Share

Bab 06 - Prince Ice

Masih menjadi sebuah keharusan yang bisa dikatakan kewajiban menjadi seorang putra sulung di keluarga Grew untuk memberikan keturunan yang harus memiliki DNA murni sang ayah dan kesehatan dari calon sang ibu. 

Didepan cermin yang bisa memberikan gambaran betapa tampan dan tingginya seorang Julian yang dibaluti oleh jas hitam dan kemeja putih, ditambah dengan dasi kupu-kupu semakin memperlihatkan sisi pemimpin masa depan idaman kaum hawa.

Dengan wajah datar dan sikap yang begitu cool melebihi lemari kulkas dua pintu itu membuat Julian terlihat begitu dingin namun sesungguhnya dia adalah pria yang lemah dalam ikatan masa lalu, sikap baik itu benar-benar sudah terkubur di gantikan dengan sikap keras kepala dan prince ice.

Sebagai pemimpi sudah seharusnya Julian memiliki sikap seperti itu sejak dia dipaksa mengambil alih gedung bertingkat itu satu tahun yang lalu, jika bukan karena Julian memikirkan kehidupan Sean yang harus terus diawasi oleh perawat dan psikiater, mungkin Julian sudah memilih menjadi seorang pemain piano terkenal, namun semua kembali pada takdir dan pilihan, jadi tidak ada pihak yang bisa disalahkan untuk saat ini dan kedepannya.

Setelah memakai jam pemberian dari seseorang yang sudah lama dicintai yang kini dirinya sudah bahagia tinggal bersama pria lain, seharusnya Julian membuat jauh semua kenangan dirinya dengan wanita itu, tapi tidak ada sedikitpun dalam lubuk hatinya ingin segera melupakan wanita yang sudah menetap dalam hatinya lebih dari tujuh tahun lama.

Sebelum melangkah keluar dari kamarnya, pria itu mencoba untuk menghela nafas sebagai satu permulaan jika dirinya siap akan bertemu dengan sang ayah dengan segala desakan dan juga ancaman yang sebagai ganti dari sarapan pagi untuk Julian.

"Kakak!" 

Baru berlangkah meninggalkan kamarnya, Julian membalik tubuhnya untuk melihat sosok sang adik yang tidak pernah berubah semejak kecelakaan itu terjadi, setiap kali melihat tatapan polos dari seorang Grew Sean benar-benar membuat Julian ingin sekali menghancurkan hidup orang yang telah membuat adiknya menjadi seperti ini.

Dia berputar balik dan melangkah mendekati Sean, dengan piyama yang masih melekat pada tubuhnya seperti tadi malam, Julian merangkul tubuh sang adik untuk menuruni anak tangga bersama-sama.

"Kakak! Bisakah Kakak Julian belikan aku buku dongeng lebih banyak?"

"kamu sudah belajar merapikan kamarmu sendiri?" tanya Julian, dia tersenyum murung ketika tangan Sean lebih dipenuhi oleh kotoran permen daripada pulpen atau alat tulis lainnya. 

"Bukankah sudah ada pembantu untuk apa aku melakukan itu!"

Julian menarik kursi memerintahkan Sean untuk duduk disana, dia mengambil kain untuk membersihkan tangan dan juga mulut Sean layaknya seperti anak kecil yang belum mengerti apapun, "Sean, kamu harus lebih sering mengikuti kata Kakak mulai sekarang, mulai sekarang kamu tidak boleh menangis meminta suatu, Sean mengerti? Berapa usia Sean saat ini?"

"Tujuh belas tahun."

"Sean! Kau ini su—lupakan! kamu nikmati saja sarapanmu."

Dengan sedikit kesal Julian melemparkan kain yang tadi gunakan untuk membersih-kan Sean ke sembarang arah, Julian muak dengan semua ini belum lagi urusan pekerjaan yang terus mengejar dirinya seperti seorang penagih hutang. 

Suasana ini membuat Julian sulit untuk membiasakan diri tinggal dirumah mewah itu ini lagi, baru saja kakinya akan melangkah meninggalkan rumah, langkahnya harus terhentikan karena beberapa pelayan menghadang dirinya.

"Tuan Muda, Tuan Grew ingin berbicara dengan anda." ucap sang pemimpin pelayan. Semua rumah ini begitu takut jika harus berhadapan dengan Julian secara langsung apalagi jika suasana hati sedang memburuk satu persatu dari mereka akan menerima imbas dari kekesalan. 

"Tuan Grew menunggu di ruang perpustakaan." ucapnya lagi, dia menundukkan sebelum meninggalkan Julian.

Julian terpaksa menghancurkan riasan rambut dan juga dasi yang sudah terpasang rapi. Dia segera meninggalkan teras rumah dan kembali melangkah masuk kedalam.

"katakan apa mau anda?"

Begitu tiba di ruang penuh dengan tumpukan buku tersusun dari di dalam rak, Julian langsung mengucapkan kalimat yang tidak sopan pada ayahnya, seharusnya dia memberikan sedikit sopan pada orang yang sudah membesarkannya hingga sekarang. 

"beri aku seorang cucu!"

"kau hanya ingin seorang penerus untuk group JS. bukan?"

Tuan Grew yang sedang menatap indahnya pemandangan di luar, langsung memberikan tatapan tajam pada putra yang saat ini hanya bisa diandalkan untuk tetap membuat keadaan keluarganya menjadi lebih baik.

"Kau juga harus nikah! Kita bukan hanya butuh penerus group JS. tapi juga seorang yang bisa merawatku dan adik gilamu itu!"

"Ayah!! Sudah cukup kau terus mendesakku untuk menikah! Tapi jangan menghina Sean yang tidak tahu apapun! Dia hanya korban dari tekanan ayah yang terus memaksa untuk selalu menang dalam setiap perlombaan Matematika! Jika saat itu Ayah tidak memaksa Sean pergi—mungkin dia sekarang sudah bisa membantuku mengelola Group JS!" ucap Julian sedang sedikit emosi yang dilibatkan dalam setiap kalimat, Ayah terlalu takut akan kehilangan kekayaannya dan juga begitu terobsesi pada sesuatu hal.

Itu adalah Julian sangat tidak suka berada di rumah, tempat seperti istana namun bagaikan penjara. 

"Kau—!"

"Ayah cukup!! Jika Ayah menyuruhku untuk menikah agar bisa merawat dirimu dan Sean, untuk apa aku harus di jodoh, lebih baik aku menikahi pelayan di rumah ini! Kita memiliki lebih dari 20 pelayan apakah masih tidak cukup untukmu? Atau kau sendiri yang ingin menikah! Silahkan aku tidak perduli!" teriak Julian, dia benar-benar meninggikan suara hingga mungkin yang melintas di luar ruangan bisa mendengar suaranya. "aku pergi!!"

Firasat buruk tentang kejadian ini membuat Julian takut jika Sean akan mendengar pertengkaran dirinya dengan sang ayah lagi. Dia keluar dari ruangan dengan segala perasaan yang bertumpuk menjadi satu, saat keluar dari lorong rumah benar saja dia melihat Sean terdiam disana.

"Kakak Julian, menyakiti ayah lagi?"

Dengan kesal Julian mengusap wajahnya dengan singkat.

"Sean, kau salah paham—,"

"aku tahu jika aku tidak berguna! Tapi jangan menyakiti ayah lagi Kakak, jika ibu melihat dia juga akan sedih."

Ucapan polos Sean benar-benar memberikan tamparan tetap diwajah Julian, dia lupa jika kecelakaan itu terjadi sebelum sang ibu meninggal dan kini Julian harus menyalahkan dirinya sendiri akibat semua sikapnya yang mudah sekali terpancing emosi dan terlalu menganggap jika semua beban ini hanya dia sendiri yang terus menangungnya.

"Jaga ayah dengan baik, aku akan pergi bekerja."

"apa Kakak Julian akan kembali nanti malam?" tanya Sean.

"aku tidak bisa berjanji Sean, aku harus pergi."

Julian mengelus kepala Sean dengan lembut, dia segera melangkah meninggalkan rumah itu walau rasanya dia terlalu takut akan kembali lagi nanti, tapi saat ini dia harus segera kembali ke kantor sebelum rapat dimulai dan Yuri akan memarahinya lagi.

******

Suara Bell rumah berdering mengalihkan perhatian ibu dan anak yang sedang menikmati indahnya sarapan pagi dengan semangkuk sereal dan sekotak susu coklat.

"Ibu, biar Liera yang membuka pintunya." 

Liera membuka pintu rumahnya setelah memeriksa siapa yang berkunjung ke rumahnya sepagi ini.

"Kakak Keira?" Liera begitu senang melihat sang kakak yang kembali pulang walau wajahnya tidak pernah seramah Liera, gadis itu tetap saja bahagia bertemu dengannya.

"Ibu, Kakak Keira pulang!!" teriak Liera, langsung Memberitahu siapa yang datang kepada sang ibu seperti anak kecil.

"kau berisik sekali, tidak lihatkah? Aku lelah menjauhlah dariku dan biarkan aku lewat!"

"Kakak Keira mau Liera bantu?" 

"Hantarkan ke kamarku."

Keira melewati Liera begitu saja, dia juga mengabaikan sang ibu yang baru saja tiba, dia benar-benar bersikap dingin pada keluarganya sendiri.

"Kakak Keira pasti lelah Ibu, jadi dia ingin segera beristirahat." ucap Liera, dia menyeret satu persatu koper yang begitu berat masuk kedalam rumah.

"sini biar Ibu bantu, Liera pergilah mandi, kita harus pergi nanti."

"siap, Ibu."

Liera berlari meninggalkan sang Ibu dengan dua buah koper yang tergeletak di sana.

"aku harus bagaimana Tuhan? Kenapa harus putriku yang seperti ini? Kenapa tidak pada diriku saja? Aku seorang ibu tapi aku benar-benar kehilangan kedua putriku."

Sedikit sedih bercampur ingin marah, Merry memerintahkan para pelayan untuk membawakan koper Keira ke kamarnya, dia harus menghubungi seseorang dalam urusan bisnisnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status