Share

HARI PERTAMA SEKOLAH II

Wanita yang tengah menjerit kencang itu adalah Shelka. Dia, Shelka Amanda Pradipta. Wanita yang memiliki obsessi besar untuk mendekati seorang Matheo Demonte Azekiel.

"Sumpah demi apa, tadi Matheo? Matheo kakaknya Clarisa itu, kan?” Shelka tengah menepuk-nepuk pipinya sendiri. Ia merasa seperti habis bertemu Dewa Yunani yang tampannya tiada tara itu. Tanpa Shelka sadari, ia sudah terlalu lama berada di toilet. Alasan ke toilet sebetulnya untuk mencuci muka agar segar.

Klek!

“Eh, lo tadi anak yang pingsan saat upacara, kan?” tanya salah seorang siswa yang sama-sama memakai seragam SMP.

“Emm ... iya.” Shelka meringis tak enak. Belum genap sehari menjadi siswa sekolah Nusa Bangsa sudah terkenal aja. Mana terkenal karena pingsan pula. Sial!

“Kenalin, gue Vita.” Vita mengulurkan tangannya.

“Shelka.”

Mereka sama-sama tersenyum, tanpa sadar mereka tertawa terbahak tanpa tahu apa yang lucu. Mereka pun langsung menghentikan tawanya. Suasana pun langsung sedikit serius dibandingkan tadi.

“Oya, lo mau masuk jurusan apa?”

“Jurusan IPA aja kalau lolos.” Shelka membetulkan rambut panjangnya yang digerai.

“Sama, semoga kita bisa satu kelas.”

“Iya, semoga aja, ya.” Terjadi keheningan. “Btw, udah belum nih? Kita ke aula bareng, yuk?”

“Yuk.”

Kini Shelka merasa tenang, setidaknya ia sudah memiliki teman saat ini. Tidak sendirian lagi seperti tadi. Shelka dan Vita memasuki ruang aula mereka langsung duduk di tempat masing-masing.

Shelka merasa bosan mendengarkan arahan ketua osis yang belum kelar-kelar itu. Tanpa sadar, Shelka melamun dan membayangkan pertemuan dirinya bersama Matheo tadi. Pertemuan tak sengaja. Membayangkan itu membuat Shelka mesam-mesem tanpa sadar.

“Hei! kamu, kenapa cengar-cengir nggak jelas?”

Shelka masih saja tersenyum membayangkan wajah tampan Matheo. Baginya, Matheo itu sosok laki-laki sempurna versinya.

“Hei!”

Shelka merasa terkejut ketika bahunya ditepuk oleh salah satu kakak kelas yang wajahnya bisa dikatakan sangatlah galak.

“Hei! kamu, kenapa cengar-cengir nggak jelas?” tanyanya kembali.

“Eh, maksudnya saya, Kak?”

“Iya, kamu. Siapa lagi? Lagipula anak lain semua anteng memperhatikan ke depan kecuali lo.”

“Maaf, Kak.”

“Perhatikan ketua osis ngomong di depan.”

“Baik, Kak.”

Shelka segera menatap ke arah depan. Ia mulai memperhatikan ketua osis yang berbicara panjang lebar. Shelka mencari-cari lokasi duduk Vita. Ia menemukan kalau Vita duduk deretan depan.

Anjirlah, bisa budek itu si Vita duduk paling depan begitu.

Waktu terus berjalan hingga tak terasa waktu jam istirahat tiba. Seluruh siswa semuanya berhamburan keluar tak terkecuali Shelka.

“Vita.”

“Eh, Shelka.”

“Mau ke kantin, ya?" tanya Shelka. Vita pun hanya menjawab dengan anggukan kepala saja. "Gue belum tahu nih lokasi kantin di mana?” tambahnya.

“Sama sih, eh kenalin temen gue nih. Temen baru kenal juga sih.” Vita memperkenalkan dua orang yang sama-sama pakai seragam seperti dirinya.

Shelka mengulurkan tangan ke arah dua teman Vita secara bergantian. “Shelka.”

“Dita.”

“Shelka.”

“Atika.”

“Nah, mendingan kita ke kantin bareng-bareng, yuk,” ajak Vita memecahkan keheningan.

Shelka mengangguk setuju. Ia juga mengecek ponselnya yang terdapat pesan whatsapp dari seseorang yang selalu menjaga dan melindunginya.

Shaqu : Gimana nih jadi anak SMA?

Shelka : Biasa aja.

Shaqu : Semangat.

Shelka : Pasti dong.

Shaqu : Udah istirahat?

Shelka : Ini mau ke kantin sama temen-temen.

Shaqu : Ya udah, makan yang banyak.

Shelka : Hmm, udah dulu, ya. Nggak enak sama temen-temen.

Shaqu : Ok.

Shelka langsung memasukan ponselnya ke dalam saku seragam. Ia langsung meringis tak enak menatap ketiga teman yang baru saja dikenalnya itu. “Maaf.”

“Gapapa, yuk,” ajak Vita kembali.

Kini keempatnya langsung berjalan menuju ke arah kantin. Meski tak tahu lokasi kantin di mana. Tapi mereka menggunakan insting sebagai seorang siswa. Baginya, kalau banyak siswa berjalan ke arah yang sama itu tandanya kantin. Sebab, kantin merupakan sebuah surga bagi para siswa untuk menggibah. Mulai dari gibahin gebetan, guru bahkan sampai artis idola.

Shelka tanpa sadar melihat Matheo berjalan ke arah atas gedung sekolah. Matanya terus memperhatikan gerak-gerik Matheo. Tanpa sadar senyum Shelka mengembang.

“Hei! Lagi lihatin apaan tuh?" tanya Vita yang penasaran melihat Shelka tersenyum sendiri.

“Ah, apaan sih.”

“Lihatin apaan sih?” Vita langsung mengikuti arah pandang Shelka. Vita tersenyum  paham dengan Shelka yang tersenyum semringah barusan. “Naksir, ya?”

Shelka tersenyum malu-malu. “Iya gitu deh.”

“Pepet aja terus. Pokoknya jangan kasih kendor.”

“Penginnya sih. Tapi bisa nggak, ya?”

“Pasti bisa. Tapi harus lo pastikan dulu nih, ada pawangnya nggak tuh? Secara dia cakep banget begitu.”

“Jomlo, gue udah kepoin dia lama. Makanya gue sekolah di sini.”

“Ya ampun, lo sekolah di Nusa Bangsa gegara tuh cowok?”

Shelka mengangguk lemah. Vita hanya menggelengkan kepala tak menyangka kalau Shelka akan segila ini.

“Kalian ngobrolin apaan sih?” tanya Atika yang kebingungan.

“Cowok tampan,” sahut Vita tersenyum.

“Whoa, mana tuh?” tanya Dita langsung.

“Tuh yang lagi jalan ke arah atas gedung. Lihat, kan?” Vita langsung menunjuk ke arah Matheo beserta teman-temannya.

Dita langsung menatap dan terkejut. “Astaga, kalian memperhatikan Matheo?”

“Lho, kamu kenal? Eh lo kenal?” tanya Shelka langsung bersemangat.

“Kenal lah,” jawab Dita sedikit bangga.

“Ih, kok bisa sih?” tanya Shelka merasa geregetan sendiri.

“Iya, Abang gue temenan sama dia.”

“Hah, siapa Abang lo?”

“Noh, yang rambutnya sedikit kribo.” Dita menunjuk ke arah Abangnya yang berjalan beriringan dengan Matheo.

Shelka tersenyum begitu lebar, entah ini doanya sedang dikabulin atau memang Tuhan sangat baik hingga membuka, kan jalan agar pendekatan kepada Matheo berjalan.

“Udah, kita bahas di kantin aja jangan di jalanan kayak begini,” sambung Vita.

Kini mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju kantin. Ternyata benar felling mereka kalau arah yang banyak siswa kunjungi itu kantin.

Shelka, Vita, Atika juga Dita kini memesan soto ayam untuk mengisi perut mereka. Sambil menunggu pesanan datang mereka gunakan waktu untuk melanjutkan perbincangan tadi.

“Dit, gue minta bantuan lo dong,” kata Shelka langsung.

“Bantuan apa?”

“Mintain nomor Matheo di Abang lo.”

“Duh nggak berani gue,” tolak Dita. Sebab Abangnya itu tipe orang yang pelit jika dipinjam ponselnya.

“Ya, terus gimana, dong." Shelka sedikit lemas. ”Usahain, Dit, please." Shelka begitu memohon juga memelas kepada Dita.

Dita sendiri bingung. Ia garuk-garuk kepalanya yang tak gatal sama sekali. Dita sih pengin membantu, tapikan Abangnya itu lho ngeselin tingkat kabupaten.

“Bantu aja sih, Dit. Kasihan noh anak orang udah mohon-mohon begitu,” ujar Vita yang tak tega melihat Shelka sangat memohon.

“Ya, udah deh nanti gue coba. Tapi, gue nggak janji, ya.”

“Iya, gapapa kok. Makasih banyak, Dit.” Shelka merasa senang. Setidaknya Dita akan berusaha untuk memintakan nomor Matheo.

***

Suasana rooftop kini sangatlah tenang bagi seorang Matheo juga teman-temannya. Apalagi suasana sekolah yang sangat ramai sekali di bawah. Mereka bisa maklum karena jam pembelajaran belum mulai. Jadi, masih banyak siswa yang berkeliaran.

“Mat, ngelamunin siapa sih?” tanya Rendi.

“Kepo lo.”

“Ck, Lita ya?” tuding Rendi selanjutnya.

“Apaan lo, Ren. Lita itu inceran gue ya sejak kelas sepuluh,” sambar Bagus.

“Elah, tapi lo nggak berani tembak dia,” ejek Rendi.

“Ya belum saatnya aja, Ren,” jawab Bagus mencoba mencari alibi. Padahal kalau boleh jujur sih, Bagus sudah nembak Lita sampai 7x. Tapi, ditolak terus menerus. Sengaja Bagus tak menceritakan itu. Malu. Harga diri bisa anjlog nanti.

“Ditolak tujuh kali dia,” ceplos Matheo.

“Njir, Mat,” kesal Bagus. “Bangsat lo,” umpat Bagus kemudian.

“Hahahaha, anjir lah. Udah ditolak bilangnya nunggu saatnya, pret,” kata Rizal meledek Bagus.

“Ah, sialan lo pada,” umpat Bagus kesal. Lebih tepatnya sih malu.

“Jelas lah Matheo tahu segalanya, secara dia teman Lita sejak SMP kalau lo lupa,” kata Rendi sedikit mengingatkan.

“Iya gue ingat pertemanan mereka bangsat,” ujar Bagus.

“Kalau gue nih mendingan milih Prita deh,” sambar Rizal yang memang suka dengan Prita.

“Ah, kampret lo. Suka Prita tapi baru dipelototin aja kabur lo,” sahut Rendi.

“Dari pada lo nggak ada gebetan,” seru Bagus dan Rizal secara bersamaan.

Rendi berdecak kesal. “Ada, belum dapat restu nih dari Kakaknya.” Matanya mengarah ke Matheo yang tengah tiduran di bangku panjang kosong.

“Njir, lo naksir sama Sasha?” tanya Bagus tak percaya.

“Emang kenapa? Dia cantik , baik.” Rendi membayangkan wajah imut dari Clarisa—adiknya Matheo.

“Whoa, nggak setuju gue. Sasha masih kecil. Masih balita. Jadi nggak cocok sama om-om modelan kayak lo,” ujar Bagus menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Anjir, kalian kalau ngomong nggak difilter. Sasha udah gede begitu lo katain balita. Parah lo, Gus.”

Matheo yang tiduran langsung bangkit dan berjalan saja tanpa mengajak ketiga temannya. Semua sikap dadakan Matheo membuat Rendi merasa sangat bersalah.

“Mat, lo mau ke mana?” tanya Rendi berteriak.

“Kelas.”

Rendi menatap ke arah Bagus juga Rizal, “Gara-gara lo nih, Matheo jadi ngambek adiknya kita omongin.”

“Dia mah emang begitu, gila,” bantah Rizal tak terima.

Kini ketiga orang itu langsung mengikuti Matheo untuk pergi ke kelas. Ternyata suasana kelas sangatlah sepi. Hanya ada Jelita seorang yang sedang bermain ponsel.

“Lho, Ta. Lo sendirian aja di kelas. Matheo ke mana?” tanya Rendi yang melihat kondisi kelas sepi.

“Lha, kenapa lo tanya gue. Kan dia sama lo.”

“Tadi bilang dia mau ke kelas, Ta.”

“Mana gue tahu.”

“Ck, sebelas duabelas nih orang. Sama-sama kayak es. Dingin.”

Baru akan berbalik badan. Sosok yang tengah dicarinya justru nongol dari arah belakang. Matheo langsung masuk kelas dan duduk di samping Lita.

“Njir, habis dari mana lo?” tanya Rizal yang berjalan dan duduk tepat depan Lita.

“Toilet.”

“Kita semua cariin lo malahan nemunya si Lita yang lagi sendirian,” kata Rendi.

“Kenapa? Ke toilet harus pamit kalian juga?”

“Hahaha, Nggak lah, gila lo,” elak Rendi.

Bagus sendiri duduk terpisah. Ia tak mau dekat dengan Lita. Ia takut kalau hatinya tak kuat.

“Eh, Gus. Kenapa lo duduknya jauh amat sampai sekilo meter gitu,” ceplos Rendi. Dalam otak Rendi saat ini sudah memiliki ide untuk meledek Bagus depan Lita.

“Deket sama lo ngeri ketularan jelek,” balas Bagus sarkas.

“Whoa, kurang ajar nih bocah,” ujar Rendi pura-pura kesal.

“Kalian ke sini mau adu mulut aja?” tanya Lita.

“Enggak kok, ya udah kita keluar deh.” Rendi langsung mengajak Rizal untuk keluar kelas.

Bagus merasa jika keberadaannya itu hanya akan menjadi nyamuk dua sahabat. Mendingan ia pergi saja. Bagus takut jika hatinya akan ambyar melihat kedeketan antara Matheo juga Lita.

Kini suasana kelas hanya ada Lita juga Matheo saja. Tak ada obrolan yang tercipta di antara keduanya hingga tanpa sadar Matheo langsung menarik tangan Lita ke arah pipinya.

“Kenapa?” tanya Lita.

“Susah move on gue, Ta.”

“Astaga! Cepet-cepet deh cari cewek.”

“Nggak segampang itu. Nyari yang nyaman itu susah.”

“Lha, terus gimana?”

“Nggak tahu.”

Jelita jadi merasa iba juga kasihan dengan sahabatnya ini. Sekalinya suka sama cewek malahan diputusin. Mana pacaran cuma seminggu doang lagi. Miris!

“Ya, udah mendingan lo sibukin diri deh, lagi pula kita udah kelas tiga mau ujian juga, kan?”

“Iya, Ta. Jangan ngomong lagi, ya. Lagi puyeng kepala gue.”

“Ah, sialan lo. Yang ngajakin ngomong dulu juga lo barusan.”

Jelita memperhatikan Matheo yang memang tiba-tiba diam sambil menutup kedua matanya. Ia langsung menepuk-nepuk punggung Matheo dengan sebelah tangannya. Jelita benar-benar kasihan dengan sahabatnya ini. Jelita itu ngeri kalau Matheo akan gila nantinya.

Tak lama, akhirnya bel pulang sekolah berbunyi. Jelita dan Matheo langsung bergegas pulang. Tapi, Jelita merasa heran dengan Matheo yang mengikutinya terus-menerus.

“Ada apa?” tanya Jelita.

“Lo mau ke mana?”

“Pulang.”

“Gue antarin.”

“No! Gue bisa pulang sendiri.”

“Tidak menerima penolakan.” Matheo langsung menarik tangan Jelita menuju ke arah parkiran motor. Ia pun memasangkan helm di kepala Jelita.

Jelita yang diperlakukan seperti anak TK pun hanya diam saja. “Lo kenapa sih?”

“Gapapa, lagi pengin antarin lo aja.”

“Bohong.”

Matheo diam, ia memang sulit untuk berbohong di depan Jelita. “Cepetan naik, Ta.”

Di saat Jelita akan naik ke atas jok motor belakang. Tiba-tiba saja terdengar panggilan yang membuat keduanya menoleh ke arah sumber suara.

“Matheo!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status