Memangnya kenapa kalau dia menikah dengan Satrio? Memangnya kenapa rata-rata suster melihatnya dengan tatapan tidak suka? Apa salah Ocean sampai semua orang seolah memusuhinya? Bukankah Ocean tidak membuat kesalahan pada mereka? Ocean juga tidak berhutang apa pun. Seingat Ocean dia justru tidak pernah berbicara selain dengan orang tua dan suaminya.
Pikiran itu berputar di kepala Ocean sepanjang hari dan dia tidak menemukan jawabannya. Mata-mata sinis yang melihatnya itu seolah menunjukkan rasa benci yang tidak ditutup-tutupi. Ocean sungguh ingin tahu apa alasan mereka semua.
Ocean termenung di ruang rawat bapaknya. Satrio menepati janjinya, kini dia menunggui bapaknya di ruang perawatan terbaik. Ocean lega meski sebenarnya bukan itu yang dia inginkan. Dia hanya ingin bapaknya mendapat perawatan terbaik, tetapi siapa yang menyangka jika dia justru bertemu dengan Satrio, pria yang pernah dia tolak dengan tidak baik.
Bertemu kembali dengan Satrio bisa jadi adalah anugerah dan musibah di saat yang bersamaan. Anugerah karena Satrio berjanji akan membantu biaya perawatan bapaknya yang jumlahnya tidak bisa Ocean bayangkan. Menjadi musibah karena bapak yang sudah pasrah akan nasib kesembuhannya menginginkan Ocean menikah. Setidaknya jika terjadi apa-apa saat operasi, bapak Ocean sudah menikahkan anak gadisnya dengan orang yang tepat.
Ocean mandi setelah membantu ibu menyeka badan bapak. Setelah semua rutinitas sore itu, dia harus menemui Satrio dan ikut pulang ke rumah. Suaminya itu juga menyediakan perawat pribadi untuk bapak sehingga Ocean tidak perlu memikirkan apapun saat tidak berada di sana. Semua kemudahan perawatan kini didapatkan bapak.
"Kamu mau pergi ke mana, Nduk?" Ibu bertanya setelah selesai menyuapi bapak.
"Nggak tau, Bu. Sam nggak bilang mau ngajak ke mana," jawab Ocean. Tangannya sibuk mengoleskan pelembut kulit di lengan dan kakinya.
Bahkan dalam imajinasinya pun Ocean tidak pernah berharap akan bertemu kembali dengan Satrio. Sebagai seorang gadis yang merasa dibohongi, tidak seharusnya Ocean memberikan kesempatan kedua kepada Satrio. Satrio bukanlah pria baik di mata Ocean saat itu, mengatakan mencintainya, tetapi juga memiliki orang lain di belakangnya. Mungkin Satrio pikir Ocean bodoh dan tidak akan pernah mengetahuinya. Satrio salah, Ocean tahu dalam seminggu setelah komitmen pacaran mereka.
Pada akhirnya kebencian Ocean kalah oleh kasih sayang kepada orang tuanya. Satrio menemukannya ketika mendaftar untuk rawat inap bapaknya. Bertemu kembali dengan Satrio langsung membuat bapaknya berharap banyak hingga terjadilah pernikahan dadakan itu.
"Nduk ... sana pergi temui suamimu. Jangan buat dia menunggu lebih lama." Ibu menyentuh lengan Ocean lembut dan menyadarkan Ocean dari lamunannya.
Ocean bangkit. "Iya, Bu. Cean pergi dulu," pamitnya seraya melangkah keluar.
Ocean menyusuri koridor panjang dari ruang rawat bapaknya menuju ruang kerja suaminya. Beberapa perawat yang kebetulan mengenalnya mengangguk kecil, ada juga yang saling berbisik saat melihat dia melintas. Ocean melihat baju yang dia kenakan, skinny jeans dengan kaos putih yang ditutup jaket rajut. Ocean tidak merasa penampilannya buruk, tetapi mengapa mata-mata itu melihatnya seolah dia makhluk asing yang tersesat di bumi.
Sebuah rangkulan di bahu membuat Ocean menoleh. Suaminya tersenyum menawan, menoleh pada beberapa perawat yang sempat berbisik melihat Ocean.
"Halo, Suster," sapa Satrio sambil berjalan mendekat ke arah mereka dengan Ocean berada dalam rangkulannya. "Kenalan dulu, ini Ocean Samudera, istriku," ujar satrio memperkenalkan Ocean.
Satu per satu suster yang tadi bergunjing menyalami Ocean dengan enggan. Kalau berbicara tentang enggan, Oceanlah yang paling merasakan hal itu. Tidak pernah ada dalam angan-angannya untuk diperistri oleh Satrio.
"Jadi ... kalau kalian melihat istriku lupa jalan menuju ruanganku, tolong dibantu, ya?" Satrio menekankan kalimatnya hingga menyerupai ancaman.
"Ya, Dok," jawab mereka bersamaan.
Satrio tertawa merdu. "Baiklah, terima kasih, ya, sebelumnya. Ayo kita pergi, Istrinya Sam!" Satrio membawa Ocean berbalik dan meninggalkan tempat itu menuju pintu keluar rumah sakit.
Berada dalam mobil Satrio membuat Ocean sedikit gugup. Tangannya meraih lengan Satrio yang berada di atas roda kemudi. Satrio memalingkan wajah pada Ocean dan menyiratkan pertanyaan tanpa kata.
"Sam ...," panggil Ocean lirih.
"Hmm ...," gumam Satrio.
"Apa aku nggak pantes ada di rumah sakit itu? Apa aku nggak pantes jadi istrimu?"
Satrio menaikkan sebelah alisnya dan menatap heran pada Ocean. "Memangnya siapa yang peduli?"
"Tapi, Sam ...."
"Yang suamimu siapa?"
Ocean menunduk. "Kamu."
"Jadi kenapa peduli dengan orang lain? Kalau kamu nggak suka, bilang aja sama aku. Aku bisa pecat mereka semua yang udah buat kamu nggak nyaman. Kamu ngerti, Cean?"
Ocean mengangguk, melepaskan lengan suaminya lalu duduk tenang di tempatnya. Satrio mengemudikan mobilnya ke luar rumah sakit. Di gerbang rumah sakit dia menekan klakson saat berpapasan dengan sebuah mobil hitam yang bisa dibilang bagus.
"Siapa?" tanya Ocean spontan.
Satrio menoleh ke kanan, menginjak pelan pedal gasnya hingga mobil mereka meluncur mulus membelah keramaian jalan raya. "Sudah pengen tau teman-teman suamimu, Cean?"
Ocean menunduk lagi. "Enggak."
Ocean berdiri di serambi depan sebuah rumah bergaya minimalis modern. Satrio membuka pintunya dan mempersilakan Ocean memasukinya. Mata Ocean berkeliling melihat seluruh ruangan yang ada. Dia tidak sempat memperhatikan semuanya karena Satrio sudah menariknya ke dapur.
"Sam mau makan?"
"Iya. Aku lapar, biasanya aku makan beli. Karena sekarang aku punya istri maka aku mau dimasakin olehmu," jelas Satrio.
"Sam mau makan apa?" tanya ocean.
Satrio menyeringai. "Makan kamu, boleh?"
Ocean menghampiri kulkas secepat yang dia bisa. Dia Melihat kulkas itu penuh dengan sayuran, buah-buahan, dan daging. Ayam dan makanan beku juga ada. Ocean bingung mau masak apa untuk Satrio.
"Sam selapar apa?" tanya Ocean.
"Cukup lapar tapi bisa menunggu sampai masakanmu mateng."
Ocean menggoreng tahu sutra dan di waktu yang sama juga menanak nasi, dan merebus sayur. Dalam satu jam semuanya siap lengkap dengan bandeng presto dan sambal. Satrio makan dengan lahap tanpa bicara, menyuapi Ocean dan memprotes ketika istrinya itu tidak mau membuka mulutnya. Pada akhirnya masakan itu tandas bersama Satrio yang bersandar puas di kursinya.
"Masakanmu enak, ternyata punya istri itu menyenangkan," ujarnya.
Ocean tidak menanggapi ucapan satrio. Dia sibuk membereskan semuanya, mencuci dan mengembalikan peralatan ke tempat semula. Satrio mengatakan agar dia membiarkan semuanya karena akan ada orang datang untuk membersihkannya, tetapi Ocean memilih semuanya terlihat rapi seperti semula.
Selesai mengerjakan pekerjaannya, Ocean duduk di depan Satrio. "Sam ...," panggilnya lirih.
Satrio tidak menyahuti panggilan Ocean, tetapi dia menoleh pada istrinya dengan tatapan bertanya.
"Kenapa, sih, para suster di rumah sakit kaya nggak suka gitu lihat aku?" Ocean menunduk setelah menanyakan rasa ingin tahunya pada Satrio.
"Karena kamu menikahi pria yang mereka sukai," jawab Satrio terus terang.
Ocean berdecak. "Aku nggak menikahi pria yang mereka sukai, pria itu sendiri yang menikahi aku," tutur Ocean.
"Hasil akhirnya sama saja. Aku dan kamu menikah, iya, kan? Nggak usah terganggu, aku bukan pria yang memacari rekan kerja, aku juga bukan pria yang suka selingkuh."
Entah mengapa, Ocean tidak tersentuh oleh ucapan suaminya. Baginya itu adalah bagian dari rayuan gombal yang sering diucapkan oleh pria saat menginginkan wanita. Ocean berniat untuk tidak terperdaya dengan setiap perkataan manis yang diucapkan oleh suaminya. Suaminya itu harus tahu kalau dia bukan istri biasa.
Satrio membuka mata ketika hari sudah terang. Kamarnya remang-remang karena tirai gelap yang menutup jendela. Satrio bangun dan meraih gelas air putih di atas nakas samping tempat tidurnya dan meneguknya hingga tandas. Setelahnya dia kembali berbaring dan mendekat ke arah Ocean. Istrinya itu berbaring memeluk guling dan membelakanginya meski berada di bawah selimut yang sama.Satrio memeluk Ocean dan meletakkan kepalanya di punggung Ocean. Jarinya membelai bahu telanjang Ocean yang seketika membuat istrinya itu bergerak, pelan-pelan menyusun kesadaran dari tidur nyenyaknya yang terganggu. Satrio tahu kalau Ocean sedang berusaha membuka mata meski kantuk masih menggelayuti matanya."Geser, Sam. Aku capek," ujar Ocean dengan suara pelan dan malas."Tidur aja kalau capek, aku nggak mau ngapa-ngapain, kok," jawab Satrio kalem.Hening ... lalu Ocean bangkit dari tidurnya dan mendorong Satrio hingga bergeser ke tepi
Ocean yang lebih muda sedang mengantarkan sepupunya periksa di rumah sakit. Pemeriksaan yang lama membuat Ocean menunggu di kantin karena tidak ada hal lain yang bisa dia lakukan. Suasana yang ramai di kantin membuatnya sedikit kikuk saat seorang pria tinggi berkulit kecoklatan duduk di depannya."Sendirian? Boleh, kan, saya duduk di sini?" tanya pria itu.Ocean menyapu suasana kantin yang menang sedang penuh di jam makan siang seperti itu. Tidak ada tempat duduk kosong yang tersisa selain di depannya. Ocean mengangguk mengiyakan izin pria asing itu.Si pria duduk dan mulai menyuap makanannya. Ocean mengamati pria yang duduk di hadapannya dengan berbagai pikiran yang singgah di benaknya. Dia tahu kalau pria itu tinggi, hidungnya mancung, sekilas Ocean lihat matanya tadi menyorot tajam. Jantung Ocean berdegup lebih cepat, tetapi memandang pria itu sangat menyenangkan hatinya. Sepertinya dia merasa sayang jika melewatkan mo
Satrio menekan klakson dan tak lama kemudian gerbang tinggi di depannya terbuka. Segera dia mengemudikan mobilnya masuk dan berhenti di belakang mobil kecil berwarna hitam. Keluar dari mobil dengan membawa kantong plastik berisi buah-buahan, dia berjalan menaiki teras. Belum sempat menekan bel, pintu terbuka dan muncullah Minah, ART yang bekerja di rumah Alfredo dengan Ale mengekorinya."Om Sat!" seru Ale yang langsung melompat ke pelukannya. Beruntung Satrio sudah memberikan kantong plastiknya pada Minah atau benda itu akan terjatuh karena dia memilih untuk menyambut terjangan Ale."Kencang banget lompatnya, Boy," kata Satrio. "Kalau Om Sat nggak bisa nangkap kamu gimana?" tanyanya sambil menggendong Ale masuk rumah.Ale memeluk leher Satrio erat. "Paling-paling kita jatuh, nggak sakit, sih, akunya. Kan nimpa Om Sat," celoteh Ale lugu.Seperti biasa, Satrio akan berubah seperti bocah jika bertemu dengan A
Ocean membuka pintu depan ketika mendengar deru mobil Satrio di luar. Sejak sedikit cekcok yang terjadi di antara mereka berdua tadi, suaminya itu keluar entah kemana dan baru kembali saat jam menunjukkan pukul 10. Ocean tidak menanyakan apa pun selain mengekor Satrio masuk ke kamar mereka. Sementara Satrio mandi, Ocean menyiapkan baju untuk Satrio. Dia menunggu sambil mengerjakan laporan pekerjaannya melalui ponsel.Terlalu asyik dengan pekerjaannya, Ocean sampai tidak sadar kalau satrio sudah keluar dari kamar mandi dan selesai mengenakan pakaian yang dia siapkan."Ada makanan tidak?" tanya Satrio."Ada," jawab Ocean. "Aku panaskan dulu." Ocean meletakkan ponselnya di ranjang dan melangkah keluar terlebih dulu. Satrio mengikutinya dari belakang sambil bersiul riang.Ocean memanaskan sop yang dibuatnya, hanya sekedar hangat supaya Satrio tidak sibuk meniupnya. Sementara menunggu sop hangat, dia menggoreng aya
Ocean menikmati makan siang dadakannya bersama Aegea dan Athena. Dia menilai bahwa 2 wanita yang bersamanya itu adalah orang yang baik. Selama makan siang, mereka membahas hal-hal ringan tentang kegiatan sehari-hari. Tidak ada yang bisa Ocean ceritakan karena dia merasa tidak ada yang menarik dari hidupnya.Hidupnya terlalu biasa, tidak ada hal menyolok atau terlalu istimewa untuk diceritakan. Lahir dari keluarga biasa, Ocean adalah putri dari seorang pria yang bekerja sebagai penghulu di KUA. Ibunya seorang ibu rumah tangga biasa yang telah mendidiknya dengan baik. Ocean menyayangi kedua orang tuanya yang mesti sederhana, tetapi tetap utuh memperhatikan dia dan adiknya."Ocean ... mikirin apa dari tadi kayak ngelamun gitu?" tanya Athena."Nggak apa-apa, Mbak Athena," jawab Ocean. "Hanya ingat adikku yang sedang sekolah di luar kota.""Ngomong-ngomong, kenapa kamu nggak dateng ke pernikahanku?" kembali Athena
Satrio pulang lebih sore pada hari Sabtu. Dia memasuki rumahnya dengan langkah ringan. Tidak ada lelah yang dia rasakan mengingat biasanya dia masih harus bekerja hingga malam. Satrio duduk di sofa dan melepas sepatu beserta kaos kakinya. Setelah itu bangkit dan pergi ke kamar mandi dekat dapur untuk cuci kaki.Satrio memasuki kamarnya dan menemukan Ocean tidur di ranjang mereka yang tertutup seprai berwarna merah tua dengan motif garis-garis berwarna perak. Gorden yang tidak tertutup sempurna mengantarkan sinar matahari sore menembus kaca dan jatuh tak jauh di atas kepala Ocean. Satrio melangkah ke jendela dan menutup gordennya. Selesai dengan itu, Satrio menoleh ke arah Ocean, istrinya bergerak sedikit lalu kembali nyenyak dengan memeluk guling.Satrio berpikir mungkin dia keterlaluan menyuruh istrinya memasak dan mengantarkan makan siang. Perempuan ini jadi tidak punya banyak waktu untuk bekerja dan mengurus dirinya. Mungkin dia harus mempekerjakan seorang pengurus ru
Sudah berminggu-minggu sejak pengusiran Delta dari rumah sakit. Hubungan Ocean dan Satrio memburuk karena hal itu. Ocean menuduh Satrio semena-mena sementara Satrio tidak mau mengalah dan tetap bersikeras bahwa Delta adalah tamu yang tidak dia inginkan dan tak seharusnya datang beberapa kali untuk menengok bapak Ocean.Ocean yang tidak sependapat dengan Satrio secara otomatis mengemukaan pendapat bahwa Delta datang hanya sebagai teman dan tidak pantas jika Satrio mengusirnya. Namun, Satrio tetaplah Satrio yang tidak akan mendengarkan orang lain jika sudah berpendapat. Semua ucapan Ocean dianggap angin lalu hingga segala sesuatunya memburuk untuk mereka berdua.Ocean yang awalnya mendiamkan tingkah suaminya menjadi makin serba salah ketika suaminya itu tidak merespon keterdiamannya. Semua seolah menjadi bumerang untuknya. Satrio bersikap masa bodoh dan tidak mau tahu dengan semua alasan yang diucapkan Ocean dan berujung yang perang dingin di
Satrio mengikuti kegiatan bakti sosial ke daerah terpencil. Sedikit banyak dia merasa terhibur dan melupakan rumah tangganya yang sedang tidak baik-baik saja. Kesibukan luar biasa yang dilakukannya bersama dengan rekan-rekan kerjanya terbukti ampuh untuk melalui hari dengan bahagia.Perubahan musim dengan cuaca yang cukup ekstrim membuat pengobatan gratis disambut warga setempat dengan antusias. Rata-rata dari mereka sakit flu, kulit, dan diare. Kedatangan para dokter ini dinilai cukup membantu warga masyarakat yang menganggap bahwa flu akan sembuh dengan sendirinya.Masyarakat juga antusias pada penyuluhan tentang keluarga berencana dan pentingnya mengatur jarak kelahiran demi kesehatan ibu dan anak. Imunisasi gratis juga diberikan kepada balita yang membuat para ibu senang. Ada juga yang mengkonsultasikan beberapa anak pilek dan tidak kunjung sembuh setelah beberapa minggu."Sat, ayo pulang," ajak Raphael yang tampaknya sudah selesai dengan pekerjaannya.Sa