Falri dan Glen tengah makan malam bersama di ruang Televisi. Mereka berdua memakan pecel lele buatan Bu Iy. Bu Iy, seorang pedagang pecel lele di depan area gedung apartemen yang terkenal dengan keenakan dan kemewahan dapargannya. Harga murah, kualitas mewah. Begitu sekiranya kata Bu Iy.
"Bang." Falri memanggil Glen di sela-sela melahap pecel lele.
"Apaan?"
"Gue mau minta suatu hal. Boleh?"
"Apaan? Jangan aneh-aneh!"
"Kak Satya belum ngajarin biologi tentang anu. Iya, itu a-anu, lho. Gue pas kelas tiga smp, kan nggak sempat ikut. Terus kelas satu SMA malah ketunda."
Guratan kernyitan di dahi Glen kentara jelas. Dia menghentikan makanannya kemudian menegak setengah gelas air. "Anu apaan? Jangan ambigu, deh."
"Ih, anu itu. Gimana, ya ngomongnya? Duh!" Falri jadi bingung sendiri.
Glen mengedikkan bahu acuh. "Lo pikir dulu apa yang mau lo sampaikan, baru kasih tau gue," kata Glen lalu melanjutkan makannya.
Falri mengangguk paham. Falri ikut melanjutkan makannya sembari memikirkan kalimat yang cocok untuk dilontarkannya. Jujur, Falri sedikit malu ingin menyampaikan permintaannya pada Glen.
Mereka berdua makan hingga tanda tersisa. Pokoknya kalau kalian pergi ke dunia orange jangan lupa mampir ke pecel lele Bu Iy. Mantap, harga murah, kualitas mewah. Ihiy!
"Jadi, apa yang mau lo omongin?" tanya Glen penasaran seraya mengusap mulutnya.
"Anu. Gue mau anu."
"Lo mau masturbasi? Heh?"
Falri menggeleng cepat. "Bukan itu!" Falri menghembuskan nafas berat. Seolah-olah apa yang akan diucapkannya adalah masalah berat. "Gue cuma mau ngomong ---"
"Apaan? Jangan lama-lama."
Falri mengerucutkan bibirnya. "Kan, apa yang gue bilang tadi. Gue pas kelas tiga SMP sampai saat ini, belum permah dijelaskan hal anu,"kata Falri, ambigu.
"To the point!" tegas Glen, sudah mulai merasa kesal.
"Gue butuh pembelajaran tentang anu. Iya, anu. Itu, lah, pokoknya!" seru Falri, frustasi sendiri.
Glen mendengus kesal. "Lo mau belajar tentang sex?"
"I-iya. Pembelajarannya aja, serius! Nggak aneh-aneh. Serius, dua ribu rius, deh!" Falri mengucapkan kalimat seruan itu dengan cepat.
Glen tertawa singkat. "Gak usak keringat dingin gitu, deh. Gue tau, kok. Paham, pokoknya."
Falri hanya diam menunduk.
"Bo-boleh, kan?" tanya Falri, takut-takut.
"Kenapa nggak? Toh, sex education emang udah dibelajari para pra remaja sampai remaja. Asal jangan sampai melakukan kesalahan kedua kali!" ujar Glen, menekankan kalimat terakhir.
"I-iya, Bang."
"Udah, gak usah pucat gitu. Kayak abis ngelihat hantu aja, dah."
"Lo, kan, hantunya," ceplos Falri. Dia segera menutup mulutnya lalu menyengir lebar.
Glen memelototkan matanya. "Kurang ajar!"
"Sorry, Bang jago! Ampun, bang jago!" seru Falri dengan nada nyanyian yang tengah viral itu.
Glen mendelik sebal. "Btw, tadi kakak lo ke sini ngapain?"
"Oh ..., kak Fani?" Falri mengangguk-anggukan kepalanya. Lantas dia melanjutkan perkataannya dengan mengatakan, "Gue ada yang mau dibicarain sama lo. Selain, hal tadi, Bang."
"Apa? Tentang keluarga lo, kah?"
"Iya, Bang."
"Gue no comment. Serius, deh."
"Masalahnya ini juga tentang kesehatan gue!" Glen langsun membelalakkan matanya terkejut. "Maksud lo?"
Falri mendesah frustasi. "Kak Fani tadi datang ke sini. Cuma buat minta gue untuk donorin salah satu ginjal gue buat Papa. Katanya, ginjal kanan rusak."
Glen menganga sejenak. Kemudian, mengubah raut wajahnya berubah menjadi serius. "Sebelumnya, nih. Maaf-maaf aja, lo tau bokap lo punya masalah sama ginjalnya, nggak?"
"Maksud lo? Kak Fani mau bohong sama gue?"
Glen mengedikkan bahu acuh. "Gue curiga aja, sih."
"Setahu gue, bokap cuma punya masalah sama jantungnya aja," jawab Falri, atas pertanyaan Glen tadi.
"Terus kenapa nyambungnya ke ginjal?" Falri menggeleng lirih. "Gue gak paham."
"Gue harap lo jangan ambil tindakan dulu. Biar gue cari informasi tentang kebenaran ini, ya. Pokoknya jangan sampai lo ngelakuin tindakan yang gegabah." Glen memberi petuah.
"Kalau misalnya bokap benar-benar butuh donor ginjal gue gimana, Bang? Gue gak mau bokap sakit-sakitan," lirih Falri.
"Kasih waktu gue tiga hari buat pecahin kasus ini."
Falri menatap Glen. "Tapi ---"
"Sehari, deh. Gue nggak mau lo kenapa-kenapa juga, Ri. Lo udah gue anggap sebagai adik kandung gue."
Falri tersenyum haru. Dia mendekati Glen. Kemudian merengkuhnya. Mereka berdua saling berpelukan ala cowok.
Farli dan Glen melepaskan pelukan. Glen tersenyum lebar. Sedangkan Falri mengusap air mata yang hampir saja jatuh.
"Makasih, Bang. Baru dua tahun gue bareng lo. Lo bisa sebaik ini sama gue," ucap Falri, terharu.
Glen tersenyum singkat. Dia mengelus pundak Falri. "Makasih juga karena adanya lo gue bisa kerja."
"Haha ..., bisa ae, lo."
Glen tersenyum kecil. "Lo pas itu ke rumah sakit, kan?"
"Pas donor darah?" Glen mengangguk. "Iya, bahkan gue ngelihat bokap yang lagi tidur,"lanjut Falri.
"Nama bokap lo siapa, sih?"
"Bram. Bramasetyo Pramudiaga."
Glen termangu sejenak. Dia menggelengkan kepalanya cepat. "Tapi setahu gue, yang ada di rumah sakit kemarin itu namanya Gian Wardiaga, lho."
"Maksudnya? Dia bukan bokap gue?"
Glen mengedikkan bahu acuh. "Gue gak tau pasti. Tapi serius gue beneran liat pakai mata kepala sendiri kalau di data itu namanya Gian Wardiaga."
Falri langsung terduduk. Dia memijat keningnya. "Apa lagi ini, ya Allah?"
Glen meninju pelan lengan kanan Falri. "Itu cuma dugaan gue aja. Jangan sedih gitu, lah. Gue yakin lo pasti bisa! Secara gue selaku Abang Glen yang paling ganteng sejagat raya ini selalu di samping lo?"
"Lo gak homo, Bang?" tanya Falri kemudian bergidik ngeri.
Glen menampar halus pipi Falri. "Sekate-kate kalau ngomong!"
Falri tertawa puas.
***
Falri memejamkan matanya, menikmati terpaan angin malam. Ya, saat ini dia berada di balkon kamarnya. Sepi dan sunyi.
Falri memandang bulan dan ribuan bintang di langit. Begitu indah, bahkan sangat indah. Apakah hidupnya nanti akan seindah itu juga?
Falri menoleh ke kiri. Balkon kamar itu milik Jeslyn. Mereka memang benar-benar bertetangga. Tetapi tidak ada yang ingin dibicarakan saat tak sengaja bertemu.
Jeslyn yang selalu kalem. Dan, Falri yang masih bersifat tidak bersahabat pada Jeslyn demi menutupi rasa yang menggorogoti dadanya. Penyesalan, kerinduan, dan cinta selalu terpikat menjadi satu saat bertemu dengan Jeslyn.
"Gue sayang sama lo, Jes," gumam Falri. Dia menatap balkon kamar Jeslyn yang kosong. "Udah dua tahun lamanya, rasa ini masih ada, Jes. Masih bercampur menjadi satu. Buat gue susah mau pilah yang mana dulu."
Falri menghembuskan nafas kasar. "Gue nggak tau harus pilih menyelesaikan rasa penyesalan gue ke lo. Atau kerinduan bercampur rasa cinta ini ke lo. Gue bener-bener bingung, Jes!"
Falri mengusak rambutnya frustasi. Dia menendang angin dengan sembarang. Mencoba untuk mengindahkan rasa-rasa yang ada dalam hatinya saat ini.
Falri mengambil sesuatu dalam saku celananya. Sebuah foto berukuran 3×4 cm. Bukan foto ijazah atau apalah itu. Melainkan foto kebersamaan dengan Jeslyn yang masih dipegangnya.
Falri tersenyum sedih. Mengusap foto itu dengan perasaan yang berkecamuk. Hati dan pikirannya benar-benar tidak sepadan. Foto yang menunjukkan dirinya dan Jeslyn tengah tersenyum lebar seraya melirik ke arah yang berbeda. Masa SMP yang membahagiakan.
"Gue kangen lo, Jes." Falri membasahi bibirnya yang tiba-tiba kering. "Gue pengen ngobrol sama lo. Bercanda bareng sama lo. Gue kangen kayak dulu, Jes."
"Tapi gue malu, Jes! Gue malu!" lanjut Falri dengan nada penuh penekanan. Meskipun begitu, nada itu tetap menyiratkan kesedihan.
"Gue malu karena kelakuan gue sendiri. Maafin gue, Jes," monolog Falri, "Lo benar-benar cewek yang gue cinta. Walaupun gue nggak tau pasti ini cinta monyet atau bukan."
Falri mencium bagian foto Jeslyn. Dia memejamkan matanya. Menikmati kenangan manis yang kembali hadir.
"Gue sayang sama lo, Jes!" Di detik itu juga, setetes air mata meluncur tanpa tercegah.
"Falri nangis?"
Falri mengusap kasar air matanya. Dia menoleh ke sumber suara. Jeslyn.
"Falri, kenapa nangis?" tanyanya.
Falri mengubah rautnya datar. "Kelilipan."
"Kelilipan sampai keluar air mata, ya?" tanya Jeslyn dari seberang balkon kamar Falri.
"Bacot!"
Jeslyn menghela nafas. "Falri, aku pingin bicara penting sama kamu."
Falri mendesis pelan. "Bicara apa? Bicara masa lalu? Udah basi!"
"Tapi ini penting, Ri. Aku nggak mau kamu salah paham terus," ucap Jeslyn
"Apa yang salah, hah? Semua udah jelas! Jangan pernah gangguin gue. Secepatnya gue bakal kirim lo duit. Foya-foya, tuh, sama om-om hidung belang!" ketus Falri kemudian masuk ke dalam kamar.
Jeslyn tersenyum miris. "Andai kamu tau yang sebenarnya, Ri."
***
Falri menutup pintu yang mengarah balkon kamarnya. Dia meraup wajah kasar. Kemudian mengacak-acak rambut. Sungguh, jangankan berbicara dengan Jeslyn. Bertemu dengannya saja bisa membuat Falri kembali frustasi.Falri membanting semua barang yang ada di kamarnya. Dia berteriak sesukanya. Berusaha mengalihkan rasa-rasa yang saling memberontak. Beruntung kamarnya kedap suara."Sialan, sialan! Gue benci sama diri gue sendiri! Agh!" Falri berteriak terus-menerus sembari melemparkan barang-barang hingga pecah.Kamar yang semula rapi bersih berubah menjadi kapal pecah. Pecahan barang bertebaran di lantai. Tubuh Falri merosot ke lantai. Lagi, lagi air matanya jatuh. Falri kembali menangis."Kenapa harus sesulit ini? Kenapa hidup ini jahat sama gue?" Falri bertanya-tanya pada dirinya sendiri.Falri mengambil sebuah pecahan kaca keramik. Pecahan itu begitu tajam, setajam pisau yang siap menancap dimana pun. Falri tersenyum tipis."Harus banget gue nyakitin diri
***"Pacarnya kak Fani, kan?" tanya Jeslyn, memotong ucapan Glen.Glen mengangguk puas. Falri masih termangu. Berbeda dengan Fani yang berubah geram."Diam lo, bocah!" sentak Fani."A-aku cuma ngomong setahuku aja, kak," jujur Jeslyn seraya memainkan tangannya."Kak Fani," ucap Falri, menatap tidak menyangka ke arah Fani."Gue bisa jelasin semuanya, Ri!""Lo mau jelasin apa?" tanya Glen seraya menatap remeh ke arah Fani. Dia mengeluarkan ponselnya kemudian memecet dan memberikannya kepada Falri. "Lo lihat ini! Video tentang kelicikan tiga serangkai duri."Falri menerima, meneliti video yang berisi perbincangan singkat antara Fani, Mamanya, dan orang yang nyaris mirip dengan Papanya."Gian ... kamu harus kuat, ya. Aku pastiin Falri bakalan mau donorin ginjalnya sama kamu," ucap Fani dengan optimis.Gian mengangguk lemah. "Semoga.""Pokoknya kamu jangan pernah putus asa, menantu tersayang," ujar Dira, Mama Fal
Malam ini, Falri lebih memilih untuk menetap di hotel sementara. Dia masih ingin lari dari masalah yang datang. Falri juga butuh waktu istirahat.Pintu nomor 32. Itu lah kamar hotel yang akan diinap Falri semalaman. Falri masuk ke dalam kamar kemudian menutup pintunya. Dia menghempaskan tubuhnya ke atas kasur empuk.Beruntung dia membawa blackcard dan sejumlah uang merah. Falri menghembuskan nafas kasar. Dia menatap langit-langit kamar dengan perasaan berkecamuk."Mama, Kak Fani, kenapa kalian tega sama Naufal?" tanyanya, lirih.Falri mengusap wajahnya kasar. Dia bangkit dari bangunnya kemudian melangkahkan kaki menuju balkon kamar.Malam ini tidak ada bulan. Tidak ada juga ribuan bintang indah yang bertebaran di langit. Langit malam ini begitu sepi. Ditemani dengan awan-awan mendung yang akan sebentar lagi menurunkan hujan.Falri menikmati udara dingin malam. Dia terus menatap kosong ke jalanan yang masih ramai padat. Begini lah hidup di Jakarta.
Falri dan Deslyn masih berada di taman. Mereka bermain bersama di salah satu tempat permainan di taman. Jeslyn belum menampakkan batang hidungnya.Falri merasa menyesal sekaligus bahagia bisa bertemu dengan Deslyn. Menyesal karena pernah meninggalkan anak kecil seimut ini. Dan, bahagia karena masih memiliki kesempatan untuk bertemu dan berbincang dengan Deslyn. Meskipun sampai saat ini, dia masih belum diakui Papa."Om, Deslyn cape," keluh Deslyn.Falri tertawa. "Terus sekarang mau apa, hm?""Mau makan, Om! Deslyn lapar, hehe."Falri mengacungkan kedua jempolnya. "Kita ke restoran, oke?""Ayo!" seru Deslyn kemudian menggandeng tangan Falri.Falri ikut menggandeng tangan Deslyn. Tangan mereka berdua saling bergandengan. Si tangan mungil dengan tangan orang dewasa.Falri mengeratkan genggamannya pada Deslyn saat menyebrang jalan. Mereka berdua berniat makan di restoran seberang.Sesampainya di depan restoran. Deslyn lan
Falri sudah berada di apartemen, atau lebih tepatnya di ruangan TV. Deslyn sudah dibawa pulang dengan Jeslyn sejak sore hari tadi. Sedangkan Glen baru saja pergi keluar. Katanya, ada urusan penting.Falri menguap lebar. Merasa bosan menonton sinetron yang sedang disiarkan di TV. Entah kapan sinetron ini selesai. Selalu saja ada konflik yang diselesaikan dengan cara yang mudah ditebak penonton. Membosankan!Beruntung Falri tidak pernah memerankan sinetron. Dia lebih suka dan memilih menjadi pemeran tokoh film. Uang job peran utama film nyatanya jauh lebih tinggi dibanding pemeran sinetron.Falri mematikan televisinya. Kemudian beralih bermain ponsel. Jemari tangannya berselancar di aplikasi yang membesarkan namanya. Instagram, namanya.Banyak notifikasi spam dari beberapa akun yang tidak dikenal. Dibiarkan saja oleh Falri. Toh, apa peduli dirinya?Falri menghembuskan nafas gusar. Lagi, lagi ponsel tidak bisa mengalihkan rasa bosannya. Dilemparnya p
Falri memilih pulang setelah puas mengelilingi taman kota. Falri menaiki bus dengan tujuan halte dekat gedung apartemen-nya.Falri memasang ear phone di telinganya kemudian menyetel musik bergenre pop. Di tengah menikmati musik, bahu kiri Falri ditepuk.Falri melepas earphone seraya menoleh ke kiri. Falri tersenyum canggung. "Ada apa, ya?""Falri, kan? Aktor film yang lagi booming di media sosial, kan? Yang katanya udah punya anak?"Dari mana dia tau?Falri mengernyit halus. "Maksudnya?""Lho, gak liat postingan terbaru dari akun Si Turah?"Falri menggeleng sekilas."Liat aja, Mas. Saya permisi, mau turun dari bus duluan. Mari."Falri mengangguk seraya tersenyum. Kemudian, jemari tangannya kembali berselancar di akun Si Turah. Falri tercengang saat melihat postingan foto terbaru dari situ.Foto yang menampilkan kebersamaannya dengan Deslyn saat di restoran tadi siang. Falri menahan nafas sejenak, kemudian meneliti foto itu.
Saya bukan Papa-mu.Kalimat singkat itu mampu membuat Falri termangu sejenak. Dia yakin, seyakin-yakinnya jika pria di hadapannya itu adalah Papanya, Bram."Papa, nggak lucu, deh," kata Falri."Saya nggak ngelawak," sahutnya.Falri menggelengkan kepala berkali-kali. "Lantas kalau bukan Papa saya. Bapak ini siapa?""Saya, Gian."Falri tersentak mendengar nama itu. Nama yang saat ini dia benci. Karena orang dari pemilik nama itu, Mama dan Kakaknya berdusta kepadanya.Falri menggeram marah. Dia mencoba menetralkan degup jantungnya. Malam ini, Falri tidak boleh emosi. Demi mencari kebenaran tentang Papanya."Om Gian?""Ya, saya Gian. Kembaran Papa-mu."Falri tersenyum tipis seraya berkata, "Om, sudah sehat?"Om Gian mengernyit. "Saya memang selalu sehat. Memang saya sebelumnya sakit apa?"Yang di video itu? Agh!Jawaban dari Om Gian membuat Falri tercengang. Dia tertampar kasar oleh kenyataan penuh drama ini.
Falri terbangun dari tidurnya saat dibangunkan oleh seorang nelayan. Falri mengucek matanya seraya bangkit duduk. Dia menatap sekitar yang sudah dilauti teriknya matahari.Falri menatap nelayan di hadapannya. Kemudian, menghembuskan nafas panjang."Mas, kalau tidur di rumah saja." Nelayan itu memberi saran.Falri mengangguk. "Iya, Pak. Terima kasih sudah membangunkan saya. Saya pamit dulu."Nelayan itu hanya tersenyum.Falri kemudian berdiri dan mulai melangkahkan kaki. Dia tidak membawa kendaraan. Gedung apartemen dengan tempat ini berjarak sekitar dua kilometer.Setidaknya Falri masih kuat berjalan sampai sejauh itu. Dulu saja dia berjalan kaki dari rumah ke sekolah yang berjarak lima kilometer. Hanya saja berbeda orang di sampingnya.Jika kini tidak ada siapa-siapa. Maka, dulu ada Jeslyn. Jeslyn, cintanya.***Falri sudah berada di depan pintu apartemen. Dia menghembuskan nafas kasar, bertubi-tubi drama datang. Tetapi ap