Share

I. Spring | Eight

Setelah menurunkan Chloe di salah satu gedung tua berbatu bata merah yang hanya beberapa blok dari rumahnya. Vander dan ayahnya kembali dalam keheningan tak berujung. 

Bahkan sampai mereka di garasi rumah, Vander tetap menunjukkan aksi tutup mulutnya. Dan menghindar cepat dari sang ayah yang kini memasang tanda tanya besar di wajahnya saat anaknya berlalu masuk ke dalam rumah.

"Vander, Daddy ingin bicara padamu. Kita bicara di halaman belakang," ucap Ayahnya saat Vander sudah separuh jalan di tangga menuju kamarnya.

Vander memejamkan matanya kesal. Tak bisakah ia diberikan waktu barang sebentar untuk menenangkan dirinya? Ia takut dirinya hilang kendali di depan ayahnya saat gejolak emosinya sedang tak menentu.

Namun itu yang mereka butuhkan kini. Vander tak bisa harus terus menerus sembunyi bak pecundang yang selalu lari setiap ada masalah. Lagipula ini adalah kesempatan baginya untuk berbicara kepada sang ayah dari hati ke hati.

Saat Vander menemui punggung ayahnya di halaman belakang dekat pinggiran kolam, sang ayah sudah menggulung lengan kemejanya sampai ke siku. Membuat Vander sedikit agak khawatir dengan apa yang terjadi.

Vander dengan berani berdiri di samping sang ayah yang sedang memandang jauh ke depan. Bukan karena ada benda atau hal menarik di hadapannya, melainkan ada yang mengusik pikiaran ayahnya saat ini. Vander yakin itu.

"Apa yang membuatmu terlihat marah sekarang? Apa Dad berbuat salah? Bukankah sebelumnya kita sudah mulai mencair saat di Javits tadi?"

Vander mengetatkan rahangnya. "Tidak ada, Dad." Walaupun sebenarnya benar ia marah karena ayahnya mengajak Chloe bersama mereka.

Sang ayah tetap dalam posisinya. "Tapi sayangnya kau tak bisa berbohong, Vanderex Zeckar."

Reaksi Vander hanya diam. Tak mau menanggapi kalau itu soal gadis bernama Chloe Johnson. Baginya pembahasan mengenai sang biang onar tak begitu perlu dikaji. Sangat tidak penting juga untuk menjadi topik utama.

"Chloe sudah menceritakan semuanya saat di cafe tadi. Mengenai kalian berdua dan—"

"Dad! Tolong jangan percaya dengan wanita pengkhianat itu."

Vander kini menghadap sang ayah, begitu juga ayahnya. Ia tak menyangka Chloe akan berbuat sejauh ini- mempengaruhi ayahnya dan membuat keributan antara ia dan ayahnya, karena sang ayah yang lebih percaya dengan ucapan gadis itu daripada dirinya. Bahkan masalah mereka yang lalu saja belum terselesaikan.

"Vander, bagaimana Dad bisa percaya bila kau saja tak pernah terbuka dengan ayahmu sendiri."

Vander tertohok mendengar ucapan ayahnya. Matanya berkedip cepat lalu memalingkan pandangannya ke arah lain.

"Kau sangat dekat denganku tapi terasa jauh bila bersama. Benteng apa yang kau pakai, nak? Jiwamu begitu angkuh untuk sekedar berbagi resah yang kau rasa," lirih Ayahnya dengan suara gemetar.

Tangan Vander tergenggam kuat sekarang. Matanya pun ikut memejam. Mencoba mengalihkan rasa sesaknya yang kembali membakar dadanya.

"Apa yang membuat kita jauh, Vander? Apa daddy melakukan kesalahan? Kau tahu kita seperti dua orang bodoh di rumah selama ini. Tidakkah kau merasa sepi dihatimu seperti yang ayah rasakan?"

Rasa hangat Vander rasakan di wajahnya saat air mata itu turun mengalir dari matanya yang terpejam. Entah kenapa kehangatan itu seperti menjalar ke hatinya yang membeku lalu mencair. Seolah segala kehampaan itu mendapatkan celahnya- Pertahanan Vander luruh.

"Nak, percayalah kalaupun Dad dulu pernah kecewa padamu, itu semua tak sebesar rasa takutku saat kami hampir kehilanganmu. Itu semua sudah termaafkan. Bukan berarti kau harus terus menerus menghukum dirimu sendiri seperti ini. Kau selama ini hidup bagaikan orang terpenjara. Kau menyiksa dirimu selama ini. Bukan hanya kau yang mersakannya . Dad dan Mom juga."

Ya, Vander selama ini memang menghukum dirinya, jiwanya bahkan kebebasannya. Di masa lalu selain dia banyak dikecewakan, ia juga banyak mengecewakan orang lain. Bahkan ia tak bisa mengembalikan sebuah rasa percaya apalagi sebuah nyawa.

"Dad, kau tahu masa laluku sangat kelam. Bahkan rasanya tak termaafkan bila aku hidup sampai detik ini juga."

Ayah Vander memegang kedua bahu anaknya. "Omong kosong apa itu? Vander, itu semua bukan salahmu! Bukan kau yang membunuh, Paul Turner!"

Vander menunjuk dirinya. "Tapi aku yang memberi barang haram itu, Dad! Salahkan pemakai sialan ini! Aku benar-benar bajingan! Andai aku mendengar katamu agar tak menyentuh barang haram itu. Mungkin tak seperti ini jadinya. Atau aku harus mati saja agar rasa sakit ini menghilang selamanya?" teriak Vander dengan napas tak beraturan dan mata merah menyalang.

Dan berikutnya terdengar suara tamparan. Ya, sang ayah menampar wajah putranya agar lelaki muda itu tersadar dengan apa yang diucapnya. Bahkan sangkin kuatnya, membuat kacamata yang dipakai Vander juga ikut terjatuh ke bawah.

"Bukan seperti itu pria sejati menghadapi permasalahan hidupnya!"

Vander terdiam dengan rasa panas di pipinya. Ia sadar akan ucapannya yang salah. Namun merasa rendah diri akan itu. "I'm not, Dad. I'm sorry. I can't be perfect."

Tubuh Vander merosot dihadapan ayahnya. "I'm so sorry, Dad. Aku tak menjadi seorang anak yang bisa kau banggakan selama ini. But, i always do my best for you. I try hard to make you proud."

Ayah Vander tak kuasa melihat anaknya yang selama ini begitu kokoh kini runtuh dihadapannya. Tembok tinggi itu kini telah runtuh. Namun bukan berarti itu menunjukkan kelemahannya, tetapi ia telah menampakkan diri sejatinya.

"Dad selalu bangga padamu, Vander. Selalu begitu. Kalaupun ada orang yang salah disini. Itu adalah Daddy."

Vander mendongak melihat ayahnya yang merunduk dengan wajah penuh penyesalan. Bahkan disela pipi keriput itu, ia melihat linangan air mata. Ayahnya menangis.

"Dad, No!" Vander berdiri melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan ayahnya tadi- memegang kedua bahu ayahnya yang tak sekuat dulu, "Kau tak pernah salah, Dad."

Ayah Vander memandang lemah anaknya dan berkata,

"Begitu juga kau, Vander. Kau tak bersalah. Bisakah kita memperbaiki segalanya dan memulainya dari awal?"

***

Saat ini Vander berada di kamarnya. Setelah percakapan dengan ayahnya yang berakhir haru, Vander masih tak menyangka masalah dirinya dan sang ayah terselesaikan. Tepat malam ini.

Ternyata perlu waktu seharian penuh dengan sang ayah dan sikap terbuka juga keajaiban untuk mengakhiri perang dingin diantara keduanya.

Tekad Vander kemarin malam berbuah manis, walaupun sempat mendapat tamparan dari ayahnya. Hanya sehari semalam ia memikirkannya dan semuanya sesuai yang diharapkannya. Dan Vander menyesal telah bersikap bodoh selama empat tahun belakangan yang tanpa aksi.

Namun tak ada gunanya menyesal. Yang pasti semuanya sudah benar dan pada tempatnya. Apapun itu, Vander harus memulai kisah baru di hidupnya. Dan menjadi diri sendiri yang lebih penting.

"Thank God."

Vander berkaca di depan cermin- memerhatikan bayangan wajahnya yang memerah juga bekas luka di tubuhnya yang tanpa sehelai benang. Ia bersyukur atas segala yang terjadi di hidupnya. Entah itu sebuah kesialan, kebodohan, penyesalan, kekalahan bahkan pengkhianatan- ia tetap bertahan sampai detik ini. Dan semuanya menjadi pelajaran yang berharga baginya di masa depan.

"Vander, makan malam telah siap."

Suara sang ibu terdengar di luar sambil mengetuk pintu kamar mandinya. Vander bergegas menyelesaikan cukurannya agar segera bersiap-siap makan malam bersama.

Vander terlihat percaya diri untuk keluar sekarang. Ibunya pasti akan senang bila tahu ia dan sang ayah sudah berbaikan. Karena tadi ibunya tak ada di rumah saat pembicaraan di halaman belakang berlangsung.

"Wait a minute. Aku sudah selesai."

***

Saat Vander menuruni anakan tangga. Ia bisa mendengar kebisingan dari ruang dapur. Pasti Billy si polisi gila itu datang ke rumahnya. Billy sudah seperti anak ibunya saja kalau dilihat-lihat. Kemana ada ibunya, selalu ada Billy.

"Terima Kasih, Andres. Kau baik sekali."

"No, problemo, Nyonya Zeckar."

Dahi Vander mengerut saat mendengar suara teman kampusnya itu. Ia segera melangkahkan kakinya cepat ke bilik dapur.

"Andres?"

Dugaannya benar. Andres si pria spanyol itu ada di rumahnya.

"Holla, Vander. I miss you, big boy,"

Andres menyambut sembari memeluk tubuh besar Vander yang hanya memakai kaos fit body serta celana pendek. Dan tentu saja tanpa kacamata, karena ini di rumah bukan tempat umum. Lagipula kacamatanya telah hancur.

Vander bukannya membalas pelukan pria berambut keriting itu, ia meninju keras perut Andres hingga meringis.

"Sialan kau, Andres. Kau membawa laptopku bodoh!"

Keduanya bergelut hingga Billy si polisi baik hati melerai keduanya.

"Kalian ingin di borgol atau melanjutkannya di sel?" ancam Billy sambil berkacak pinggang diantara keduanya.

Vander dan Andres jelas memilih berhenti dan diam. Mereka tahu sepak terjang Billy yang walaupun badannya kecil, polisi gila itu sangat jago berkelahi apalagi berbuat nekat. Termasuk menjebloskan Vander dan Andres ke sel.

Seperti dahulu saat mereka tak sengaja menabrak mobil dinas Billy yang terparkir di pinggir jalan. Detik itu juga mereka ditangkap dan dihukum selama tiga jam dalam jeruji.

"Thank's, Maddog," ejek Andres sambil berlalu dari hadapan Vander dan Billy menuju sofa.

Sedangkan Ibu Vander hanya tertawa melihat pertengkaran kecil di dapurnya. Ia senang rumahnya begitu ramai sekarang.

Vander memandang sinis Billy sebelum akhirnya menyapa sang ibu di meja makan.

"Mom, dimana dad?" tanya Vander saat sudah mengambil tempat. Begitu juga Billy dan Andres yang membawa sebuah laptop putih- milik Vander.

Ibu Vander heran dengan anaknya yang menanyakan sang ayah. "Mengambil sesuatu yang tertinggal di mobil tadi."

Vander mengangguk. Pasti mawar-mawar itu yang membuat ayahnya berbalik keluar.

"Ini laptopmu, Beast!" Andres menyerahkan benda tipis yang berada di tangannya itu ke Vander.

"Dasar pencuri!" hardik Vander. Sedangkan Andres merasa tak bersalah sama sekali karena telah membawa laptop temannya itu untuk keperluannya selama berkeliling dunia.

Dasar orang kaya licik!

"Yang penting aku membawakan buah tangan sebagai balasan untukmu, Jerk!" sahut Andres.

Vander tak menanggapi si rambut kriting itu lagi. Ia membuang mukanya ke arah piring yang ada di hadapannya kini. Makan malam kali ini adalah steak. Ya, kesukaan Vander dan ayahnya tentunya.

"Kita kedatangan lagi satu tamu."

Suara Ayah Vander terdengar saat memasuki ruang makan. Dan hal itu membuat semua mata beralih ke arah sang kepala keluarga Zeckar. Beserta seseorang yang berada di belakangnya.

"Oh, No. Not again," gumam Vander.

Ia baru saja melihat adegan ini beberapa saat yang lalu. Dan ia tahu bagian terburuk setelahnya. Vander tak ingin melihat lanjutannya.

"No way!" pekik Andres tiba-tiba sambil berdiri, "Bukannya ini wanita yang berada di laptop Vander?"

To Be Continued...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status