Share

Hasrat

Jam dinding di kamar Aaro sudah mengaum sepuluh kali, itu artinya waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun, Zahra sepertinya tidak menyadari itu. Ia terlalu larut dalam pekerjaannya mengoreksi tugas dari murid-muridnya di sekolah yang sangat menguras tenaga dan pikiran.

Jawaban yang diberikan oleh murid-muridnya kebanyakan berupa narasi panjang yang berputar-putar dan tidak langsung pada pokoknya.

"Sudah larut," ujar Aaro yang sejak tadi menunggui Zahra. Tidak hanya menunggui, Aaro bahkan mengamati setiap gerak gerik Zahra tanpa sepengetahuan gadis itu—seakan tidak ada pekerjaan yang lebih menyenangkan selain itu—sambil duduk di atas sofa, sementara Zahra bersila di lantai.

"Belum selesai," gumam Zahra tanpa menatap Aaro. Dahinya berkerut dengan bibir mengerucut beberapa senti ke depan saat membaca jawaban salah satu muridnya yang sungguh memeras otak.

"Aku ngantuk." Aaro menjulurkan kakinya untuk menyenggol lutut Zahra dengan maksud menarik perhatian gadis itu agar mau menoleh ke arahnya, tapi nyatanya Zahra sama sekali tak merasa terganggu sama sekali. Gadis itu masih terus fokus pada pekerjaannya, bahkan saat ini, tanpa sadar dia menekankan ujung penanya ke pelipis dan pipi saat sedang berpikir membuat beberapa bagian wajahnya mendapat coretan dari pena itu. Aaro tersenyum sendiri seperti orang sinting melihat gaya Zahra yang menurutnya lebih mirip anak kecil daripada seorang guru.

"Kau yakin umurmu sudah dua puluh tahun?" Akhirnya Aaro pun tak tahan untuk tidak berkomentar.

"Apa?" Zahra mendongak dan menatap Aaro dengan wajah lugu yang membuat Aaro semakin gemas saja.

"Aku yakin sekali, ada kesalahan pada penulisan tahun di akta kelahiranmu." Aaro sengaja melontarkan pendapat yang akan menyulut emosi Zahra karena gadis itu paling tidak suka ketika diingatkan bahwa usianya lebih tua daripada dirinya. Namun, entah mengapa, semakin Zahra marah semakin Aaro merasa senang dan terhibur. Seperti saat ini, Aaro semakin tersenyum jahil melihat ekspresi tak percaya di wajah Zahra.

"Bahkan Kak Shera—istri kakak sulung Aaro—yang masih delapan belas tahun pun terlihat lebih dewasa dibanding dirimu." Aaro menyilangkan kedua lengannya di depan dada sambil terus mengamati Zahra dari atas ke bawah. Sudut-sudut bibirnya bergetar menahan tawa melihat Zahra yang sepertinya sudah siap meledak marah.

Zahra berdiri sambil membanting bolpoin di tangannya ke atas meja membuat bolpoin itu mental dan terlempar entah ke mana. Matanya mendelik menatap Aaro. "Sebenarnya maksudmu apa? Aku bodoh? Iya memang, makanya aku sekolah dan terus belajar!"

"Aku tak perlu belajar untuk menjadi pintar." Aaro menjawab dengan gaya dan nada yang sangat menyebalkan membuat Zahra terlihat ingin sekali menyumpal mulutnya dengan kotak pensil.

"Yah," Zahra berbicara sambil memejamkan mata tak mau melihat wajah menyebalkan Aaro, "kau pintar. Jadi sekarang biarkan aku belajar dan menyelesaikan tugasku!"

"Terserah." Aaro mengedikkan bahu seraya bangkit dari tempat duduknya dan langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum tidur. Dirinya tidak perlu susah-susah untuk ganti baju karena sudah terbiasa tidur hanya menggunakan celana pendek saja—kebiasaan yang menurun dari sang ayah tidur tanpa mengenakan baju.

Zahra sudah kembali duduk menekuni tugasnya ketika lampu kamar tiba-tiba saja dimatikan. Ia menoleh dengan cepat dan melihat bahwa Aaro mulai mematikan semua lampu di kamar, hanya menyisakan satu lampu tidur saja yang menyala.

"Kenapa dimatikan semua lampunya?" Zahra protes.

"Aku ngantuk, mau tidur."

"Ya, tapi lampunya? Aku belum selesai Aa—"

"Sudah. Tidur saja! Selesaikan itu besok!"

"Tidak bisa, tidak akan sempat." Zahra memasang wajah memelas. "Aku nyalain lagi ya?"

"Kubilang selesaikan besok ya besok!" tegas Aaro. "Ini sudah setengah sebelas malam."

Zahra tak bisa lagi menahan emosinya. Ia menggebrak meja, kemudian berdiri dan melangkah cepat mendekati Aaro yang sudah duduk di tepi tempat tidur. "Kenapa? Kenapa aku tak bisa menyelesaikan tugasku sekarang?! Kau bilang kita tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing, kan? Lalu kenapa kamu ikut campur urusan pekerjaanku, kapan aku menyelesaikan tugasku, kapan aku tidur, itu kan terserah padaku!"

"Ssshh!" Aaro mendesis dan menutup kedua telinganya yang berdenging mendengar suara cemperang Zahra. "Kau ini cerewet sekali. Ini kamarku dan yang berlaku di dalam kamar ini adalah peraturanku."

"Ohh, begitu?" Zahra mengangguk mengerti. "Kalau begitu, aku mengerjakan di luar saja," ujarnya seraya membalikkan badan. Namun, belum sempat kakinya melangkah, pergelangan tangan kanannya sudah dicekal oleh Aaro.

"Pikirmu sudah jam berapa ini? Seluruh penghuni rumah ini sudah tidur dan semua lampu juga sudah dimatikan!" Aaro berbicara tegas dan tak ingin dibantah. "Besok subuh lanjutkan tugasmu itu."

"Aku tak mau diatur-atur oleh anak ingusan yang tidak bertanggung jawab sepertimu!" Zahra meronta dan menarik tangannya dari cekalan Aaro.

Mendengar Zahra menyebutnya anak ingusan, emosi Aaro pun bangkit. Ia memegang pergelangan tangan gadis itu semakin erat dan menariknya agar mendekat, tapi sepertinya tenaga yang ia gunakan terlalu kuat hingga membuat tubuh Zahra kehilangan keseimbangan dan akhirnya terjatuh menabrak dadanya.

"Ma-maaf." Zahra buru-buru minta maaf seraya mencoba untuk berdiri dengan tegak, tapi apa yang terjadi membuatnya mendongak dan menatap Aaro bingung. Lengan kekar itu tetap menahan tubuhnya dan justru semakin erat memeluknya. "Aa?"

"Kau menyebutku anak ingusan?" tanya Aaro pelan. Sorot matanya mengunci tatapan Zahra agar tetap tertuju padanya. "Mungkin kau belum tau apa yang bisa dilakukan anak ingusan ini?" Aaro tersenyum setan seraya mendorong pelan tubuh gadis itu agar berbaring di ranjang.

"A-apa yang—" Zahra tak melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba saja bibir Aaro sudah menempel di bibirnya. Ohh, tidak!

Tubuh Zahra seketika berubah kaku dan seperti saat di sekolah tadi, dadanya pun berdebar hebat dengan napas tersengal seperti orang yang baru saja lomba maraton.

Aaro menjauhkan bibirnya, tapi tidak beranjak dari posisinya yang sedang menghimpit Zahra di bawahnya. Selama beberapa saat, dirinya hanya diam sambil mengamati perubahan ekspresi di wajah istrinya itu. Gadis itu terlihat kebingungan sekaligus syok. Sebuah ide jahil melintas di kepalanya tatkala melihat mata Zahra yang membulat lebar. Kepalanya kembali menunduk mendekati wajah gadis itu membuat mata Zahra yang sudah terbelalak semakin terbuka lebar. "Aku bisa melakukan hal dewasa padamu."

"Ja-jangan!" Zahra memekik pelan sambil, tapi tangannya justru memegang erat lengan Aaro. Pikirannya masih linglung karena seorang brondong baru saja mencuri ciuman pertamanya.

"Kenapa?"

Zahra berkedip beberapa kali untuk mengembalikan akal sehatnya yang sempat berantakan oleh perlakuan Aaro padanya. "Kamu masih sekolah dan belum cukup umur," jawabnya lirih.

Aaro melongo sesaat, sebelum akhirnya tertawa terbahak seraya menyingkir dari atas tubuh Zahra. Belum cukup umur? Ya Tuhan, sebetulnya istrinya ini makhluk dari mana sih, apa dia tidak tahu umur berapa seorang laki-laki mulai akil baligh? Padahal dalam ilmu biologi pun sudah dijelaskan mengenai sistem reproduksi pada manusia.

"Dasar bodoh! Aku bahkan sudah bisa membuat bayi!"

Aaro terus terbahak membuat Zahra malu dan akhirnya naik ke atas tempat tidur dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Tidak sampai sepuluh menit kemudian, Zahra pun terlelap.

"Tadi disuruh tidur sok-sokan!" Aaro ngomel sendiri saat menarik selimut yang menutupi seluruh tubuh istrinya itu justru mendapati Zahra yang sudah lelap. Matanya sendiri sebenarnya juga sudah mengantuk, tapi keinginan kuat dari dalam dirinya untuk terus memperhatikan wajah Zahra—yang seperti bayi saat tidur—mengalahkan akal sehatnya. Rasa kantuk pun perlahan tidak lagi menganggu Aaro hingga akhirnya dirinya betah berbaring tengkurap di samping Zahra sambil sesekali mencubit gemas pipi istrinya itu.

Huft! Aaro mengembuskan napas dengan keras. Sudah hampir tiga jam ini dirinya berusaha untuk memejamkan mata dan tidur, tapi tetap saja matanya terjaga. Sesekali matanya masih melirik Zahra yang sudah pulas di sebelahnya dengan posisi terlentang dan mulut sedikit terbuka. Yang membuat Aaro semakin sinting adalah kancing piyama teratas Zahra yang terlepas menampilkan belahan dada gadis itu. Sungguh godaan yang luar biasa mematikan

Sekuat tenaga Aaro menahan tangannya agar tidak bergentayangan ke arah samping meskipun suara-suara nakal dan tak senonoh terus menyemangati di kepalanya. Bagian bawah dirinya pun sudah mendesak meminta perhatian, tapi Aaro benar-benar tak tahu cara meredakan ledakan gairah di dalam dirinya tanpa harus menyentuh Zahra. Yang bisa ia lakukan hanya tetap berbaring tengkurap sambil menggigit bantal dengan kedua tangan mencengkeram kepala ranjangnya yang terbuat dari kayu.

Aaro meringis merasakan kaku di kedua pipinya akibat terus menggigit bantal dengan kuat. Sungguh, ia bingung dengan apa terjadi pada tubuhnya. Tiba-tiba saja pikirannya korslet dan sulit sekali dikendalikan, padahal bersama Alea dirinya tak pernah merasakan hal-hal semacam ini. Namun, saat ini yang ada di pikirannya hanya bagaimana rasanya menjamah tubuh Zahra. Dalam kepalanya kembali memutar ucapan sang ayah pasca pernikahan dadakannya di kantor polisi beberapa waktu yang lalu.

"Selamat Aa," ujar Aidan seraya menepuk pelan pundak Aaro, "sekarang kalian sudah sah menjadi suami istri, jadi mau mesum setiap hari pun, siapa yang peduli? Hahahaha!"

Fix. Menjelang dini hari, Aaro akhirnya menyerah pada hasrat kelelakiannya. Ia pun bangun dan duduk bersila menghadap pemasangan tubuh Zahra sembari menimbang-nimbang apa yang harus ia lakukan lebih dulu, bagian mana yang paling ingin ia sentuh.

Tangan Aaro gemetar ketika membuka kancing piyama Zahra satu per satu. Dalam hatinya terus berdoa semoga gadis itu tetap terlelap dan tidak terbangun oleh tindakannya karena jika sampai itu terjadi, dirinya akan kebingungan mencari alasan.

Aaro menelan ludah dengan susah payah melihat apa yang tersaji di hadapannya. Jantungnya berdegub kencang saat ia memberanikan diri untuk menekankan jari telunjuknya ke pipi Zahra. Ia pun terkejut karena begitu kulitnya bersentuhan dengan kulit Zahra, ia merasakan seperti ada aliran listrik yang menjalar ke sekujur tubuhnya dan berakhir di bagian pusat gairahnya.

Setelah beberapa kali hanya menyentuh dan membelai dengan lembut wajah dan tangan Zahra, Aaro pun mulai berani mengeksplorasi lebih jauh lagi. Ia bahkan sudah berani melumat bibir Zahra yang setengah terbuka.

Setelah puas dengan wajah Zahra, Aaro menarik diri dan mengamati wajah yang masih terlelap itu. Telunjuknya terulur untuk memainkan bulu mata Zahra yang lebat dan panjang sambil sesekali mengecup bergantian kedua mata itu. Mata lebar dan sayu yang selalu terlihat mengantuk itu sepertinya telah mencuri perhatiannya sejak pertama mereka bertemu. Senyum Aaro pun merekah tatkala kelopak itu akhirnya membuka.

"Aa?" Zahra mengernyitkan dahi bingung karena begitu dirinya membuka mata, bayangan pertama yang ia tangkap adalah senyum mematikan Aaro. Bukan hanya itu, tapi posisi Aaro yang membungkuk di atasnya dengan kedua telapak tangan pemuda itu menangkup wajahnya juga membuatnya terkejut. Aaro hanya diam dan terus menatapnya dengan pandangan berkabut. Saat dirinya hendak bertanya apa yang sedang Aaro lakukan, bibir Aaro sudah membungkam mulutnya dengan ciuman yang belum pernah ia bayangkan sebekumnya. Begitu intens dan penuh gairah.

"Aku ingin menyempurnakan kedewasaanku," bisik Aaro di sela-sela ciumannya.

Zahra tak bisa menjawab karena Aaro tak memberi ruang untuk dirinya berbicara atau bahkan menolak. Ia hanya mematung menerima semua perlakuan Aaro yang membingungkan sekaligus melenakan. Sebagian dari dirinya menikmati semua sentuhan dan cumbuan Aaro, tapi sebagian lagi menolak karena tidak seharusnya mereka melakukan itu tanpa didasari rasa cinta yang pastinya akan menimbulkan penyesalan. Namun, apa daya ketika akhirnya seluruh tubuhnya berkhianat pada akal sehatnya dan terus meminta untuk disentuh Aaro dimana-mana. Akhirnya ketika tubuh mereka bersatu dalam kebutuhan primitif yang terus mendesak, Zahra hanya bisa tak bisa lagi menolak. Setitik air mata menetes di pipinya, sisa dari kesadarannya yang masih tertinggal.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status