Share

Suami Brondong

Zahra memandang berkeliling kamar perawatan ibunya di rumah sakit. Bukan hanya bisa dibilang bagus, tapi sangat mewah. Di sudut ruangan terdapat sebuah kitchen set dengan desain elegan dilengkapi lemari pendingin dua pintu berukuran besar. Tak hanya itu, di sana juga terdapat satu set meja makan berbentuk persegi dengan sebuah kursi bersandaran tinggi di setiap sisinya.

Di sudut lain ruangan, Zahra melihat sebuah ruangan lain dengan pintu geser yang sedang terbuka. Dari tempatnya duduk saat ini, ia bisa melihat di dalam ruangan itu terdapat sebuah tempat tidur berukuran single untuk penunggu pasien. Sementara di depan pintu geser itu pun disediakan satu set sofa berwarna khaki dengan meja oval di tengahnya untuk menerima tamu yang datang menjenguk.

Zahra mengembuskan napas panjang melihat semua kemewahan ini. Ia tak bisa membayangkan berapa tarif di dalam kamar ini per harinya. Bahkan mungkin gajinya sebagai pelayan di kelab selama setahun pun tidak akan bisa membayar semua fasilitas dan pelayanan di kamar ini. Semua ini ia dapatkan dengan cuma-cuma setelah dirinya resmi menikah dengan salah seorang putra dari Aidan Blackstone.

Menikah? Zahra mengulang pertanyaan itu berulang kali di dalam kepalanya. Sebagian dari dirinya masih tidak percaya dan mengira bahwa semua ini adalah mimpi. Namun, saat tatapannya kembali tertuju ke arah sofa panjang di mana seorang pemuda bernama Aaro Blackstone itu sedang terlelap, ia pun akhirnya harus menerima kenyataan bahwa semua ini memang benar terjadi dalam kehidupannya.

Zahra memejamkan matanya untuk merunut kembali kejadian beberapa jam terakhir ini. Ya, dalam waktu kurang dari tiga jam, kehidupannya berubah total. Empat jam yang lalu, dirinya masih seorang gadis biasa bernama Zahra, seorang mahasiswi jurusan Pendidikan Biologi di sebuah universitas pendidikan grade rendah di kotanya. Tak ada yang istimewa dari dirinya. Ia hanyalah putri dari seorang wanita penghibur tercantik di kelab bernama Fatma.

Meski pun semenjak kecil Fatma merawat dan membesarkan Zahra di dalam sebuah kamar kecil di bagian bagian belakang kelab, tapi dia sama sekali tidak menginginkan sang putri mengikuti jejaknya. Zahra harus bisa mendapatkan masa depan yang lebih layak dan membawa mereka berdua keluar dari kamar sempit mereka di kelab. Itulah sebabnya, Fatma bertahan dengan kehidupan jalangnya demi menuntaskan pendidikan sang putri demi meraih impian dan harapan mereka berdua.

Zahra merebahkan kepalanya di tepi ranjang pasien sang ibu. Ia berharap semoga ibunya tidak marah atau kecewa saat bangun nanti mengetahui dirinya telah berubah status sebagai istri orang tanpa persetujuan dari sang ibu. Dirinya juga berharap semoga sang ibu mau menerima penjelasan bahwa pernikahannya hanyalah untuk mencegah skandal yang mungkin terjadi demi menjaga nama baik semua orang, termasuk dirinya dan ibunya.

Terlalu lelah dan kurang tidur membuat Zahra pun terlelap dalam posisinya saat ini dan baru terbangun saat merasakan usapan lembut membelai wajahnya.

Zahra membuka matanya perlahan dan selama sesaat masih bingung dimana dirinya berada. Namun, saat matanya menangkap bayangan wajah Aaro yang menatapnya dari arah sofa dengan ekspresi datar, otaknya kembali memutar perjanjian sakral semalam. Ia pun buru-buru mengangkat kepala dan menegakkan badannya.

"Kamu sudah bangun?"

Kepalanya memutar cepat ke arah tempat tidur begitu mendengar suara sang ibu. Selama satu detik, Zahra merasa seakan jantungnya berhenti berdetak sebelum akhirnya berdebar hebat.

"I-ibu?"

"Sudah bangun, ya?"

Belum juga hilang rasa terkejutnya, Zahra kembali dibuat syok dengan kemunculan sosok muda keibuan yang tersenyum hangat ke arahnya, bunda Aaro atau lebih tepatnya bunda mertuanya. Padahal semalam dirinya sudah memohon dengan sangat agar diberi kesempatan untuk menjelaskan kepada ibunya terlebih dahulu mengenai pernikahan dadakan yang terjadi, tapi sepertinya keluarga Blackstone bukanlah orang yang bisa sabar menunggu.

"Ibu, mereka ... ehh ...," Zahra terlihat bingung untuk menjelaskan kepada sang ibu.

Fatma tersenyum menatap sang putri, "tidak apa, mereka sudah menjelaskan semuanya pada ibu dan ibu rasa itu juga jalan yang terbaik untuk kalian. Setidaknya,"-Fatma berhenti sejenak untuk mengusap air mata di pipinya-"setidaknya keluarga suamimu telah melunasi semua tanggungan ibu di kelab dan berniat memberikan modal untuk membuka usaha kecil-kecilan."

"Apa?!" Zahra terkejut mendengar penjelasan ibunya dan seketika kepalanya menoleh ke arah Aaro yang terlihat masih duduk di sofa dan balas menatapnya dengan wajah datar tanpa tersenyum sedikit pun.

"Rasanya masih sulit untuk dipercaya, akhirnya ibu bisa keluar dari tempat terkutuk itu." Tangis ibu Zahra pun pecah. Ia tahu bahwa pekerjaan yang digelutinya selama ini adalah pekerjaan yang tidak baik, tapi semua itu ia lakukan karena terpaksa. Selain tidak memiliki tempat tinggal, ia juga menanggung banyak hutang untuk biaya persalinan dan perawatan Zahra semasa kecil.

Fatma pernah mencoba bernegosiasi dengan Mama pemilik kelab untuk membatalkan perjanjian mereka. Dirinya ingin keluar dari kelab dan mencari pekerjaan lain, tapi sang Mama menjawab dengan tegas bahwa dirinya bisa bebas setelah semua hutangnya lunas atau urusan akan berakhir di meja hijau. Setelah itu, Fatma semakin bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan lebih agar  tetap bisa membiayai sekolah putrinya dan bisa mencicil hutang-hutangnya di kelab. Namun, hutang itu tak pernah lunas karena terus berbunga dan semakin mencekik.

Carmila mendekati Fatma kemudian memeluk wanita rapuh itu. Ia bisa merasakan penderitaan baik fisik maupun mental yang dialami Fatma. Dalam hatinya mengucap syukur karena putranya yang meskipun masih berusia tujuh belas tahun itulah yang akhirnya memiliki inisiatif untuk melunasi semua tanggungan Fatma, setelah dia mengetahui semua latar belakang Zahra dan ibunya.

"Sudah, jangan menangis lagi. Yang penting sekarang kalian sudah bisa keluar dari tempat itu," hibur Carmila dengan mata berkaca-kaca.

"Terima kasih banyak. Saya tidak tahu lagi harus bagaimana membalas kebaikan keluarga kalian." Fatma terisak semakin keras. Seluruh beban yang selama ini ia rasakan menekan hati dan pikirannya, akhirnya bisa terurai.

Zahra ikut sesenggukan mendengar ibunya menangis. Ia tahu persis penderitaan yang ibunya alami bahkan terkadang dirinya tanpa sengaja menyaksikan langsung ibunya diperlakukan dengan tidak manusiawi oleh para pelanggan yang menyewa jasanya. Sampai kapan pun, dirinya akan mengingat pengorbanan dan penderitaan yang dilakukan ibunya demi dirinya.

Fatma dan Carmila masih saling berpelukan selama beberapa saat sampai saat tatapan Carmila mengarah ke jam dinding tanpa sengaja. Ia terkejut dan buru-buru menoleh ke arah sang putra, "Aa, sudah waktunya kamu berangkat sekolah, kan?"

"Hmm," Aaro hanya menjawab singkat seraya berdiri dari duduknya. Ia melangkah mendekati sang bunda untuk berpamitan membuat Zahra menganga melihatnya.

"Kenapa?" tanya Aaro dengan nada dingin dan datar.

"I-itu," Zahra menuding Aaro yang menjulang tinggi di hadapannya. Bukan postur gagah sang suami yang membuatnya syok, tapi seragam putih abu-abu yang dikenakan Aaro-lah yang membuat matanya terbelalak dan mulut membuka lebar.

Carmila tersenyum geli melihat keterkejutan di wajah menantunya. "Aaro harus sekolah karena sebentar lagi ujian kelulusan, kan."

Zahra menggelengkan kepalanya beberapa kali berharap bahwa semua ini mimpi. Ya Tuhan, suaminya masih memakai seragam putih abu-abu. Ini gila! Bagaimana mungkin dirinya menikah dengan anak SMA?

"Meski usianya 3 tahun lebih muda darimu, tapi Ayah bisa memastikan bahwa fisiknya, kedewasaannya dan pola pikirnya jauh lebih tua dibanding dirimu." Aidan yang sejak semula hanya duduk seraya menikmati kopinya di meja makan, menghampiri Zahra yang terlihat begitu terpukul.

"Ta-tapi itu artinya Zahra menikahi be-brondong?"

"Zahra tidak boleh seperti itu!" tegur sang ibu. "Bagaimanapun dia sekarang adalah suamimu, hormati dia selayaknya seorang suami."

Zahra diam mematung. Tidak tahu apa yang harus dikatakan. Semua sudah terlanjur terjadi. Matanya hanya terus meneliti tubuh Aaro dari atas sampai bawah. Tanpa sadar kepalanya terus bergerak pelan ke kiri dan ke kanan menolak memercayai penglihatannya. Namun, meski terus diamati dan berharap ada kekeliruan, sosok pelajar SMA di hadapannya ini nyata. Ia bahkan bisa merasakan sakit saat mencubit pipinya sendiri, artinya ini buka mimpi atau khayalan semata.

Zahra mendesah pelan. Bahunya turun diikuti oleh kepalanya yang menunduk menatap lantai. Jika semua orang tahu tentang pernikahannya dengan seorang brondong, mereka pasti berpikiran yang bukan-bukan. Aaro tak akan mendapatkan pandangan buruk dalam hal ini, tapi dirinya yang akan menjadi bahan olok-olok seperti yang biasa terjadi. Mereka akan menuduh dirinya yang merayu Aaro agar mau menikah dengannya atau lebih parah lagi, dirinya akan dituduh menjebak Aaro agar mau menikahinya.

Melihat seraut kesedihan di wajah sang menantu, Carmila pun mendekat seraya mengusap pundak Zahra. "Sayang, apa yang kamu khawatirkan? Bunda janji, Aaro akan menjadi suami yang baik buat kamu. Percaya sama Bunda, ya?"

"Bu-bukan soal itu," jawab Zahra dengan tatapan tidak fokus. Tanpa harus berurusan dengan Aaro pun dirinya harus mengalami kehidupan yang berat di kampus. Di-bully, dijadikan bahan humor teman-temannya atau bahkan dijadikan jongos sudah menjadi makanan sehari-harinya di kampus. Jika mereka mengetahui tentang Aaro, ejekan dan caci maki yang ia terima pasti akan lebih parah dari biasanya. Ohh Tuhan, bagaimana dirinya harus menghadapi itu semua?

"Lalu, apa masalahnya?" Carmila bertanya lembut.

"Mereka akan memiliki alasan untuk semakin menghina saya."

Aidan mendengus mendengar jawaban menantunya itu. Dirinya sudah tahu dari laporan anak buahnya tentang kehidupan detail Zahra baik di kelab atau di kampus, termasuk Zahra yang seringkali menjadi bahan bully-an teman-temannya. "Soal itu tidak perlu kau risaukan! Apa gunanya punya suami jika hanya bisa dijadikan pajangan saja?!" Aidan melirik sang putra yang masih berdiri di sampingnya dengan wajah tanpa ekspresi. "Sudah, jangan berpikiran yang macam-macam. Mulai sekarang, semua yang berhubungan denganmu akan menjadi tanggung jawab Aaro sepenuhnya!"

Mendengar jawaban Aidan bukannya membuat Zahra merasa lega dan terhibur, tapi ia justru mendongak dan menatap sang mertua ngeri. "Ti-tidak perlu, Tuan. Kami menikah hanya untuk menekan rumor yang mungkin beredar, jadi Aaro tidak perlu berperan selayaknya suami yang sesungguhnya. Dia masih sekolah dan dia, bukankah dia juga sudah pasti memiliki pacar?"

"Tidak Zahra! Keluarga Blackstone tidak mengenal istilah pacaran. Pacaran para lelaki Blackstone adalah dengan istrinya yang sah!" tegas Aidan seraya menatap tajam Aaro yang masih tetap berwajah datar, tidak bereaksi apa pun.


***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status