi tidak ada kekasih," ejek sang Ibu lagi seraya menopang dagunya di tangan melihati Vander.

"Siapa bilang dia tak punya kekasih," sahut Ayahnya, "Dia membawanya ke-"

"Dad!"

Vander tak bisa mendengar kedua orang tuanya membahas si biang onar itu. Pasti setan cantik itu akan menjadi tema sarapan mereka pagi ini. Dan Vander tidak ingin itu terjadi. Sehari tanpa Chloe, bisakah itu?

"Dia membawanya kemarin ke bengkel," lanjut Ayahnya yang membuat Vander ingin menulikan pendengarannya dan menghilangkan ingatannya.

Satu lagi pagi yang menyebalkan.

Ibu Vander menutup mulutnya tak percaya. "Really? Gadis bernama Chloe?" tanyanya melihat ke arah Vander dan sang suami.

Vander dan ayahnya membalas pandangan wanita cantik paruh baya itu dengan wajah terkejut.

Bagaimana ibunya bisa tahu nama si biang onar?

"Jadi kau tahu gadis itu, sayang?" tanya sang Ayah.

Dan itu membuat Vander ingin menenggelamkan dirinya sekarang. Keduanya sudah tahu tentang si biang onar. Bahkan namanya sudah disebutkan sekarang.

Ini salahnya! Salahnya sejak awal yang sudah 'sedikit' baik pada gadis bermata kelam itu. Sehingga membawanya terus-terusan hanyut dalam alur hidupnya.

Vander berdeham, kemudian berkata, "Dia bukan siapa-siapa." Lalu mengambil serbet untuk mengusap mulutnya. Ia sudah selesai sarapan sekarang. Dan ingin segera lari.

Sang ayah juga mengusap mulutnya dengan serbet yang tersedia. Mereka sama-sama sudah menyelesaikan makan. Sedangkan sang ibu belum juga menyentuh wafflenya sedikitpun- lebih tertarik dengan obrolan bersama suami dan anaknya.

"Lantas mengapa kau menciumnya?"

Pertanyaan ayah Vander sungguh seperti tikaman yang menghujam. Namun sang ibu justru memekik senang.

"Mom juga melihat Vander mencium gadis cantik itu kemarin. Sungguh!" Lapornya pada sang suami.

Pria dengan kerutan di wajahnya itu mendelik ke arah Vander, "Kau yakin dia bukan siapa-siapa? Bahkan kalian hampir-"

Vander mengkode ayahnya untuk segera berhenti bicara di depan sang ibu. Ia takut wanita yang melahirkannya itu mengutuknya kalau smpai tahu dirinya yang akan melampaui batas. Walaupun sebenarnya tidak sampai ia lakukan, tapi itu akan memancing amarah sang ibu bila ia mendengarnya.

Sang Ayah yang mengerti akhirnya mau diajak berkoordinasi. Ia juga tak ingin sang istri membuat kekacauan di pagi hari, karena racauannya yang seperti rel kereta api- tiada sudut untuk berhenti.

"Hampir apa?" tuntut wanita dengan rambut disanggul itu, "Kalian menyembunyikan sesuatu, bukan?" tanyanya pada kedua pria itu dengan menyipitkan kedua matanya curiga.

Vander dan ayahnya memilih menggelengkan kepala. Lalu keduanya berdiri sambil membawa piring kotor masing-masing untuk dibawa ke bak cucian. Membuat sang wanita paruh baya terheran dengan aksi keduanya yang kompak.

"Hampir saja perang dunia ketiga terjadi," desis sang Ayah saat di depan washtafel.

Dan Vander yang mendengar itu hanya bisa meringis saat membayangkannya. Ibunya terkadang bisa semengerikan Hulk dengan mulutnya.

🌸🌸🌸

Sesuai agenda mereka tiap tahunnya. Musim ini mereka kembali mendatangi pameran mobil New York di Manhattan- tepatnya di Javits Convention Center yang akan berlangsung selama sepuluh hari. Dan karena hari ini Vander tak memilik jadwal kuliah, ia dapat menghadirinya dengan sang ayah.

Selama dalam perjalanan, tak begitu banyak pembicaraan yang mereka lakukan. Hanya topik seputar cuaca, lalu lintas dan pekerjaan. Lalu mereka berdua kembali lagi menjadi duo manusia kaku.

Hanya suara radio dengan lagu rock lama dari mobil antik ayahnya yang terdengar. Mengingatkan Vander akan si polisi gila tadi malam yang membawanya.

"Kau benar mengantar gadis itu pulang tadi malam?"

Pertanyaan ayahnya membuat Vander tersentak dari lamunannya.

"Ya, sampai ke tempatnya." di neraka.

Sang ayah mengangguk sambil menyetir mobil kesayangannya. Ia tak pernah mengizinkan Vander untuk mengendarainya, walaupun barang sebentar.

"Tapi kau sangat lama di luar."

"Ya, lalu lintas terlalu padat. Kebetulan aku bertemu dengan Billy. Dia yang mengantarku."

"Dad tahu."

Vander melirik ayahnya. Ingin menanyakan bagaimana ayahnya bisa tahu, padahal ia tiba di rumah saat semuanya sudah terlelap. Namun ia urungkan, karena tak berani saat ayahnya membalas tatapannya.

Pasti Billy si mulut besar yang seperti ember bocor itu yang memberi tahu.

Selanjutnya perjalanan mereka menuju Javits pun terasa sangat jauh. Karena keduanya tak mengisi satu sama lain. Mereka berdua kembali terdiam sampai akhirnya tiba di gedung besar yang menjadi acara pameran itu.

Disana keduanya mengikuti berbagai pertunjukkan peragaan mobil, ada konferensi yang terkait, forum serta perkenalan akan teknologi terbaru dari produksi brand besar yang menampilkan supercar bertenaga hidrogen.

Kedunya tampak menikmati dan penuh minat akan acara yang berlangsung. Bahkan tak jarang keduanya saling memberi tanggapan satu sama lain mengenai pabrikan yang ditampilkan. Tak sadar kalau keduanya sudah akur dan saling berbaur.

"Menurutmu teknologi apa yang akan kau tampilkan untuk kontes di Las Vegas nanti? Disini sudah banyak referensi yang bisa diambil," tanya sang Ayah saat mereka berdiri di samping mobil supra yang dimodifikasi total.

Vander berdiri di depan kap mesin yang terbuka- memperhatikan mesin-mesin apa yang telah dicekoki dalam mobil yang katanya tercepat itu.

"Rencananya aku akan menggunakan Ford Mustang King Cobra," ucap Vander hati-hati sambil memperbaiki letak kacamatanya. Ia tahu saat ini adalah saatnya.

Ayah Vander terkejut. Mobil itu adalah mobil balap. "Kau yakin? Sangat susah mencarinya." Matanya meneliti ke arah sang anak.

"Ya, aku harus rajin mengikuti acara lelang mobil. Mungkin ada satu atau dua yang mau menjualnya. Dad, kau mengizinkanku menggarapnya? Walau kutahu itu mobil untuk drag race."

Ayah Vander mengusap dagunya berpikir, "Sudah buat rancangannya?" tanyanya balik.

Vander mengangguk ragu. "Sudah, Dad. Dengan mesin 5.0 liter supercharged V8 dengan daya 600 BHP. Bisa menempuh jarak 400 meter dalam 10 detik."

"Good. Spesifikasi mesin yang cukup mumpuni untuk digunakan drag race. Jadi... kau keluar jalur dari yang biasanya mengerjakan mobil antik ke mobil balap? Ayah mendukungmu kalau begitu. Mungkin passionmu ada disana."

Vander tersenyum senang. Tak menyangka ayahnya akan setuju dengan idenya. Dari dulu ia ingin sekali menyuarakan pendapatnya, tapi takut dibantah. Maka dari itu ia diam saja selama ini. Namun mimpinya untuk menjadi pemenang di acara SEMA Las Vegas adalah salah satu harapan terbesarnya.

Mungkin inilah saatnya ia memperbaiki hubungannya dengan sang ayah. Ia akan mulai mendekatkan diri kembali. Ia akan berusaha sebaik mungkin, termasuk membuat ayahnya bangga. Karena Vander sangat membutuhkan sosok ayahnya sekarang. Dan ia ingin ayahnya ikut andil dalam setiap langkahnya.

"Dad, aku ingin kau menjadi mentorku."

Ayahnya tersenyum, mengangguk sambil menepuk bahu sang anak lalu mereka pergi dari tempat itu.

🌸🌸🌸

Setelah menghadiri acara pameran mobil hingga sore hari. Sang ayah membawa Vander ke toko bunga untuk membelikan istrinya yang sangat menyukai mawar merah.

Vander hanya menurut ketika disuruh turun untuk membeli sebuket mawar di toko kaca itu, sedangkan sang ayah membeli kopi di cafe sebelahnya.

Vander masuk ke toko bunga yang tidak terlalu besar itu. Seketika terdengar bunyi lonceng dari pintu yang dimasukinya. Membuat sang penjaga terkesiap dan segera berlari untuk menyambut sang tamu.

"Selamat datang, di Fleur de Paris. Ada yang bisa saya bantu?"

Wanita berambut coklat sebahu dengan bola mata senada menghampiri Vander. Wajahnya sangat tak asing di penglihatan Vander, namun ia tak ambil pusing untuk mengeruk ingatannya.

"Ya, tolong buatkan sebuket mawar merah dengan ukuran yang besar."

"Pakai kartu ucapan?"

Vander diam beberapa saat untuk berpikir. "Emm, sebaiknya tak usah."

Gadis penjaga itu tersenyum lagi lalu berkata, "Baiklah, Tuan. Silahkan tunggu disana selagi saya membuatkan pesanan anda. Permisi."

Vander mengangguk lalu berjalan ke tempat yang telah ditunjuk tadi. Sebuah tempat duduk dengan meja kecil yang menghadap jalan dibatasi oleh kaca. Sangat nyaman dan merupakan sudut yang bagus.

Sedangkan sang gadis bersurai madu tadi telah meninggalkannya dan berlari ke dalam untuk merangkai bunga.

Sambil menunggu pesanannya dan juga sang ayah. Vander mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya yang lama tidak ia sentuh. Sangat jarang bagi Vander untuk menyentuh benda tipis itu.

Selain untuk berkirim pesan dan menelfon seperlunya, ia jarang sekali menggunakannya. Karena Vander tak menggunakan media sosial apapun, apalagi bermain game. Ia terlalu sibuk untuk itu. Lagipula kontak yang ada di ponselnya terhitung sedikit.

Saat ia membuka kunci ponselnya, hal pertama yang ada di layarnya adalah pesan dari temannya, Andres. Rupanya temannya itu sudah datang hari ini dari Spanyol. Andres mengirimkan pesan pemberitahuan kalau dirinya sudah sampai.

Lalu ada pesan kedua dari nomor tak dikenal. Saat Vander ingin membukanya, tiba-tiba ada panggilan dari Andres. Segera Vander menjawabnya.

Kurang lebih lima menit Vander dan Andres berbicara. Dari awal menanyakan kabar sampai masalah kampus mereka. Dan setelahnya ia mematikan panggilan itu karena sang penjaga toko sudah kembali dengan pesanannya. Melupakan isi pesan kedua yang tadi ingin dilihatnya.

"Tuan, pesananmu telah selesai."

Vander lantas berdiri dan meyambut mawar -mawar itu dengan sebelah tangannya.

"Terima kasih."

Kemudian Vander membayar buket bunga itu ke kasir dengan kartu miliknya, karena sang ayah tak jua muncul untuk membayar pesanannya.

Apa cafe kopi disebelah sangat ramai sehingga ayahnya harus mengantri begitu lama? Membuatnya kembali merugi karena tabungannya yang sedikit terkuras lagi.

"Terima kasih sudah berkunjung. Semoga harimu menyenangkan."

Vander menatap sang penjaga toko itu sekilas dari balik kacamatanya. Menurutnya gadis serba coklat itu pernah ia lihat, tapi entah dimana. Atau hanya perasaannya saja?

Berjalan keluar. Vander melihat sang ayah ternyata tengah berdiri membelakanginya. Sepertinya pria paruh baya itu sedang berbicara dengan seseorang di depannya. Namun ia tak bisa melihat siapa sosok itu karena tertutup punggung ayahnya yang lebar.

Dan saat ia mendekat, ayahnya berbalik melihat Vander, lalu menunjuknya seakan memberitahukan kedatangannya pada seseorang.

"Vander, Chloe akan menumpang dengan kita ke Brooklyn."

Lalu gadis itu memiringkan kepalanya dan melambai kepada Vander dengan senyum manis andalannya.

Vander mengalihkan pandangannya ke sembarang arah dan mendengus kesal.

Hah... Apa lagi ini! keluh Vander dalam hati.

To Be Continued

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status