Share

Bab 03

"Kak Fa-Fani," lirih Falri, seusai bisa membuka suara kembali.

Gadis yang dipanggil Kak Fani itu mendesis pelan. Dia menatap dingin Falri. "Jangan sebut saya kakak Anda! Saya tidak sudi memiliki adik bajingan," bisik Kak Fani penuh penekanan.

"Kak." Falri menatap Kak Fani dengan perasaan rindu dari seorang adik kepada kakaknya. Namun, sepertinya Kak Fani tidak lagi sama semenjak kejadian hari itu.

"Cepat, casting! Masih banyak talent yang menunggu," ujar Kak Fani, tanpa menyahut panggilan Falri sama sekali.

Dia bergegas menjauh dari Falri. Dan, Falri berjalan ke tempat casting. Dia mengikuti segala prosedur casting.

Tiga puluh menit berlalu ...

Falri dan Glen sudah berada di sebuah cafe, seberang gedung matahari. Sudah lima belas menit lalu, acara casting selesai. Lima belas menit pula mereka menikmati segelas kopi susu di sudut pojok kanan cafe. 

Glen yang asik menikmati senandung lagu yang dinyanyikan oleh vocalis band cafe. Sedangkan Falri yang masih tampak termenung, memikirkan pertemuan singkat dengan Kak Fani, kakak satu-satunya yang dimiliki Falri.

"Hei. Kenapa lo?" tanya Glen, menyadarkan lamunan Falri.

Falri menggeleng singkat. "Gak papa."

"Lo kalau ada masalah bisa cerita ke gue," ucap Glen.

"Emang apa yang mau gue ceritakan, Bang?" sahut Falri lalu tertawa hambar.

"Lo kalo nggak niat ketawa nggak usah ketawa," sinis Glen.

Falri mengedikkan bahu acuh. Kemudian, meminum kopi susu dalam gelas yang tinggal setengah. 

Glen berdecak pelan saat sahutannya tak dihiraukan. Jangankan dihiraukan, didengarkan Falri saja sepertinya tidak!

"Lo kenapa, sih?" tanya Glen penasaran. Dia menatap Falri penuh selidik. "Jangan bilang kalau lo keciduk suka sama Jessica lagi."

Lontaran ucapan Glen sukses membuat Falri tersentak. Dia hampir saja menyemburkan kopi susu dalam mulutnya ke wajah Glen. Falri meneguk kopi susu lalu menatap horor ke arah Glen.

"Demi apapun gue mending balikan sama mantan gue," ujar Falri seraya menghentak-hentakan kakinya ke lantai.

Glen mengernyit bingung. "Mantan? Lo udah pernah pacaran? Heh? Lo kok nggak cerita sama gue?!"

"Mantan pas SMP, Bang."

Mantan sekaligus pasangan kesalahan fatal, Bang. Brengseknya gue malah pergi gitu aja.

"Lo pacaran pas SMP? Gila, ya! Zaman sekarang masih bocah aja udah punya pacar. Dulu gue pas SMP aja masih mandi plus berenang di sungai." Glen menatap kagum ke arah Falri.

Kalau waktu boleh diulang, gue juga gak mau kayak gitu, Bang!

Falri mendengus kesal. "Gue juga masih main kelereng, Bang. Cuma ---"

"Cinta monyet? Ah, udahlah gue juga tau." Glen menatap serius Falri. "Gue bebasin lo punya pacar. Seterah mau jadi fakboy atau apapun itu. Dengan satu syarat jangan pernah ngehancurin masa depan perempuan. Ingat!"

Falri meneguk ludahnya kasar. Mendadak tubuhnya pucat pasi. Kenangan kelam itu kembali hadir. Dia menundukkan kepalanya, tidak berani menatap Glen.

"Falri, lo gak papa?" tanya Glen, khawatir.

Falri menengadahkan kepalanya lantas menatap Glen. "Gu-gue ngg-nggak apa-apa, Bang!"

"Muka lo pucat. Kita ke rumah sakit, yok!" ajak Glen, menatap khawatir Falri.

Falri menggeleng pelan. "Nggak, ah. Gue mau pulang aja. Agak pusing, paling kalau ditidurin sebentar langsung sehat."

"Oke, kita cabut. Lo langsung ke mobil, gue mau bayar kopi dulu."

Falri mengangguk. Kemudian, keluar dari kafe mendahului Bang Glen yang masih berada di kasir. 

***

Falri keluar dari dalam mobil sesaat sampai di depan gedung apartemen. Falri berjalan masuk, mendahului Glen yang katanya masih ada urusan di luar.

Falri berjalan sempoyongan. Kepalanya semakin pusing, mengenang segala kenangan kelam bersama --- Jeslyn. 

Dia berjalan, memasuki lift. Lalu memencet tombol naik lantai sepuluh. Lantai dimana apartemen Falri dan Glen berada.

Kepala Falri semakin pusing. Dentingan lift berbunyi membuat Falri segera keluar dari lift. Masih di lantai sepuluh, tepat di depan lift, Falri tidak kuat lagi menahan keseimbangan tubuhnya. Dia terjatuh ke lantai, tubuhnya terbaring lemah. Dan, sekejap matanya tertutup sempurna.

***

Falri mengerjapkan matanya, menyesuaikan cahaya di sekitar. Satu-satunya yang pertama kali dilihat adalah siluet manusia. Lebih tepatnya gadis yang mirip seperti --- Jeslyn.

"Jeslyn?" panggil Falri, lirih.

Dia memaksakan bangun dari tidurnya. Falri menatap gadis di hadapannya saat penglihatannya sudah jelas. Gadis di hadapannya benar-benar Jeslyn.

"Jeslyn? Lo Jeslyn, kan?" 

Gadis di hadapannya menundukkan kepala. "Kamu masih ingat aku?"

"Gue selalu ingat lo," timpal Falri, mantap.

Jeslyn menatap Falri dengan tatapan tak terbaca. "Terus kenapa selama ini kamu pergi, Falri?"

"Gue ---"

Jeslyn tertawa sinis. "Kamu pergi karena capai cita-cita kamu jadi aktor, kan?"

"Dengerin gue ---"

"Udah, Ri. Mending kamu sekarang keluar dari apartemen aku. Oh, iya sekarang kita tetanggaan. Semoga bisa bertetangga dengan baik," ucap Jeslyn seraya memamerkan senyum. Bukan senyum manis melainkan senyum kesedihan.

Falri mengangguk singkat. Dia segera bangkit. Kemudian menggenggam tangan Jeslyn. "Gue harap lo nggak bongkar kesalahan masa lalu gue ke media massa termasuk penggemar gue."

"Kenapa? Kamu takut popularitas kamu turun? Atau kesuksesan kamu bakal hancur?"

"Nah, lo tau. Gue harap lo nggak pernah buka mulut. Gue bakal kasih berapa pun uang ke lo dengan satu syarat! Jangan pernah ada yang tau gimana kita di masa akhir SMP," desis Falri.

"Aku nggak butuh uang kamu! Lagi pula ---"

Falri berlalu, meninggalkan Jeslyn yang masih menggantungkan ucapannya.

***

Falri masuk ke apartemen miliknya. Dia melihat Glen sudah duduk anteng di sofa ruang keluarga. Falri menghampiri Glen lalu duduk di sampingnya.

"Habis darimana lo?" tanya Glen, curiga.

"Kepo banget," jawab Falri, mengejek.

"Gue tanya baik-baik, lho." Glen memasang raut wajah sedih.

Falri yang melihat raut wajah Glen pun langsung pura-pura muntah. "Eneg gue lihat muka lo. Sok-sokan imut padahal mah amit-amit."

Ucapan yang dilontarkan Falri sukses membuat sebuah bantal sofa terlempar ke wajah mulusnya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Glen?

Falri berdecak keras. Dia menyebutkan segala macam binatang untuk Abang Glen. Glen hanya tertawa puas.

"Syukurin, makanya jangan main-main!"

"Aku jadi duta shampo lain ----"

"Gak nyambung, goblok!" sungut Glen, merasa kesal.

Gantian Falri yang tertawa puas. Menertawai raut kesal yang terpampang di wajah ganteng Glen. Tenang, masih gantengan Falri, kok!

"Bang," panggil Falri.

Glen berdehem singkat. "Apaan?"

"Kita punya tetangga baru, ya?"

"Iya, cewek lagi. Masih seumuran sama lo, kalo nggak salah. Gebet sana gebet!"

Udah pernah gue gebet, Bang.

"Nggak, ah. Gue masih mau fokus karir dulu," sahut Falri, dengan tampang santainya. Padahal hatinya, mah jangan ditanya!

"Lo sukses di masa muda itu bagus. Tapi jangan lupa juga nikmati masa muda lo," ujar Glen, sok bijak.

"Nikmati gimana? Pergi ke club gitu? Minum-minuman keras? Atau jadi pemakai obat terlarang?"

Glen memelototkan matanya. Dia menyentil keras dahi Falri, hingga si empu meringis sakit.

"Nggak, gitu juga! Maksud gue itu yaa ... lo cari pacar gitu. Kan, di usia tujuh belas tahun itu biasanya banyak, tuh yang lagi kasmaran. Emang lo nggak?"

Gimana gue mau kasmaran, Bang? Kalau gue aja selalu dihantui rasa bersalah dan penyesalan di setiap detik, batin Falri

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status