"Dokter Satria Samudera, selamat menempuh hidup baru." Alfredo menyalami tangan Satrio sedangkan wajahnya terlihat dingin dan menyebalkan. "Untuk ukuran seorang playboy, cara pernikahanmu benar-benar luar biasa."
"Cara menikah yang sangat hina untuk standarmu yang biasanya cerewet." Raphael yang biasanya cenderung malas berbicara, kini bisa menyela.
"Jangan minta untuk dipanggil Satrio lagi karena Satria lebih cocok buatmu setelah pernikahan spektakuler tadi," Alfredo meneruskan.
"Kalian berdua benar-benar menyebalkan. Aku kira kalian selalu mendukungku." Satrio memprotes kelakuan temannya seraya meninju lengan mereka bergantian.
"Kami memang mendukungmu, jangan khawatirkan hal itu. Ayo, Al, kita kembali kerja. Biar saja pengantin baru ini bulan madu di sini." Raphael berlalu tanpa merasa perlu menunggu jawaban.
Alfredo menyusul kemudian setelah menepuk bahunya sekilas seolah memberikan dukungan. Satrio yang paham dengan kelakuan ajaib teman terbaiknya itu cuma bisa mengedikkan bahu. Setelah semua reaksi temannya barusan, pada akhirnya dia menyadari sikap spontannya yang setuju begitu saja untuk menikahi Ocean bisa jadi adalah sebuah kekeliruan.
Bukan perkara mudah bagi Satrio begitu bertemu lagi dengan Ocean setelah 6 tahun berlalu. Satu-satunya gadis yang pernah menolak cintanya dengan alasan dia terlalu ramah pada wanita. Benar ... Satrio memang terlalu ramah pada wanita, tetapi Ocean meninggalkan Satrio tanpa mendengarkan penjelasan apa pun.
Satrio kembali ke dalam ruang rawat mertuanya dan mendapati Ocean tengah bersandar di bahu ibunya, khas gadis-gadis rumahan yang hanya tahu segala sesuatu dari sang ibu. Bapak mertuanya yang tertidur pulas seolah memberitahukan bahwa dia tidak bisa berada di sana untuk waktu yang lama.
"Ada yang ingin kamu sampaikan, Ocean?" Satrio menoleh ke arah Ocean dengan pandangan mata yang sedikit tajam. Bibirnya terkatup rapat setelah kalimatnya berakhir dan menyisakan ekspresi tanya.
"Ya." Hanya satu kata itu yang diucapkan oleh Ocean. Kepalanya yang tertunduk membuat Satrio sedikit berang. Memangnya dia tidak tampan, hingga istri yang belum genap satu jam dia nikahi sudah tidak mau melihat wajahnya?
"Ayo, ikut aku," ajak Satrio seraya melangkah keluar dari ruang rawat mertuanya diikuti oleh Ocean.
Satrio yang pada dasarnya sangat ramah kini terlihat dingin. Melangkah sepanjang koridor rumah sakit dengan tangan sang istri dalam genggaman dan hanya memperlihatkan anggukan kecil manakala seseorang menyapanya. Tidak ingin repot-repot bepikir Ocean mampu mengimbangi langkah lebarnya atau tidak, pada kenyataannya gadis yang baru diperistri olehnya itu tengah berjalan setengah berlari mengikutinya.
Sinar matahari menyelinap melalui jendela dengan vertical blind berwarna hitam. Sebuah ruangan berukuran 32 meter persegi yang dilengkapi dengan kamar mandi dalam di pojok kiri. Satu set sofa hitam terletak di pojok sebelah kanan berseberangan dengan meja kerja yang juga berwarna hitam. Agak ke tengah hingga menempel dinding kamar mandi ada lemari tinggi berisi banyak buku dan berkas. Sedangkan di seberang lemari itu ada wastafel serta jemuran mini di mana sebuah handuk besar berwarna hitam terbentang. Ada juga kulkas berwarna abu-abu di sana yang melengkapi fasilitas ruangan Satrio.
Satrio sudah duduk di sofa tunggal sementara Ocean masih berdiri bingung di depan pintu yang telah tertutup. Mengangkat sebelah alisnya, Satrio menyapu wajah Ocean dengan tatapan tanya. Mengamati wajah istrinya yang masih terlihat ragu untuk masuk ke ruangannya.
Satrio bangkit lalu melangkah mendekati Ocean, menarik lengan istrinya dan membimbingnya duduk di sofa panjang. Sebuah sofa besar dan sangat nyaman karena Satrio menggunakannya untuk tidur jika terlalu lelah bekerja. Dirinya menyusul kemudian setelah mengambil minuman dingin dari kulkas. Duduk di samping Ocean membuat Satrio leluasa mengamati wajah yang sudah menghilang sekian lama darinya.
Wajah mulus itu masih secantik yang dia ingat. Berhidung mancung dengan mata lebar dinaungi alis hitam nan tebal. Sementara bibirnya, jangan salahkan Satrio kalau saat ini dia begitu ingin mengecup bibir penuh dan berwarna merah muda yang tampak selalu basah itu. Secara keseluruhan, gambaran keindahan itu dipadu dengan wajah oval dan rambut lurus berwarna dark brown.
"Kamu ingin mengatakan apa?" Satrio memulai pembicaraan ketika sudah beberapa saat berlalu namun istrinya tetap setia dalam kebungkamannya.
"Aku ...," Ocean terdiam sejenak, tampak tidak yakin dengan apa yang akan dibicarakannya. "Aku ingin pernikahan kita berakhir segera setelah bapak sembuh."
Hening ... hanya ada suara detakan jam dinding.
"Memangnya kamu siapa sampai berani berkata begitu ke aku? Kamu kira aku siapamu?" Satrio berujar dingin.
"Aku berterima kasih karena kamu sudah nolong Bapakku. Tapi aku nggak ingin menikah denganmu untuk waktu yang lama."
"Terserah kamu saja kalau gitu," ujar Satrio tenang, "tetapi ini harus menjadi pernikahan sungguhan sebelum kita berpisah."
"Ap ... apa maksudmu? Maksudmu ...."
"Nggak usah gagap begitu, Ocean. Bagaimana pernikahan ini terjadi, aku tidak peduli. Buatku kamu adalah istriku yang sah dan aku bermaksud melakukan kewajibanku sebagai suami ... dengan kata lain aku memberikan hak sebagai istri padamu."
"Tapi aku ...."
"Terserah kamu mau berpikir bagaimana, yang jelas kamu istriku dan aku tidak mempermainkan pernikahan. Urusan kamu mau cerai, pikir itu belakangan."
"Aku tidak mau ber ...."
"Diamlah dan tidak usah banyak alasan!" sela Satrio. Tangannya menarik ponsel dari sakunya dan jemarinya mulai menggulir benda itu beberapa menit lamanya. Selesai dengan itu, dia mengeluarkan dompet dan menarik sebuah kartu lalu memberikannya pada Ocean. "Untukmu, gunakan tanggal, bulan, dan hari lahirmu untuk mengakses uang belanjamu. Aku baru memproses semuanya."
"Aku hanya istri sementara, kenapa memberiku belanja? Nggak takut aku habiskan uangmu?"
Satrio tertawa keras seolah mengejek pertanyaan Ocean. "Habiskan saja kalau kamu bisa, lagian untuk ukuran istri sementara seperti katamu itu ... apa kamu nggak malu kalau mau menghabiskan uangku?"
Satrio melirik paras Ocean yang memucat. Wajah bersih tanpa diperhalus oleh bedak itu tetap menarik perhatiannya meski sang pemilik sedang memasang wajah tidak ramah. Ocean menunduk, menyembunyikan wajahnya di antara geraian rambutnya yang terurai menutupi wajah seiring pergerakan kepalanya.
Ada apa? pikir Satrio. Ocean yang dikenalnya beberapa tahun lalu adalah gadis ceria yang tidak kenal takut. Begitu percaya diri menolak cintanya dan pergi begitu saja seolah Satrio bukan orang yang pernah singgah di hatinya.
Satrio mengambil ikat rambut yang tergeletak di meja, meraih rambut Ocean dan menjalinnya menjadi ikatan longgar di tengkuk. Dobel sial, Satrio menyesal telah melakukan tindakan itu. Tengkuk putih Ocean membuat nalurinya sebagai pria muncul di saat yang tidak tepat.
Satrio menyugar rambutnya. Bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju wastafel untuk membasuh wajah dan membasahi rambutnya guna mendinginkan kepalanya yang mendadak terasa panas. Setidaknya kepala yang dingin mampu membuat pikirannya kembali normal dan tidak akan menerjang istrinya di sofa.
Satrio meraih handuk dan mengeringkan wajahnya. "Tenanglah, Ocean. Selama kamu tidak berbuat yang aneh-aneh, aku akan lebih dari bersedia untuk menolong Bapakmu. Hari ini sudah bisa dipindahkan ke ruang perawatan terbaik dan kamu nggak usah mikir biayanya."
"Mas aku ...."
"Panggil aku apa?"
"Mas ... Sam."
"Bagus. Panggil aku begitu karena untukmu, aku akan selalu menjadi Samudera."
Pada dasarnya Ocean masih sama seperti yang dia kenal dulu. Ramah dengan senyum lembut meski terkesan dipaksakan dan Satrio harap bisa menurut padanya. Perlahan dia akan mencari tahu sebab perubahan yang terjadi pada Ocean. Meski sedikit, Satrio tidak ingin Oceannya berubah. Ocean yang dia kenal mampu membuatnya merasa nyaman, sehingga tanpa berpikir tindakan impulsifnya tadi telah melemparkannya ke dalam status menikah hanya dalam waktu kurang dari satu jam.
"Sam, aku nggak suka kamu."
Kalau ada bom meledak di depan wajahnya, keterkejutan Satrio pasti tidak akan sebanding dengan terkejut yang sekarang sedang dia rasakan. Istrinya mengatakan kalau tidak menyukai dirinya. Rahang Satrio mengetat, merasa harga dirinya sebagai suami telah diinjak terlalu dini oleh Ocean.
"Aku juga nggak suka kamu, tapi ... apapun rasa kita, pernikahan ini nyata bagiku. Kamu harus mengerti kewajibanmu, karena biaya bapakmu itu enggak murah," desis Satrio yang langsung membungkam mulut Ocean dalam ciuman panas dan menuntut.
Jemari Satrio yang berwarna kecokelatan itu menangkup belakang kepala Ocean sementara bibirnya terus menjelajah bibir istrinya. Ciuman Satrio yang tegas dan menuntut pada awalnya perlahan melembut seiring rengkuhan tangan Ocean di lehernya. Kemudian segala sensualitas yang hampir terlupakan pun kembali menyerbu kenangannya, menenggelamkan keduanya dalam debaran rasa manis yang sempat terlupa.
Memangnya kenapa kalau dia menikah dengan Satrio? Memangnya kenapa rata-rata suster melihatnya dengan tatapan tidak suka? Apa salah Ocean sampai semua orang seolah memusuhinya? Bukankah Ocean tidak membuat kesalahan pada mereka? Ocean juga tidak berhutang apa pun. Seingat Ocean dia justru tidak pernah berbicara selain dengan orang tua dan suaminya.Pikiran itu berputar di kepala Ocean sepanjang hari dan dia tidak menemukan jawabannya. Mata-mata sinis yang melihatnya itu seolah menunjukkan rasa benci yang tidak ditutup-tutupi. Ocean sungguh ingin tahu apa alasan mereka semua.Ocean termenung di ruang rawat bapaknya. Satrio menepati janjinya, kini dia menunggui bapaknya di ruang perawatan terbaik. Ocean lega meski sebenarnya bukan itu yang dia inginkan. Dia hanya ingin bapaknya mendapat perawatan terbaik, tetapi siapa yang menyangka jika dia justru bertemu dengan Satrio, pria yang pernah dia tolak dengan tidak baik.Bertemu kem
Satrio membuka mata ketika hari sudah terang. Kamarnya remang-remang karena tirai gelap yang menutup jendela. Satrio bangun dan meraih gelas air putih di atas nakas samping tempat tidurnya dan meneguknya hingga tandas. Setelahnya dia kembali berbaring dan mendekat ke arah Ocean. Istrinya itu berbaring memeluk guling dan membelakanginya meski berada di bawah selimut yang sama.Satrio memeluk Ocean dan meletakkan kepalanya di punggung Ocean. Jarinya membelai bahu telanjang Ocean yang seketika membuat istrinya itu bergerak, pelan-pelan menyusun kesadaran dari tidur nyenyaknya yang terganggu. Satrio tahu kalau Ocean sedang berusaha membuka mata meski kantuk masih menggelayuti matanya."Geser, Sam. Aku capek," ujar Ocean dengan suara pelan dan malas."Tidur aja kalau capek, aku nggak mau ngapa-ngapain, kok," jawab Satrio kalem.Hening ... lalu Ocean bangkit dari tidurnya dan mendorong Satrio hingga bergeser ke tepi
Ocean yang lebih muda sedang mengantarkan sepupunya periksa di rumah sakit. Pemeriksaan yang lama membuat Ocean menunggu di kantin karena tidak ada hal lain yang bisa dia lakukan. Suasana yang ramai di kantin membuatnya sedikit kikuk saat seorang pria tinggi berkulit kecoklatan duduk di depannya."Sendirian? Boleh, kan, saya duduk di sini?" tanya pria itu.Ocean menyapu suasana kantin yang menang sedang penuh di jam makan siang seperti itu. Tidak ada tempat duduk kosong yang tersisa selain di depannya. Ocean mengangguk mengiyakan izin pria asing itu.Si pria duduk dan mulai menyuap makanannya. Ocean mengamati pria yang duduk di hadapannya dengan berbagai pikiran yang singgah di benaknya. Dia tahu kalau pria itu tinggi, hidungnya mancung, sekilas Ocean lihat matanya tadi menyorot tajam. Jantung Ocean berdegup lebih cepat, tetapi memandang pria itu sangat menyenangkan hatinya. Sepertinya dia merasa sayang jika melewatkan mo
Satrio menekan klakson dan tak lama kemudian gerbang tinggi di depannya terbuka. Segera dia mengemudikan mobilnya masuk dan berhenti di belakang mobil kecil berwarna hitam. Keluar dari mobil dengan membawa kantong plastik berisi buah-buahan, dia berjalan menaiki teras. Belum sempat menekan bel, pintu terbuka dan muncullah Minah, ART yang bekerja di rumah Alfredo dengan Ale mengekorinya."Om Sat!" seru Ale yang langsung melompat ke pelukannya. Beruntung Satrio sudah memberikan kantong plastiknya pada Minah atau benda itu akan terjatuh karena dia memilih untuk menyambut terjangan Ale."Kencang banget lompatnya, Boy," kata Satrio. "Kalau Om Sat nggak bisa nangkap kamu gimana?" tanyanya sambil menggendong Ale masuk rumah.Ale memeluk leher Satrio erat. "Paling-paling kita jatuh, nggak sakit, sih, akunya. Kan nimpa Om Sat," celoteh Ale lugu.Seperti biasa, Satrio akan berubah seperti bocah jika bertemu dengan A
Ocean membuka pintu depan ketika mendengar deru mobil Satrio di luar. Sejak sedikit cekcok yang terjadi di antara mereka berdua tadi, suaminya itu keluar entah kemana dan baru kembali saat jam menunjukkan pukul 10. Ocean tidak menanyakan apa pun selain mengekor Satrio masuk ke kamar mereka. Sementara Satrio mandi, Ocean menyiapkan baju untuk Satrio. Dia menunggu sambil mengerjakan laporan pekerjaannya melalui ponsel.Terlalu asyik dengan pekerjaannya, Ocean sampai tidak sadar kalau satrio sudah keluar dari kamar mandi dan selesai mengenakan pakaian yang dia siapkan."Ada makanan tidak?" tanya Satrio."Ada," jawab Ocean. "Aku panaskan dulu." Ocean meletakkan ponselnya di ranjang dan melangkah keluar terlebih dulu. Satrio mengikutinya dari belakang sambil bersiul riang.Ocean memanaskan sop yang dibuatnya, hanya sekedar hangat supaya Satrio tidak sibuk meniupnya. Sementara menunggu sop hangat, dia menggoreng aya
Ocean menikmati makan siang dadakannya bersama Aegea dan Athena. Dia menilai bahwa 2 wanita yang bersamanya itu adalah orang yang baik. Selama makan siang, mereka membahas hal-hal ringan tentang kegiatan sehari-hari. Tidak ada yang bisa Ocean ceritakan karena dia merasa tidak ada yang menarik dari hidupnya.Hidupnya terlalu biasa, tidak ada hal menyolok atau terlalu istimewa untuk diceritakan. Lahir dari keluarga biasa, Ocean adalah putri dari seorang pria yang bekerja sebagai penghulu di KUA. Ibunya seorang ibu rumah tangga biasa yang telah mendidiknya dengan baik. Ocean menyayangi kedua orang tuanya yang mesti sederhana, tetapi tetap utuh memperhatikan dia dan adiknya."Ocean ... mikirin apa dari tadi kayak ngelamun gitu?" tanya Athena."Nggak apa-apa, Mbak Athena," jawab Ocean. "Hanya ingat adikku yang sedang sekolah di luar kota.""Ngomong-ngomong, kenapa kamu nggak dateng ke pernikahanku?" kembali Athena
Satrio pulang lebih sore pada hari Sabtu. Dia memasuki rumahnya dengan langkah ringan. Tidak ada lelah yang dia rasakan mengingat biasanya dia masih harus bekerja hingga malam. Satrio duduk di sofa dan melepas sepatu beserta kaos kakinya. Setelah itu bangkit dan pergi ke kamar mandi dekat dapur untuk cuci kaki.Satrio memasuki kamarnya dan menemukan Ocean tidur di ranjang mereka yang tertutup seprai berwarna merah tua dengan motif garis-garis berwarna perak. Gorden yang tidak tertutup sempurna mengantarkan sinar matahari sore menembus kaca dan jatuh tak jauh di atas kepala Ocean. Satrio melangkah ke jendela dan menutup gordennya. Selesai dengan itu, Satrio menoleh ke arah Ocean, istrinya bergerak sedikit lalu kembali nyenyak dengan memeluk guling.Satrio berpikir mungkin dia keterlaluan menyuruh istrinya memasak dan mengantarkan makan siang. Perempuan ini jadi tidak punya banyak waktu untuk bekerja dan mengurus dirinya. Mungkin dia harus mempekerjakan seorang pengurus ru
Sudah berminggu-minggu sejak pengusiran Delta dari rumah sakit. Hubungan Ocean dan Satrio memburuk karena hal itu. Ocean menuduh Satrio semena-mena sementara Satrio tidak mau mengalah dan tetap bersikeras bahwa Delta adalah tamu yang tidak dia inginkan dan tak seharusnya datang beberapa kali untuk menengok bapak Ocean.Ocean yang tidak sependapat dengan Satrio secara otomatis mengemukaan pendapat bahwa Delta datang hanya sebagai teman dan tidak pantas jika Satrio mengusirnya. Namun, Satrio tetaplah Satrio yang tidak akan mendengarkan orang lain jika sudah berpendapat. Semua ucapan Ocean dianggap angin lalu hingga segala sesuatunya memburuk untuk mereka berdua.Ocean yang awalnya mendiamkan tingkah suaminya menjadi makin serba salah ketika suaminya itu tidak merespon keterdiamannya. Semua seolah menjadi bumerang untuknya. Satrio bersikap masa bodoh dan tidak mau tahu dengan semua alasan yang diucapkan Ocean dan berujung yang perang dingin di