Share

DM I*******m

Drrrtt drrrtt

Panggilan telepon di ponselnya terdengar, Luna pun terbangun dari tidurnya. Lalu ia pun melirik ponselnya.

“Fika?”

Luna segera meraih ponselnya. Fika – sahabatnya sejak SMA ternyata menelponnya.

Fika           : Luna?

Luna          : Ya, Fik?

Fika           : Suara lo kenapa?

Luna          : Fika! Hiks.

Fika           : Lo mau gue jemput?

Luna          : Fika! Hiks.

Fika           : Tunggu ya, gue otewe ke rumah lo.

Tut.

Sambungan telepon pun telah selesai. Luna hanya dapat menangis. Selama ini hanya Fika – sahabatnya yang ia punya. Sekitar 20 menit kemudian, akhirnya Fika sampai di depan rumah Luna. Luna langsung menghampiri Fika.

Greb.

Luna memeluk Fika erat. Ia pun menangis dalam pelukan sahabatnya itu.

“Ayo naik, Lun! Ada Kaka di dalam,” ajak Fika. Rafka – kembaran Fika menyetir mobilnya. Luna pun menganggukkan kepalanya, ia pun masuk ke dalam mobil. Luna duduk di belakang bersama Fika, ia pun menangis terisak di pelukan Fika.

“Lo belum sarapan?” tanya Fika lembut. Luna pun menggelengkan kepalanya.

“Ka, bisa mampir ke resto dulu untuk sarapan?” tanya Fika ke Rafka – kembarannya. Rafka menjawabnya dengan gumaman saja.

Tak lama kemudian, mereka sampai di sebuah resto siap saji.

“Makan dulu, Luna.”

“Makasih ya, Fika.”

Luna pun menyantap sarapannya. Rafka dan Fika hanya bisa saling menatap satu sama lainnya. 10 menit kemudian, Luna sudah selesai menghabiskan sarapannya itu. Merasa sudah agak tenang, maka Fika pun mulai bertanya kepada Luna.

“Lun, kenapa?”

Fika menatap sendu Luna, ia memang tahu semua kisah Luna. Luna sudah menceritakan semua kisah masa kecilnya itu kepada Fika. Fika menggenggam tangan Luna lembut, ia pun mengusap punggung tangan sahabatnya itu.

“Lo gak sendirian, ada gue sama Kaka di sini. Kalo lo ada sesuatu, lo bisa telepon gue. Gue pasti akan segera datang,” ujar Fika mencoba menenangkan Luna. Luna pun tersenyum singkat.

“Makasih Fika, makasih Kaka.”

“Udah sekarang lo mau balik ke rumah? Atau mau ke rumah gue?”

“Boleh gue ke rumah lo?”

“Tentu, ayo, ke rumah gue aja?”

“Maaf kalo ngerepotin,” ucap Luna. Ia merasa tidak enak selalu merepotkan sahabatnya itu.

“Enggak ngerepotin sama sekali ok. Ayo, Ka!”

“Ya,” jawab Rafka singkat.

Mereka pun akhirnya menuju rumah Huditama – rumah keluarga Rafka dan Fika. Pukul 8 pagi mereka sudah sampai di rumah. Rafka segera memarkirkan mobilnya, kemudian mereka semua turun dari mobil. Rumah mewah dan megah yang berada di Kawasan elit. Memang orang tua Fika dan Rafka itu adalah orang berada. Biarpun mereka dari keluarga yang kaya, tapi mereka sama sekali tidak sombong. Bahka Joe Huditama – Papa Rafka dan Fika, terkenal sebagai donator tetap di banyak panti asuhan. Sedangkan Sayla Huditama – Mama Rafka dan Fika, mendirikan sebuah panti dan sekolah gratis untuk anak yang kurang mampu.

“Assalamualaikum,” salam Fika ketika baru masuk ke dalam rumah.

“Waalaikumsalam,” sahut seseorang di dalam. Ternyata itu adalah Sayla Huditama – Mama Fika. Sayla Huditama memiliki kulit putih dengan lesung pipi sangat manis di kedua pipinya. Rambutnya panjang sepinggang berwarna kecoklatan.

Fika mencium tangan mamanya, begitu pula dengan Rafka.

“Loh? Luna?” tanya Sayla kaget melihat ada Luna di belakang Fika. Luna tersenyum manis lalu mencium tangan Sayla.

“Selamat pagi, Tante,” salamnya hangat, “Maaf Luna ganggu pagi-pagi,” lanjutnya lagi.

“Kamu gak ganggu kok, Luna. Tante malah senang kamu ke sini. Kamu sudah makan?”

“Sudah, Tante,” jawab Luna.

“Ma, Fika ma uke kamar sama Luna ya,” ujar Fika.

“Iya,” ucap Sayla, “Ka, kamu dicariin sama papa,” lanjut Sayla kepada anak laki-lakinya itu.

“Di mana, Ma?” tanya Rafka.

“Di ruang kerja papa,” jawab Sayla.

Rafka pun segera pergi ke ruang kerja papanya. Luna sendiri tidak terlalu dekat dengan Rafka. Karena dulu Fika dan Rafka itu berbeda sekolah saat SMA. Rafka merupakan sosok laki-laki pendiam, perawakannya tinggi, kulitnya putih, rahangnya tampak tegas, dengan lesung pipi di kedua pipinya.

“Ayo, Luna kita ke kamar!” ajak Fika. Luna menganggukkan kepalanya.

“Luna permisi dulu, Tante,” pamit Luna kepada Sayla.

“Iya, Nak.”

****

Luna dan Fika pun masuk ke dalam kamar tidur Fika. Kamar tidur Fika termasuk yang simple. Terdapat sofa dan ranjang ukuran king size, di ujung ruangan ada sudut membaca. Memang Fika itu sangat suka membaca, hal itu terlihat dari banyaknya buku yang tersusun rapi di sudut baca itu. Warna kamarnya pun sangat soft.

“Fika, boleh gue numpang mandi?” tanya Luna. Luna melihat Fika langsung merebahkan tubuhnya di ranjang. Fika langsung menoleh dan menganggukkan kepalanya.

“Boleh lah. Baju lo juga ada di lemari ya,” jawab Fika.

Ya, memang karena sudah sering menginap di sini, jadi baju Luna ada beberapa sengaja ditinggalkan di lemari Fika. Luna pun tersenyum mendengar jawaban Fika.

“Makasih ya.”

20 menit kemudian, Luna sudah selesai mandi dan berpakaian. Tiba-tiba ponselnya berbunyi.

Ting.

Ting.

Terdapat notif chat di ponsel Luna. Luna pun segera membuka ponselnya. Ia melihat ada direct message di aplikasi Instagram-nya.

Bryan        : Pagi, Luna.

Bryan        : Bagaimana kabar lo pagi ini?

Bryan        : Semoga baik-baik aja ya.

Luna tak membalas direct message dari Bryan itu. Ia hanya sekedar membacanya tanpa ada keinginan untuk membelasnya. Ia lalu menghela napasnya. Hal itu disadari oleh Fika. Fika langsung mendekati Luna yang sedang duduk di atas ranjang.

“Siapa, Lun?” tanya Fika. Ia sudah duduk di samping Luna.

“Enggak tahu. Dari kemari DM IG gue terus. Sok mau kenalan segala,” jawab Luna. Fika terkekeh mendengar jawaban Luna.

Ciee… pengagum rahasia nih?” ledeknya. Luna melirik tajam ke arah Fika.

“Bukan ih! Gak gue ladenin juga. Ngeri banget tahu, tiba-tiba DM terus tiap harinya,” jawab Luna seraya tertawa kecil.

“Gitu dong ketawa, gue gak suka lihat lo nangis.”

“Iya, Fika. Makasih ya lo selalu nemenin gue.”

“Itu gunanya sahabat bukan?” tanya Fika. Luna tersenyum mendengarnya. Ia sangat bersyukur sudah menemukan Fika dan menjadi sahabatnya selama ini.

“Fika…”

“Ya?”

“Semalam gue dengar pertengkaran mami sama papi lagi,” ucap Luna seraya menundukkan kepalanya. Ia sangat sedih jika mengingat kejadian semalam. Fika segera menggenggam tangan Luna. Ia mencoba memberikan energi positif terhadap sahabatnya itu, “Bahkan gue dengar suara pecahan sesuatu. Masih bisa gue tahan, gue coba menutup telinga gue. Tapi, begitu gue dengar suara tamparan, gue langsung ke luar dari kamar. Gue lihat, mami lagi jatuh tersungkur di lantai sambil memegang pipinya,” lanjut Luna.

“Bukan cuma sampai di situ, papi mau sabet mami pakai sabuk pinggangnya,” Luna masih melanjutkan ceritanya. Fika tersentak kaget mendengar cerita Luna, ia masih mengelus tangan Luna lembut.

“Gue melindungi mami, untungnya aja gak jadi dia sabet Mami. Dia langsung pergi ke luar dari rumah dengan banting pintu,” Luna menceritakannya sambil menangis terisak.

Greb.

Fika memeluk Luna, Luna menangis dalam pelukan Fika.

“Nangis aja, Luna. Gapapa kok lo keluarin semua kesedihan lo itu,” ucap Fika lembut seraya mengelus punggung Luna.

“Hiks… Papi jahat. Gue benci sama papi,benci banget.”

Luna mengeluarkan semua kesedihannya saat itu. Ia tak mempu meyembunyikan perasaan sedihnya di hadapan Fika. Hampir 15 menit ia menangis dalam pelukan Fika. Karena merasa sudah lebih tenang, akhirnya Luna melepaskan pelukannya.

“Udah mulai tenang?” tanya Fika.

“Fika?”

“Ya, Lun?”

“Kalau membunuh orang itu gak dosa. Gue pasti udah bunuh papi.”

Fika tersentak kaget mendengar pernyataan Luna itu. Baru pertama kali ia mendengar ucapan Luna seperti itu.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Salfa Sucimaharani
Sabar ya laluna
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status