Share

PENDEKATAN II

Matheo benar-benar sangat merutuki teman laknatnya itu. Gara-gara dia saat ini dirinya terjebak dengan Shelka di kondisi yang sangat akward.

“Kak Matheo, mau minum?” tanya Shelka mencoba bersikap ramah tamah.

Matheo hanya melirik sekilas tanpa menjawab pertanyaan Shelka sedikit pun. Ia langsung mengeluarkan ponselnya. Mengecek ada pesan masuk atau tidak. Padahal, tanpa dicek pun Matheo akan merasa ada getaran atau tidak pada ponselnya.

Matheo berdecak. “Ren, gue balik, ya.”

“Ya elah, baru juga duduk. Temenin Shelka dulu, lah. Nggak kasihan apa lo anak orang dicuekin begitu.” Rendi terus asyik bermain playstationnya tanpa mau menatap Matheo yang sudah sangat terlihat bosan. “Duduk dulu, lah.”

“Gue ada urusan penting. Waktu gue nggak mau terbuang percuma seperti ini.” Matheo langsung bangkit dari tempat duduknya. Tanpa sadar tangan mungil Shelka sudah menarik lengan Matheo yang membuat Matheo menoleh ke arah Shelka. “Ada apa?” tanyanya sambil mengerutkan kedua alisnya.

“Boleh nebeng nggak? Soalnya sopir nggak bisa jemput.”

Matheo diam saja. Di satu sisi ia ingin menolak tapi sisi lainnya ia tak tega melihat wajah cewek yang sangat begitu memelas di hadapannya.

“Udahlah, Mat. Antarin aja, hitung-hitung lo nolong dia dapat pahala,” ceplos Rendi.

“Iya, Kak,” sambar Dita mendukung dengan anggukan kepalanya.

Matheo mendengkus kesal. “Ya udah cepetan.” Matheo langsung menarik tangannya dari pegangan Shelka. Ia berjalan cepat menuju ke arah depan rumah Rendi.

Berbeda dengan Rendi juga Dita yang langsung bertos ria. Kakak beradik itu sangat senang melihat Matheo mau mengantarkan Shelka. Jelas lah senang. Shelka mengiming-imingi akan mentraktir selama seminggu di kantin sekolah jika Rendi memberikan nomor telepon Matheo.

“Kak Rendi, Dita, gue balik duluan, ya, doain gue berhasil dapatin hati tuh es batu,” ujar Shelka yang pamit kepada orang yang membantu rencananya.

“Sip!” seru kakak beradik itu sangat kompak.

Shelka langsung berjalan menuju ke arah depan rumah Dita. Ia mencoba menahan kuluman senyumnya yang rasanya sulit sekali ia bendung.

Melihat Matheo yang sudah masuk ke mobil, Shelka langsung menyusul dengan gerakan cepat membuka pintu penumpang.

“Seat belt.”

Shelka langsung menarik seat beltnya. Wajahnya tak lupa menatap ke arah Matheo. Bagi Shelka, Matheo itu sosok laki-laki sempurna di matanya. Apalagi sikap jual mahal dia yang membuat Shelka semakin penasaran.

Nggak sia-sia gue sekolah ke Nusa Bangsa. Akhirnya orang yang gue kagumi sejak SMP bisa gue pandang dengan jarak yang begitu dekat seperti ini.

Rasanya saat ini Shelka ingin menjerit histeris. Shelka hanya bisa berbicara melalui hatinya yang tengah berbunga-bunga tak karuan.

“Rumah lo daerah mana?”

“Pe-pe-jaten.”

Matheo langsung menancapkan gasnya menuju ke arah Pejaten. Tak ada obrolan yang tercipta di antara keduanya. Baik Matheo maupun Shelka sama-sama terdiam. Padahal dalam lubuk hati Shelka ingin sekali berbincang-bincang dengan Matheo. Tapi, melihat sikap dingin Matheo membuat ia jadi takut sendiri.

“Ke arah mana?”

“Belok kiri terus rumah nomor 24.”

Matheo mengikuti apa yang dikatakan cewek di sampingnya itu. Setelah melihat nomor rumah yang sesuai, Matheo langsung berhenti di depannya.

Shelka menelan ludahnya gugup, ia menoleh ke arah Matheo yang masih saja menatap ke arah depan. “Kak, makasih banyak atas tumpangannya. Maaf sekali kalau merepotkan,” kata Shelka hati-hati.

“Udah cepetan turun!”

Mata Shelka langsung melotot tak percaya. Ia pikir akan dapat jawaban dengan ucapan manis dan lemah lembut, ternyata dapat kata-kata pengusiran.

Shelka langsung melepaskan seat belt dengan wajah masam. Ia menoleh kembali ke arah Matheo. Merasa akan percuma saja jika ia berbicara akhirnya Shelka keluar mobil. Matanya masih memandangi mobil Matheo yang masih belum jalan.

Matheo sendiri menurunkan kaca jendela mobil, ia menoleh ke arah Shelka. “Lain kali nggak usah ngeribetin gue lagi.” Bersamaan dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya, Matheo pun menancapkan gasnya dengan kencang yang membuat Shelka begitu terkejut.

“Apa tadi dia bilang? Nggak suka direbetin? Lagian gue nggak ngeribetin kok, gue cuma mau usaha buat mendekati orang yang gue sayang aja. Emang salah?” Shelka bermonolog sendiri.

Shelka menggelengkan kepala, sepertinya usaha untuk mendekati Matheo butuh perjuangan dan kerja keras lagi. Apalagi respon Matheo yang sangat tidak welcome kepadanya. Ah, sialan!

***

Kini setelah makan malam keluarga Matheo langsung masuk ke kamarnya. Hal yang ia lakukan saat ini adalah menatap langit-langit kamarnya sembari ingat kenangan bersama sang mantan kekasihnya itu.

Tok! Tok! Tok!

“Masuk.”

Klek!

Clarisa masuk dengan wajah sangat gembira. Ia segera menutup kembali pintu kamar kakaknya itu. Clarisa langsung berlari dan membantingkan dirinya di samping Matheo.

“Kak.”

“Iya, Sha.”

“Aku mau nonton konser nih, tapi uangnya kurang.”

Kening Matheo langsung mengerut. “Konser BTS?”

“Iya, Kak. Tambahin, ya?” Clarisa langsung memiringkan posisi tubuhnya menghadap ke arah Matheo.

“Iya, emang kurang berapa?”

“Dikit kok, cuma sejutaan aja.”

“Hah, sejutaan? Kakak kira kurangnya dua ratus ribuan.”

“Kan, aku maunya nonton di depan, Kak.”

“Ya udah nanti Kakak tambahin.”

“Asik! Makasih banyak Kak Mamat,” ujar Clarisa yang langsung memeluk Matheo dengan sangat erat. Matheo yang merasa tercekik karena dipeluk erat pun langsung mencoba melepaskan diri.

“Sha, lepasin dong. Kamu mau meluk Kakak apa mau bunuh Kakak, sih.”

“Hehehe, maaf.” Clarisa langsung melepaskan pelukannya. Ia sangat senang sekali. Akhirnya impian untuk bertemu para oppa Korea akan segera terwujud. Selama ini Clarisa hanya bisa mengagumi para oppa dari youtube saja. “Im coming Jungkook,” teriak Clarisa.

“Berisik, Sha!”

“Aku lagi senang soalnya. Bentar lagi mau ketemu sama para pacarku, Kak.”

Matheo hanya menggelengkan kepalanya saja melihat adiknya suka sekali mengkhayal tentang para artis atau boyband Korea.

“Dah malam, Sha. Tidur sana. Jangan kebanyakan mengkhayal nanti gila.”

Clarisa berdecak kesal. “Kakak mah ngeselin. Namanya juga lagi senang.”

“Yaudah, ini sudah malam waktunya istirahat. Besok sekolah nanti kamu dibangunkan susah lagi.”

Clarisa cemberut dan merasa kesal. Ia langsung berjalan keluar kamar Matheo dengan kaki yang sengaja dihentak-hentakan agar Kakaknya itu paham kalau dirinya sedang mengambek.

Melihat kalau Clarisa sudah keluar dari kamarnya membuat Matheo bernapas lega. Clarisa memang sangat manja dengan dirinya. Apalagi hidupnya yang tak pernah keluar rumah. Pernah sih keluar, tapi dalam pengawasan ketat oleh Daddy Melviano. Entahlah, kenapa Daddy memperlakukan Clarisa seperti itu.

Matheo yang baru akan memposisikan diri untuk tidur namun terganggu dengan ponsel yang bergetar dan tak lama lampu indikator notifikasi menyala yang menandakan adanya pesan whatsapp masuk. Matheo sengaja tak langsung mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas. Ia diamkan selama kurang lebih sepuluh menitan.

Drrrt ... drrrt ...drrrt.

“Siapa sih?” Matheo merasa penasaran sendiri dengan orang yang mengirimi dirinya pesan whatsapp. Saat ia buka hanya ada chat dari nomor yang tak ia kenali. Kening Matheo mengerut dalam saat membaca pesan chat tersebut.

081611670xx : Pink

081611670xx : Hai

081611670xx : Helo

081611607xx : Malam

081611670xx : Yah, gak dibales.

Matheo yang melihat rentetan pesan itu hanya menggelengkan kepalanya saja. Bagi Matheo kalau mendapat pesan nomor tak dikenal mendingan tak usah direspon. Matheo langsung meletakan kembali ponselnya dan tak lupa untuk menon-aktifkan terlebih dulu. Baru saja akan memencet tombol non-aktif ponselnya langsung bergetar hebat. Matheo langsung berdecak kesal.

“Halo, siapa ini?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status