Share

3. Bukan Istri Bayaran

Satrio membuka mata ketika hari sudah terang. Kamarnya remang-remang karena tirai gelap yang menutup jendela. Satrio bangun dan meraih gelas air putih di atas nakas samping tempat tidurnya dan meneguknya hingga tandas. Setelahnya dia kembali berbaring dan mendekat ke arah Ocean. Istrinya itu berbaring memeluk guling dan membelakanginya meski berada di bawah selimut yang sama.

Satrio memeluk Ocean dan meletakkan kepalanya di punggung Ocean. Jarinya membelai bahu telanjang Ocean yang seketika membuat istrinya itu bergerak, pelan-pelan menyusun kesadaran dari tidur nyenyaknya yang terganggu. Satrio tahu kalau Ocean sedang berusaha membuka mata meski kantuk masih menggelayuti matanya.

"Geser, Sam. Aku capek," ujar Ocean dengan suara pelan dan malas.

"Tidur aja kalau capek, aku nggak mau ngapa-ngapain, kok," jawab Satrio kalem.

Hening ... lalu Ocean bangkit dari tidurnya dan mendorong Satrio hingga bergeser ke tepi ranjang dan hampir jatuh kalau saja Ocean menggunakan tenaga sedikit lebih besar. Tawa Satrio membuat Ocean kembali berbaring dan masuk ke dalam selimut. Pagi Satrio benar-benar sangat indah, jauh lebih indah dari pagi-pagi sebelum pernikahannya.

"Jauh-jauh dari aku!" seru Ocean.

"Memangnya kenapa mesti jauh dari kamu? Kamu istriku, kan?"

Sebenarnya Satrio paham apa yang dimaksud oleh Ocean. Istrinya itu terpaksa menerimanya sebagai suami, tetapi baginya semua harus berada di jalurnya. Dia tidak suka mempermainkan yang namanya pernikahan. Selagi bisa maka baginya itu adalah komitmen sekali seumur hidup yang harus dijaga.

"Istri terpaksa," sahut Ocean ketus.

"Apa iya terpaksa? Sampai hampir pagi, loh, Cean," seloroh Satrio.

Ocean bangkit dan menatap garang ke arah Satrio. "Kamu memperdayaku, benci aku sama kamu, Sam."

Satrio terdiam dan menatap lurus pada Ocean. "Cean dengar ... aku nggak peduli kamu merasa terpaksa atau tidak, kamu suka atau tidak, kamu mau atau tidak, yang perlu kamu ingat hanya satu. Aku tidak mau pernikahan pura-pura dan kamu pasti tahu aturan mainnya. Bapakmu penghulu, kan? Jadi kamu pasti tahu hukumnya."

Satrio turun dari tempat tidur dan melangkah ke kamar mandi. Dia mandi di bawah guyuran air yang memancar deras dan menikmati pagi santai tanpa terpengaruh omelan Ocean. Baginya semua perkataan Ocean hanyalah omong kosong yang tidak ada artinya. Satrio tetap pada pendiriannya bahwa dia akan berusaha membawa pernikahannya menjadi benar.

Sebenarnya dia masih tidak mengerti dan bingung dengan perubahan Ocean. Menurut ibunya, Ocean tidak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun pasca berpisah dengannya. Perempuan itu hanya pergi kuliah dan menamatkan magister manajemennya lebih cepat dari yang seharusnya kemudian mulai membuat usaha dengan teman-temannya. Usaha bersama yang dimiliki Ocean adalah kepemilikan atas minimarket yang walaupun hanya berlokasi di pinggiran kota, tetapi hasilnya cukup untuk membuat Ocean hidup layak.

Satrio keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk di pinggulnya. Dia berjalan ke arah lemari kayu berwarna hitam yang ada di pojok kamar dekat jendela dan mencari sendiri bajunya. Diliriknya jam dinding lalu mendesah pelan. Ternyata dia cukup lama berada di kamar mandi, pantas saja perutnya sudah berteriak minta diisi.

Setelah mengenakan celana santai selutut berwarna putih dan kaos Polo warna hitam, Satrio keluar dan berjalan menuruni tangga menuju ke dapur. Ocean terlihat sibuk membuat sarapan. Istrinya itu sudah mandi dan tampak segar, terlihat dari rambutnya yang masih basah dan wajah tanpa polesan make up.

Satrio duduk dan langsung meneguk cappuccino buatan Ocean. Tidak ada komentar dari Satrio ketika Ocean menghidangkan roti tawar dengan telur ceplok dan jus buah. Satrio makan tanpa kata sementara Ocean terus mondar-mandir mengeluarkan beberapa bahan dari kulkas.

"Kamu bisa duduk, nggak, Cean? Capek aku lihat kamu mondar mandir nggak berhenti," tegur Satrio.

"Sam, aku mau nyiapin masakan buat ibu. Aku mesti ke rumah sakit siang ini."

"Aku yang kerja di rumah sakit aja santai, kenapa kamu sesibuk itu padahal nggak kerja di sana?"

Satrio merasa geli melihat Ocean yang langsung terdiam karena ucapannya. Ocean yang ini benar-benar berubah dari yang pernah dia kenal. Normalnya Ocean akan melawan dan berkata se-absurd dirinya atau membantah dengan tegas untuk mempertahankan pendapat atau keinginannya.

"Cean, aku hanya bercanda. Masaklah apa yang kamu inginkan, tapi kamu harus sarapan dulu. Aku nggak pengen kamu sakit mengingat orang tuamu sedang dirawat sekarang."

Ocean meraih roti dan memakannya dalam diam. Hanya satu lembar lalu minum susu. Satrio mengernyit tidak senang melihat porsi makan Ocean yang menurutnya sangat hemat dan tidak tidak pada tempatnya.

"Kalau kamu nggak mau makan roti, kamu bisa buat yang lain."

"Aku suka makan nasi kalau pagi, tapi ...," Ocean terdiam dan tampak ragu. "Tapi aku takut kamu nggak mau."

"Kamu punya mulut buat nanya, kan, Ocean? Lagipula kamu istriku, buatlah apa saja semaumu dan aku akan tetap makan. Aku bukan orang yang cerewet soal makan selama itu adalah makanan sehat."

"Aku masih boleh kerja?"

"Boleh kerja apa tidak itu terserah bapakmu. Beliau yang bayar kuliahmu, apa hakku melarangmu buat kerja atau tidak? Kenapa bertanya seperti itu?"

"Aku harus tau semuanya, apa yang boleh dan tidak boleh untuk kulakukan. Mengingat aku hanya istri sementara, aku harus tahu diri dan bisa menempatkan diriku supaya kamu nggak tersinggung."

Rahang Satrio mengetat, mulutnya terkatup rapat lalu mengembuskan napas yang tadi sempat ditahannya. Ocean benar-benar menguji kesabarannya. Perempuan satu itu harus segera diberi pelajaran supaya bisa berpikir terlebih dahulu sebelum mengatakan sesuatu yang tidak penting.

"Baik ... kamu sendiri yang mengatakan kalau kamu adalah istri sementara padahal aku tidak menganggapmu begitu. Jadi dengarkan, lakukan pekerjaanmu sebagai istri. Aku nggak mau tahu bagaimana usahamu, yang jelas aku harus mendapatkan makan 3 kali sehari, makan siang yang harus kamu antar ke ruang kerjaku dan makan malam yang akan aku makan sepulang dari praktik. Paham, Cean?"

"Iya," jawab Ocean singkat.

"Kalau kamu merasa capek, kamu harus mengatakannya kepadaku supaya aku bisa mempekerjakan pengurus rumah tangga karena aku nggak mau menerima alasan kamu capek kalau aku sedang menginginkanmu."

"Aku nggak mau!" seru Ocean.

"Aku tidak tanya pendapatmu. Aku punya istri dan wajar kalau aku menginginkannya, bukan?"

"Istri sementara."

Satrio menertawakan Ocean yang terus menekankan status pernikahan mereka. "Karena kamu istri sementara dan aku sudah membayar mahal untuk semuanya, maka lakukan pekerjaanmu. Jangan menjadi wanita payah yang sebentar bilang iya lalu bilang tidak dalam hitungan menit."

"Sam aku bukan istri bayaranmu."

"Kamu sendiri yang menempatkan dirimu di posisi itu, jadi lakukan semuanya sampai hutangmu lunas. Kau akan melakukan sesuatu yang aku ijinkan dan jangan coba-coba menghindarinya."

Satrio berlalu dari ruang makan dan kembali ke kamarnya. Dia tahu sudah kehilangan kesabarannya menghadapi Ocean, tetapi dia juga merasa sangat jengkel dengan Ocean yang keras kepala. Satrio menukar bajunya dengan celana panjang dan kemeja santai lalu mengenakan jaket tipis. Setelah itu dia menyambar kunci mobilnya dan melangkah menuju pintu depan.

"Sam, mau ke mana?"

Satrio menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Ocean yang masih memegang pisau berjalan ke arahnya dan berhenti beberapa langkah darinya.

"Apa hakmu bertanya? Istri sementara ... tetaplah di rumah, aku ada perlu dengan teman-temanku. Jangan kemana-mana karena aku tidak mengijinkannya."

Satrio membuka pintu dan berlalu tanpa repot-repot menutup kembali pintu itu. Dia Juga tidak menghiraukan kata-kata Ocean walaupun mendengarnya dengan jelas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status