Satrio membuka mata ketika hari sudah terang. Kamarnya remang-remang karena tirai gelap yang menutup jendela. Satrio bangun dan meraih gelas air putih di atas nakas samping tempat tidurnya dan meneguknya hingga tandas. Setelahnya dia kembali berbaring dan mendekat ke arah Ocean. Istrinya itu berbaring memeluk guling dan membelakanginya meski berada di bawah selimut yang sama.
Satrio memeluk Ocean dan meletakkan kepalanya di punggung Ocean. Jarinya membelai bahu telanjang Ocean yang seketika membuat istrinya itu bergerak, pelan-pelan menyusun kesadaran dari tidur nyenyaknya yang terganggu. Satrio tahu kalau Ocean sedang berusaha membuka mata meski kantuk masih menggelayuti matanya.
"Geser, Sam. Aku capek," ujar Ocean dengan suara pelan dan malas.
"Tidur aja kalau capek, aku nggak mau ngapa-ngapain, kok," jawab Satrio kalem.
Hening ... lalu Ocean bangkit dari tidurnya dan mendorong Satrio hingga bergeser ke tepi ranjang dan hampir jatuh kalau saja Ocean menggunakan tenaga sedikit lebih besar. Tawa Satrio membuat Ocean kembali berbaring dan masuk ke dalam selimut. Pagi Satrio benar-benar sangat indah, jauh lebih indah dari pagi-pagi sebelum pernikahannya.
"Jauh-jauh dari aku!" seru Ocean.
"Memangnya kenapa mesti jauh dari kamu? Kamu istriku, kan?"
Sebenarnya Satrio paham apa yang dimaksud oleh Ocean. Istrinya itu terpaksa menerimanya sebagai suami, tetapi baginya semua harus berada di jalurnya. Dia tidak suka mempermainkan yang namanya pernikahan. Selagi bisa maka baginya itu adalah komitmen sekali seumur hidup yang harus dijaga.
"Istri terpaksa," sahut Ocean ketus.
"Apa iya terpaksa? Sampai hampir pagi, loh, Cean," seloroh Satrio.
Ocean bangkit dan menatap garang ke arah Satrio. "Kamu memperdayaku, benci aku sama kamu, Sam."
Satrio terdiam dan menatap lurus pada Ocean. "Cean dengar ... aku nggak peduli kamu merasa terpaksa atau tidak, kamu suka atau tidak, kamu mau atau tidak, yang perlu kamu ingat hanya satu. Aku tidak mau pernikahan pura-pura dan kamu pasti tahu aturan mainnya. Bapakmu penghulu, kan? Jadi kamu pasti tahu hukumnya."
Satrio turun dari tempat tidur dan melangkah ke kamar mandi. Dia mandi di bawah guyuran air yang memancar deras dan menikmati pagi santai tanpa terpengaruh omelan Ocean. Baginya semua perkataan Ocean hanyalah omong kosong yang tidak ada artinya. Satrio tetap pada pendiriannya bahwa dia akan berusaha membawa pernikahannya menjadi benar.
Sebenarnya dia masih tidak mengerti dan bingung dengan perubahan Ocean. Menurut ibunya, Ocean tidak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun pasca berpisah dengannya. Perempuan itu hanya pergi kuliah dan menamatkan magister manajemennya lebih cepat dari yang seharusnya kemudian mulai membuat usaha dengan teman-temannya. Usaha bersama yang dimiliki Ocean adalah kepemilikan atas minimarket yang walaupun hanya berlokasi di pinggiran kota, tetapi hasilnya cukup untuk membuat Ocean hidup layak.
Satrio keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk di pinggulnya. Dia berjalan ke arah lemari kayu berwarna hitam yang ada di pojok kamar dekat jendela dan mencari sendiri bajunya. Diliriknya jam dinding lalu mendesah pelan. Ternyata dia cukup lama berada di kamar mandi, pantas saja perutnya sudah berteriak minta diisi.
Setelah mengenakan celana santai selutut berwarna putih dan kaos Polo warna hitam, Satrio keluar dan berjalan menuruni tangga menuju ke dapur. Ocean terlihat sibuk membuat sarapan. Istrinya itu sudah mandi dan tampak segar, terlihat dari rambutnya yang masih basah dan wajah tanpa polesan make up.
Satrio duduk dan langsung meneguk cappuccino buatan Ocean. Tidak ada komentar dari Satrio ketika Ocean menghidangkan roti tawar dengan telur ceplok dan jus buah. Satrio makan tanpa kata sementara Ocean terus mondar-mandir mengeluarkan beberapa bahan dari kulkas.
"Kamu bisa duduk, nggak, Cean? Capek aku lihat kamu mondar mandir nggak berhenti," tegur Satrio.
"Sam, aku mau nyiapin masakan buat ibu. Aku mesti ke rumah sakit siang ini."
"Aku yang kerja di rumah sakit aja santai, kenapa kamu sesibuk itu padahal nggak kerja di sana?"
Satrio merasa geli melihat Ocean yang langsung terdiam karena ucapannya. Ocean yang ini benar-benar berubah dari yang pernah dia kenal. Normalnya Ocean akan melawan dan berkata se-absurd dirinya atau membantah dengan tegas untuk mempertahankan pendapat atau keinginannya.
"Cean, aku hanya bercanda. Masaklah apa yang kamu inginkan, tapi kamu harus sarapan dulu. Aku nggak pengen kamu sakit mengingat orang tuamu sedang dirawat sekarang."
Ocean meraih roti dan memakannya dalam diam. Hanya satu lembar lalu minum susu. Satrio mengernyit tidak senang melihat porsi makan Ocean yang menurutnya sangat hemat dan tidak tidak pada tempatnya.
"Kalau kamu nggak mau makan roti, kamu bisa buat yang lain."
"Aku suka makan nasi kalau pagi, tapi ...," Ocean terdiam dan tampak ragu. "Tapi aku takut kamu nggak mau."
"Kamu punya mulut buat nanya, kan, Ocean? Lagipula kamu istriku, buatlah apa saja semaumu dan aku akan tetap makan. Aku bukan orang yang cerewet soal makan selama itu adalah makanan sehat."
"Aku masih boleh kerja?"
"Boleh kerja apa tidak itu terserah bapakmu. Beliau yang bayar kuliahmu, apa hakku melarangmu buat kerja atau tidak? Kenapa bertanya seperti itu?"
"Aku harus tau semuanya, apa yang boleh dan tidak boleh untuk kulakukan. Mengingat aku hanya istri sementara, aku harus tahu diri dan bisa menempatkan diriku supaya kamu nggak tersinggung."
Rahang Satrio mengetat, mulutnya terkatup rapat lalu mengembuskan napas yang tadi sempat ditahannya. Ocean benar-benar menguji kesabarannya. Perempuan satu itu harus segera diberi pelajaran supaya bisa berpikir terlebih dahulu sebelum mengatakan sesuatu yang tidak penting.
"Baik ... kamu sendiri yang mengatakan kalau kamu adalah istri sementara padahal aku tidak menganggapmu begitu. Jadi dengarkan, lakukan pekerjaanmu sebagai istri. Aku nggak mau tahu bagaimana usahamu, yang jelas aku harus mendapatkan makan 3 kali sehari, makan siang yang harus kamu antar ke ruang kerjaku dan makan malam yang akan aku makan sepulang dari praktik. Paham, Cean?"
"Iya," jawab Ocean singkat.
"Kalau kamu merasa capek, kamu harus mengatakannya kepadaku supaya aku bisa mempekerjakan pengurus rumah tangga karena aku nggak mau menerima alasan kamu capek kalau aku sedang menginginkanmu."
"Aku nggak mau!" seru Ocean.
"Aku tidak tanya pendapatmu. Aku punya istri dan wajar kalau aku menginginkannya, bukan?"
"Istri sementara."
Satrio menertawakan Ocean yang terus menekankan status pernikahan mereka. "Karena kamu istri sementara dan aku sudah membayar mahal untuk semuanya, maka lakukan pekerjaanmu. Jangan menjadi wanita payah yang sebentar bilang iya lalu bilang tidak dalam hitungan menit."
"Sam aku bukan istri bayaranmu."
"Kamu sendiri yang menempatkan dirimu di posisi itu, jadi lakukan semuanya sampai hutangmu lunas. Kau akan melakukan sesuatu yang aku ijinkan dan jangan coba-coba menghindarinya."
Satrio berlalu dari ruang makan dan kembali ke kamarnya. Dia tahu sudah kehilangan kesabarannya menghadapi Ocean, tetapi dia juga merasa sangat jengkel dengan Ocean yang keras kepala. Satrio menukar bajunya dengan celana panjang dan kemeja santai lalu mengenakan jaket tipis. Setelah itu dia menyambar kunci mobilnya dan melangkah menuju pintu depan.
"Sam, mau ke mana?"
Satrio menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Ocean yang masih memegang pisau berjalan ke arahnya dan berhenti beberapa langkah darinya.
"Apa hakmu bertanya? Istri sementara ... tetaplah di rumah, aku ada perlu dengan teman-temanku. Jangan kemana-mana karena aku tidak mengijinkannya."
Satrio membuka pintu dan berlalu tanpa repot-repot menutup kembali pintu itu. Dia Juga tidak menghiraukan kata-kata Ocean walaupun mendengarnya dengan jelas.
Ocean yang lebih muda sedang mengantarkan sepupunya periksa di rumah sakit. Pemeriksaan yang lama membuat Ocean menunggu di kantin karena tidak ada hal lain yang bisa dia lakukan. Suasana yang ramai di kantin membuatnya sedikit kikuk saat seorang pria tinggi berkulit kecoklatan duduk di depannya."Sendirian? Boleh, kan, saya duduk di sini?" tanya pria itu.Ocean menyapu suasana kantin yang menang sedang penuh di jam makan siang seperti itu. Tidak ada tempat duduk kosong yang tersisa selain di depannya. Ocean mengangguk mengiyakan izin pria asing itu.Si pria duduk dan mulai menyuap makanannya. Ocean mengamati pria yang duduk di hadapannya dengan berbagai pikiran yang singgah di benaknya. Dia tahu kalau pria itu tinggi, hidungnya mancung, sekilas Ocean lihat matanya tadi menyorot tajam. Jantung Ocean berdegup lebih cepat, tetapi memandang pria itu sangat menyenangkan hatinya. Sepertinya dia merasa sayang jika melewatkan mo
Satrio menekan klakson dan tak lama kemudian gerbang tinggi di depannya terbuka. Segera dia mengemudikan mobilnya masuk dan berhenti di belakang mobil kecil berwarna hitam. Keluar dari mobil dengan membawa kantong plastik berisi buah-buahan, dia berjalan menaiki teras. Belum sempat menekan bel, pintu terbuka dan muncullah Minah, ART yang bekerja di rumah Alfredo dengan Ale mengekorinya."Om Sat!" seru Ale yang langsung melompat ke pelukannya. Beruntung Satrio sudah memberikan kantong plastiknya pada Minah atau benda itu akan terjatuh karena dia memilih untuk menyambut terjangan Ale."Kencang banget lompatnya, Boy," kata Satrio. "Kalau Om Sat nggak bisa nangkap kamu gimana?" tanyanya sambil menggendong Ale masuk rumah.Ale memeluk leher Satrio erat. "Paling-paling kita jatuh, nggak sakit, sih, akunya. Kan nimpa Om Sat," celoteh Ale lugu.Seperti biasa, Satrio akan berubah seperti bocah jika bertemu dengan A
Ocean membuka pintu depan ketika mendengar deru mobil Satrio di luar. Sejak sedikit cekcok yang terjadi di antara mereka berdua tadi, suaminya itu keluar entah kemana dan baru kembali saat jam menunjukkan pukul 10. Ocean tidak menanyakan apa pun selain mengekor Satrio masuk ke kamar mereka. Sementara Satrio mandi, Ocean menyiapkan baju untuk Satrio. Dia menunggu sambil mengerjakan laporan pekerjaannya melalui ponsel.Terlalu asyik dengan pekerjaannya, Ocean sampai tidak sadar kalau satrio sudah keluar dari kamar mandi dan selesai mengenakan pakaian yang dia siapkan."Ada makanan tidak?" tanya Satrio."Ada," jawab Ocean. "Aku panaskan dulu." Ocean meletakkan ponselnya di ranjang dan melangkah keluar terlebih dulu. Satrio mengikutinya dari belakang sambil bersiul riang.Ocean memanaskan sop yang dibuatnya, hanya sekedar hangat supaya Satrio tidak sibuk meniupnya. Sementara menunggu sop hangat, dia menggoreng aya
Ocean menikmati makan siang dadakannya bersama Aegea dan Athena. Dia menilai bahwa 2 wanita yang bersamanya itu adalah orang yang baik. Selama makan siang, mereka membahas hal-hal ringan tentang kegiatan sehari-hari. Tidak ada yang bisa Ocean ceritakan karena dia merasa tidak ada yang menarik dari hidupnya.Hidupnya terlalu biasa, tidak ada hal menyolok atau terlalu istimewa untuk diceritakan. Lahir dari keluarga biasa, Ocean adalah putri dari seorang pria yang bekerja sebagai penghulu di KUA. Ibunya seorang ibu rumah tangga biasa yang telah mendidiknya dengan baik. Ocean menyayangi kedua orang tuanya yang mesti sederhana, tetapi tetap utuh memperhatikan dia dan adiknya."Ocean ... mikirin apa dari tadi kayak ngelamun gitu?" tanya Athena."Nggak apa-apa, Mbak Athena," jawab Ocean. "Hanya ingat adikku yang sedang sekolah di luar kota.""Ngomong-ngomong, kenapa kamu nggak dateng ke pernikahanku?" kembali Athena
Satrio pulang lebih sore pada hari Sabtu. Dia memasuki rumahnya dengan langkah ringan. Tidak ada lelah yang dia rasakan mengingat biasanya dia masih harus bekerja hingga malam. Satrio duduk di sofa dan melepas sepatu beserta kaos kakinya. Setelah itu bangkit dan pergi ke kamar mandi dekat dapur untuk cuci kaki.Satrio memasuki kamarnya dan menemukan Ocean tidur di ranjang mereka yang tertutup seprai berwarna merah tua dengan motif garis-garis berwarna perak. Gorden yang tidak tertutup sempurna mengantarkan sinar matahari sore menembus kaca dan jatuh tak jauh di atas kepala Ocean. Satrio melangkah ke jendela dan menutup gordennya. Selesai dengan itu, Satrio menoleh ke arah Ocean, istrinya bergerak sedikit lalu kembali nyenyak dengan memeluk guling.Satrio berpikir mungkin dia keterlaluan menyuruh istrinya memasak dan mengantarkan makan siang. Perempuan ini jadi tidak punya banyak waktu untuk bekerja dan mengurus dirinya. Mungkin dia harus mempekerjakan seorang pengurus ru
Sudah berminggu-minggu sejak pengusiran Delta dari rumah sakit. Hubungan Ocean dan Satrio memburuk karena hal itu. Ocean menuduh Satrio semena-mena sementara Satrio tidak mau mengalah dan tetap bersikeras bahwa Delta adalah tamu yang tidak dia inginkan dan tak seharusnya datang beberapa kali untuk menengok bapak Ocean.Ocean yang tidak sependapat dengan Satrio secara otomatis mengemukaan pendapat bahwa Delta datang hanya sebagai teman dan tidak pantas jika Satrio mengusirnya. Namun, Satrio tetaplah Satrio yang tidak akan mendengarkan orang lain jika sudah berpendapat. Semua ucapan Ocean dianggap angin lalu hingga segala sesuatunya memburuk untuk mereka berdua.Ocean yang awalnya mendiamkan tingkah suaminya menjadi makin serba salah ketika suaminya itu tidak merespon keterdiamannya. Semua seolah menjadi bumerang untuknya. Satrio bersikap masa bodoh dan tidak mau tahu dengan semua alasan yang diucapkan Ocean dan berujung yang perang dingin di
Satrio mengikuti kegiatan bakti sosial ke daerah terpencil. Sedikit banyak dia merasa terhibur dan melupakan rumah tangganya yang sedang tidak baik-baik saja. Kesibukan luar biasa yang dilakukannya bersama dengan rekan-rekan kerjanya terbukti ampuh untuk melalui hari dengan bahagia.Perubahan musim dengan cuaca yang cukup ekstrim membuat pengobatan gratis disambut warga setempat dengan antusias. Rata-rata dari mereka sakit flu, kulit, dan diare. Kedatangan para dokter ini dinilai cukup membantu warga masyarakat yang menganggap bahwa flu akan sembuh dengan sendirinya.Masyarakat juga antusias pada penyuluhan tentang keluarga berencana dan pentingnya mengatur jarak kelahiran demi kesehatan ibu dan anak. Imunisasi gratis juga diberikan kepada balita yang membuat para ibu senang. Ada juga yang mengkonsultasikan beberapa anak pilek dan tidak kunjung sembuh setelah beberapa minggu."Sat, ayo pulang," ajak Raphael yang tampaknya sudah selesai dengan pekerjaannya.Sa
Ocean sedang duduk sendirian di taman belakang rumah. Biasanya hari Sabtu dia masuk kerja hanya setengah hari. Kebiasaannya saat akhir pekan setelah menikah adalah mengunjungi rumah orang tuanya, tetapi hari ini adalah pengecualian. Ocean memilih untuk berada di rumah, berniat menunggu Satrio pulang kerja.Semalam Satrio pulang larut dan tampak sedang marah. Ocean tidak mengerti apa yang diributkan oleh Satrio hingga berkata tajam seperti itu. Untuk pertama kali dalam pernikahannya, Ocean merasa sangat terasing. Meskipun suka menyindir, biasanya Satrio masih ramah dan berusaha membuatnya nyaman dan itu tidak terjadi akhir-akhir ini.Ocean menyandarkan punggungnya di kursi taman yang terbuat dari rotan. Bentuk bundar kursi yang sedang dia duduki membuat Ocean merasa nyaman menikmati angin sepoi-sepoi yang menyapanya. Di sampingnya ada es tebu yang semalam dibawakan oleh Satrio serta bolu kukus dengan taburan keju dan diletakan di atas meja.