Ran dan Charlie tengah duduk bersama di dalam kamar. Setelah berbicara dengan Tito sore itu, satu hal yang Ran simpan rapat-rapat 7 tahun yang lalu terkuak ke permukaan.
Charlie meraih tangan Ran. Diusapnya lembut tangan itu sembari menatap lekat wajah Ran.
Rambut hitam panjang milik Ran bergoyang terkena angin malam yang masuk ke dalam jendela. Sepertinya angin itu sengaja membuat rambut Ran bergerak hingga menutupi sebagian wajahnya.
“Ran, terima kasih,” ucap Charlie.
“Hhahaha.” Ran tertawa. “Terima kasih untuk apa?”
Ran menolehkan wajahnya pada Charlie dengan tampang sedikit gugup. Membuat pria itu mengembangkan senyum lebar nan indah karena merasa Ran sangat cantik malam ini.
“Karena surat kamu membuat Papa kamu tahu kalau ….”
“Lie, asal kamu tahu, aku udah move on mengenai masalah itu. Aku nggak ada perasaan apa pun lagi,” ujar Ran berterus terang. Ya, Ra
Ran bergegas keluar setelah selesai bersiap-siap. Saat tiba di luar, papa, kakak, kakak ipar dan juga keponakannya sudah siap-siap untuk berangkat.“Papa,” sapa Ran saat menuruni anak tangga.“Aunty, aku berangkat sekolah dulu sama Mama,” teriak keponakannya Ran. Ran menganggukkan kepala dan melambaikan tangan kepada anak kecil itu.Keluarga kecil Theo pergi dari rumah duluan.“Ran,” panggil Tito sambil berdiri di dekat ambang pintu.“Iya, Pa,” sahut Ran.“Kamu yakin mau bawa mobil sendiri?” tanya pria itu.“Iya Pa, Ran nggak mau repotin Lie terus,” ujar Ran.“Nggak mau repotin Lie atau … supaya kamu bisa bebas pergi ke mana pun?”Ran mengerucutkan bibirnya. “Papa ih …,” keluh Ran.Tito mengusap kepala Ran. “Iya, ini kunci mobil kamu. Eh, tapi Lie mana?” tanya Tito pada putrinya itu.&ld
Ran keluar dari kelas begitu bel pulang berbunyi. Dengan langkah kaki gontai, gadis berambut pendek sebahu berponi tipis itu dibuat kaget dengan kehadiran seseorang yang menunggunya di depan gerbang. Seseorang yang sangat ia kenali dan membuat matanya membulat lebar.Jantung Ran berpacu cepat saat sepasang manik cokelat kelam miliknya menangkap sosok lelaki bertubuh tinggi yang berpakaian casual dan melambaikan tangan ke arahnya. Sudah empat tahun lamanya Ran berpisah. Selama itu, Ran tidak pernah bertemu dengan lelaki itu.Pelupuk mata Ran terasa panas. Ia berpikir kalau yang dilihatnya itu semata-mata hanya mimpi.Ran mengucek kedua matanya. Saat ia melihat lagi, lelaki itu menghilang dari tempat berdiri semula.“Kan, cuma ilusi,” gerutu Ran kesal.“Bukan ilusi, Ran,” ucap seseorang dari belakang membuat Ran kaget.Spontan Ran memutar arah tubuhnya. “Kakak!” serunya dengan suara yang melengking. Namun, c
Tujuh tahun kemudian.“Kemana Ran?” tanya Theo saat melihat sang adik tengah berjalan menuruni anak tangga. Ia yang baru saja keluar dari kamar, terheran-heran melihat penampilan sang adik.“Ran mau pergi ketemu teman-teman SMA. Ada acara reuni, Kak!” seru gadis berambut hitam legam nan panjang itu. Rambutnya bergoyang-goyang ke sana ke mari saat ia berjalan menuruni anak tangga satu persatu. Langkah kakinya terlihat anggun dengan tubuh yang berjalan tidak membungkuk atau membusung. Persis seperti putri-putri yang telah mempelajari etika bangsawan.Bibir tipisnya dipoles dengan lipstik merah muda. Memberikan kesan imut dan manis saat menatap wajahnya yang mulus itu.“Jangan pulang terlalu malam,” titah Theo mengingatkan. Ia tahu Ran kalau sudah melakukan kegiatan di luar, bisa lupa waktu. Lebih tepatnya ia tidak ingat untuk pulang!“Siap Boss!” Ran melayangkan senyum hangat pada sang ka
“Ayo Ran, nyanyi!” seru teman-teman yang lain.“Ayo nyanyi Ran!”“Nyanyi!”Ran kali ini tidak bisa menolak. Ia ditarik oleh beberapa teman-teman perempuannya untuk naik ke atas panggung. Padahal mood-nya sedang tidak bagus. Kalau bukan karena menjaga images, Ran pasti akan pergi pulang sekarang juga.Begitu tiba di atas panggung, Ran merasa pandangannya mengabur. Kepalanya terasa melayang.“Sisi, aku rasanya pusing,” ungkap Ran pada Sisi.“Kamu jangan cari alasan deh, Ran.” Sisi tidak percaya dengan apa yang Ran katakan. Ia pikir temannya itu hanya beralasan supaya tidak jadi bernyanyi. Namun, Ran benar-benar merasakan pusing dan pandangannya sudah mengabur.“Aku nggak bisa berdiri, bantu aku duduk, Si.” Ran memegang tangan Sisi. Lalu, ia bersandar pada gadis bertubuh berisi itu.Hera yang berada di bawah panggung pun bergegas menghampiri.
Ran dibawa masuk oleh Joan ke dalam sebuah hotel bintang lima. Lelaki itu menggendongnya dan bergegas untuk bertemu dengan resepsionis mengambil kunci kamar yang sudah ia pesan beberapa waktu yang lalu.Joan memesan kamar dengan keamanan yang tidak bisa diganggu oleh siapa pun. Malam ini adalah malam yang sangat ia nantikan. Ran akan menjadi miliknya. Ya, hanya miliknya dan selamanya. Begitulah yang tertanam di pikiran Joan saat ini.Begitu tiba di kamar, Joan membaringkan Ran di tempat tidur yang besar dan sangat empuk. Tempat tidur dengan seprai berwarna putih itu sangat kontras dengan dress yang Ran kenakan. Ia terlihat begitu kecil berada atas di sana.Joan menanggalkan satu per satu kancing kemejanya. Otot badannya yang kekar dan roti sobek yang ada berjumlah enam itu terlihat menggoda. Salah, bukan menggoda, karena tidak ada yang spesial dari lelaki itu. Ia adalah lelaki jahat yang mengambil kesempatan dalam keadaan yang seharusnya tidak seperti ini.
“Aku di mana?” tanya Ran begitu ia bangun. Ia merasa asing dengan tempat ini.Ran mengucek kedua matanya. Ia ingin memastikan di mana ia berada sekarang.Ran menoleh ke arah samping.“Apa!” teriak Ran sambil menutup mulutnya. Ia melihat ada punggung yang sangat lebar tanpa ada kain yang menutupi. Seperti punggungnya laki-laki.Cepat-cepat Ran melihat dirinya. Pakaiannya juga sangat berantakan, bahkan ada bagian yang robek.“Oh My God!” jerit Ran tercekat. Matanya membulat sempurna.Ia memandangi punggung pria itu dengan tidak berkedip. Pikirannya bertanya-tanya, perihal apa sebenarnya yang terjadi semalam? Apa saja yang sudah ia lakukan hingga menjadi begini?“Shit! Kenapa aku nggak ingat apa pun?” tanyanya sambil memukul kepala. Ran mencari ingatan mengapa sampai hal seperti ini terjadi, tetapi nihil. Tidak ada yang bisa ia ingat.Tepat saat itu juga pintu kamar te
“Kamu mau apa?” tanya Ran kepada Charlie.Pria itu menjangkau rambut Ran lalu menghirup aromanya. Ia seperti menikmati wangi rambut Ran yang begitu lembut dan menenangkan hidung itu.Ran dengan cepat menepis tangan Charlie untuk melepaskan rambutnya.“Kenapa Ran?” tanya Charlie dengan santai. Seolah apa yang dilakukannya sama sekali tidak salah.“Kamu udah janji kalau nggak akan apa-apain aku,” ujar Ran dengan lantang. Matanya menatap tajam pria itu.“Memangnya aku mau ngapain kamu?” tanya Charlie sambil memajukan wajahnya ke depan—semakin dekat dengan wajahnya Ran.Ran menggeleng pelan. “Nggak tahu,” jawabnya cepat.“Jangan terlalu banyak berpikir, Ran. Kamu kebanyakan melamun,” ucap Charlie sambil mengusap puncak kepala Ran.Charlie pun berbalik dan pergi keluar dari kamar. Ia tidak jadi melanjutkan untuk membantu memasukkan pakaian Ran ke dalam lemari.Ran merasa heran dengan apa yang terjadi, termasuk terhadap reaksi diri
Charlie memperhatikan foto tersebut. Ia menelisik detailnya dengan saksama.Foto itu adalah foto Ran dan Charlie yang tidur di kamar hotel. Foto itulah yang menjadi alasan mengapa papanya Ran sampai datang ke hotel, hingga membuat mereka berdua berakhir dengan pernikahan tanpa rencana.“Lie, dia mengancam akan menyebarkannya. Kalau sampai itu terjadi …?” Ran menatap ke arah Charlie dengan rasa takut yang melingkupinya. Sungguh, Ran benar-benar sangat takut kali ini. Ia tidak ingin reputasi baiknya hancur karena sebuah foto yang entah siapa mengambil gambar tersebut.Di dalam foto itu tidak terlihat jelas wajahnya Charlie, hanya wajahnya Ran yang terlihat jelas.“Jangan khawatir, kita pasti bisa menyelesaikan masalah ini, Ran.” Charlie membawa Ran ke dalam dekapannya. Ran meluapkan air matanya di dada bidang Charlie.Dengan sentuhan yang lembut yang diberikan oleh Charlie pada punggungnya membuat tangis Ran mered