Perjalanan menuju ke pemakaman nenek dan kakek Liera, yaitu kedua orang tua Merry yang sangat dia sayangi walau terkadang Merry harus dituntut untuk bisa pintar dalam segala bidang namun dibenci atau tidak sukanya Merry kepada orang tuanya mereka tetaplah orang yang harus Merry hormat dan selalu berjasa dalam kehidupannya yang masih panjang.
Merry masih merenungkan ucapan para klien yang selalu menanyakan kabar Keira yang hingga saat ini belum pernah Merry publikasikan pada teman-teman ataupun mereka yang ikut kursus di kelas 'flowers lovely' dia memang seorang anak model yang terkenal tapi hubungannya tidak sebaik yang mereka lihat dan mereka dengar.
Merry sendiri bahkan tidak pernah berbicara dengan Keira lebih dari 10 kalimat, jika ada kesempatan barulah mereka bisa bertemu padahal mereka tinggal di satu atap yang sama dan hanya perlu memberanikan diri untuk saling mencoba lebih dekat, namun sekali lagi ketidak beranian Merry membuat jarak antara dirinya dan Keira seperti tebing yang terpecah oleh lautan dan tidak akan bisa bersatu lagi.
Harus menyalahkan siapa?
Perubahan Keira atau ketidakberdayaan Merry untuk merangkul putrinya kembali.
"Ibu—"
"Ibu, baik-baik saja?" tanya Liera, dia sangat mengerti tentang perasaan ibunya jika suasana tiba-tiba menjadi lebih hening dan sepi, Liera memang seperti anak kecil di mata Merry dan orang lain tapi bukan berarti dia tidak mengerti tentang perasaan ibunya jika sedih dan ketika sang ibu kehilangan semangatnya, Liera-lah satu-satunya harapan bagi Merry untuk terus berdiri sebagai seorang ibu sekaligus ayah bagi kedua putrinya.
"Ya, Liera butuh sesuatu?" tanya Merry, dia sedang menyalakan lilin untuk kedua orang tuanya setelah meletakkan buket bunga. merry menghela nafas saat dirinya belum bisa menjelaskan apapun pada Liera tentang kehidupan masa lalu dan juga masalah Keira yang berubah, Merry terlalu membebani semua ini hingga menjadi perasaan yang rumit untuknya.
"boleh Liera bertanya?"
"hm—katakanlah"
Liera sedikit menggeser posisinya untuk menghadap kearah Merry, sebenarnya pertanyaan ini sudah sangat lama ingin sekali Liera tanyakan dan ingin dia ketahui kenapa kakaknya baru kembali setelah dia dewasa.
"Ibu, apakah Liera memiliki ayah? Selama ini Liera hanya bisa melihat fotonya tapi Liera tidak pernah bertemu dengannya."
Seperti dugaan Merry sebelumnya, cepat atau lambat Liera akan mengajukan pertanyaan itu pada dirinya, tapi kenapa harus sekarang? merry hanya takut semua akan menyulitkan dirinya ketika Liera tahu segalanya, apalagi saat ini Merry terus didesak oleh Tuan Grew yang ingin menjodohkan putranya dengan Keira yang jelas-jelas sudah beberapa hari ini menghilang.
Seharusnya Merry tidak menjanjikan hal itu pada rekan bisnis lamanya. Tapi ibarat kata nasi telah menjadi bubur, Merry tidak bisa menarik lagi janji-janji yang sudah diucapkan pada Tuan Grew.
"kenapa Liera bertanya seperti itu? Bukankah Liera sudah pernah bertanya tentang ayah?"
"Ibu, Liera ingin bertemu dengan ayah, jika kakak Keira saja bisa tinggal bersama, kenapa Liera dilarang bertemu dengan ayah?"
"Liera! ibu sudah berkata berhenti bertanya tentang ayahmu!" ucap Merry, dia menaiki suara hingga bisa dikatakan itu adalah hentakan pertama yang Merry lakukan pada Liera, hingga akhirnya hanya ada penyesalan ketika Liera mulai terdiam.
Liera, gadis lugu itu tentu saja terkejut sekaligus takut, dia sampai tidak berani untuk menatap wajah sang ibu, Liera lebih memilih untuk bungkam dan mencoba untuk tidak menangis ketika rasanya begitu menyakitkan mendengarkan sang ibu meninggikan suaranya, padahal Liera hanya bertanya tapi kenapa ibunya begitu marah seakan-akan Liera telah melakukan kesalahan besar dengan mengajukan pertanyaan itu.
"Liera, maafkan Ibu, sayang."
Merry benar-benar tidak mengerti kenapa dia begitu kesal saat Liera mengatakan ingin bertemu dengan ayahnya, belum lagi anak itu mengebutkan kata Keira yang membuat Merry semakin merasa bersalah dengan kedua putrinya, dengan lembut Merry menarik putrinya kedalam pelukannya, mencoba membuat Liera tidak menangis karena perbuatannya.
"kenapa Ibu? Liera hanya bertanya, tapi kenapa Ibu marah?"
"Ibu tidak marah sayang, Ibu terlalu banyak masalah hingga tidak sadar melukaimu, Liera mau memaafkan Ibu?"
Dalam pelukan sang Ibu Leira menangis namun dengan mudah anak itu langsung memaafkan kesalahan sang ibu, benar-benar gadis lugu dan penurut yang menjadi idaman kaum adam dalam menginginkan dirinya, namun akan mudah dipengaruhi oleh orang yang salah.
"ayo kita kembali, Liera ingin membeli cake Red velvet atau ingin Ibu buatkan sup ayam?"
Liera langsung mengangkat kepalanya untuk menatap sang ibu, jika sudah berbicara dengan makanan Liera akan langsung benar-benar bersikap seperti anak kecil,
"Liera ingin makan kaldu ayam boleh? Dan Ibu bisakah membelikan Liera permen coklat?"
Merry tersenyum dan mengangguk pada Liera, dia menggandeng tangan sang putri untuk segera kembali pulang karena hanya dengan langit yang begitu panas bisa membuat Liera pingsan jika terlalu lama berdiri dibawah teriknya sinar matahari.
"Ibu, aku masih memiliki satu minggu hari libur, tidak bisakah Ibu mengajak Liera jalan-jalan ke taman bermain? Atau kita bisa berkunjung ke pantai mungkin?" ucap Liera.
Merry dan Liera sedang dalam perjalanan kembali pulang.
"baiklah, kemana Liera ingin pergi?"
"apakah kita bisa pergi ke pantai? Sangat menyenangkan jika di musim panas berkunjung kesana."
"oke"
"Hore!!!" Liera langsung bersorak gembira, gadis lugu itu benar-benar bahagia seperti anak kecil dan mengemaskan dalam satu waktu,
"Thanks Ibu."
"You're welcome honey, kita mampir ke supermarket dulu."
"siap, Liera bisa beli permen coklat?"
"Belilah sebanyak yang Liera mau."
Dengan penuh bahagia dan senang Liera memeluk tubuh sang ibu penuh kasih sayang.
*******
Malam hari …
Jika sudah malam tiba, ketidaksukaan Julian semakin menjadi ketika dia tidak bisa memilih antara kembali pulang kerumah atau membuat seribu alasan untuk bisa menghindar pulang ke rumahnya.
Julian lebih suka jika dia tidur di kantornya atau di hotel, daripada harus kembali ke rumahnya dimana dia bisa bertemu dengan sang ayah, bukan Julian tidak mau tinggal bersama mereka tapi tekanan untuk menikah akan semakin ayahnya berikan ketika Julian berada dirumah.
Pria itu bahkan tidak akan betah berada dirumah walau hanya setengah hari atau bahkan hanya sekedar untuk tidur.
Namun hari ini sang ayah mengancam Julian jika pria itu tidak kembali malam ini, ayahnya berkata keesokan harinya Julian akan mendapatkan kabar kematian karena dirinya tidak mau kembali pulang, dan ancaman itu cukup memaksa Julian harus segera bertemu dengan sang ayah.
Di Ruang tamu yang hampir didominasi oleh warna merah maroon dan emas, belum lagi jantungan lampu yang begitu mewah yang berada tetap di atas sofa-sofa dan meja ruang tamu memberikan kesan tersendiri bagi mereka yang menyukai gaya klasik dan mewah.
Dengan wajah lelah dan ingin segera membersihkan diri, Julian hanya bisa pasrah ketika sang ayah menyeretnya untuk duduk di sofa yang akan menjadi kursi panas bagi Julian, karena seperti orang penjahat Julian akan terus diberikan pertanyaan hingga dia mengakui kejahatannya.
Dihadapan Julian sudah ada sang ayah, dan disampingnya ada Sean dengan permen yang tidak pernah lepas dari genggaman tangannya, benar-benar membuat Julian tidak punya kesempatan untuk melarikan dari sana, dengan gelisah Julian terus menarik nafas dan mengeluarkan secara berulang-ulang seperti dia sedang menunggu jawaban dari seorang yang dia cintai.
"kau akan segera bertemu dengan seseorang yang sudah ayah pilih." ucap Tuan Grew dengan tegas tanpa ada keraguan dalam setiap satu kalimat, sudah bertahun-tahun dia terus mengikuti keinginan putranya kini giliran dirinya yang harus menegaskan Julian dalam hal pernikahan dan warisannya.
"what? Ayah tidak bisa mengambil keputusan secara sepihak! Bagaimanapun aku punya hak untuk memilih dan mengambil keputusan sendiri"
"mau sampai kau akan terus menghindar? Apa kau Gay?"
"ayah! Aku menghindar bukan karena aku Gay tapi aku punya alasan tersendiri!"
"kalau begitu kau harus mau bertemu dengan orang pilihan ayah! Jika kau tidak mau aku benar-benar menggantung diriku"
Dengan malas Julian mengusap wajahnya dan menghela nafas untuk beberapa menit, "terserah, aku menyerah!"
Tanpa mau mendengar apapun penjelasan sang ayah, Julian segera menaiki anak tangga dan meninggalkan ruang tamu setelah perdebatan yang diakhiri secara sepihak, sekeras apapun Julian mencoba menjelaskan apapun pada sang ayah, tidak akan bisa menghindari dirinya dari pernikahan.
"Julian!!" teriak Tuan Grew, namun teriakkan itu benar-benar diabaikan oleh Julian, dengan sabar Tuan Grew mengelus dadanya agar jantungnya tidak kembali melemah karena terus memaksakan dirinya.
"ayah, Sean bantu kembali ke kamar? Ayah tidak boleh sakit lagi." ucap Sean, pria gangguan mental itu memang tidak mengerti apa yang menjadi perdebatan antara ayah dan kakaknya namun Sean mengerti jika sang ayah tidak boleh terlalu marah dan terlalu kecapean, itu bisa mengganggu pergerakkan jantungnya yang mudah lemas.
Tuan Grew mengangguk, dia membiarkan Sean membantunya kembali ke kamar, seharusnya Tuan Grew masih bisa menikmati indahnya hidup dimasa tuanya namun semakin memikirkan umurnya yang tidak panjang ditambah lagi dia harus memiliki putra yang satu sulit sekali untuk membuatnya mengerti ucapannya dan satu putra yang tidak bisa melakukan apapun selain meminta dibelikan permen terus.
Masih menjadi sebuah keharusan yang bisa dikatakan kewajiban menjadi seorang putra sulung di keluarga Grew untuk memberikan keturunan yang harus memiliki DNA murni sang ayah dan kesehatan dari calon sang ibu. Didepan cermin yang bisa memberikan gambaran betapa tampan dan tingginya seorang Julian yang dibaluti oleh jas hitam dan kemeja putih, ditambah dengan dasi kupu-kupu semakin memperlihatkan sisi pemimpin masa depan idaman kaum hawa. Dengan wajah datar dan sikap yang begitu cool melebihi lemari kulkas dua pintu itu membuat Julian terlihat begitu dingin namun sesungguhnya dia adalah pria yang lemah dalam ikatan masa lalu, sikap baik itu benar-benar sudah terkubur di gantikan dengan sikap keras kepala dan prince ice. Sebagai pemimpi sudah seharusnya Julian memiliki sikap seperti itu sejak di
Siang hari di Group JS--lebih tepatnya di ruangan presiden Julian.Yuri masuk keruangan dengan banyak sekali laporan keluhan dari pemasaran penjualan alat elektronik yang di produksi oleh Group JS, dia sangat kesal melihat Julian lagi-lagi hanya melamun di meja kantornya, mau sampai kapan masalahnya akan berakhir. Yuri menjauhkan tumpukkan kertas itu di mejanya bertujuan membangunkan pria itu."Oh! ayolah Yuri, kamu bisa membuatku mati muda jika seperti itu terus." ucap Julian terkejut, dia ingin sekali lari dari semua masalah ini namun tidak ada tempat baginya untuk pergi kesana."seharusnya aku mengatakan itu padamu presiden Julian! Tidak bisakah
Suara musik dari DJ di dalam klub Sun Flowers begitu mengundang untuk terus menari, terletak di pinggiran kota dengan fasilitas yang cukup bagi untuk kalangan atas sampai menengah, Klub Sun Flowers yang terdiri dari dua lantai dan beberapa ruangan VVIP, begitu mengiringi malam panjangan dengan suara teriakkan dari berbagai kalangan untuk menyalurkan segala kesenangan atau sebuah perasaan frustasi karena sebuah stress dalam menjalani hidup, semua yang berada di lantai dansa menari bagaikan tidak ada hari esok untuk sekedar mengingat mereka punya rumah.Semua begitu bersemangat dengan musik yang tidak kenal takut akan mengguncangkan klub malam, begitu berisik hingga untuk berbicara saja harus saling berbisik, jika tidak seperti itu, namanya sebuah klub malam, bukan?Tak hanya menyediakan berbagai kebutuhan entah itu musik,
Pagi yang cerah di musim summer ini, hari ini Leira dan Merry berencana akan menghabiskan liburan Lisa dipantai, rencana awal Liera memang ingin pergi kesana karena saat menyenangkan melihat pantai di musim panas seperti ini, ditambah dengan ombak dan angin yang selalu menjadi penyelengkap setiap dirinya berkunjung ke pantai.Tapi itu harus tertunda untuk beberapa jam karena tiba-tiba Merry memiliki sebuah jadwal pertemuan dengan tamu yang datang dari London, kali ini setelah sekian lama akhirnya Merry mendapatkan kerjasama dengan negara bunga sakura itu.Jadi mereka memutuskan menunda keberangkatan sampai Merry selesai melakukan pertemuannya.Liera menatap bosan pada layar TV yang menayangkan banyak program bagus, tangannya hanya terus menekan tombol 'next' yang tidak tahu apa tujuan dia melakukan itu, dia sudah mengemasi pakaiannya dan juga sudah menyiapkan kebutuhan lainnya, tapi sekarang dia harus menunggu sang ibu yang belum pulang."aku bosan!
Udara daerah yang terasa begitu menyejukkan ketika pertama kali meninggalkan bandara.Keira, Leira dan Merry, ketiganya menyeret koper masing-masing sambil berjalan meninggalkan bandara, jam sudah menunjukkan pukul lima sore.Karena Merry yang melakukan pertemuannya begitu lama belum lagi tiba-tiba Keira yang meminta ikut membuat ketiganya memesan penerbangan sore hari secara mendadak untuknya, awalnya Merry ingin menunda lagi keberangkatan menjadi besok tapi saat Keira memutuskan untuk ikut, entah kenapa Merry begitu senang sampai setelah kembali langsung bergegas menuju bandara.Wajah bahagia sangat terlihat jelas ketika Merry menatap kedua putri, walau Keira mengatakan terang-terang membenci dirinya tapi Merry masih bisa bersyukur karena Keira tidak menunjukkan jika dirinya tidak menyukai adiknya, walau sikapnya sangat dingin tapi dia masih mau menganggap Leira adiknya.Ketiganya menunggu mobil yang sudah pesan Merry, dengan barang yang tidak terlalu banya
Julian sama sekali tidak dapat memejam matanya, dia hanya bermodalkan nekat untuk datang ke pernikahan mantan kekasihnya tanpa memikirkan kesiapan apa yang akan dia lakukan ketika dia berada di acara tersebut, dia juga tidak terlalu menyukai suasana pernikahan yang menurutnya begitu membosankan jika berlama-lama berada disana.Waktu masih menunjukkan pukul lima pagi, seharusnya masih ada beberapa jam lagi sebelum dirinya melihat upacara pernikahan itu, tapi rasanya seperti dirinya-lah yang akan berdiri di depan altar, perasaan gugup bercampur khawatir menyelimuti pikirannya, tidak henti-hentinya langkah pria itu berjalan tak tentu arah."Akh!!! Menyebalkan!! Mereka yang ingin menikah kenapa harus diriku yang dibuat rumit!!" ucapnya, tak tahu ucapan itu tersampaikan untuk siapa."ayolah Jul!! Kau hanya perlu memberikan selamat lalu setelah itu pergi, tidak sulit bukan?"Haruskah sekarang dia menyesali pilihannya?Hanya menghadiri sebuah pernikahan
Menikmati suasana sore hari bersama dengan udara pantai sejuk dan angin yang menerpa tubuh, membuat segala kepenatan dalam hidup menjadi berkurang dan menghilang bersama indahnya suasana disana.Liera duduk diantara pasir putih dan suara ombak yang terus menggoda dirinya walau hanya sekedar mencelupkan kakinya disana, sang ibu maupun sang kakak tidak ada yang memiliki waktu untuk menemaninya untuk melihat indahnya matahari terbenam, padahal mereka hanya berada disana tidak lebih dari tiga hari tapi seakan-akan pekerjaan selalu membuat mereka lupa tujuan awal mereka bertiga kesini.Gadis Lugu itu hanya terdiam disana, disekitar dirinya banyak sekali pasangan yang juga menunggu moment itu, tak ada rasa iri dalam hatinya. Lisa selalu berpikir jika dirinya masih terlalu jauh untuk melangkah dalam hubungan 'pacaran' dirinya bahkan masih begitu canggung berinteraksi dengan teman sekolahnya, hal itu membuat Liera ingat dengan kejadian beberapa hari lalu dimana dirinya tak senga
Sesampainya di hotel …Liera menutup diri saat Sang Ibu terus mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi di antara dirinya dan pria yang Merry baru lihat, saat menemukan mereka berdua satu sama lain seperti telah terjadi sesuatu hingga Liera bahkan mau memakai jas pria itu.Tidak!!Pikiran negatif terus memenuhi pikiran Merry saat ini, dia hanya bisa menatap Liera yang terdiam di sofa dengan tatapan kosongnya, pertama kalinya Merry melihat Liera yang terdiam dan bahkan terus mengabaikan dirinya jika diajak berbicara."Liera?" panggil Merry, dia sedikit menjaga jarak pada putri dengan maksud memberikan ruang pada untuknya dan mencoba berbicara baik layaknya sebagai sahabat putrinya."Ibu, Liera tidak ingin mengatakan apapun, aku butuh istirahat sekarang."Liera pergi dari ruang tamu itu, dia berjalan kearah kamarnya dengan handuk yang masih berada diatas kepalanya, kejadian itu membuat banyak sekali pertanyaan dan juga keanehan yang terus menghantu