"Sara!" panggilan itu mengejutkan Sara, tepat ketika kedua kakinya menginjakkan ruang tamu apartemen.
"Kakak?" kedua manik itu mengerjap terkejut atas keberadaan sang kakak di apartemennya.
Kim Jooin, sang kakak beranjak dari duduknya. "Kau dari mana? Aku menunggumu sejak tadi." Menatap Sara penuh selidik.
Untuk beberapa saat Sara berpikir, otaknya berputar mencari alasan untuk ia berikan pada kakaknya yang kelewat posesif ini. Hingga ia teringat dengan sesuatu yang ia bawa.
"Aku baru membeli es krim di depan," katanya tersenyum lebar sambil menunjukkan kresek berisikan es krim yang untungnya sempat ia beli beberapa saat lalu.
Sara berjalan mendekati Jooin, masih dengan cengirannya. "Kakak mau?" tawarnya, menyodorkan satu cup es krim tiga rasa tersebut.
"Tidak," tolak Jooin.
Sara memutar bola matanya malas, baru ingat jika Jooin sangat tidak menyukai es krim. "Ya sudah."
Untuk beberapa saat, keduanya larut dalam keheningan. Sara membuka cup es krim dengan raut acuh, sedangkan Jooin yang terus saja memerhatikan gerik Sara tanpa berkedip.
"Kenapa kau tiba-tiba ingin tinggal di sini?" Pada dasarnya, Jooin memang sudah tidak tahan ingin menanyakan hal ini. Tujuan utamanya datang ke apartemen milik adiknya adalh menanyakan perihal itu.
Mulut Sara terbuka sedikit, hendak mengatakan jawaban yang mungkin kini sangat Jooin nantikan. Namun gadis itu urungkan, kembali menutup rapat bibirnya.
Reaksi yang Sara berikan memunculkan berbagai macam spekulasi beterbangan di benak Jooin. Adik satu-satunya itu terlihat sedikit aneh. "Sara, aku bertanya padamu." Jooin mengingatkan.
Sejurus kemudian Sara mengerjap pelan, menghela napas. "Tidak ada, aku hanya ingin tinggal di sini. Kakak tahu sendiri, jarak kantor ayah dan rumah terlalu jauh. Itu sungguh melelahkan, harus pulang-pergi setiap hari," katanya diakhiri decakan pelan.
Jooin mengangguk singkat, membenarkan pernyataan yang Sara berikan. "Kalau begitu, biar aku saja yang mengantarmu." Jooin mencoba bernegosiasi, lelaki Kim itu masih saja bersikap posesif. Tidak membiarkan adiknya tinggal jauh dari jangkauan kedua orang tuanya.
Sara menyimpan cup es krim yang sebelumnya berada di tangannya, tengah ia nikmati. Lalu menoleh pada Jooin yang duduk di sebelahnya, menatap jengah sang kakak. "Tidak, aku tidak mau," tolaknya, tegas.
"Lagi pula, ayah dan ibu sudah mengijinkan aku," tambahnya lagi sambil mengangkat bahunya acuh.
Jooin menghela panjang. Sepertinya ia kalah. Baiklah, sepertinya Sara menang kali ini. Pria itu akan membiarkan adiknya tinggal di sini, tapi ia pastikan itu hanya sementara.
"Baiklah, aku rasa percuma juga kalau aku terus memaksa. Bahkan, jika aku memohon dan mencium kedua kakimu sekalipun, aku yakin kau akan tetap keras kepala," katanya diakhiri dengkusan tipis.
Mendengar hal itu, Sara sontak tersenyum lebar, hingga menenggelamkan manik cokelatnya. "Nah, itu kakak tahu."
Tanpa berkata lagi, Sara segera beranjak dari duduknya, meraih lengan Jooin, memaksa agar lelaki itu bangun dari duduknya. "Nah, sekarang kakak bisa pergi," ucapnya halus, namun menyiratkan sebuah pengusiran.
Jooin tidak mengatakan apa pun, lelaki itu hanya pasrah bahkan ketika Sara mendorong punggungnya, berjalan ke arah pintu keluar.
"Go, go, go!" Kata Sara setengah berteriak antusias.
Bahkan, ketika Jooin sudah sampai di bagian luar apartemen. Wajah Jooin masih terlihat tidak terima dan Sara sendiri sudah biasa melihatnya. Jooin memang selalu seperti ini, memperhatikannya dengan berlebihan.
"Pulang sana!"
Sara menggerak-gerakkan tangannya mengusir Jooin, sebelum kemudian menutup pintu apartemen tepat setelah Jooin mulai berjalan menjauh dari jangkauannya.
Sara menutup pintu apartemen, tepat ketika pintu tertutup rapat, wajahnya yang sebelumnya tersenyum manis, berubah mengerut tidak senang. Tanpa menunggu lagi, Sara dengan cepat berlari menuju kamar mandi.
Sebelumnya, Sara menahan mati-matian perutnya yang bergejolak dan mual, tidak ingin memperlihatkan bagaimana menyedihkan dirinya saat ini di hadapan Jooin. Semuanya hanya akan menjadi lebih rumit jika Jooin sampai masuk ke dalam masalahnya. Cukup ayah dan ibu yang membuat Jooin kelelahan setiap malam, tertekan akan segala tuntunan dari kedua orang tuanya. Makanan yang beberapa saat lalu Sara makan terpaksa harus keluar lagi. Perutnya melilit perih, rasa pahit di tenggorokannya terasa mencekik. Belum lagi dengan kepalanya yang terasa pening bukan main.
Sara terus memuntahkan isi perutnya, sampai hanya cairan bening yang mampu Sara keluarkan. Kedua kakinya lemas, masih dengan sisa-sisa rasa mual itu Sara terjatuh merosot. Tak berapa lama, isakan lirih mengalun dari bibir tipisnya.
Semua ini terlalu sulit untuk ukuran orang seperti Sara yang tidak tahan pada tekanan dan benci konflik. Semua tekanan ini di luar kemampuannya, dan semua ini bermula ketika untuk yang pertama kalinya Sara akhirnya bisa dekat dengan seseorang yang selama ini hanya bisa ia perhatikan dari jauh.
Ethan Lee. Semuanya berubah sejak Sara mengenal sosok Ethan.
...
Hari itu, Sara masih mengingatnya dengan begitu jelas. Hari di mana untuk pertama kalinya Ethan benar-benar menatap matanya, menangkap basah Sara yang tengah menatap intens tanpa berkedip.
Dulu, sebelum semua ini menjadi kacau. Sara sempat tidak bisa tidur semalam setelah kejadian hari itu, menjadikan hari itu sebagai hari terbaiknya sepanjang masa.
Jelas-jelas usia Sara tidak lagi remaja, ia sudah dua puluh dua. Bukan lagi remaja sekolahan yang di mabuk Cinta, tetapi mengingat bagaimana pribadi Sara yang jauh dari kata dewasa semua itu terasa biasa saja.
Tapi, bukankah cinta memang datang tanpa memandang usia maupun waktu?
Hari itu, tepat hari di mana keluarga besarnya mengadakan pesta perayaan ulang tahun perusahaan. Hari di mana kedua orang tua Sara mengumumkan bahwa putri bungsunya akan segera melaksanakan pertunangan tidak lama lagi.
Ah, ya, Sara di jodohkan oleh kedua orang tuanya. Sara itu gadis yang benci perdebatan, benci konflik dan enggan menyerukan haknya. Maka, di saat kedua orang tuanya memerintahkan agar Sara menerima perjodohan itu, Sara tanpa banyak kata hanya mengiyakan meski demikian ia sendiri benci berada di posisi itu.
Karena Sara tahu dengan sangat amat baik, jika penolakannya hanya akan berujung percuma, itu jelas hanya akan mendatangkan perdebatan panjang yang melelahkan. Dan akhirnya Sara akan tetap menuruti perintah ayahnya bagaimanapun juga.
"Kita bertemu lagi."
Suara dalam itu membuat Sara mengulas senyum kaku di bibirnya, merasa malu karena tertangkap basah terus-menerus memandangi si lelaki di antara ramainya tamu.
Sara menatap uluran tangan yang sosok itu berikan dengan ragu, meski dalam hati ia sangat ingin meraih telapak tangan hangat itu.
Sara sempat menjabat tangan itu di pertemuan pertamanyaㅡlagi.
Dengan sedikit ragu, Sara menerima uluran tersebut. Tersenyum canggung mendapati tatapan mengintimidasi sosok itu tidak meninggalkan wajahnya.
"Masih mengingat namaku 'kan?" Si lelaki mencoba memastikan.
Sara menarik kembali tangannya, masih dengan senyum canggung di bibirnya. "Ethan Lee. Benar 'kan?"
Ethan balas tersenyum tipis, dan itu tidak luput dari perhatian Sara. Sejak pertemuan pertama malam itu, senyum itulah yang sampai hari ini masih melekat di benak Sara, yang telah membuat Sara kesulitan memejamkan mata di malam hari, ketika bayangan senyuman itu terus-menerus menghantuinya di setiap matanya berkedip.
Meski suara riuh rendah orang-orang di sekitar begitu bising, Sara menyadari dirinya telah terhipnotis oleh senyuman itu, tenggelam pada sosok yang kini menatapnya dalam dengan seulas senyum tipis.
"Selamat atas pertunanganmu," Ethan adalah orang yang memulai pembicaraan setelah beberapa saat keduanya saling beradu pandang.
Sara mengusap lengannya pelan. "Ah, iya. Terima kasih."
"Sebenarnya aku terkejut mendengar kabar ini. Dan juga, aku sepertinya harus menyerah." Suara Ethan setengah berbisik, satu tangannya menggaruk pelipisnya canggung.
Pendengaran Sara tidak rusak 'kan? Penuturan Ethan benar-benar mengacaukan kinerja jantung Sara tanpa bisa di cegah.
Sara telah terjebak pada pesona Ethan ...terjebak ke dalam permainan yang kelak akan membawanya pada kesengsaraan tak berujung.
[]
Tiga hari berlalu setelah Sara memutuskan untuk memberitahu tentang kehamilannya pada Ethan, namun lelaki itu masih tidak memberikan respon apapun ataupun juga menghubunginya. Seharian Sara memandangi ponselnya, harap-harap Ethan menghubunginya atau setidaknya mengirimkan pesan singkat.Ethan seolah-olah telah membuangnya begitu saja, dan pergi dengan menyuguhkan pemandangan punggungnya yang menjauh hilang.Namun tidak ada pesan apapun, Ethan seperti tenggelam bak batu yang di lemparkan ke danau. Padahal dulu, saat hubungan Sara dan Ethan masih seperti biasa. Ketika Sara masih sering mengunjungi apartemen milik Ethan hampir setiap malam, dan menghabiskan malam di sana. Ethan selalu mengiriminya pesan setiap saat, tanpa henti.Tetapi kini, nihil. Hanya ada puluhan pesan dari Jooin yang masih saja meneror Sara dengan segala macam pertanyaannya, menyuruh agar Sara makan tepat waktu, tidur tepat sebelum jam sembilan malamㅡJooin benar-benar memperlakukan Sara sep
Lagi, lagi, dan lagi.Morning sicknessitu membuat Sara kelabakan, walaupun tidak seburuk beberapa hari belakangan. Meski begitu, tetap saja ini menjengkelkan. Setiap kali Sara menelan sedikit saja makanan, maka beberapa menit selanjutnya akan keluar kembali dengan sia-sia.Untung saja Sara masih bisa memakan buah-buahan sebagai pengganti nasi, jadi gadis itu tidak perlu khawatir dengan perutnya yang tidak mendapatkan asupan cukup, di tambah vitamin yang Dokter Park berikan.Ah, dokter tampan itu. Dia kenalan Ethan, meski tidak terlalu dekat. Sara masih ingat betul penuturan Dokter Park saat Sara pertama kali mengetahui tentang kehamilannya, ketika ia mengecek kesehatannya.'Kondisi fisikmu yang tidak baik, berpengaruh terhadap janinnya. Dia menjadi lemah. Karena itulah morning sickness-mu jadi separah itu.'Sara tidak menyalahkan janin yang baru berusia lima minggu lebih, yang kini bersemayam di rahimnya, tidak juga menyalahka
Aroma familier memenuhi penciuman Sara, tepat ketika ia perlahan membuka kedua matanya. Dan yang ia dapatkan adalah kepalanya yang berdenyut, setelah kesadaran menyeret Sara dari alam bawah sadar.Rumah sakit, batin Sara. Ketika penciumannya sadar pada aroma obat-obatan yang ia hirup, juga ngilu di tangannya kanannya yang berasal dari jarum infus.Dojun! Sontak Sara bergerak bangun, meski denyutan di kepalanya semakin menjadi. Mendadak Sara menjadi cemas. Lelaki itu, jika memang Dojun yang membawanya, besar kemungkinan Dojun tahu kondisinya saat ini.Sara menatap panik seluruh ruangan, namun di sana tidak ada siapa pun selain dirinya. Dojun tidak ada di sini, dan itu semakin membuat Sara tidak bisa menenangkan dirinya.Sara tanpa sadar memainkan jemarinya, maniknya menatap penuh cemas pada pintu yang tertutup rapat.Sampai ketika beberapa lama berlalu, ketika Sara tengah mencoba meredakan ketegangan yang memenuhi dirinya. Pintu tersebut terbuka leb
Hari itu Sara kembali bertemu Ethan lagi, setelah selama hampir satu bulan mengenal lelaki Lee itu. Sara semakin terpesona pada Ethan, Sara akui Ethan itu terlalu memikat. Ethan Lee sangat sulit untuk di abaikan begitu saja.Di dalam mobil yang penuh dengan aroma Ethan. Sara mulai berpikir. Mungkin, Ethan merupakan sebuah pilihan yang takdir berikan padanya. Sara benar-benar buntu, kepalanya mulai gila karena memikirkan itu.Sara berharap, dalam sudut hatinya. Mungkin Ethan lah orangnya, yang akan membawa Sara keluar dari lingkar keluarganya yang teramat menuntut.Berharap, kedatangan Ethan membuat keadaan menjadi lebih baik. Seperti yang terjadi di dalam drama atau novel-novel picisan. Ethan datang, menyelamatkannya dari perjodohan konyol ini.Terdengar tidak masuk akal, jelas itu hanyalah angan yang mampir di benak Sara. Wanita itu terlalu kalut."Aku harus mampir ke suatu tempat, tak apa 'kan?" Et
Pagi ini, seperti biasa Sara harus menghabiskan waktunya di kamar mandi selama hampir satu jam lamanya, memuntahkan semua sarapan yang bahkan baru beberapa suap masuk ke dalam mulutnya.Menyiksa, tentu saja. Hanya saja, Sara tidak keberatan dengan itu. Entah itu morning sickness yang kata dokter tidak seperti wanita hamil lainnya, mengingat daya tahan tubuh Sara tidak bagus. Ataupun pening yang selalu menderanya di sela-sela waktu bekerja, Sara sudah terlalu biasa dengan segala jenis kesakitan. Seolah sakit raga maupun batinnya sudah menjadi makanan Sara setiap harinya.Sara mendongak, menatap pantulan dirinya di cermin. Melihat dengan jelas bagaimana menyedihkan dirinya, rambut yang di kuncir asal, kantung mata hitam melingkar, juga sudut bibirnya yang masih memperlihatkan luka bekas tamparan ayahnya kemarin.Dengan langkah gontai, Sara membawa kembali dirinya ke dapur. Sepertinya hari ini Sara tidak bisa makan bubur lagi, itu hanya akan berak
Suara gemericik air yang berasal dari arah kamar mandi memecah keheningan suasana kamar milik Sara, menandakan jika seseorang di dalam kamar mandi sana masih melakukan aktivitasnyaㅡmandi.Sedangkan si pemilik kamar, hanya bungkam dengan selimut membalut tubuh polosnya. Irisnya sesekali mengerjap, menatap tanpa ekspresi pada jendela kamar, di mana matahari semakin tinggi.Ethan benar-benar membuktikan ucapannya, dia menyentuh Sara dengan begitu kasar. Menunjukkan dengan jelas kepada Sara, jika Ethan murka.Dalam setiap sentuhannya, Ethan seolah memberitahu Sara. Bahwa Ethan murka, marah, kesal, dengan terang-terangan di ujung pelepasannya di barengi sebuah tamparan Ethan mengatakan sumpah serapah, jika ia begitu membenci Sara.Sara tidak peduli, entah itu pada ungkapan kebencian Ethan di saat klimaksnya. Ataupun perlakuan kasarnya pada tubuh Sara, begitu juga ucapan menyakitkan yang acap kali keluar dari bibir Ethan.Yang Sara khawatirkan h
‘Jadi, maksudmu dia hamil anakmu begitu?'"Mungkin." Nada suara Ethan terdengar tidak meyakinkan untuk si lawan bicara.'Eh? Kau terdengar tidak yakin. Ah, sudah kuduga, akhirnya kau mendapatkan karma eh?'"Aku tidak tahu harus melakukan apa, yang terpikirkan olehku hanya menyuruhnya membunuh anak itu."Seseorang di dalam panggilan itu tertawa rendah singkat seolah ucapan mengerikan Ethan bukan hal serius, kembali membalas.'Karena itu kau menghubungiku, begitu? Kau butuh solusi Tuan Lee?'"Sepertinya."Si lawan bicara tidak memberikan balasan lagi, untuk beberapa saat hening menyelimuti keduanya.'Ya Lee Ethan.'Si lawan bicara berkata dengan nada meremehkan,'Kau ini Ethan Lee, si pengusaha muda sukses yang memiliki harta berlimpah di setiap sudut tempat. Kau memiliki segalanya.'Kening Ethan berkerut tidak mengerti mendengar penuturan orang itu, "Lalu? Janga
Perasaan bangga memenuhi diri Ethan, kedua tungkainya melangkah lebar dengan sudut bibir terangkat. Menyusuri koridor yang sedikit lenggang, mengingat jam kerja kantor di mulai satu jam lagi. Tentu, ini masih terlalu pagi untuk para pegawai datang.Perasaan Ethan sedang dalam keadaan baik, bahkan sangat baik. Sampai-sampai mendadak jadi begitu bersemangat datang ke tempat kerja lebih awal, tidak seperti biasanya.Entahlah, Ethan hanya sedang merasa senang. Ini lebih dari sekedar memenangkan tender dengan nilai selangit. Perasaan ini, lebih dari itu.Alasannya sederhana, hanya membayangkan Kim Sara dalam genggamannya, miliknya, seutuhnya.Ada apa dengan dirinya? Mengingat itu semua saja, sudah mampu membuat Ethan menyeringai tipis, di sela-sela langkahnya yang melangkah di koridor.Ahh, itu sungguh luar biasa.Batin Ethan.Ethan terlalu fokus pada lamunannya, sehingga t