Zahra mendesah dengan bahu terkulai. Hari ini adalah hari bersejarah yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Akhirnya, ia dan ibunya bisa meninggalkan kelab yang merupakan impian dan cita-cita mereka sejak lama. Meski tidak tinggal bersama, tapi Zahra tetap merasa bersyukur karena setelah ini, ibunya tak perlu lagi menderita dan mendapat perlakuan buruk dari orang-orang di kelab.
Awalnya, Zahra merasa berat untuk berpisah dengan ibunya. Ia menangis dan memaksa untuk ikut tinggal bersama dengan ibunya, tapi ibunya menolak dengan alasan Zahra sudah memilik suami dan wajib mengikuti suaminya. Selain itu, ruko yang disediakan oleh keluarga Blackstone untuk ditempati ibunya juga jaraknya terlalu jauh dengan kampus Zahra.
Zahra mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar. Saat ini, ia sudah berada di kamar Aaro atau bisa dibilang sekarang ini juga kamarnya. Sesaat tadi dirinya sempat mengira bahwa Aaro menunjukkan ruangan yang salah karena begitu pintu dibuka, pemandangan yang ia saksikan di dalam lebih mirip hutan daripada kamar. Ranjang di tengah ruangan memiliki empat tiang berbentuk batang pohon dengan ukiran beruang yang mirip sekali dengan aslinya sedang memeluk keempat tiang pohon itu. Atap tempat tidur pun dihiasi dengan tanaman rambat dengan beberapa sulur yang menjuntai ke tepi-tepi tempat tidur.
Selain tempat tidur, furniture lainnya pun tak kalah unik. Meja belajar dengan bentuk kepala king cobra, area belajar yang juga dilengkapi rumput sintetis dan pohon palem juga lemari baju yang diukir seperti kulit buaya membuat kamar itu benar-benar seperti hutan rimba. Bahkan pintu masuk ke kamar mandi pun dibuat seperti lorong masuk ke dalam gua dengan pencahayaan remang-remang membuat Zahra bergidik.
Saat tengah asyik melamun, Zahra dikejutkan oleh suara auman harimau yang menggema dengan keras di seluruh penjuru kamar. Dengan mata terbelalak lebar, ia menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari asal suara, khawatir jika ternyata Aaro memang memelihara harimau sungguhan di kamarnya. Kemudian Auman itu terdengar lagi. Kali ini Zahra bisa langsung menemukan sumber suara itu yang ternyata berasal dari jam dinding yang berbentuk kepala harimau besar dengan mata yang menyorot tajam mirip sekali dengan aslinya. Rupanya jam itu selalu berbunyi setiap jarum panjang tepat berada di angka dua belas seperti saat ini, jam itu sudah menunjukkan waktu pukul empat tepat.
Zahra buru-buru menyelesaikan menata pakaiannya yang tidak banyak di lemari Aaro karena sudah berjanji untuk membantu Bunda Aaro untuk menyiapkan makan malam. Bajunya yang sedikit terlihat menggelikan di lemari yang begitu besar. Ia mengikik sendiri sambil merapikan kardus bekas tempat barang-barang yang ia bawa dari kelab tadi.
Saat hendak meninggalkan kamar, Zahra menangkap bunyi melengking nyaring-seperti suara burung Chardonneret Elegant-dari arah meja belajar Aaro. Ia mendekat dan melihat ternyata suara itu berasal dari ponsel Aaro yang terus berbunyi karena ada panggilan masuk. Panggilan itu berhenti beberapa saat sebelum kembali berdering nyaring.
Zahra bimbang, haruskah ia mengangkat panggilan itu atau tidak usah sama sekali. Ia melihat nama yang tertera di layar untuk melihat siapa yang menghubungi tanpa menyentuh ponsel itu-My Half. Entah mengapa nama yang tertera di layar ponsel itu mengusik perasaannya.
Setelah tiga kali berhenti dan kembali berdering, akhirnya Zahra memutuskan untuk menerima panggilan itu. Siapa tahu penting, pikirnya.
Zahra mengambil ponsel Aaro dan menggeser layar untuk menerima panggilan. Belum sempat dirinya berkata 'halo', suara perempuan dari arah seberang sudah memberondong dengan berbagai pertanyaan.
"Kak, benar Kakak sudah menikah? Kenapa tidak memberitahu Lee, kenapa?!"
"Ehh ... maaf, Aaro sedang di bawah." Zahra memotong pertanyaan gadis di seberangnya.
"Ohh, kalau begitu ini dengan siapa?!"
"A-aku ...." Zahra berpikir sejenak karena bingung harus menjawab bagaimana. Ia belum berunding dengan Aaro mengenai status mereka saat ini apakah boleh disebar atau antara mereka saja. "Aku bukan siapa-siapa," gumamnya pelan. Ia memilih jawaban yang aman daripada salah bicara. Dalam hatinya pun merasa setengah menyesal karena sudah lancang mengangkat panggilan itu karena sepertinya, lawan bicaranya adalah orang begitu dekat dengan Aaro dilihat dari caranya bertanya dan berbicara.
"Apa ini istri Kak Aaro?"
Zahra terkejut mendengar pertanyaan tiba-tiba itu karena memang belum banyak yang mengetahui tentang status mereka selain keluarga. Apa Aaro sendiri yang sudah memberi tahu gadis yang sedang berbicara di telepon ini?
Ketika beribu pertanyaan berkecamuk dalam benaknya, tiba-tiba saja ponsel di tangannya direbut oleh seseorang. Ia menoleh dan langsung mencelos melihat Aaro menatapnya marah dengan wajah kaku dan tatapan yang tajam menusuk.
Zahra menelan ludah dengan sudah payah. "Ma-maaf," sesalnya. Ia ingin menjelaskan alasan dirinya mengangkat panggilan itu, tapi melihat Aaro yang masih terus menatapnya dengan penuh kebencian, nyalinya mengkerut.
"Kau berani menyentuh ponselku tanpa izin?!" Aaro menunjuk wajah Zahra dengan jari telunjuknya. Kepalanya menggeleng pelan ke kiri dan ke kanan menyiratkan rasa tak percaya karena Zahra sudah berani melanggar privasinya padahal mereka baru beberapa hari saja menikah. Tahu begini, dirinya tidak akan sudi menikah dengannya.
"Bukan begitu," jawab Zahra dengan tatapan memohon.
Aaro mengibaskan tangannya meminta Zahra diam kemudian melihat layar ponselnya sambil menjauh dari Zahra. Matanya membelalak terkejut begitu melihat nama yang terpampang di layar ponselnya. Panggilan itu masih terhubung, ia pun segera menjawabnya. "Lee? Maaf tadi aku sedang adu tinju dengan Kak Aldev." Aaro berdeham sedikit untuk menghilangkan serak di tenggorokannya. "Kau menelpon?" Ia tidak bisa menutupi nada bahagia dalam suaranya. Namun, senyum kebahagiaan itu tak bertahan lama karena setelah Alea mengucapkan selamat kepadanya, dia langsung memutuskan sambungan telepon begitu saja.
Dahi Aaro mengernyit heran dengan sikap Alea. Dia mengatakan selamat, tapi selamat untuk apa? Aaro membatin.
Kemudian, Aaro pun tersentak begitu memahami maksud Alea. Rupanya Alea sudah mendengar kabar tentang pernikahannya. Padahal dia adalah orang terakhir yang ingin Aaro beri tahu mengenai kabar pernikahannya.
Ia pun menoleh dan berderap mendatangi Zahra yang masih mematung di tempatnya berdiri semula. Matanya menatap Zahra, murka. Kedua tangannya mencekal lengan gadis itu. "Apa yang kau katakan padanya?!" Aaro bertanya dengan nada rendah yang mengancam.
Zahra berkedip beberapa kali, bingung. "Tidak ada."
"Beraninya kau mengangkat panggilan darinya?!" Aaro menaikkan nada suaranya.
"Maaf. Aku tidak bermaksud, aku hanya, tadi ponselmu terus berbunyi." Zahra berusaha menjelaskan, tapi melihat kemarahan Aaro membuatnya takut hingga kata-kata yang keluar dari mulutnya pun tidak bisa tertata dengan baik dan membuat Aaro semakin marah.
"Jika sampai Alea salah paham padaku, aku sungguh tidak akan pernah memaafkanmu!" Aaro memperingatkan seraya mengeratkan cekalannya di lengan Zahra membuat gadis itu mau tak mau akhirnya mengaduh kesakitan. "Aku peringatkan sekali lagi, jika kau lupa, kita menikah hanya karena keadaan yang memaksa, jadi jangan besar kepala dan sok mencampuri urusan pribadiku!"
Zahra menatap Aaro dengan mata berkaca-kaca. "A-aku tidak mengerti." Zahra meronta berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Aaro yang semakin erat di lengannya.
"Ohh, kau tak mengerti?" Aaro tersenyum sinis. "Baik. Akan aku jelaskan padamu supaya kau mengerti! Alea adalah satu-satunya gadis yang kucintai sejak dulu dan sampai kapan pun. Jadi, jangan pernah bermimpi untuk menggantikan posisinya di sini!" Aaro menunjuk dadanya. "Jangan pernah lagi ikut campur urusan pribadiku. Urus saja urusan kita masing-masing, kau mengerti?!"
Setelahnya, Aaro melepaskan lengan Zahra dan melangkah cepat meninggalkan kamar.
Zahra mematung di tempat. Ucapan Aaro benar-benar telah melukai perasaannya. Tanpa harus dijelaskan pun dirinya tahu dan paham akan posisinya sebagai istri yang tak diinginkan dan sejujurnya dirinya juga tidak menginginkan pernikahan ini.
Air mata Zahra tiba-tiba saja sudah jatuh membasahi pipinya. Belum ada sehari ia pindah ke tempat ini dan Aaro sudah menunjukkan sikap permusuhannya.
Awalnya Zahra tak mengerti kenapa Aaro harus marah hanya karena dirinya mengangkat panggilan di ponselnya, tapi sekarang ia sangat paham. Ternyata Aaro sudah memiliki kekasih dan untuk alasan ini pula Aaro bersikap begitu kasar padanya.
Zahra mengusap air matanya. Disakiti dan di-bully sudah menjadi bagian dari kehidupannya selama ini, jadi ia tak akan terkejut jika pada akhirnya Aaro pun bersikap sama seperti kebanyakan orang. Mereka semua selalu memperlakukan dirinya dan ibunya seperti sampah, ini sudah seperti takdir yang harus ia dan ibunya jalani. Namun, Zahra tidak akan pernah merendahkan harga dirinya. Ia akan terus mengingat ucapan Aaro dan bersumpah untuk tidak akan pernah memanfaatkan pernikahan mereka demi keuntungannya sendiri. Ia masih sangat mampu berdiri tegak dengan tangannya sendiri.
***
Zahra meratakan bedak bayi ke seluruh wajah dan memoleskan sedikit lipgloss warna untuk membuat wajahnya yang pucat agar terlihat lebih segar. Ia menatap bayangan wajahnya sendiri dalam cermin yang balas menatapnya dengan ekspresi murung. Hatinya masih sakit dengan tuduhan yang diarahkan Aaro padanya semalam. Besar kepala, sok ikut campur dan berusaha menggantikan posisi Alea di hatinya?Andai Aaro tahu bahwa dirinya juga tidak menyukai pernikahan ini.Memang awalnya Zahra menerima pernikahan ini dengan penuh rasa syukur karena selain bisa terbebas dari kehidupan di kelab, ayah mertuanya juga mengatakan akan mengambil alih segala bentuk tanggung jawab atas dirinya dari ibunya. Tentu saja Zahra merasa senang karena itu berarti dirinya tak perlu membebani ibunya lebih lama lagi. Ia ingin ibunya bisa merasakan kebebasan untuk bahagia. Namun, ucapan Aaro semalam membuat Zahra sadar bahwa tidak seharusnya dirinya memanfaatkan pernikahan ini.
Jam dinding di kamar Aaro sudah mengaum sepuluh kali, itu artinya waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun, Zahra sepertinya tidak menyadari itu. Ia terlalu larut dalam pekerjaannya mengoreksi tugas dari murid-muridnya di sekolah yang sangat menguras tenaga dan pikiran. Jawaban yang diberikan oleh murid-muridnya kebanyakan berupa narasi panjang yang berputar-putar dan tidak langsung pada pokoknya."Sudah larut," ujar Aaro yang sejak tadi menunggui Zahra. Tidak hanya menunggui, Aaro bahkan mengamati setiap gerak gerik Zahra tanpa sepengetahuan gadis itu—seakan tidak ada pekerjaan yang lebih menyenangkan selain itu—sambil duduk di atas sofa, sementara Zahra bersila di lantai."Belum selesai," gumam Zahra tanpa menatap Aaro. Dahinya berkerut dengan bibir mengerucut beberapa senti ke depan saat membaca jawaban salah satu muridnya yang sungguh memeras otak."Aku ngantuk." Aaro menjulurkan kakinya unt
"Mana dia?" Aaro yang baru saja menghambur ke dalam ruang makan bertanya karena tidak melihat ada Zahra di sana."Zahra? Dia sudah berangkat beberapa menit yang lalu," Carmila tersenyum keibuan kemudian berdiri menyambut sang putra."Jalan ke halte?" tanya Aaro dengan nada jengkel sekaligus marah. Bukan marah kepada bundanya, tapi kesal pada dirinya sendiri yang bangun kesiangan dan yang menjengkelkan adalah Zahra sama sekali tidak berusaha membangunkan dirinya.Aaro mengerang pelan sambil mengusap wajah dengan telapak tangannya. Ia tahu apa yang mereka lakukan semalam adalah kali pertama untuk Zahra, jadi pasti akan terasa tidak nyaman bagi Zahra. Apalagi jika dia sampai harus berjalan jauh dari rumahnya ke halte."Tadi Om Damian mampir sebentar untuk mengambil beberapa berkas yang harus dibawa ke luar kota. Jadi, Ayah meminta tolong untuk mengantar Zahra sekalian. Kebetulan satu arah kan?" Aidan menjawab san
"Aa, ini di sekolah," desah Zahra di sela-sela ciuman Aaro yang terus menuntut. Bukannya menjawab, Aaro justru semakin menyudutkan dirinya hingga punggungnya menyentuh besi tempat tidur yang dingin.Masih sambil mencium bibir Zahra, Aaro membungkuk sedikit agar bisa mengangkat tubuh Zahra dan mendudukkannya ke atas tempat tidur. Kebutuhannya sudah mendesak dan menuntut pemuasan dengan segera, tapi ia tak bisa terburu-buru karena semua ini masih memerlukan penyesuaian bagi Zahra. Ia harus memastikan istrinya itu betul-betul sudah siap sebelum menyatukan diri.Zahra menancapkan kukunya pada lengan telanjang Aaro ketika cumbuan suaminya itu mulai turun dari wajah ke leher dan semakin turun hingga bagian bawah dirinya. Ia menggigit bibirnya dengan kuat—mencegah teriak kenikmatan lolos dari bibirnya—ketika Aaro menyentuh daerah sensitifnya dan ketika sentuhan itu semakin intens, ia seperti hilang akal dengan terus meracau memi
Zahra mengelap gelas terakhir yang ada di dapur dan memasukkannya ke dalam rak dengan gerakan yang sangat pelan. Ia berharap untuk bisa berlama-lama di dapur keluarga Blackstone karena tidak ingin segera kembali ke kamar.Zahra sedang ingin menjaga jarak dengan Aaro. Pikirannya selalu kacau dan terpedaya ketika berada dekat dengan suami brondongnya itu, seakan bukan dirinya saja. Namun, sejak sepulang sekolah sampai saat malam tadi, Aaro terus saja menempel padanya. Ke mana pun dirinya bergerak, pemuda itu mengekor di belakangnya membuat dirinya risih dan gelisah.Desah tertahan lolos dari dalam dadanya ketika mengingat sikap Aaro yang menjadi begitu berbeda padanya dibanding saat awal pernikahan mereka dulu.Apakah ini karena Aaro merasa dirinya mudah untuk dimanfaatkan?Bahunya terkulai mengingat bagaimana cara Aaro menatapnya saat makan malam tadi. Begitu intens dan tidak berpaling sedetik pun membuatnya salah ting
Diam. Seluruh tubuhnya seakan mati dan tak bisa digerakkan. Matanya pun mulai memanas, tapi yang lebih parah dari itu semua adalah rasa sakit yang terus menusuk di hatinya. Terlalu sakit, bahkan melebihi sakit yang ia rasakan saat Alea memutuskan untuk menikah dengan pria lain. Bisa dibilang, dirinya terlalu terguncang mendengar apa yang baru saja sang ayah sampaikan. Zahra pergi meninggalkan dirinya tanpa pamit. Dia hanya membicarakan keputusan kekanakan itu pada ayahnya. Padahal siapa suaminya di sini?! batin Aaro marah.Jika memang berniat mengakhiri hubungan bersamanya, seharusnya perempuan itu berbicara dengan dirinya bukan dengan ayahnya! "Sayang," Carmila membelai kepala sang putra dengan penuh kelembutan, "dimakan dulu sarapannya."Aaro tidak menjawab dan hanya diam mematung di tempat dengan tatapan nanar ke depan. Kata-kata sang bunda seolah lewat begitu saja di telinganya tanpa ia bisa mendengar d
Aaro menggandeng tangan Zahra saat menaiki undakan di depan teras rumahnya. Wajahnya terlihat cerah dan bahagia karena dirinya berhasil meyakinkan Zahra untuk kembali pulang dan yang lebih penting dari itu semua adalah fakta bahwa ternyata rasa cinta telah tumbuh di hatinya untuk Zahra, entah sejak kapan. Mungkin sejak malam pertama mereka atau bisa jadi sejak pertemuan pertama di kelab kala itu. Aaro tak mau terlalu memikirkannya. Ia hanya lega karena pada akhirnya bisa memahami perasaannya sendiri hingga tak perlu mengalami penyesalan di belakang seperti yang pernah dialami oleh kedua kakaknya dulu. Ia cukup belajar dari pengalaman itu. Namun, itu semua belum terlalu memuaskan hatinya karena Zahra masih memiliki keinginan untuk pergi. Meksi sekarang Aaro bisa memahami alasan istrinya itu untuk pergi, tapi tetap saja baginya itu bukanlah masalah besar yang seharusnya bisa diatasi.Aaro menggerakkan kepalanya ke samping untuk melirik perempuan yang berjalan
Zahra duduk dengan gelisah di samping Aaro yang sedang mengemudi. Sesekali dirinya melirik suami brondongnya itu untuk membuka percakapan, tapi kemudian mengurungkan niatnya dan kembali menatap lurus ke depan. Pagi ini mereka berangkat ke sekolah bersama setelah mengunjungi ibunya sebentar untuk mengucapkan selamat ulang tahun dan memberikan hadiah. Yang membuat Zahra terharu adalah, ternyata Aaro pun telah menyiapkan kado untuk diberikan pada ibunya. Entah kapan dia membeli kado itu, padahal baru juga tadi mengetahui bahwa ibunya sedang berulang tahun."Kenapa gugup begitu?" Aaro mengawasi Zahra dari spion depan dan menyadari bahwa istrinya itu sedang gugup atau tidak tenang."Ehh, apa tidak sebaiknya aku turun di halte di perempatan sekolah saja? Dari situ aku bisa berjalan ke sekolah. Tidak terlalu jauh, kok.""Kenapa?"Zahra menoleh dan menatap Aaro sambil memicingkan matanya. "Tentu saja karena kita tidak