Kemeriahan pesta pernikahan Alea Blackstone dan Dana Ryan Nugraha semakin membuat hati Aaro sakit. Mungkin, dirinya adalah satu-satunya orang yang tidak merestui pernikahan kedua mempelai. Sampai kapan pun, Aaro akan mengingat rasa sakit ini. Sakit karena dikhianati. Alea, gadis yang ia cintai sejak lama yang juga merupakan adik kandungnya telah memilih untuk menikah dengan pria lain.
Aaro duduk menjauh dari keluarganya di sudut ruangan yang tersembunyi seraya menatap geram ke arah pelaminan. Kedua tangannya mengepal erat untuk menahan diri agar tidak mengacaukan acara pesta. Namun, jika saja diizinkan, dengan senang hati dirinya akan berlari ke arah pelaminan dan membawa kabur Alea, seperti kakak keduanya yang membawa kabur pengantin wanita orang lain.
Aaro mendengus keras membayangkan kemungkinan dirinya menghambur ke arah pelaminan dan membunuh suami Alea, tapi itu tidak akan mungkin terjadi karena Aidan Blackstone—ayahnya—beserta keempat kakak lelakinya sedang berdiri berjajar di sisi pelaminan seperti pagar betis. Seolah dirinya bisa menang melawan mereka saja.
Tak tahan lagi dengan canda tawa yang terdengar dari orang-orang di sekitar yang seolah mengolok dirinya, Aaro pun merogoh ponsel di saku jasnya dan mengirim pesan pada Alden—memberitahu sang kakak bahwa dirinya pulang lebih dulu dengan alasan pusing—kemudian, tanpa menunggu balasan dari sang kakak, Aaro pun bergegas meninggalkan ballroom Hotel Nugraha, tempat resepsi pernikahan Alea digelar.
Sampai di tempat parkir, Aaro masih belum tahu ke mana dirinya akan pergi. Ia hanya butuh menghindar dari tempat ini, tapi juga tak ingin pulang ke rumah. Terlalu banyak kenangan menyakitkan bersama Alea yang akan terus membayangi ketika dirinya berada di rumah.
Tidak.
Aaro hanya butuh tempat yang lebih ramai dan bising untuk bisa mengalihkan dirinya dari rasa sakit dan kecewa akibat pengkhianatan Alea. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk mendatangi salah satu kelab malam terbesar di kotanya. Perjalanan ke sana tidak membutuhkan waktu lama, karena kelab malam itu hanya berjarak beberapa blok saja dari Hotel Nugraha.
Begitu masuk ke dalam, Aaro mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan untuk mencari tempat duduk yang lebih privasi dan tersembunyi. Membingungkan sekali, karena meski ingin berada di keramaian, tapi tetap saja dirinya tidak ingin terganggu dan ingin sendiri. Dahinya mengerut dengan wajah kesal melihat hampir semua tempat yang strategis untuk menyembunyikan diri telah ditempati oleh pasangan-pasangan muda yang saling bermesraan tanpa tahu malu. Tanggung sekali rasanya untuk mencari kelab malam yang lain, ia pun melangkahkan kaki menyeberangi dance floor menuju ke arah meja bartender di seberang pintu masuk.
Aaro memesan segelas anggur kepada bartender yang langsung menyambut begitu dirinya duduk. Habis satu gelas, ia memesan segelas lagi dan lagi. Entah sudah berapa gelas yang ia habiskan dalam waktu kurang dari satu jam ini.
"Anda datang sendiri atau bersama teman?" Sang bartender bertanya ketika Aaro ingin memesan segelas anggur lagi.
"Sendiri. Kenapa?" tantang Aaro galak.
"Anda sudah terlalu banyak minum. Sebaiknya Anda menghubungi teman atau keluarga untuk menjemput." Bartender itu bersikap sopan karena menilik dari penampilannya, Aaro bukanlah orang sembarangan.
"Urus saja urusanmu sendiri!" Aaro berbicara sambil cegukan. Telunjuknya terangkat ke arah sang bartender menyiratkan ancaman. "Aku akan tetap berada di sini semauku!" Aaro menyodorkan gelasnya yang sudah kosong melintasi meja ke hadapan sang bartender meminta untuk diisi ulang. Meski kepalanya sakit dan pandangannya mulai kabur, tapi dirinya tak peduli. Anggur itu seakan bisa sedikit meredakan nyeri yang terus menusuk di hatinya, bahkan mungkin dirinya akan terus minum sampai mati saja. Toh, tidak ada lagi yang peduli dengan dirinya. Keluarganya mempersiapkan pernikahan Alea dengan penuh suka cita tanpa mempertimbangkan perasaannya sedikit pun.
Pyaarr
Aaro menoleh ketika mendengar suara pecahan gelas dari bangku di sebelahnya. Rupanya seorang gadis—dilihat dari baju yang dikenakan, seperti pelayan di kelab ini—tanpa sengaja menyenggol gelas salah seorang pengunjung kelab yang duduk dua bangku di sebelahnya. Meski pandangannya sedikit tidak fokus, tapi Aaro masih bisa melihat bahwa gadis itu ketakutan dan terus menarik-narik roknya yang terlalu pendek agar bisa sedikit turun menutupi pahanya. Ck! Jika tidak ingin terlihat, mengapa memakai rok sependek itu, batin Aaro mencemooh.
"Maaf. Saya tidak sengaja," rintih sang gadis.
"Tak masalah, sama sekali tak ada masalah," jawab si pengunjung seraya mengusap celananya yang basah menggunakan tisu yang disodorkan oleh bartender. "Tapi aku tetap mau ganti rugi." Senyum licik tersungging di wajahnya yang gemuk dan berewokan.
Gadis itu mendongak dan menatap terkejut pria paruh baya di hadapannya itu. "Sa-saya tidak memiliki banyak uang."
Pria itu tergelak. "Aku tak butuh uangmu, tapi,"-pria itu tersenyum penuh arti seraya mengulurkan tangan untuk mencolek lengan si gadis-"tubuhmu."
"Tidak!" Seorang wanita cantik jelita dengan tubuh mungil nan sintal tiba-tiba saja datang menghampiri dan menyela. Sebelah tangan wanita berpakaian minim itu terulur untuk mencubit lengan si gadis. "Ibu sudah bilang padamu, jangan keluar dari kamar, jangan lagi membantu di sini!"
"Maafin Zahra, Bu. Zaa cuma mau bantu Ibu."
Aaro mendengus pelan kemudian kembali menghadap meja bartender. Ia berpikir bahwa itu semua bukan urusannya. Jadi, untuk apa menonton drama menggelikan antara ibu dan anak yang sama-sama pekerja di kelab ini. Oke, mungkin saat ini gadis itu hanya bekerja sebagai pelayan saja di sini, tapi siapa tahu ke depannya dia akan mengikuti jejak sang ibu yang jika dilihat dari penampilannya adalah seorang wanita penghibur di kelab ini.
"Berapa kali harus Ibu katakan padamu, tempat ini tidak baik dan tidak bersahabat! Ibu masih bisa membiayai kuliah kamu! Jadi, kamu tidak perlu bekerja menjadi pelayan lagi di sini!"
"Aaaa sudah, jangan banyak bicara lagi!" hardik pria itu, memotong pembicaraan ibu dan anak di hadapannya. "Aku tak peduli dengan masalah kalian. Kalian tahu berapa harga celanaku ini? Bahkan dengan tubuh kalian pun tidak akan mampu membelinya!"
Aaro mendengus mendengar ucapan sombong pria itu. Meski tidak lagi memperhatikan, tapi ia masih bisa menangkap percakapan mereka. Ibu si gadis rupanya sedang berusaha merayu pria itu agar mau memaafkan kesalahan tidak sengaja yang dilakukan putrinya dan sebagai gantinya, wanita itu bersedia memberikan pelayanan memuaskan kepada sang pelanggan cafe itu secara cuma-cuma. Aaro bergidik mendengar nada genit menggoda wanita itu. Namun, tatkala wanita itu berkata kepada sang putri agar kembali ke kamar, ia bisa menangkap nada khawatir dalam suaranya, membuat kepalanya kembali menoleh untuk mengamati ekspresi wajah menor itu dan melihat dengan jelas betapa besar cinta wanita itu untuk putrinya.
"Hah!" pria itu menangkap pergelangan lengan si gadis yang baru saja akan beranjak dari tempatnya berdiri dan menariknya mendekat. "Dia yang berbuat, dia yang harus bertanggung jawab!" Pria itu mendorong ibu si gadis yang berusaha meraih putrinya dan menyeret gadis bernama Zahra itu untuk pergi bersamanya.
"Tidak! Lepaskan!" Gadis itu meronta dan melawan. Dengan kurang ajar, dia menggigit lengan pria yang terus menyeretnya itu membuat si pria terkejut dan marah, kemudian mengibaskan tangannya yang terasa sakit akibat hujaman gigi si gadis.
"Zahra!" pekik ibu si gadis kemudian meminta maaf pada pria itu sambil mengusap lengan yang terkena gigitan putrinya. Bukannya dimaafkan, dia justru mendapat tamparan keras dari pria itu membuat tubuh mungilnya tersungkur menabrak meja.
"Woi!" Aaro berteriak secara refleks karena tidak suka melihat pria itu bersikap kasar pada perempuan. Sejak kecil, dirinya selalu dididik oleh ayahnya untuk tidak pernah menyakiti perempuan atau mereka yang lebih lemah dan pria itu sudah berbuat sangat kasar kepada dua orang perempuan lemah tak berdaya. Tentu saja, Aaro tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Kebetulan sekali, saat ini dirinya sedang membutuhkan pelampiasan emosi.
Bagh!
Hanya dengan satu kepalan tinju, Aaro berhasil membuat pria itu tersungkur. "Heh Banci, berapa tahun kupingmu tak pernah dibersihkan? Dia tak mau!"
Pria itu mendongak dan menatap Aaro dengan geram. Telapak tangannya terangkat untuk memanggil seseorang atau tepatnya beberapa orang karena tak lama berselang, lima pria berbadan kekar datang menghampiri dan berdiri di samping kanan dan kirinya. Rupanya mereka adalah bodyguard pria itu.
"Jadi, beraninya main keroyokan nih?" Aaro tertawa mengejek membuat tubuhnya yang sudah terlalu banyak minum oleng menabrak meja bar. "Kebetulan sekali, gue lagi butuh karung tinju. Hahaha!"
"Dasar bocah!" Pria itu meludah ke lantai. "Hajar dia dan jangan beri ampun!" perintahnya kepada para bodyguard-nya.
Dua orang maju untuk memegangi kedua lengan Aaro, tapi Aaro berhasil menghindar dan menyarangkan bogeman tak bertenaga ke arah lengan salah satunya. Tidak bertenaga karena memang Aaro sedang dalam kondisi mabuk.
Jika tidak, pasti kedua orang itu sudah menjadi bubur dalam waktu kurang dari lima menit.Dua orang maju lagi untuk membantu memegangi Aaro sementara seorang yang lain menghajarnya. Dia memukul dan menendang Aaro tanpa ampun.
Mereka sukses menjadi bahan tontonan. Beberapa pengunjung yang tidak ingin terlibat pun menyingkir. Sama sekali tidak ada yang berniat menolong Aaro, kecuali gadis bernama Zahra yang terlihat histeris dan terus berteriak meminta tolong. Namun, karena tidak ada yang menggubris, ia pun maju dan memukuli lengan pria bertubuh kekar yang menghajar Aaro, membuat perhatian pria kekar itu teralihkan. Kepala bodyguard itu menoleh untuk melihat siapa yang berani menganggunya. Senyuman mesum tersungging di wajahnya begitu melihat Zahra.
"Kau ingin dapat giliran, gadis cantik? Sabar. Setelah ini, kita berlima yang akan memuaskanmu."
"Gadis bodoh! Menyingkir saja dari sini!" Aaro berteriak marah. Gagal sudah rencananya untuk mati babak belur, padahal dirinya memang sengaja untuk dihajar sampai babak belur dan mati sekalian kalau bisa. Mungkin dengan cara itu, Alea akan kembali memperhatikan dirinya. Namun, karena gadis sialan itu, gagal sudah rencananya. Meski marah dan kesal, tapi dirinya tak mungkin membiarkan seorang gadis lemah menjadi santapan pria-pria hidung belang di hadapannya ini.
Akhirnya dengan setengah hati, Aaro harus melawan dua orang yang masih menahan kedua lengannya. Tanpa kesulitan sedikit pun dirinya bisa melumpuhkan dua orang di antara kelima pengawal kacangan itu. Memang dirinya sudah terlalu banyak minum dan mabuk, tapi sebagai putra dari Aidan Blackstone, dirinya masih sangat mampu jika hanya melawan lima orang pengawal dungu itu.
Menjadi salah satu pewaris dari pengusaha ternama dan paling ditakuti di negeri ini membuat Aaro harus menerima didikan yang cukup keras sejak kecil. Berbagai ilmu bela diri sudah ia kuasai sebagai pertahanan diri, karena risiko menjadi seorang pewaris adalah banyak musuh mengintai dari tempat-tempat yang tak terduga. Untuk itulah semua pewaris Blackstone dibekali berbagai macam ketrampilan untuk mempertahankan diri.
Perhatian Aaro terpecah. Di satu sisi dirinya harus mengawasi putri pelacur itu, sementara di sisi lain dirinya harus tetap waspada mengamati pergerakan lima orang bodyguard yang mengelilingi dirinya dan Zahra. Ia pun lengah hingga tak menyadari jika salah seorang dari bodyguard yang sudah ia kalahkan tadi beringsut ke belakang tubuhnya untuk mengambil dompetnya. Aaro baru menyadari bahwa dompetnya telah raib ketika pria tambun yang juga bos dari para bodyguard ini tersenyum licik sambil berjalan pelan ke arahnya.
"Mengaku kalah sekarang juga, atau aku akan menghabisi seluruh keluargamu!" ancam pria itu licik seraya mengeluarkan tanda pengenal Aaro dari dalam dompet. Sedetik kemudian wajah licik itu berubah pias. Dia menatap Aaro dengan ekspresi syok sekaligus takut.
"Le-lepaskan dia," pria itu berujar kepada anak buahnya dengan suara gemetar kemudian berlutut di hadapan Aaro.
"Bos?" salah satu anak buahnya berniat protes.
"Jangan cari masalah dengannya, dia adalah salah satu putra Blackstone."
"Apa?!" semua yang mendengar identitas Aaro pun terkejut.
Ya. Siapa yang tidak kenal keluarga Blackstone dan juga reputasinya. Siapa pun akan berpikir dua kali jika ingin mencari masalah dengan keluarga Blackstone yang terkenal berdarah dingin dan tak kenal ampun, terutama sang Ayah atau bisa dibilang pemimpin mereka-Aidan Blackstone.
Daripada hancur tak bersisa, mereka pun akhirnya memilih berlutut untuk memohon ampunan Aaro. Mereka juga meminta dengan sangat supaya Aaro tidak memperpanjang urusan di antara mereka sebelum terbirit-birit meninggalkan tempat itu.
Zahra menatap Aaro bingung. Dirinya sama sekali tidak mengerti mengapa semua pergi begitu saja, tapi ketika melihat memar di wajah Aaro yang mulai membiru, ia pun berpikir bahwa tak penting lagi alasan mereka pergi. Yang terpenting adalah segera mengobati luka dan memar di wajah pemuda yang sudah menolongnya sebagai bentuk terima kasih.
"Kita perlu mengobati itu segera." Zahra menarik lengan Aaro melewati kerumuman di kelab.
"Tak usah. Cuma begini saja." Aaro menolak. Namun, ketika melihat wajah kecewa Zahra yang entah mengapa menganggu perasaannya, ia pun akhirnya membiarkan dirinya diseret ke bagian belakang kelab, tepatnya ke dalam kamar gadis itu.
"Ini kamarku dan ibuku," ujar Zahra sambil menyiapkan cairan antiseptik dan kapas.
Aaro diam tak menjawab. Ia mengamati diam-diam kondisi kamar yang sempit itu. Hanya ada satu tempat tidur kecil dan lemari plastik di sudut ruangan, sementara di sudut yang lain ada meja kecil berisi Magicom kecil, dispenser dan peralatan makan seadanya. Atap kamar itu juga terlalu rendah dengan lapu kecil menggantung di sana, bahkan ketika Aaro berdiri pun, kepalanya hampir menyentuh langit-langit kamar.
Aaro duduk diam di tepi tempat tidur sambil mengamati Zahra menuang cairan antiseptik ke dalam wadah kecil dan mencampurnya dengan air dari dispenser. Gerakan gadis itu terlihat kikuk dan canggung, mungkin karena ada dirinya di sana. Kemudian, saat gadis itu berbalik menghadapnya dengan kapas dan cairan pembersih luka itu di tangannya, senyum gadis itu mengembang sempurna.
"Aku kompres dulu ya," ujarnya gugup sambil duduk di sebelah Aaro setelah meletakkan peralatan perawatan lukanya di atas kursi plastik kecil di samping tempat tidur.
Aaro menatap Zahra tak sabar. Gadis itu terlihat kikuk dan sudah beberapa kali menjatuhkan kapas yang telah dicelup cairan antiseptik ke lantai. Ia bisa melihat tangan gadis itu gemetar seperti tidak terkontrol saat kembali mengambil kapas baru. "Sudahlah, biar kuobati sendiri saja," ia merebut kapas itu dari tangan Zahra.
"Ehh ... baiklah, jika begitu aku ambilkan minum saja," Zahra berdiri untuk mengambil minum. Namun, sebelah kakinya tersangkut kaki Aaro saat hendak melangkah, membuat tubuhnya oleng dan roboh ke depan menimpa Aaro. Mereka berdua terjengkang ke atas tempat tidur dengan posisi Aaro berada di bawah, sementara Zahra menelungkup di atas tubuh Aaro.
Selama beberapa saat, baik Aaro maupun Zahra hanya bisa saling pandang dengan ekspresi syok bercampur kaget. Keduanya baru sadar, gelagapan dan akhirnya memisahkan diri ketika mendengar pintu kamar tiba-tiba menjeblak terbuka. Beberapa orang berseragam coklat masuk ke dalam.
"Jangan bergerak! Kalian tertangkap basah sedang berbuat mesum!" Salah satu dari mereka berseru seraya mengacungkan sebuah pistol ke arah Zahra dan Aaro. Dua orang yang berada di belakangnya bergegas maju untuk meringkus Aaro dan Zahra yang terlihat masih bingung.
"Kalian ditangkap atas tuduhan berbuat mesum dan sepertinya usia kalian masih sangat muda." Ketua Satpol PP yang memimpin razia itu pun memerintahkan kepada anak buahnya untuk menggiring Aaro dan Zahra ke luar kamar.
Mereka berpapasan dengan ibu Zahra yang terlihat begitu terpukul mengetahui putrinya tertangkap basah sedang berbuat mesum.
"Tunggu dulu, ini salah paham!" Aaro yang sudah mulai bisa memahami keadaan mencoba menjelaskan.
"Diam! Nanti saja bicara di kantor polisi dan kami akan memanggil orang tua kalian!"
***
"Shit!" Aaro mengumpat pelan.Saat ini, Aaro sedang berada di dalam sel tahanan sementara di kantor polisi. Ia menarik napas panjang kemudian mengembuskannya dengan keras ketika melihat seorang petugas polisi menunjuk ke arah selnya. Bukan polisi itu yang membuatnya kesal, tapi rombongan keluarganya yang membuat dirinya seperti mendapat mimpi buruk.Seketika Aaro berdiri dari duduknya dan melangkah ke pagar jeruji untuk menyambut kedatangan keluarganya. Firasatnya mengatakan jika akan ada kejadian buruk yang menimpa dirinya. Apalagi ketika melihat ekspresi datar dan dingin ayahnya yang saat ini berjalan mendahului anggota keluarga yang lain menghampiri sel tahanannya."Ayah, Aaro bersumpah tidak melakukan apapun! Ini salah paham!" Aaro berusaha menjelaskan begitu sang Ayah sudah berdiri di depan sel tahanannya."Namamu Zahra?" Bukannya menjawab sang putra, Aidan Blackstone—ayah Aaro—justru mengarahkan
Zahra memandang berkeliling kamar perawatan ibunya di rumah sakit. Bukan hanya bisa dibilang bagus, tapi sangat mewah. Di sudut ruangan terdapat sebuah kitchen set dengan desain elegan dilengkapi lemari pendingin dua pintu berukuran besar. Tak hanya itu, di sana juga terdapat satu set meja makan berbentuk persegi dengan sebuah kursi bersandaran tinggi di setiap sisinya.Di sudut lain ruangan, Zahra melihat sebuah ruangan lain dengan pintu geser yang sedang terbuka. Dari tempatnya duduk saat ini, ia bisa melihat di dalam ruangan itu terdapat sebuah tempat tidur berukuran single untuk penunggu pasien. Sementara di depan pintu geser itu pun disediakan satu set sofa berwarna khaki dengan meja oval di tengahnya untuk menerima tamu yang datang menjenguk.Zahra mengembuskan napas panjang melihat semua kemewahan ini. Ia tak bisa membayangkan berapa tarif di dalam kamar ini per harinya. Bahkan mungkin gajinya sebagai pelayan di kela
Setelah menghentikan mobilnya di bawah sebuah pohon rindang depan gedung perkuliahan Zahra, Aaro mengirim pesan kepada istrinya itu untuk memberitahu bahwa dirinya sudah sampai di depan dan meminta gadis itu supaya bergegas.Sebetulnya Aaro enggan sekali dengan urusan jemput menjemput ini. Namun apa daya, jika sudah kepala suku yang memberi titah, maka itulah yang harus dilaksanakan. Di sinilah ia sekarang, menjemput Zahra kemudian mengantar gadis itu ke kelab untuk mengemasi barang-barangnya karena mulai sekarang dia akan tinggal di kediaman Blackstone.Aaro menarik napas panjang seraya memejamkan mata. Sampai detik ini, dirinya masih menyesali pernikahan Alea, tapi anehnya beberapa hari belakangan ini semenjak dirinya disibukkan dengan urusan Zahra dan ibunya yang berada di rumah sakit, dirinya hampir tak memiliki waktu untuk memikirkan Alea. Bahkan rasa sakit karena ditinggal menikah oleh Alea pun sudah tak sesakit sebelumnya. Semua i
Zahra mendesah dengan bahu terkulai. Hari ini adalah hari bersejarah yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Akhirnya, ia dan ibunya bisa meninggalkan kelab yang merupakan impian dan cita-cita mereka sejak lama. Meski tidak tinggal bersama, tapi Zahra tetap merasa bersyukur karena setelah ini, ibunya tak perlu lagi menderita dan mendapat perlakuan buruk dari orang-orang di kelab.Awalnya, Zahra merasa berat untuk berpisah dengan ibunya. Ia menangis dan memaksa untuk ikut tinggal bersama dengan ibunya, tapi ibunya menolak dengan alasan Zahra sudah memilik suami dan wajib mengikuti suaminya. Selain itu, ruko yang disediakan oleh keluarga Blackstone untuk ditempati ibunya juga jaraknya terlalu jauh dengan kampus Zahra.Zahra mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar. Saat ini, ia sudah berada di kamar Aaro atau bisa dibilang sekarang ini juga kamarnya. Sesaat tadi dirinya sempat mengira bahwa Aaro menunjukkan ruangan yang sa
Zahra meratakan bedak bayi ke seluruh wajah dan memoleskan sedikit lipgloss warna untuk membuat wajahnya yang pucat agar terlihat lebih segar. Ia menatap bayangan wajahnya sendiri dalam cermin yang balas menatapnya dengan ekspresi murung. Hatinya masih sakit dengan tuduhan yang diarahkan Aaro padanya semalam. Besar kepala, sok ikut campur dan berusaha menggantikan posisi Alea di hatinya?Andai Aaro tahu bahwa dirinya juga tidak menyukai pernikahan ini.Memang awalnya Zahra menerima pernikahan ini dengan penuh rasa syukur karena selain bisa terbebas dari kehidupan di kelab, ayah mertuanya juga mengatakan akan mengambil alih segala bentuk tanggung jawab atas dirinya dari ibunya. Tentu saja Zahra merasa senang karena itu berarti dirinya tak perlu membebani ibunya lebih lama lagi. Ia ingin ibunya bisa merasakan kebebasan untuk bahagia. Namun, ucapan Aaro semalam membuat Zahra sadar bahwa tidak seharusnya dirinya memanfaatkan pernikahan ini.
Jam dinding di kamar Aaro sudah mengaum sepuluh kali, itu artinya waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun, Zahra sepertinya tidak menyadari itu. Ia terlalu larut dalam pekerjaannya mengoreksi tugas dari murid-muridnya di sekolah yang sangat menguras tenaga dan pikiran. Jawaban yang diberikan oleh murid-muridnya kebanyakan berupa narasi panjang yang berputar-putar dan tidak langsung pada pokoknya."Sudah larut," ujar Aaro yang sejak tadi menunggui Zahra. Tidak hanya menunggui, Aaro bahkan mengamati setiap gerak gerik Zahra tanpa sepengetahuan gadis itu—seakan tidak ada pekerjaan yang lebih menyenangkan selain itu—sambil duduk di atas sofa, sementara Zahra bersila di lantai."Belum selesai," gumam Zahra tanpa menatap Aaro. Dahinya berkerut dengan bibir mengerucut beberapa senti ke depan saat membaca jawaban salah satu muridnya yang sungguh memeras otak."Aku ngantuk." Aaro menjulurkan kakinya unt
"Mana dia?" Aaro yang baru saja menghambur ke dalam ruang makan bertanya karena tidak melihat ada Zahra di sana."Zahra? Dia sudah berangkat beberapa menit yang lalu," Carmila tersenyum keibuan kemudian berdiri menyambut sang putra."Jalan ke halte?" tanya Aaro dengan nada jengkel sekaligus marah. Bukan marah kepada bundanya, tapi kesal pada dirinya sendiri yang bangun kesiangan dan yang menjengkelkan adalah Zahra sama sekali tidak berusaha membangunkan dirinya.Aaro mengerang pelan sambil mengusap wajah dengan telapak tangannya. Ia tahu apa yang mereka lakukan semalam adalah kali pertama untuk Zahra, jadi pasti akan terasa tidak nyaman bagi Zahra. Apalagi jika dia sampai harus berjalan jauh dari rumahnya ke halte."Tadi Om Damian mampir sebentar untuk mengambil beberapa berkas yang harus dibawa ke luar kota. Jadi, Ayah meminta tolong untuk mengantar Zahra sekalian. Kebetulan satu arah kan?" Aidan menjawab san
"Aa, ini di sekolah," desah Zahra di sela-sela ciuman Aaro yang terus menuntut. Bukannya menjawab, Aaro justru semakin menyudutkan dirinya hingga punggungnya menyentuh besi tempat tidur yang dingin.Masih sambil mencium bibir Zahra, Aaro membungkuk sedikit agar bisa mengangkat tubuh Zahra dan mendudukkannya ke atas tempat tidur. Kebutuhannya sudah mendesak dan menuntut pemuasan dengan segera, tapi ia tak bisa terburu-buru karena semua ini masih memerlukan penyesuaian bagi Zahra. Ia harus memastikan istrinya itu betul-betul sudah siap sebelum menyatukan diri.Zahra menancapkan kukunya pada lengan telanjang Aaro ketika cumbuan suaminya itu mulai turun dari wajah ke leher dan semakin turun hingga bagian bawah dirinya. Ia menggigit bibirnya dengan kuat—mencegah teriak kenikmatan lolos dari bibirnya—ketika Aaro menyentuh daerah sensitifnya dan ketika sentuhan itu semakin intens, ia seperti hilang akal dengan terus meracau memi