Hari ini hari Minggu. Falri datang ke kafe untuk bertemu dengan Jeslyn. Mereka berdua sudah sepakat bertemu lewat perbincangan singkat di aplikasi chatting.
Falri memilih duduk di sudut pojok kanan. Tidak terlalu ramai. Falri bersenandung pelan. Sesekali jepretan kamera mengarah ke dirinya.
Falri sebisa mungkin untuk tetap memasang wajah kerennya. Tidak mau sampai ada aib satu punudari jepretan para penggemar di dalam kafe.
"Lama banget, sih." Falri berdecak pelan, nyaris tanpa suara.
Yang ditunggu pun tiba. Jeslyn datang menghampiri Falri. Falri menatap tidak percaya dengan tampilan Jeslyn sekarang. Balutan dress berwarna pink juga rambut sebahu yang digerai bebas.
Seingatnya, Jeslyn amat tidak menyukai dengan dress, warna pink, dan rambut digerai. Lantas ini? Jeslyn, asli atau bukan?
"Jeslyn?" panggil Falri, masih belum percaya dengan penampilan Jeslyn yang berbanding tiga ratus enam puluh derajat.
"Hai." Jeslyn duduk di bangku, tepat di hadapan Falri.
"Hai," kikuk Falri.
"Kamu ngajak ketemuan di sini? Apa nggak terlalu bahaya buat ---"
"Nggak, akan. Gue bisa handle kalau ada yang nyebar gosip pacaran sama lo."
"Oke," singkat Jeslyn.
Falri memanggil pelayan kafe. Saat pelayan kafe datang menghampiri. Falri langsung memesan makanan dan minuman kesukaan mereka berdua.
Jeslyn diam-diam tersipu malu. "Kamu masih ingat dengan makanan dan minuman kesukaanku?" tanya Jeslyn, usai pelayan kafe pamit undur diri.
"Makanan dan minuman kesukaan lo itu sama kayak gue. Gimana gue nggak ingat dengan makanan dan minuman kesukaan gue sendiri? Ngotak, dong!" Falri berkata sarkas kepada Jeslyn, hingga membuat Jeslyn tersentak halus.
Jeslyn menundukkan kepalanya. "Aku cuma tanya, Naufal."
"Jangan panggil gue, Naufal!" tandas Falri, "gue, Falri. Ingat!"
"I-iya, Falri."
"Gue males berbelit di sini sana lo. Nyatanya gue cuma mau bilang kalau ...." Falri menggantungkan ucapannya. Dia menatap serius ke arah Jeslyn hingga yang ditatap salah tingkah sendiri.
"Kalau apa, Ri?"
"Kalau lo jangan pernah berharap lagi sama gue. Sampai kapan pun gue nggak akan ngakuin anak lo itu."
"Tapi ---"
"Ssst!" Falri menggerakan tangannya ke bibir tipis Jeslyn. "Diam, dulu." Falri segera menarik jemari telunjuknya.
"Jangan potong gue, karena gue males ngomong kalau gini. Gue cuma mau bilang, gue bakal kasih uang bulanan buat ngurusin hidup lo dan anak kita. Sorry, ralat anak lo itu."
"Falri ---"
"Gue udah bilang jangan potong!" geram Falri.
"Ma-maaf."
"Oke. Lanjut, ya. Gue nggak mau sampai semua orang tahu kalau gue pernah ngelakuin hal itu sama lo. Gue juga nggak mau kalau posisi gue jadi aktor harus turun drastis gara-gara kesalahan terbesar gue ini."
"Aku itu ---"
"Stop! Gue lagi gak butuh ucapan lo. Lo cukup denger apa yang gue katakan, paham?"
"Paham."
"Bagus! Gue bakal pastiin hidup lo bakal terjamin. Uang bulanan bakal terus ngalir di kartu atm lo. Asal jangan pernah ada yang tau ada apa diantara kita. Ingat, itu!"
Falri diam sejenak saat pelayan kafe menghampiri mereka bersama pesanan. Falri meminum segelas jus alpukat, kesukaannya. Kemudian, kembali menatap Jeslyn.
"Kalau sampai ada orang tahu, apa lagi ada yang nyebar gosip tentang kita. Gue bakal pastikan lo sendiri yang akan jadi sasaran amukan gue."
Jeslyn hanya diam, sesekali mendesis pelan. Dia masih tidak ingin menyahut ucapan Falri. Ngomong nanti salah, hm!
"Lo ngerti, kan?"
Jeslyn mengangguk. "Tapi aku cuma mau bilang ---"
"Stop! Gue pergi dulu. Gue ada syutting hari ini. Makasih udah menyempatkan waktu. Untuk makanan dan minuman ini udah gue bayar. Jadi, lo nggak usah khawatir."
Jeslyn mengangguk. Falri bangkit dari duduknya. Kemudian memakaikan kaca mata hitam sebelum melangkahkan kaki.
"Gue pergi. Kapan-kapan gue pingin ketemu sama anak lo."
"Falri, tapi ---"
Falri mengabaikan ucapan Jeslyn. Dia melengos pergi. Saat di pintu keluar-masuk, Falri tanpa sengaja bertemu dengan Jessica.
"Hai, Falri!" Jessica menyapa Falri dengan semangat.
"Hai," sapa balik Falri tanpa mau menatap Jessica.
"Kamu mau kemana?"
"Lokasi syutting."
"Oh, ya? Dimana?"
"Dimana-mana hatiku senang asal nggak ada lo," jawab Falri, ketus. Lantas dia berlalu pergi meninggalkan Jessica yang masih tertegun.
"Sialan!" teriak Jessica yang masih bisa didengar Falri dari kejauhan.
Falri tersenyum miring. "Jessica, nama bagus tapi nggak mukanya, HAHA!"
Falri menyetop salah satu taksi yang lewat. Dia segera masuk ke mobil taksi, kemudian memberitahukan alamat yang dituju kepada sang sopir.
"Pak, jalannya cepatin, dong!" seru Falri.
"Iya, Mas. Ini udah paling cepat, kok."
"Buruan, Pak! Gass poll kalau perlu. Saya lagi ada syutting sebentar lagi."
"Walah, mas e artis, toh?"
"Bapak nggak pernah ke bioskop?" tanya Falri.
"Nggak, Mas. Nonton TV seminggu sekali aja alhamdullilah. Orang saya ini cuma orang bawahan aja. Makan tempe sehari sekali aja alhamdulillah banget."
"Bapak curhat?"
"Lho, iya, Mas. Mas nggak bawa kamera? Biasanya di TV itu artis-artis bawa kamera terus ngasih duit ke orang-orang gitu."
Falri menepuk dahinya pelan. "Saya buru-buru ke lokasi syutting, Pak. Bukan malah mau ngevlog kayak youtuber."
"Lho, berarti tadi nggak ada kamera tersembunyi, ya?"
"Nggak ada, Pak."
"Yah, nyesel saya udah pura-pura jadi orang susah. Mas ini nggak kasih tahu dulu."
"Lah, bapak tadi cuma boongan?"
"Ya, kurang lebih gitu, Mas." Si supir taksi langsung nyengir lebar, tanpa dosa.
"Bapak cari sensasi doang, ya?"
Supir taksi itu mengangguk. "Siapa tau jadi piral, Mas."
Falri mendengus malas. "Viral, Pak. Bukan piral."
***
Falri memainkan ponselnya, jari-jari tangan bergerak lincah meneliti segala sudut pandang sosial media. Beginilah seorang Falri jika dilanda kegabutan di tengah lokasi syutting.Syuting sedang break sejak lima menit lalu. Falri enggan membaca dan memahami dialog yang akan dipakainya nanti. Dia masih sibuk memainkan ponsel bermerk apik itu."Falri," panggil seseorang yang tiba-tiba menghampirinya.Falri mengalihkan atensinya. Kemudian, melihat seorang gadis yang memanggilnya. Dia --- Kak Fani.Falri segera meletakkan ponselnya di saku celana. "Ada apa, Kak?""Gue butuh bicara sama lo," jawab Kak Fani, tidak sabaran."Mau dimana?""Di kafe dekat sini. Gue nggak punya banyak waktu."Falri mengangguk setuju. Dia mengikut langkah sang kakak yang terlebih dahulu melangkah. Falri masih menebar senyum mempesona untuk para penggemar yang berteriak bahagia karena bertemu dengan si idola. Andai saja penggemarnya tahu apa yang dulu pernah diperbua
Falri masih tertidur pulas. Kulitnya terlihat pucat pasi. Bibir tipisnya kering, seperti tidak bertenaga.Glen yang melihat keadaan adik angkatnya hanya tersenyum sendu. Dia sudah mengetahui bahwa tadi malam, Falri mendonorkan darahnya ke Papa kandungnya. Glen tentu saja tahu, dia punya banyak intel. Jadi, jangan pernah heran jika Glen tahu sendiri tanpa diberitahu terlebih dahulu.Glen berusaha membangunkan Falri. Falri juga butuh makan meskipun sedang sakit.Falri mengerjapkan matanya perlahan. Rasa pusing masih menyergap di ubun-ubun kepalanya. Dia memegang keningnya, mencoba untuk meredakan rasa pusing itu."Eh, bang Glen." Falri menyapa dengan suara serak karena habis bangun tidur dan masih sakit.Glen berdehem pelan. "Gue bangga sama lo, Ri.""Maksudnya, Bang?""Lo pikir gue nggak tau apa yang lo lakuin semalem? Sampai-sampai lo jadi jatuh sakit gini?""Tahu darimana? Gue belum ngasih tahu, deh.""Gue tau sendiri, lah
Sudah sehari semalam, Falri beristirahat di rumah. Dia sudah siap untuk bekerja kembali. Walaupun Glen masih bilang, 'jangan dulu.'Glen menatap khawatir ke arah Falri yang tengah duduk di sofa sembari memakai sepatu."Lo seriusan mau hari ini syutting?"Falri menoleh ke arah Glen. "Daripada di rumah terus, kan? Lagi pula gue udah sehat sentosa gini.""Terus lo bakal klarifikasi tentang gosip di media sosial?"Memang kemarin, lebih tepatnya malam hari. Falri dicerca habis-habisan dengan puluhan pertanyaan dari Glen. Pada akhirnya, Falri lebih memilih jujur meskipun masih ada bumbu kebohongan. Falri hanya mengatakan jika Fani adalah kakak kandungnya sedangkan Jeslyn adalah teman sekelasnya pada zaman SMP."Ya, harus. Demi citra baik gue. Ya, kali gue digosip pakai berita sampah gini,"decak Falri."Lo mau klarifikasi apa? Okelah, kalau masalah Jesyln. Lah, kalau Fani? Lo mau bilang kalau dia adalah kakak kandung lo yang ikut-ikutan buang lo?"
Falri dan Glen tengah makan malam bersama di ruang Televisi. Mereka berdua memakan pecel lele buatan Bu Iy. Bu Iy, seorang pedagang pecel lele di depan area gedung apartemen yang terkenal dengan keenakan dan kemewahan dapargannya. Harga murah, kualitas mewah. Begitu sekiranya kata Bu Iy."Bang." Falri memanggil Glen di sela-sela melahap pecel lele."Apaan?""Gue mau minta suatu hal. Boleh?""Apaan? Jangan aneh-aneh!""Kak Satya belum ngajarin biologi tentang anu. Iya, itu a-anu, lho. Gue pas kelas tiga smp, kan nggak sempat ikut. Terus kelas satu SMA malah ketunda."Guratan kernyitan di dahi Glen kentara jelas. Dia menghentikan makanannya kemudian menegak setengah gelas air. "Anu apaan? Jangan ambigu, deh.""Ih, anu itu. Gimana, ya ngomongnya? Duh!" Falri jadi bingung sendiri.Glen mengedikkan bahu acuh. "Lo pikir dulu apa yang mau lo sampaikan, baru kasih tau gue," kata Glen lalu melanjutkan makannya.Falri mengangguk paham. Fal
Falri menutup pintu yang mengarah balkon kamarnya. Dia meraup wajah kasar. Kemudian mengacak-acak rambut. Sungguh, jangankan berbicara dengan Jeslyn. Bertemu dengannya saja bisa membuat Falri kembali frustasi.Falri membanting semua barang yang ada di kamarnya. Dia berteriak sesukanya. Berusaha mengalihkan rasa-rasa yang saling memberontak. Beruntung kamarnya kedap suara."Sialan, sialan! Gue benci sama diri gue sendiri! Agh!" Falri berteriak terus-menerus sembari melemparkan barang-barang hingga pecah.Kamar yang semula rapi bersih berubah menjadi kapal pecah. Pecahan barang bertebaran di lantai. Tubuh Falri merosot ke lantai. Lagi, lagi air matanya jatuh. Falri kembali menangis."Kenapa harus sesulit ini? Kenapa hidup ini jahat sama gue?" Falri bertanya-tanya pada dirinya sendiri.Falri mengambil sebuah pecahan kaca keramik. Pecahan itu begitu tajam, setajam pisau yang siap menancap dimana pun. Falri tersenyum tipis."Harus banget gue nyakitin diri
***"Pacarnya kak Fani, kan?" tanya Jeslyn, memotong ucapan Glen.Glen mengangguk puas. Falri masih termangu. Berbeda dengan Fani yang berubah geram."Diam lo, bocah!" sentak Fani."A-aku cuma ngomong setahuku aja, kak," jujur Jeslyn seraya memainkan tangannya."Kak Fani," ucap Falri, menatap tidak menyangka ke arah Fani."Gue bisa jelasin semuanya, Ri!""Lo mau jelasin apa?" tanya Glen seraya menatap remeh ke arah Fani. Dia mengeluarkan ponselnya kemudian memecet dan memberikannya kepada Falri. "Lo lihat ini! Video tentang kelicikan tiga serangkai duri."Falri menerima, meneliti video yang berisi perbincangan singkat antara Fani, Mamanya, dan orang yang nyaris mirip dengan Papanya."Gian ... kamu harus kuat, ya. Aku pastiin Falri bakalan mau donorin ginjalnya sama kamu," ucap Fani dengan optimis.Gian mengangguk lemah. "Semoga.""Pokoknya kamu jangan pernah putus asa, menantu tersayang," ujar Dira, Mama Fal
Malam ini, Falri lebih memilih untuk menetap di hotel sementara. Dia masih ingin lari dari masalah yang datang. Falri juga butuh waktu istirahat.Pintu nomor 32. Itu lah kamar hotel yang akan diinap Falri semalaman. Falri masuk ke dalam kamar kemudian menutup pintunya. Dia menghempaskan tubuhnya ke atas kasur empuk.Beruntung dia membawa blackcard dan sejumlah uang merah. Falri menghembuskan nafas kasar. Dia menatap langit-langit kamar dengan perasaan berkecamuk."Mama, Kak Fani, kenapa kalian tega sama Naufal?" tanyanya, lirih.Falri mengusap wajahnya kasar. Dia bangkit dari bangunnya kemudian melangkahkan kaki menuju balkon kamar.Malam ini tidak ada bulan. Tidak ada juga ribuan bintang indah yang bertebaran di langit. Langit malam ini begitu sepi. Ditemani dengan awan-awan mendung yang akan sebentar lagi menurunkan hujan.Falri menikmati udara dingin malam. Dia terus menatap kosong ke jalanan yang masih ramai padat. Begini lah hidup di Jakarta.
Falri dan Deslyn masih berada di taman. Mereka bermain bersama di salah satu tempat permainan di taman. Jeslyn belum menampakkan batang hidungnya.Falri merasa menyesal sekaligus bahagia bisa bertemu dengan Deslyn. Menyesal karena pernah meninggalkan anak kecil seimut ini. Dan, bahagia karena masih memiliki kesempatan untuk bertemu dan berbincang dengan Deslyn. Meskipun sampai saat ini, dia masih belum diakui Papa."Om, Deslyn cape," keluh Deslyn.Falri tertawa. "Terus sekarang mau apa, hm?""Mau makan, Om! Deslyn lapar, hehe."Falri mengacungkan kedua jempolnya. "Kita ke restoran, oke?""Ayo!" seru Deslyn kemudian menggandeng tangan Falri.Falri ikut menggandeng tangan Deslyn. Tangan mereka berdua saling bergandengan. Si tangan mungil dengan tangan orang dewasa.Falri mengeratkan genggamannya pada Deslyn saat menyebrang jalan. Mereka berdua berniat makan di restoran seberang.Sesampainya di depan restoran. Deslyn lan