"Kak Fa-Fani," lirih Falri, seusai bisa membuka suara kembali.
Gadis yang dipanggil Kak Fani itu mendesis pelan. Dia menatap dingin Falri. "Jangan sebut saya kakak Anda! Saya tidak sudi memiliki adik bajingan," bisik Kak Fani penuh penekanan.
"Kak." Falri menatap Kak Fani dengan perasaan rindu dari seorang adik kepada kakaknya. Namun, sepertinya Kak Fani tidak lagi sama semenjak kejadian hari itu.
"Cepat, casting! Masih banyak talent yang menunggu," ujar Kak Fani, tanpa menyahut panggilan Falri sama sekali.
Dia bergegas menjauh dari Falri. Dan, Falri berjalan ke tempat casting. Dia mengikuti segala prosedur casting.
Tiga puluh menit berlalu ...
Falri dan Glen sudah berada di sebuah cafe, seberang gedung matahari. Sudah lima belas menit lalu, acara casting selesai. Lima belas menit pula mereka menikmati segelas kopi susu di sudut pojok kanan cafe.
Glen yang asik menikmati senandung lagu yang dinyanyikan oleh vocalis band cafe. Sedangkan Falri yang masih tampak termenung, memikirkan pertemuan singkat dengan Kak Fani, kakak satu-satunya yang dimiliki Falri.
"Hei. Kenapa lo?" tanya Glen, menyadarkan lamunan Falri.
Falri menggeleng singkat. "Gak papa."
"Lo kalau ada masalah bisa cerita ke gue," ucap Glen.
"Emang apa yang mau gue ceritakan, Bang?" sahut Falri lalu tertawa hambar.
"Lo kalo nggak niat ketawa nggak usah ketawa," sinis Glen.
Falri mengedikkan bahu acuh. Kemudian, meminum kopi susu dalam gelas yang tinggal setengah.
Glen berdecak pelan saat sahutannya tak dihiraukan. Jangankan dihiraukan, didengarkan Falri saja sepertinya tidak!
"Lo kenapa, sih?" tanya Glen penasaran. Dia menatap Falri penuh selidik. "Jangan bilang kalau lo keciduk suka sama Jessica lagi."
Lontaran ucapan Glen sukses membuat Falri tersentak. Dia hampir saja menyemburkan kopi susu dalam mulutnya ke wajah Glen. Falri meneguk kopi susu lalu menatap horor ke arah Glen.
"Demi apapun gue mending balikan sama mantan gue," ujar Falri seraya menghentak-hentakan kakinya ke lantai.
Glen mengernyit bingung. "Mantan? Lo udah pernah pacaran? Heh? Lo kok nggak cerita sama gue?!"
"Mantan pas SMP, Bang."
Mantan sekaligus pasangan kesalahan fatal, Bang. Brengseknya gue malah pergi gitu aja.
"Lo pacaran pas SMP? Gila, ya! Zaman sekarang masih bocah aja udah punya pacar. Dulu gue pas SMP aja masih mandi plus berenang di sungai." Glen menatap kagum ke arah Falri.
Kalau waktu boleh diulang, gue juga gak mau kayak gitu, Bang!
Falri mendengus kesal. "Gue juga masih main kelereng, Bang. Cuma ---"
"Cinta monyet? Ah, udahlah gue juga tau." Glen menatap serius Falri. "Gue bebasin lo punya pacar. Seterah mau jadi fakboy atau apapun itu. Dengan satu syarat jangan pernah ngehancurin masa depan perempuan. Ingat!"
Falri meneguk ludahnya kasar. Mendadak tubuhnya pucat pasi. Kenangan kelam itu kembali hadir. Dia menundukkan kepalanya, tidak berani menatap Glen.
"Falri, lo gak papa?" tanya Glen, khawatir.
Falri menengadahkan kepalanya lantas menatap Glen. "Gu-gue ngg-nggak apa-apa, Bang!"
"Muka lo pucat. Kita ke rumah sakit, yok!" ajak Glen, menatap khawatir Falri.
Falri menggeleng pelan. "Nggak, ah. Gue mau pulang aja. Agak pusing, paling kalau ditidurin sebentar langsung sehat."
"Oke, kita cabut. Lo langsung ke mobil, gue mau bayar kopi dulu."
Falri mengangguk. Kemudian, keluar dari kafe mendahului Bang Glen yang masih berada di kasir.
***
Falri keluar dari dalam mobil sesaat sampai di depan gedung apartemen. Falri berjalan masuk, mendahului Glen yang katanya masih ada urusan di luar.
Falri berjalan sempoyongan. Kepalanya semakin pusing, mengenang segala kenangan kelam bersama --- Jeslyn.
Dia berjalan, memasuki lift. Lalu memencet tombol naik lantai sepuluh. Lantai dimana apartemen Falri dan Glen berada.
Kepala Falri semakin pusing. Dentingan lift berbunyi membuat Falri segera keluar dari lift. Masih di lantai sepuluh, tepat di depan lift, Falri tidak kuat lagi menahan keseimbangan tubuhnya. Dia terjatuh ke lantai, tubuhnya terbaring lemah. Dan, sekejap matanya tertutup sempurna.
***
Falri mengerjapkan matanya, menyesuaikan cahaya di sekitar. Satu-satunya yang pertama kali dilihat adalah siluet manusia. Lebih tepatnya gadis yang mirip seperti --- Jeslyn."Jeslyn?" panggil Falri, lirih.
Dia memaksakan bangun dari tidurnya. Falri menatap gadis di hadapannya saat penglihatannya sudah jelas. Gadis di hadapannya benar-benar Jeslyn.
"Jeslyn? Lo Jeslyn, kan?"
Gadis di hadapannya menundukkan kepala. "Kamu masih ingat aku?"
"Gue selalu ingat lo," timpal Falri, mantap.
Jeslyn menatap Falri dengan tatapan tak terbaca. "Terus kenapa selama ini kamu pergi, Falri?"
"Gue ---"
Jeslyn tertawa sinis. "Kamu pergi karena capai cita-cita kamu jadi aktor, kan?"
"Dengerin gue ---"
"Udah, Ri. Mending kamu sekarang keluar dari apartemen aku. Oh, iya sekarang kita tetanggaan. Semoga bisa bertetangga dengan baik," ucap Jeslyn seraya memamerkan senyum. Bukan senyum manis melainkan senyum kesedihan.
Falri mengangguk singkat. Dia segera bangkit. Kemudian menggenggam tangan Jeslyn. "Gue harap lo nggak bongkar kesalahan masa lalu gue ke media massa termasuk penggemar gue."
"Kenapa? Kamu takut popularitas kamu turun? Atau kesuksesan kamu bakal hancur?"
"Nah, lo tau. Gue harap lo nggak pernah buka mulut. Gue bakal kasih berapa pun uang ke lo dengan satu syarat! Jangan pernah ada yang tau gimana kita di masa akhir SMP," desis Falri.
"Aku nggak butuh uang kamu! Lagi pula ---"
Falri berlalu, meninggalkan Jeslyn yang masih menggantungkan ucapannya.
***
Falri masuk ke apartemen miliknya. Dia melihat Glen sudah duduk anteng di sofa ruang keluarga. Falri menghampiri Glen lalu duduk di sampingnya.
"Habis darimana lo?" tanya Glen, curiga.
"Kepo banget," jawab Falri, mengejek.
"Gue tanya baik-baik, lho." Glen memasang raut wajah sedih.
Falri yang melihat raut wajah Glen pun langsung pura-pura muntah. "Eneg gue lihat muka lo. Sok-sokan imut padahal mah amit-amit."
Ucapan yang dilontarkan Falri sukses membuat sebuah bantal sofa terlempar ke wajah mulusnya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Glen?
Falri berdecak keras. Dia menyebutkan segala macam binatang untuk Abang Glen. Glen hanya tertawa puas.
"Syukurin, makanya jangan main-main!"
"Aku jadi duta shampo lain ----"
"Gak nyambung, goblok!" sungut Glen, merasa kesal.
Gantian Falri yang tertawa puas. Menertawai raut kesal yang terpampang di wajah ganteng Glen. Tenang, masih gantengan Falri, kok!
"Bang," panggil Falri.
Glen berdehem singkat. "Apaan?"
"Kita punya tetangga baru, ya?"
"Iya, cewek lagi. Masih seumuran sama lo, kalo nggak salah. Gebet sana gebet!"
Udah pernah gue gebet, Bang.
"Nggak, ah. Gue masih mau fokus karir dulu," sahut Falri, dengan tampang santainya. Padahal hatinya, mah jangan ditanya!
"Lo sukses di masa muda itu bagus. Tapi jangan lupa juga nikmati masa muda lo," ujar Glen, sok bijak.
"Nikmati gimana? Pergi ke club gitu? Minum-minuman keras? Atau jadi pemakai obat terlarang?"
Glen memelototkan matanya. Dia menyentil keras dahi Falri, hingga si empu meringis sakit.
"Nggak, gitu juga! Maksud gue itu yaa ... lo cari pacar gitu. Kan, di usia tujuh belas tahun itu biasanya banyak, tuh yang lagi kasmaran. Emang lo nggak?"
Gimana gue mau kasmaran, Bang? Kalau gue aja selalu dihantui rasa bersalah dan penyesalan di setiap detik, batin Falri
Hari ini hari Minggu. Falri datang ke kafe untuk bertemu dengan Jeslyn. Mereka berdua sudah sepakat bertemu lewat perbincangan singkat di aplikasi chatting.Falri memilih duduk di sudut pojok kanan. Tidak terlalu ramai. Falri bersenandung pelan. Sesekali jepretan kamera mengarah ke dirinya.Falri sebisa mungkin untuk tetap memasang wajah kerennya. Tidak mau sampai ada aib satu punudari jepretan para penggemar di dalam kafe."Lama banget, sih." Falri berdecak pelan, nyaris tanpa suara.Yang ditunggu pun tiba. Jeslyn datang menghampiri Falri. Falri menatap tidak percaya dengan tampilan Jeslyn sekarang. Balutan dress berwarna pink juga rambut sebahu yang digerai bebas.Seingatnya, Jeslyn amat tidak menyukai dengan dress, warna pink, dan rambut digerai. Lantas ini? Jeslyn, asli atau bukan?"Jeslyn?" panggil Falri, masih belum percaya dengan penampilan Jeslyn yang berbanding tiga ratus enam puluh derajat."Hai." Jeslyn duduk di bangku, tepa
Falri memainkan ponselnya, jari-jari tangan bergerak lincah meneliti segala sudut pandang sosial media. Beginilah seorang Falri jika dilanda kegabutan di tengah lokasi syutting.Syuting sedang break sejak lima menit lalu. Falri enggan membaca dan memahami dialog yang akan dipakainya nanti. Dia masih sibuk memainkan ponsel bermerk apik itu."Falri," panggil seseorang yang tiba-tiba menghampirinya.Falri mengalihkan atensinya. Kemudian, melihat seorang gadis yang memanggilnya. Dia --- Kak Fani.Falri segera meletakkan ponselnya di saku celana. "Ada apa, Kak?""Gue butuh bicara sama lo," jawab Kak Fani, tidak sabaran."Mau dimana?""Di kafe dekat sini. Gue nggak punya banyak waktu."Falri mengangguk setuju. Dia mengikut langkah sang kakak yang terlebih dahulu melangkah. Falri masih menebar senyum mempesona untuk para penggemar yang berteriak bahagia karena bertemu dengan si idola. Andai saja penggemarnya tahu apa yang dulu pernah diperbua
Falri masih tertidur pulas. Kulitnya terlihat pucat pasi. Bibir tipisnya kering, seperti tidak bertenaga.Glen yang melihat keadaan adik angkatnya hanya tersenyum sendu. Dia sudah mengetahui bahwa tadi malam, Falri mendonorkan darahnya ke Papa kandungnya. Glen tentu saja tahu, dia punya banyak intel. Jadi, jangan pernah heran jika Glen tahu sendiri tanpa diberitahu terlebih dahulu.Glen berusaha membangunkan Falri. Falri juga butuh makan meskipun sedang sakit.Falri mengerjapkan matanya perlahan. Rasa pusing masih menyergap di ubun-ubun kepalanya. Dia memegang keningnya, mencoba untuk meredakan rasa pusing itu."Eh, bang Glen." Falri menyapa dengan suara serak karena habis bangun tidur dan masih sakit.Glen berdehem pelan. "Gue bangga sama lo, Ri.""Maksudnya, Bang?""Lo pikir gue nggak tau apa yang lo lakuin semalem? Sampai-sampai lo jadi jatuh sakit gini?""Tahu darimana? Gue belum ngasih tahu, deh.""Gue tau sendiri, lah
Sudah sehari semalam, Falri beristirahat di rumah. Dia sudah siap untuk bekerja kembali. Walaupun Glen masih bilang, 'jangan dulu.'Glen menatap khawatir ke arah Falri yang tengah duduk di sofa sembari memakai sepatu."Lo seriusan mau hari ini syutting?"Falri menoleh ke arah Glen. "Daripada di rumah terus, kan? Lagi pula gue udah sehat sentosa gini.""Terus lo bakal klarifikasi tentang gosip di media sosial?"Memang kemarin, lebih tepatnya malam hari. Falri dicerca habis-habisan dengan puluhan pertanyaan dari Glen. Pada akhirnya, Falri lebih memilih jujur meskipun masih ada bumbu kebohongan. Falri hanya mengatakan jika Fani adalah kakak kandungnya sedangkan Jeslyn adalah teman sekelasnya pada zaman SMP."Ya, harus. Demi citra baik gue. Ya, kali gue digosip pakai berita sampah gini,"decak Falri."Lo mau klarifikasi apa? Okelah, kalau masalah Jesyln. Lah, kalau Fani? Lo mau bilang kalau dia adalah kakak kandung lo yang ikut-ikutan buang lo?"
Falri dan Glen tengah makan malam bersama di ruang Televisi. Mereka berdua memakan pecel lele buatan Bu Iy. Bu Iy, seorang pedagang pecel lele di depan area gedung apartemen yang terkenal dengan keenakan dan kemewahan dapargannya. Harga murah, kualitas mewah. Begitu sekiranya kata Bu Iy."Bang." Falri memanggil Glen di sela-sela melahap pecel lele."Apaan?""Gue mau minta suatu hal. Boleh?""Apaan? Jangan aneh-aneh!""Kak Satya belum ngajarin biologi tentang anu. Iya, itu a-anu, lho. Gue pas kelas tiga smp, kan nggak sempat ikut. Terus kelas satu SMA malah ketunda."Guratan kernyitan di dahi Glen kentara jelas. Dia menghentikan makanannya kemudian menegak setengah gelas air. "Anu apaan? Jangan ambigu, deh.""Ih, anu itu. Gimana, ya ngomongnya? Duh!" Falri jadi bingung sendiri.Glen mengedikkan bahu acuh. "Lo pikir dulu apa yang mau lo sampaikan, baru kasih tau gue," kata Glen lalu melanjutkan makannya.Falri mengangguk paham. Fal
Falri menutup pintu yang mengarah balkon kamarnya. Dia meraup wajah kasar. Kemudian mengacak-acak rambut. Sungguh, jangankan berbicara dengan Jeslyn. Bertemu dengannya saja bisa membuat Falri kembali frustasi.Falri membanting semua barang yang ada di kamarnya. Dia berteriak sesukanya. Berusaha mengalihkan rasa-rasa yang saling memberontak. Beruntung kamarnya kedap suara."Sialan, sialan! Gue benci sama diri gue sendiri! Agh!" Falri berteriak terus-menerus sembari melemparkan barang-barang hingga pecah.Kamar yang semula rapi bersih berubah menjadi kapal pecah. Pecahan barang bertebaran di lantai. Tubuh Falri merosot ke lantai. Lagi, lagi air matanya jatuh. Falri kembali menangis."Kenapa harus sesulit ini? Kenapa hidup ini jahat sama gue?" Falri bertanya-tanya pada dirinya sendiri.Falri mengambil sebuah pecahan kaca keramik. Pecahan itu begitu tajam, setajam pisau yang siap menancap dimana pun. Falri tersenyum tipis."Harus banget gue nyakitin diri
***"Pacarnya kak Fani, kan?" tanya Jeslyn, memotong ucapan Glen.Glen mengangguk puas. Falri masih termangu. Berbeda dengan Fani yang berubah geram."Diam lo, bocah!" sentak Fani."A-aku cuma ngomong setahuku aja, kak," jujur Jeslyn seraya memainkan tangannya."Kak Fani," ucap Falri, menatap tidak menyangka ke arah Fani."Gue bisa jelasin semuanya, Ri!""Lo mau jelasin apa?" tanya Glen seraya menatap remeh ke arah Fani. Dia mengeluarkan ponselnya kemudian memecet dan memberikannya kepada Falri. "Lo lihat ini! Video tentang kelicikan tiga serangkai duri."Falri menerima, meneliti video yang berisi perbincangan singkat antara Fani, Mamanya, dan orang yang nyaris mirip dengan Papanya."Gian ... kamu harus kuat, ya. Aku pastiin Falri bakalan mau donorin ginjalnya sama kamu," ucap Fani dengan optimis.Gian mengangguk lemah. "Semoga.""Pokoknya kamu jangan pernah putus asa, menantu tersayang," ujar Dira, Mama Fal
Malam ini, Falri lebih memilih untuk menetap di hotel sementara. Dia masih ingin lari dari masalah yang datang. Falri juga butuh waktu istirahat.Pintu nomor 32. Itu lah kamar hotel yang akan diinap Falri semalaman. Falri masuk ke dalam kamar kemudian menutup pintunya. Dia menghempaskan tubuhnya ke atas kasur empuk.Beruntung dia membawa blackcard dan sejumlah uang merah. Falri menghembuskan nafas kasar. Dia menatap langit-langit kamar dengan perasaan berkecamuk."Mama, Kak Fani, kenapa kalian tega sama Naufal?" tanyanya, lirih.Falri mengusap wajahnya kasar. Dia bangkit dari bangunnya kemudian melangkahkan kaki menuju balkon kamar.Malam ini tidak ada bulan. Tidak ada juga ribuan bintang indah yang bertebaran di langit. Langit malam ini begitu sepi. Ditemani dengan awan-awan mendung yang akan sebentar lagi menurunkan hujan.Falri menikmati udara dingin malam. Dia terus menatap kosong ke jalanan yang masih ramai padat. Begini lah hidup di Jakarta.