Share

5. Teman Menyesatkan

Satrio menekan klakson dan tak lama kemudian gerbang tinggi di depannya terbuka. Segera dia mengemudikan mobilnya masuk dan berhenti di belakang mobil kecil berwarna hitam. Keluar dari mobil dengan membawa kantong plastik berisi buah-buahan, dia berjalan menaiki teras. Belum sempat menekan bel, pintu terbuka dan muncullah Minah, ART yang bekerja di rumah Alfredo dengan Ale mengekorinya.

"Om Sat!" seru Ale yang langsung melompat ke pelukannya. Beruntung Satrio sudah memberikan kantong plastiknya pada Minah atau benda itu akan terjatuh karena dia memilih untuk menyambut terjangan Ale.

"Kencang banget lompatnya, Boy," kata Satrio. "Kalau Om Sat nggak bisa nangkap kamu gimana?" tanyanya sambil menggendong Ale masuk rumah.

Ale memeluk leher Satrio erat. "Paling-paling kita jatuh, nggak sakit, sih, akunya. Kan nimpa Om Sat," celoteh Ale lugu.

Seperti biasa, Satrio akan berubah seperti bocah jika bertemu dengan Ale. Keduanya terkikik ketika memasuki ruang tengah dan menemukan Raphael beserta istrinya.

"Mas Sat, ke sini nggak ngajak istrinya. Nggak mau ngenalin ke kita, ya? Kamu umpetin terus biar apa?" Athena memberondongnya dengan pertanyaan.

Satrio menurunkan Ale dan mebuat bocah itu duduk di sampingnya. "Hei Bayiku, ngomong-ngomong sudah gol belum?" Satrio mengerling ke arah Athena.

"Main sepak bola, Om Sat?" Ale bertanya dari sebelah Satrio.

"Nah, loh ...."

"Diam, Bayi!" Satrio sedikit keki pada Athena.

"Om Sat ... kenapa tante dipanggil bayi? Kan yang bayi adek Vito?"

Melihat seringaian Athena yang semakin lebar, Satrio benar-benar merasa jengkel dan rasanya ingin menjitak kepala cantik itu saking gemasnya.

"Jangan bilang kalau kamu mau menjitak istriku." Raphael membaca pikiran Satrio dengan tepat.

Satrio tertawa kencang ketika mengingat bahwa seluruh pikiran konyolnya selalu dibaca Raphael dengan tepat. Dia sendiri heran bagaimana pria pendiam seperti Raphael bisa begitu peka pada situasi-situasi tertentu.

"Kenapa tertawa kalian keras sekali? Mau diusir gara-gara mengganggu istirahat Vito?" Alfredo datang dan langsung bertanya dengan nada menyebalkan.

"Itu Papa ... Om Sat bilang tante main bola gol," lapor Ale.

Alfredo mendelik ke arah Satrio, sementara Satrio cengengesan tidak merasa berdosa. Dia tidak peduli pada omelan yang akan Alfredo keluarkan, paling-paling temannya itu akan mengatakan tentang mengontrol kata-kata di depan anak kecil.

"Ale ayo ikut tante, tadi puding lumut buatan mama pasti sudah dingin," ajak Athena pada Ale yang langsung membuat bocah itu bangkit dari kenyamanannya bersandar pada Satrio.

"Aku mau makan puding dulu, ya, Om Sat, Om Ael, Papa," pamit Ale. Satu per satu dia memeluk papa dan para om kesayangannya sebelum meraih tangan Athena dan berlalu ke dapur.

Satrio meremas rambutnya dan berbaring  di karpet setelah mendorong Raphael. Rasanya begitu damai berada di rumah sahabatnya ini, melupakan sejenak tentang pertengkarannya dengan Ocean yang sama sekali tidak ada niatan untuk melembutkan hati.

"Istrimu kenapa?" Raphael langsung bertanya tanpa sungkan.

Satrio menarik bantal yang sedang disandari Alfredo, menutupkannya ke wajah tanpa mengindahkan pertanyaan Raphael. Tak seberapa lama, bantal itu ditarik dari wajahnya dan tampaklah muka menyebalkan Alfredo dekat dengan matanya.

"Pasti kamu nggak memuaskan," ejek Alfredo.

Satrio meninju lengan Alfredo. "Dasar menyebalkan," umpatnya. "Bisa nggak kalau ngomong itu yang menyenangkan dikit?"

Alfredo terkekeh. "Ya nggak bisa. Aku kan nggak pernah menyenangkan dari dulu."

"Lagian, ya, Sat ... ajak istrimu kemari. Kenalin sama Bee-nya Ael. Siapa tau nanti bisa nemu solusi."

"Kelihatan, ya?" Satrio lesu.

"Jelas banget!" seru Alfredo dan Raphael bersamaan.

Satrio menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Dia tahu teman-temannya itu baik meski mulut mereka kadang susah untuk dikondisikan. Mengingat suka duka mereka dari jaman sekolah, kuliah, hingga bekerja dan menikah ... rasanya tidak perlu ada yang dia sembunyikan. Mereka juga selalu bersama melalui masa-masa sulit walaupun saling ejek dan mengumpat saat kejengkelan lebih menguasai pikiran mereka.

"Kalau nggak bisa cerita yang gak papa. Berat banget kelihatannya." Raphael berujar sementara matanya tidak pernah lepas dari bacaannya di ponsel.

Itu juga hal yang dia sukai dari temannya. Meski tahu dia sedang ada masalah dan belum siap bercerita, mereka tidak memaksa dan biasanya memilih untuk mengalihkan perhatian pada suatu kegiatan yang bisa mereka lakukan bertiga. Ada kalanya mereka hanya akan duduk dan ngemil makanan yang mereka buat sendiri dengan rasa yang pasti tidak karuan. Disitulah lagi-lagi keakraban mereka terlihat. Dengan hasil makanan yang rasanya tidak karuan itu, mereka akan mulai saling mencela dan pada akhirnya tertawa atau mendapat pelototan dari Aegea yang memang sering berada di antara mereka.

"Ocean ingin bercerai dariku segera setelah bapaknya sembuh."

Hening. Alfredo melihat ke arah Satrio seketika. Raphael meletakkan ponselnya dan berpaling memberikan perhatian penuh seperti halnya Alfredo. Tidak ada yang mendesak untuk mengetahui permasalahan itu lebih lanjut. Keduanya menunggu Satrio bercerita.

"Hampir enam tahun lalu dia adalah calon istriku. Aku berniat mengajak kalian untuk melamarnya ketika tiba-tiba dia datang ke rumah sakit dan meninggalkanku. Aku nggak tahu salahku, tapi Ocean memang tidak pernah berusaha untuk kembali padaku."

"Masa pergi tanpa alasan. Pasti ada kata-kata yang menyiratkan kekecewaannya." Rahael berkomentar, menuang es teh yang sudah ada di meja dan meletakkannya di depan Satrio.

Satrio mengingat-ingat apa yang dikatakan Ocean saat terakhir kali mereka bertemu. Mengingat kata per kata yang sekiranya menjadi alasan Ocean meninggalkannya.

"Aku tidak menemukan alasan yang masuk akal, kecuali ... tunggu ... Ocean bilang dia tidak suka pada calon suami yang terlalu ramah pada wanita."

Raphael menaikkan satu alis dan dengan gaya menyebalkan melirik ke arah Satrio. "Cemburu itu," ujarnya santai.

Satrio berdecak. "Apa yang dia cemburui? Aku nggak dekat dengan siapa pun waktu pacaran sama dia."

"Heh, Sat," panggil Alfredo. "Mungkin menurutmu begitu, tapi mendengar alasan yang dia katakan ... Raphael benar, dia cemburu. Dasar nggak peka."

Satrio mengingat-ingat semua kejadian yang mungkin menjadi alasan kecemburuan Ocean. semakin dipikir, semakin dia kesal karena tidak satu pun dia merasa membuat kesalahan. Mungkin Ocean mengada-ada, tetapi ibu mertuanya bilang bahwa sejak putus dengannya, istrinya itu tidak pernah menjalin hubungan cinta. Bisa dikatakan Ocean menghindari pria seperti wabah.

"Aku nggak ingat." Satrio menyerah untuk mengingat. "Sepanjang ingatanku, aku memang tidak pernah membuat komitmen selain dengan dia."

"Kau bawalah dia main-main ke sini. Jangan memancing pertengkaran yang nggak perlu. Kenalin sama Gea dan senorita, biar dia ada temannya," usul Alfredo.

Satrio mengangguk, menyetujui usul Alfredo sepenuhnya. Bisa jadi temannya itu benar, jika kenal dengan Aegea dan Athena siapa tahu Ocean bisa lebih terbuka. Biasanya perempuan-perempuan itu akan lebih terbuka terhadap sesamanya dan yang pasti dia percaya Athena akan mampu membantu untuk menyelesaikan masalah ini.

"Jaga mulutmu saat di rumah." Raphael memperingatkan.

"Aku tidak ngomong apa-apa," ujar Satrio.

"Kalau aku mengenalmu 2 hari maka aku percaya sama omonganmu. Masalahnya aku kenal kamu tahunan dan mulutmu itu paling lemas kalau ngomong. Nggak ada saringannya sama sekali." Raphael membeberkan keburukan Satrio tanpa rasa berdosa.

"Dasar fitnah."

"Sesat. Minum aja tehmu sebelum mulutmu makin panas," omel Alfredo.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status