Share

HARI PERTAMA SEKOLAH

Sekolah Nusa Bangsa.

Setelah liburan panjang kenaikan kelas. Kini sudah saatnya semua para siswa kembali ke rutinitas seperti biasanya. Menuntut ilmu pelajaran yang disampaikan oleh Bapak/Ibu guru.

Pagi ini, sekolah Nusa Bangsa tengah mengadakan upacara bendera merah putih seperti biasa yang mereka lakukan setiap hari senin. Seluruh siswa kini sedang menikmati pengibaran bendera merah putih dengan khitmat.

Brug!

Salah satu siswa terjatuh di saat pengibaran bendera merah putih dilakukan. Dengan cepat anggota palang merah remaja langsung membopong siswa tersebut menuju ke arah ruang kesehatan sekolah.

Mereka langsung membaringkan siswa itu dan segera mengendurkan dasi serta membuka sepatunya.

“Bikin teh hangat, cepat!” titah Jelita tegas.

“Baik, Kak.” Salah satu anggota palang merah remaja lainnya langsung menuruti apa yang diintruksikan oleh Jelita. Mereka segera membuat teh hangat serta mencari minyak kayu putih untuk membuat siswa itu tersadar.

Jelita sedikit memberikan minyak kayu putih di area hidung. Serta mengolesi kakinya yang sangat dingin.

Perlahan-lahan siswa itu mulai tersadar. Ia bergumam tak begitu jelas. "Aku ... di mana?" tanyanya.

"Lagi di ruang uks."

Siswa itu diam. Ia memijit pelipisnya yang terasa pusing. Jelita yang paham pun langsung menawarkan teh hangat yang baru saja dibuat.

“Minum teh hangat dulu,” kata Jelita.

Siswa itu langsung tersentak kaget. Ia menatap ke arah Jelita. Tangannya terulur menerima gelas yang berisi teh hangat.

“Diminum," ujar Jelita. Jelita yang melihat siswa itu yang hanya diam saja membuatnya tersenyum manis. "Ayo diminum jangan dilihatin gitu," tambahnya.

Merasa tak enak sendiri membuatnya langsung meminum teh dengan pelan-pelan. "Ma-ma-kasih, Kak," cicitnya pelan.

“Sama-sama. Btw, nama kamu siapa?"

“Shelka.”

Jelita mengangguk pelan. “Ya udah kamu istirahat aja dulu, nanti kalau udah baikan baru ke ruang aula buat kumpul sama siswa lainnya. Biasanya, sih, kalau hari pertama mos bimbingan aja.”

Shelka tersenyum. “Iya, Kak."

Mendadak terjadi keheningan. Shelka merasa risih sendiri saat ini. Sebab, hanya dirinya yang jatuh pingsan saat upacara. Benar-benar memalukan. Tapi mau gimana lagi, ia nggak kuat panas. Kalau kena sinar matahari langsung kepala pusing dan kunang-kunang dengan sendirinya.

Jelita berdeham pelan. "Tiduran aja, santai aja sama anak pmr."

Shelka tersenyum tipis. Shelka merasa benar-benar nggak enak. Yang ia lakukan saat ini hanya memandangi ruang kesehatan sekolah yang begitu tertata begitu rapi.

Merasa upacara bendera merah putih telah selesai. Jelita mencoba melihat ke arah kerumunan siswa yang sedang membubarkan diri untuk menuju ke arah kelas masing-masing. Berhubung masih hari pertama masuk sekolah jadi belum ada kegiatan belajar mengajar

“Litaaaa!” seru Prita.

“Ada apa sih, Prit.”

“Enak yang jadi anggota pmr nggak ikut panas-panasan,” dengus Prita kesal.

“Hahaha, salah lo sendiri dulu diajaki ekstrakulikuler nggak mau.”

“Ya ... gimana dong. Gue, kan manusia termalas sedunia.”

“Ya, udah nggak usah banyak komplen kalau begitu,” sahut Siena. Ia langsung mengeluarkan senjatanya. Bedak dan cermin kecil.

Prita berdecak kesal melihat Siena. "Bedakan mulu lo,” sindir Prita.

Siena tak memedulikan dengan sindiran Prita. Bagi Siena sendiri, bedak dan cermin itu nomer satu yang harus dibawa. Apalagi mereka habis upacara bendera yang panasnya seperti neraka jahanam. Tahu sendirilah, pasti bedak-bedak yang dipakai akan luntur.

“Ada pasien, ya?” tanya Prita sembari melongok ke arah dalam ruang kesehatan.

“Ada. Anak baru.”

“Whoa, gila sih! Anak-anak baru pada cakep-cakep benar deh,” ujar Prita.

“Makanya bedakan biar kita sebagai senior nggak kalah sama mereka,” sambar Siena yang memasukan bedak serta cermin kecil ke saku seragam sekolah.

“Ogah ah, ngeri kerazia sama guru.

“Hahaha, gue kena terus, tapi biasa aja tuh.”

“Lo tuh emang bebal. Udah kena tegur guru juga masih dilakukan terus.”

Jelita yang melihat dua sahabatnya yang adu mulut merasa pusing sendiri. Ia langsung mengajak bicara adik kelasnya yang sama-sama anggota pmr untuk mengurus ruang kesehatan selama dia pergi. Ia akan pergi bersama dua sahabatnya ke kantin.

“Kantin yuk. Laper banget gue belum sarapan,” ajak Jelita sambil memegangi perutnya.

“Nah ini, baru gue setuju,” dukung Prita.

“Yuk, gue juga lagi pengin bakso mang Jaja,” tambah Siena yang sudah berjalan di depan.

Jelita menggeleng kepalanya melihat kelakuan absurd Siena. Masa putih abu-abu Jelita merasa berwarna. Semua itu berkat teman, sahabat serta peran guru di dalamnya.

Suasana kantin saat ini sangtlah ramai, banyak anak kelas XI yang sedang memenuhi bangku kantin. Mereka semua sedang berbincang-bincang mengenai liburan panjang kemarin.

“Duh, bangku penuh semua lagi,” ujar Siena.

“Iya, mendingan ke taman belakang sekolah aja yuk,” timpal Prita.

Jelita sendiri masih diam. Ia memperhatikan kondisi sekitaran, matanya terus mencari bangku kosong hingga tak sengaja ia melihat sosok yang dikenalnya. “Ada bangku kosong kok,” imbuh Jelita. Wajahnya langsung menampilkan senyum yang begitu merekah.

“Mana?” tanya Prita.                             

“Tuh,” tunjuk Jelita dengan dagu ke arah bangku yang sedang dihuni oleh siswa yang terkenal dingin seperti es.

“Hah, gabung sama Matheo?” tanya Siena sedikit ragu. Siena sedikit takut dan ngeri dengan Matheo. Sikapnya tak pernah bersahabat dengan manusia lain selain Lita dan teman dekatnya.

“Iya, emang kenapa?”

“Whoa, lo benar-benar kejam deh. Sama aja lo masukin kita berdua ke danau es yang mendekat aja langsung beku.”

“Ya ... terus gimana dong, Na?”

“Lo mendingan ke sana aja deh, Ta,” tambah Prita.

“Yah, gue nggak enak sama kalian.”

“Yaelah, lo kayak kenal kita baru sejam aja deh,” ujar Siena.

Jelita saat ini merasa bingung, bimbang juga tak enak sendiri. Ia galau memilih untuk pergi bersama dua temannya atau makan bersama Matheo.

“Udah, isi dulu perut lo deh, ngeri pingsan gue,” imbuh Prita yang mendorong Jelita lebih masuk ke arah kantin.

Jelita langsung berjalan pelan masuk kantin, ia menoleh ke arah dua temannya yang melambaikan tangan. Jelita tak langsung menghampiri Matheo, ia memesan mie instan terlebih dulu. Selesai memesan, Jelita langsung berjalan ke arah Matheo.

“Permisi!"

“Lita.”

“Sendirian aja, mana temen lo?”

“Lagi pada di ruang basket.”

“Nah, lo nggak ikutan?”

“Males.”

“Tumben duduk sini, nggak di perpustakaan?”

“Males.”         

“Ck, ngeselin lo, Mat.”

“Kenapa?”

“Jawabnya males-males melulu, nggak ada kata-kata lain apa gimana, sih.”

“Galau gue.”

“Kenapa emangnya?”

“Habis putus.”

Jelita langsung tertawa terbahak-bahak sampai membuat orang-orang di sekitarnya menoleh ke arahnya. Jelita sendiri langsung membekap mulutnya. “Sama Rere?”

“Iya lah, emang sama siapa lagi? Pacar gue dia doang.”

“Ya udah lah, cari aja yang lain. Anak baru banyak tuh yang cantik-cantik. Lo tinggal pilih aja, Mat.”

“Anak kelas sepuluh?”

“Iya lah, masa anak kelas sebelas.”

“Males.”

“Awas, ya, kalau nanti gue lihat lo jadian sama anak kelas sepuluh.”

“Emang mau apa?”

“Mau minta traktir.”

Tak lama pesanan mie instan Jelita datang, Matheo yang melihat langsung mendengus kesal. Ia menatap sahabatnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Lo tahu kan, Ta, kalau makan mie instan itu nggak sehat.”

“Iya, tahu kok, Mat.”

“Kalau tahu kenapa masih dimakan?”

“Pengin.”

Matheo berdecak. Ia langsung merebut mangkuk yang berisi mie instan pake telur sama cabai rawit itu. Matheo segera memakannya tanpa jeda hingga habis tak tersisa.

“Ya, kok! Lo yang makan sih. Kalau mau pesen sendiri dong,” kesal Jelita.

“Terpaksa. Demi kesehatan lo, Ta.”        

“Ck, perut gue lagi laper banget tahu nggak, sih.”

“Ya udah tunggu di sini.” Matheo langsung berdiri. Ia berjalan pergi menuju ke penjual makanan. Ia membelikan makanan untuk Jelita. Selesai membayar, Matheo kembali sambil menaruh makanan itu di depan wajah Jelita.

“Hah, roti?”

“Iya, ini lebih sehat.”

“Duh, Mat. Gue bukan bule kayak lo. Lidah gue Indonesia.”

“Lidah gue juga Indonesia.”

“Nggak asyik lo, Mat.” Jelita langsung pergi dengan membawa roti dan air mineral yang dibelikan oleh Matheo. Jelita akan mencari keberadaan dua temannya itu.

Matheo sendiri hanya menghela napas kasar, ia langsung berjalan keluar kantin setelah melihat sahabatnya tengah merajuk. Ia berjalan menuju ke arah ruang basket. Tanpa Matheo duga ia ditabrak oleh seseorang yang membuat dirinya terdorong sedikit kebelakang.

Brug!             

“Maaf, Kak.”        

“Gapapa, lain kali jalan hati-hati.”

“Iya.”                    

Matheo langsung berjalan pergi, ia meninggalkan perempuan yang masih mengenakan seragam SMP. Tanpa Matheo sadari, perempuan itu langsung berlari ke arah toilet dan menjerit dengan kencang.

“AAAA, gila, akhirnya ketemu juga.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status