Share

Kejutan

Zahra meratakan bedak bayi ke seluruh wajah dan memoleskan sedikit lipgloss warna untuk membuat wajahnya yang pucat agar terlihat lebih segar. Ia menatap bayangan wajahnya sendiri dalam cermin yang balas menatapnya dengan ekspresi murung. Hatinya masih sakit dengan tuduhan yang diarahkan Aaro padanya semalam. Besar kepala, sok ikut campur dan berusaha menggantikan posisi Alea di hatinya?

Andai Aaro tahu bahwa dirinya juga tidak menyukai pernikahan ini.

Memang awalnya Zahra menerima pernikahan ini dengan penuh rasa syukur karena selain bisa terbebas dari kehidupan di kelab, ayah mertuanya juga mengatakan akan mengambil alih segala bentuk tanggung jawab atas dirinya dari ibunya. Tentu saja Zahra merasa senang karena itu berarti dirinya tak perlu membebani ibunya lebih lama lagi. Ia ingin ibunya bisa merasakan kebebasan untuk bahagia. Namun, ucapan Aaro semalam membuat Zahra sadar bahwa tidak seharusnya dirinya memanfaatkan pernikahan ini.

Dirinya akan tetap bertahan di rumah ini sampai yakin benar bahwa tidak ada skandal yang ditimbulkan dari penggerebekan di kelab beberapa waktu lalu. Setelah itu, dirinya akan pergi dan sebagai bayaran selama menumpang di rumah ini, dirinya pun berniat membayar dengan tenaganya sambil mencari pekerjaan paruh waktu untuk memenuhi kebutuhannya yang lain. Ia tak akan merepotkan ibunya lagi. Biarlah ibunya mengira dirinya sudah mendapatkan kebahagiaannya di rumah ini.

Setelah mencubit pipinya beberapa kali untuk memberikan warna pada wajahnya, Zahra pun berdiri. Ia mengambil tasnya dan mengecek kembali isinya. Dirinya tidak ingin ada yang tertinggal di hari pertamanya PPL. Semalam ia mendapat pesan dari dosen pendamping bahwa tempat PPLnya berubah. Sebelumnya, ia ditempatkan di salah satu SMA negeri bersama teman-teman satu kelompoknya, tapi semalam dosennya mengatakan bahwa hari ini ia akan berangkat ke salah satu SMA swasta yang cukup elit dan ternama di kotanya—SMA Biru Berlian.

Zahra tidak keberatan di mana pun dirinya ditempatkan. Ia hanya berharap semoga hal baik saja yang terjadi di SMA Biru Berlian, mengingat di sana merupakan sekolah favorit bertaraf internasional dengan kecerdasan siswa di atas rata-rata. Dirinya sendiri heran, bagaimana bisa mereka mendapatkan akses untuk PPL di sekolah semewah itu?

Meski suasana masih pagi, tapi Zahra sudah bersiap-siap untuk berangkat. Selain untuk menghindari bertemu muka dengan Aaro yang masih meringkuk di karpet—meski sedang dalam kondisi marah, Aaro tetap bersikap gentle dengan membiarkan Zahra yang tidur di atas tempat tidur, sementara pemuda itu tidur di lantai beralaskan karpet—juga karena dirinya belum tahu lokasi tempat PPL-nya yang baru dan membutuhkan waktu untuk mencarinya.

Zahra berpamitan pada bunda mertuanya dan meminta maaf karena untuk pagi ini dirinya tidak bisa membantu menyiapkan sarapan karena harus berangkat lebih pagi. Ia berjanji untuk membantu nanti selepas pulang mengajar. Ia juga menolak ketika mertuanya memaksa membawakan bekal untuknya saja dan berangkat diantar oleh supir. Meski awalnya bunda mertuanya terus memaksa, tapi karena Zahra juga terus menolak, akhirnya mertuanya itu pun menyerah dan mengizinkan Zahra berangkat sendiri asalkan bekal sarapan tetap dibawa.

Tiga puluh menit kemudian, Zahra sampai di depan SMA Biru Berlian. Ia menunggu di halte tempat yang telah disepakati untuk berkumpul bersama kelompoknya.

Suasana masih sepi, belum ada satu pun temannya yang datang dan di SMA Biru Berlian pun juga terlihat masih lengang. Zahra duduk sambil membuka buku panduan untuk mengajar nanti.

Beberapa saat kemudian teman-teman satu kelompoknya mulai berdatangan termasuk ketua kelompoknya. Bersama-sama mereka semua termasuk Zahra masuk ke dalam gerbang sekolah yang luar biasa megah.

Seorang petugas security menghentikan mereka dan bertanya kepentingan mereka datang ke sana. Ketua kelompok Zahra yang maju dan menjelaskan kepada pihak security bahwa mereka akan melakukan Praktik Pengalaman Lapangan di sana selama beberapa waktu. Namun, karena petugas itu belum menerima informasi apa pun baik dari kepala sekolah maupun yayasan, mereka diminta menunggu dulu sementara si petugas mengonfirmasikan hal itu kepada pihak berwenang.

Selama menunggu, murid-murid di SMA Biru Berlian pun mulai berdatangan. Mereka menatap heran kerumuman mahasiswa dari kampus negeri yang tidak begitu ternama berdiri di sekitar pos security. Beberapa di antaranya bahkan menunjukkan sikap mencemooh. Wajar saja karena SMA Biru Berlian mayoritas dihuni oleh anak pejabat, artis ataupun pengusaha sukses dengan pergaulan terbatas di kalangan atas saja tentunya.

Zahra menyimak obrolan teman-teman yang merasa heran dengan perpindahan tempat PPL yang sangat mendadak ini dan tidak ada satu pun dari mereka yang tahu alasannya.

Obrolan mereka berhenti begitu petugas security kembali dan mengatakan bahwa mereka semua boleh masuk ke dalam dan menunggu di lobi karena guru yang akan membimbing mereka selama PPL di sekolah ini sudah menunggu di sana.

Zahra beserta rombongan berjalan beriringan melintasi pelataran sekolah yang sangat luas sampai tiba di undakan yang menuju ke arah lobi sekolah. Seorang laki-laki dengan berpakaian jas resmi berdiri di undakan teratas menyambut mereka dengan senyum ramah.

"Selamat datang di SMA Biru Berlian," sapa laki-laki itu ramah. "Perkenalkan nama saya Ali, Kepala Sekolah di sini."

Acara perkenalan tidak membutuhkan waktu lama. Setelah semua memperkenalkan diri, Kepala Sekolah mengantar mereka ke ruangan yang akan menjadi kantor bagi guru-guru PPL dimana Waka Kurikulum sudah menunggu di dalamnya untuk memberikan wejangan dan membagi kelas-kelas untuk mereka mengajar. 

Zahra merasa bersyukur karena untuk jam pelajaran pertama ini, dirinya belum mendapatkan jadwal mengajar. Nanti di jam pelajaran kelima—setelah istirahat—dirinya baru mendapatkan jadwal untuk mengajar di kelas sepuluh dengan materi yang sudah ia kuasai.

Satu setengah jam kemudian, beberapa teman Zahra yang sudah selesai mengajar masuk ke dalam ruang PPL dengan wajah tertekan bahkan ada yang hampir menangis.

"Ada apa?" Zahra berdiri dari duduknya dan menghampiri temannya itu.

"Huh! Ternyata mengajar tidak semudah yang kubayangkan selama ini." Temannya yang lain menjawab sambil merebahkan kepala di atas meja.

"Tidak apa-apa, namanya juga pertama kali." Zahra berusaha menghibur. Ia mengambilkan teman-temannya itu minuman dari lemari pendingin sekaligus membukakan tutupnya. "Minum dulu, biar segar."

Selama beberapa saat, Zahra hanya diam mengamati teman-temannya yang masih terlihat terguncang itu. Sekuat tenaga dirinya menahan diri agar tidak bertanya sampai mereka tenang.

"Aku tak mengerti, kenapa harus SMA ini yang menjadi tempat kita PPL." Akhirnya ketua kelompok Zahra bersuara.

"Benar. Aku lebih memilih SMA negeri kemarin. Di sini mengerikan."

"Mengerikan?" Zahra bertanya bingung.

"Yah, rasanya kau sedang menghadapi sidang skripsi ketimbang mengajar."

"Apa separah itu?"

Beberapa orang lagi masuk ke dalam dengan ekspresi yang tidak jauh berbeda dengan teman-teman yang sebelumnya sudah kembali. Zahra kembali berdiri dan mengambilkan mereka minuman dingin.

"Aku tak mau lagi kembali ke kelas itu."

"Aku mengerti."

"Kabarnya, kelas itu adalah kelas paling angker di sekolah ini!"

"Kelas paling angker?"

Zahra menyimak penjelasan temannya tentang kelas yang disebutkan angker itu. Bukan karena kelas itu berhantu, tapi karena di dalam kelas itu berisi sekumpulan murid yang paling cerdas sekaligus paling berpengaruh di sekolah ini, bahkan konon kabarnya, salah satu putra dari pemilik sekolah ini juga berada di kelas itu. Dia bukan hanya siswa paling cerdas, tapi sekaligus paling badas di sekolah ini.

Zahra mengucap syukur dalam hati karena tidak mendapatkan jadwal mengajar di kelas angker itu dan terus berdoa dalam hati semoga kelas yang akan ia pegang nanti tidak terlalu angker. Telinganya masih bisa menangkap isak tangis salah seorang rekannya yang baru saja kembali dari kelas angker itu selepas mengajar mata pelajaran Fisika. Ia membayangkan secerdas apa murid-murid di sekolah ini sampai bisa melebihi teman-temannya hingga tak mendengar teriakan teman-temannya.

"Za!"

Zahra terkejut bukan kepalang saat seseorang menepuk keras pundaknya. Ia mengelus dadanya dengan mata terbelalak lebar. "Kenapa harus ngagetin?"

"Kamunya dipanggilin dari tadi nggak jawab, sih," ujar salah seorang temannya.

"Ada apa?" Zahra mulai was-was melihat ekspresi teman-teman satu kelompoknya yang menatapnya dengan pandangan misterius.

"Lima menit lagi jam Biologi di kelas itu. Kamu siap-siap ya?"

"Siap-siap apa?" Zahra menampilkan wajah ngeri. Dirinya sudah bisa menduga pikiran teman-temannya. Kali ini mereka akan menjadikan dirinya sebagai tumbal di kelas angker itu.

"Ini. Lo bisa pake buku gue untuk tambahan mengajar." Salah seorang teman Zahra menyerahkan sebuah buku yang tebalnya kira-kira sama sepuluh senti. "Pertanyaan yang mereka ajukan selalu keluar dari topik yang sedang diajarkan."

"Kamu juga boleh pakai ini." Seorang yang duduk di sebelah Zahra meletakkan sebuah buku yang tak kalah tebal di meja depannya.

"Semangat ya, jangan sampai terlambat karena meski kelas angker, tapi mereka on time loh."

Zahra menelan ludah dengan susah payah. Ia menatap teman-temannya satu per satu dengan wajah memelas. "Teman-teman, itu kan bukan jatah kelasku? Kenapa jadi aku yang harus ngajar di sana?"

Bukannya menjawab, dua orang dari mereka malah membantu Zahra berdiri. Mereka menumpuk buku-buku yang di meja Zahra kemudian menempatkannya di pelukan Zahra.

"Fighting!" ujar mereka seraya mendorong pelan tubuh Zahra keluar dari ruang PPL.

Zahra menoleh ke belakang berharap mereka akan berubah pikiran, tapi memang sudah nasibnya yang selalu susah bilang 'tidak' pada siapa pun hingga akhirnya ia pun melangkah pelan menuju kelas ke kelas angker.

Sampai di depan kelas angker, Zahra diam dan berdiri mematung di depan kelas. Ia tak memiliki nyali untuk masuk ke dalam. Jantungnya berdegub kencang dan keringat dingin pun mulai membanjiri tubuhnya.

Ayoo, semangat Zahra!

Zahra mencoba memberi semangat pada dirinya sendiri, tapi tetap saja kakinya terasa berat sekali untuk digerakkan. Namun, dirinya bertekad untuk tidak menyerah.

Zahra berusaha untuk menenangkan diri dengan mengatur napas. Kemudian, ia mencoba untuk melemaskan kedua kakinya dan memajukan sedikit kaki kanannya. Senyumnya merekah saat dirinya berhasil mengajak kakinya untuk bekerja sama.

Setelah menarik napas panjang, ia melangkah dengan percaya diri untuk masuk ke dalam kelas. Namun, naas sekali, Zahra tidak mengetahui bahwa pintu kelas yang terbuat dari kaca yang bening dan jernih itu masih dalam kondisi tertutup. Ia pun menabrak pintu itu dengan keras membuat seluruh siswa di dalam kelas terbahak menertawakan kekonyolannya.

Tubuh Zahra terpental ke belakang, tapi tidak sampai terjatuh karena seseorang telah menangkap dan menahan tubuhnya.

"Bodoh!"

Zahra terkejut dan seketika menoleh ketika mendengar suara yang tak asing baginya. Mulutnya menganga lebar melihat siapa yang saat ini tengah memeluknya dari belakang. Bukan! Bukan memeluk, tapi menahan tubuhnya.

Buru-buru Zahra menegakkan badan dan berdiri kaku di depan Aaro. Ya, Aaro suaminya. "Apa yang kamu lakukan di sini?" cicit Zahra.

Aaro tersenyum sinis. "Ini sekolahku, dan itu kelasku," jawab Aaro angkuh seraya berjalan melewati Zahra dan membuka pintu geser di kelasnya. "Cepat masuk! Kau sudah terlambat hampir sepuluh menit!"

"Ohh!" Zahra mengangguk dan bergegas mengikuti Aaro masuk ke dalam kelas. Namun, kali ini sepertinya nasib baik memang sedang tidak berpihak padanya. Saat melangkah ke dalam kelas, salah satu kakinya tersandung oleh rel pintu di bawah lantai, membuat tubuhnya oleng dan tersungkur ke depan. Buku-buku dalam dekapannya pun berjatuhan dan berserak di lantai. Sekali lagi, dirinya menjadi bahan tertawaan murid di kelas 12 ipa 1.

Aaro berhenti melangkah dan berbalik untuk menolong istri cerobohnya itu. Ia melihat gadis itu jatuh dengan posisi tubuh tertelungkup di lantai. Sepertinya, keputusannya untuk memindah PPL gadis itu ke sekolah ini—bukan hal yang sulit bagi Aaro untuk mengatur agar PPL dari kampus yang tidak begitu dikenal bisa diterima di sekolah bertaraf internasional ini karena sekolah ini didirikan oleh kakeknya. Kepala sekolah di sini adalah adik ipar dari neneknya dan kepala yayasannya pun sahabat ayahnya—sangatlah tepat mengingat Zahra hampir tidak pernah bisa berdiri dengan aman. 

Aaro mengedarkan pandangan ke seluruh kelasnya dengan tatapan tajam mengancam membuat tawa yang semula memenuhi kelas perlahan mulai surut. Kelas pun kembali sunyi. Ia membungkukkan badan kemudian memegang lengan Zahra, setengah mengangkat tubuh gadis itu untuk kembali berdiri. Setelah memastikan bahwa gadis itu bisa berdiri dengan baik, barulah dirinya melepaskan pegangannya dan mengumpulkan buku-buku Zahra yang berserakan di lantai membuat seisi kelas keheranan melihat sikapnya yang tidak biasa.

"Silahkan," Aaro menyerahkan tumpukan buku itu ke depan Zahra.

"Ehh, te-terima kasih."

Zahra mengajar dengan gugup. Selain karena itu merupakan kelas angker juga karena ada Aaro di sana. Selama  pelajaran, Aaro terus saja menatap ke arahnya membuatnya semakin gugup dan salah tingkah. Beberapa kali dirinya terjatuh, tersandung, menjatuhkan buku, menyenggol alat peraga atau bahkan tanpa sengaja merobohkan layar LCD di depan kelas. Perasaan Zahra menjadi semakin tidak karuan karena dalam semua insiden itu, Aarolah yang selalu siap sedia membantu dan menolongnya berbanding terbalik dengan apa yang Aaro ucapkan semalam.

Begitu bel tanda jam pelajaran berakhir, Zahra buru-buru keluar kelas dan kembali ke ruang PPL di mana semua teman-temannya sudah menunggu laporan darinya mengenai kelas angker. Namun, ketika melihat wajahnya yang terlihat tidak baik-baik saja, mereka mengurungkan niat untuk bertanya. Sampai jam pelajaran terakhir pun mereka tetap membiarkan Zahra sendiri menyesali kecerobohannya.

Zahra merebahkan wajahnya di atas meja sambil terus mengembuskan napas berat. Malu. Saat ini dirinya pasti menjadi bahan perbincangan di SMA Biru Berlian. Bukan karena kegagalannya mengajar seperti teman-temannya yang lain, tapi karena kecerobohannya dianggap seperti lawakan yang menghibur. Sama sekali tidak ada wibawa sebagai seorang guru.

"Aaaa!" Zahra mengerang sambil memukuli meja dengan kepalan tinjunya. Teman-teman satu tim PPLnya sudah pulang sejak beberapa menit yang lalu, tapi dirinya masih bertahan di ruangan ini. Ia merasa enggan enggan untuk pulang. Dirinya sudah kehilangan muka di hadapan Aaro dan juga murid-murid di sekolah ini membuat dirinya ingin melenyapkan diri saja.

"Kenapa masih di sini?"

Zahra mengejang begitu mendengar suara bariton Aaro. Buru-buru dirinya menoleh dan benar saja, suami brondongnya itu sudah berdiri di ambang pintu ruang PPL.

"Hampir tiga puluh menit aku menunggumu di lobi." Aaro berjalan memasuki ruangan dan duduk di kursi tepat di samping sang istri.

"Kenapa harus menungguku?"

"Karena tujuan kita sama. Jadi, apa salahnya memberimu tumpangan," jawab Aaro santai seraya menyilangkan kaki kanannya di atas lutut kirinya. Matanya meneliti Zahra dari atas ke bawah. Dalam hatinya tertawa melihat kondisi gadis itu yang terlihat sedikit berantakan. Namun, saat tatapannya jatuh pada punggung tangan gadis itu, dahinya mengernyit tak suka. "Tanganmu terluka."

Zahra mengikuti arah pandang Aaro. "Ahh, benar."

"Kau ini ceroboh sekali. Usiamu sudah dua puluh tahun, tapi sikapmu lebih mirip anak TK!" Aaro mengomel seraya menarik tangan Zahra dan memeriksa lukanya. "Di mana kau mendapatkan luka ini?"

"Ehh? Entahlah, aku tak ingat."

"Dasar bodoh!"

"Kenapa kamu selalu mengataiku bodoh? Jika—" Zahra yang mulai emosi tak bisa meneruskan ucapannya karena tiba-tiba saja Aaro menarik tangannya dan menghisap darah di punggung tangannya. Detak jantungnya mulai berpacu dengan cepat. Kehangatan bibir Aaro rasanya seolah menyebar ke seluruh tubuhnya. Matanya membulat sempurna ketika tanpa sengaja tatapannya bertemu dengan lirikan maut Aaro. Tiba-tiba saja napasnya menjadisesak.

"Sakit?" Aaro bertanya lembut sambil meletakkan tangan Zahra ke atas meja.

"Sedikit," jawab Zahra linglung karena hangatnya napas dan mulut Aaro rasanya masih tertinggal di punggung tangannya.

Aaro membuka kantung resleting di bagian depan tasnya dan mengeluarkan botol minum, handuk serta plester anti bakteri. Ia meletakkan handuk di bawah tangan Zahra kemudian mengguyur luka itu dengan air mineral sedikit demi sedikit. Ia mengipasi luka itu agar cepat kering dengan buku Zahra yang terletak di atas meja.

Aaro tersenyum geli melihat Zahra menggigit bibir bawahnya saat menahan sakit. "Tahan sedikit lagi," ujarnya sambil membuka plester dan menempelkannya dengan hati-hati di atas luka itu.

"Sudah." Aaro mengusap plester agar menempel dengan sempurna seraya tersenyum mempesona ke arah Zahra membuat gadis itu semakin linglung seperti terkena hipnotis.

"Waaa ... tampan sekali," ucap Zahra tanpa sadar.

"Jadi itu ucapan terima kasihmu?" Aaro tergelak. Setelah puas menertawakan tingkah konyol Zahra, Aaro pun berhenti tertawa dan menatap penasaran istrinya itu. "Apa menurutmu aku benar-benar tampan?"

"Ya." Zahra mengangguk tanpa ragu dan sesaat kemudian baru menyadari bahwa tingkahnya itu sangat memalukan.

Aaro kembali tertawa terbahak mendengar jawaban lugu sang istri. "Ya sudah, sebaiknya kita cepat pulang. Nanti di rumah, kau bisa memandangiku sepuasmu."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status