Share

Kekasih Aaro

Zahra mendesah dengan bahu terkulai. Hari ini adalah hari bersejarah yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Akhirnya, ia dan ibunya bisa meninggalkan kelab yang merupakan impian dan cita-cita mereka sejak lama. Meski tidak tinggal bersama, tapi Zahra tetap merasa bersyukur karena setelah ini, ibunya tak perlu lagi menderita dan mendapat perlakuan buruk dari orang-orang di kelab.

Awalnya, Zahra merasa berat untuk berpisah dengan ibunya. Ia menangis dan memaksa untuk ikut tinggal bersama dengan ibunya, tapi ibunya menolak dengan alasan Zahra sudah memilik suami dan wajib mengikuti suaminya. Selain itu, ruko yang disediakan oleh keluarga Blackstone untuk ditempati ibunya juga jaraknya terlalu jauh dengan kampus Zahra.

Zahra mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar. Saat ini, ia sudah berada di kamar Aaro atau bisa dibilang sekarang ini juga kamarnya. Sesaat tadi dirinya sempat mengira bahwa Aaro menunjukkan ruangan yang salah karena begitu pintu dibuka, pemandangan yang ia saksikan di dalam lebih mirip hutan daripada kamar. Ranjang di tengah ruangan memiliki empat tiang berbentuk batang pohon dengan ukiran beruang yang mirip sekali dengan aslinya sedang memeluk keempat tiang pohon itu. Atap tempat tidur pun dihiasi dengan tanaman rambat dengan beberapa sulur yang menjuntai ke tepi-tepi tempat tidur.

Selain tempat tidur, furniture lainnya pun tak kalah unik. Meja belajar dengan bentuk kepala king cobra, area belajar yang juga dilengkapi rumput sintetis dan pohon palem juga lemari baju yang diukir seperti kulit buaya membuat kamar itu benar-benar seperti hutan rimba. Bahkan pintu masuk ke kamar mandi pun dibuat seperti lorong masuk ke dalam gua dengan pencahayaan remang-remang membuat Zahra bergidik.

Saat tengah asyik melamun, Zahra dikejutkan oleh suara auman harimau yang menggema dengan keras di seluruh penjuru kamar. Dengan mata terbelalak lebar, ia menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari asal suara, khawatir jika ternyata Aaro memang memelihara harimau sungguhan di kamarnya. Kemudian Auman itu terdengar lagi. Kali ini Zahra bisa langsung menemukan sumber suara itu yang ternyata berasal dari jam dinding yang berbentuk kepala harimau besar dengan mata yang menyorot tajam mirip sekali dengan aslinya. Rupanya jam itu selalu berbunyi setiap jarum panjang tepat berada di angka dua belas seperti saat ini, jam itu sudah menunjukkan waktu pukul empat tepat.

Zahra buru-buru menyelesaikan menata pakaiannya yang tidak banyak di lemari Aaro karena sudah berjanji untuk membantu Bunda Aaro untuk menyiapkan makan malam. Bajunya yang sedikit terlihat menggelikan di lemari yang begitu besar. Ia mengikik sendiri sambil merapikan kardus bekas tempat barang-barang yang ia bawa dari kelab tadi.

Saat hendak meninggalkan kamar, Zahra menangkap bunyi melengking nyaring-seperti suara burung Chardonneret Elegant-dari arah meja belajar Aaro. Ia mendekat dan melihat ternyata suara itu berasal dari ponsel Aaro yang terus berbunyi karena ada panggilan masuk. Panggilan itu berhenti beberapa saat sebelum kembali berdering nyaring.

Zahra bimbang, haruskah ia mengangkat panggilan itu atau tidak usah sama sekali. Ia melihat nama yang tertera di layar untuk melihat siapa yang menghubungi tanpa menyentuh ponsel itu-My Half. Entah mengapa nama yang tertera di layar ponsel itu mengusik perasaannya.

Setelah tiga kali berhenti dan kembali berdering, akhirnya Zahra memutuskan untuk menerima panggilan itu. Siapa tahu penting, pikirnya.

Zahra mengambil ponsel Aaro dan menggeser layar untuk menerima panggilan. Belum sempat dirinya berkata 'halo', suara perempuan dari arah seberang sudah memberondong dengan berbagai pertanyaan.

"Kak, benar Kakak sudah menikah? Kenapa tidak memberitahu Lee, kenapa?!"

"Ehh ... maaf, Aaro sedang di bawah." Zahra memotong pertanyaan gadis di seberangnya.

"Ohh, kalau begitu ini dengan siapa?!"

"A-aku ...." Zahra berpikir sejenak karena bingung harus menjawab bagaimana. Ia belum berunding dengan Aaro mengenai status mereka saat ini apakah boleh disebar atau antara mereka saja. "Aku bukan siapa-siapa," gumamnya pelan. Ia memilih jawaban yang aman daripada  salah bicara. Dalam hatinya pun merasa setengah menyesal karena sudah lancang mengangkat panggilan itu karena sepertinya, lawan bicaranya adalah orang begitu dekat dengan Aaro dilihat dari caranya bertanya dan berbicara.

"Apa ini istri Kak Aaro?"

Zahra terkejut mendengar pertanyaan tiba-tiba itu karena memang belum banyak yang mengetahui tentang status mereka selain keluarga. Apa Aaro sendiri yang sudah memberi tahu gadis yang sedang berbicara di telepon ini?

Ketika beribu pertanyaan berkecamuk dalam benaknya, tiba-tiba saja ponsel di tangannya direbut oleh seseorang. Ia menoleh dan langsung mencelos melihat Aaro menatapnya marah dengan wajah kaku dan tatapan yang tajam menusuk.

Zahra menelan ludah dengan sudah payah. "Ma-maaf," sesalnya. Ia ingin menjelaskan alasan dirinya mengangkat panggilan itu, tapi melihat Aaro yang masih terus menatapnya dengan penuh kebencian, nyalinya mengkerut.

"Kau berani menyentuh ponselku tanpa izin?!" Aaro menunjuk wajah Zahra dengan jari telunjuknya. Kepalanya menggeleng pelan ke kiri dan ke kanan menyiratkan rasa tak percaya karena Zahra sudah berani melanggar privasinya padahal mereka baru beberapa hari saja menikah. Tahu begini, dirinya tidak akan sudi menikah dengannya.

"Bukan begitu," jawab Zahra dengan tatapan memohon.

Aaro mengibaskan tangannya meminta Zahra diam kemudian melihat layar ponselnya sambil menjauh dari Zahra. Matanya membelalak terkejut begitu melihat nama yang terpampang di layar ponselnya. Panggilan itu masih terhubung, ia pun segera menjawabnya. "Lee? Maaf tadi aku sedang adu tinju dengan Kak Aldev." Aaro berdeham sedikit untuk menghilangkan serak di tenggorokannya. "Kau menelpon?" Ia tidak bisa menutupi nada bahagia dalam suaranya. Namun, senyum kebahagiaan itu tak bertahan lama karena setelah Alea mengucapkan selamat kepadanya, dia langsung memutuskan sambungan telepon begitu saja.

Dahi Aaro mengernyit heran dengan sikap Alea. Dia mengatakan selamat, tapi selamat untuk apa? Aaro membatin.

Kemudian, Aaro pun tersentak begitu memahami maksud Alea. Rupanya Alea sudah mendengar kabar tentang pernikahannya. Padahal dia adalah orang terakhir yang ingin Aaro beri tahu mengenai kabar pernikahannya.

Ia pun menoleh dan berderap mendatangi Zahra yang masih mematung di tempatnya berdiri semula. Matanya menatap Zahra, murka. Kedua tangannya mencekal lengan gadis itu. "Apa yang kau katakan padanya?!" Aaro bertanya dengan nada rendah yang mengancam.

Zahra berkedip beberapa kali, bingung. "Tidak ada."

"Beraninya kau mengangkat panggilan darinya?!" Aaro menaikkan nada suaranya.

"Maaf. Aku tidak bermaksud, aku hanya, tadi ponselmu terus berbunyi." Zahra berusaha menjelaskan, tapi melihat kemarahan Aaro membuatnya takut hingga kata-kata yang keluar dari mulutnya pun tidak bisa tertata dengan baik dan membuat Aaro semakin marah.

"Jika sampai Alea salah paham padaku, aku sungguh tidak akan pernah memaafkanmu!" Aaro memperingatkan seraya mengeratkan cekalannya di lengan Zahra membuat gadis itu mau tak mau akhirnya mengaduh kesakitan. "Aku peringatkan sekali lagi, jika kau lupa, kita menikah hanya karena keadaan yang memaksa, jadi jangan besar kepala dan sok mencampuri urusan pribadiku!"

Zahra menatap Aaro dengan mata berkaca-kaca. "A-aku tidak mengerti." Zahra meronta berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Aaro yang semakin erat di lengannya.

"Ohh, kau tak mengerti?" Aaro tersenyum sinis. "Baik. Akan aku jelaskan padamu supaya kau mengerti! Alea adalah satu-satunya gadis yang kucintai sejak dulu dan sampai kapan pun. Jadi, jangan pernah bermimpi untuk menggantikan posisinya di sini!" Aaro menunjuk dadanya. "Jangan pernah lagi ikut campur urusan pribadiku. Urus saja urusan kita masing-masing, kau mengerti?!"

Setelahnya, Aaro melepaskan lengan Zahra dan melangkah cepat meninggalkan kamar.

Zahra mematung di tempat. Ucapan Aaro benar-benar telah melukai perasaannya. Tanpa harus dijelaskan pun dirinya tahu dan paham akan posisinya sebagai istri yang tak diinginkan dan sejujurnya dirinya juga tidak menginginkan pernikahan ini.

Air mata Zahra tiba-tiba saja sudah jatuh membasahi pipinya. Belum ada sehari ia pindah ke tempat ini dan Aaro sudah menunjukkan sikap permusuhannya.

Awalnya Zahra tak mengerti kenapa Aaro harus marah hanya karena dirinya mengangkat panggilan di ponselnya, tapi sekarang ia sangat paham. Ternyata Aaro sudah memiliki kekasih dan untuk alasan ini pula Aaro bersikap begitu kasar padanya.

Zahra mengusap air matanya. Disakiti dan di-bully sudah menjadi bagian dari kehidupannya selama ini, jadi ia tak akan terkejut jika pada akhirnya Aaro pun bersikap sama seperti kebanyakan orang. Mereka semua selalu memperlakukan dirinya dan ibunya seperti sampah, ini sudah seperti takdir yang harus ia dan ibunya jalani. Namun, Zahra tidak akan pernah merendahkan harga dirinya. Ia akan terus mengingat ucapan Aaro dan bersumpah untuk tidak akan pernah memanfaatkan pernikahan mereka demi keuntungannya sendiri. Ia masih sangat mampu berdiri tegak dengan tangannya sendiri. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status