Share

Keluarga Huditama

Sore harinya, pukul 16.00

Luna masih berada di dalam kamar Fika. Tiba-tiba entah mengapa dia kepikiran dengan maminya. Biasanya maminya ini suka mencari Luna jika ia tidak ada di rumah. Ia melihat Fika sedang asik duduk sambil membaca sebuah novel tebal. Fika, gadis yang sejak dulu menjadi sahabatnya mempunyai mata bulat dengan bulu mata yang lentik. Jika orang tidak mereka kenal, pasti akan menyangka jika Luna dan Fika itu kembar. Karena secara wajah mereka itu mirip, hanya saja rambut Fika lurus hingga ke pinggang dan bentuk mukanya oval.

“Fika, gue kayaknya harus pulang deh.”

“Kok cepet?” tanya Fika seraya menutup novelnya. Ia segera menatap Luna.

“Gue kepikiran mami,” jawab Luna.

Tiba-tiba ponsel Luna berdering. Ia melihat siapa yang menelpon, ternyata maminya menelpon Luna. Luna segera mengangkat panggilan di ponselnya itu.

Luna          : Hallo, Mi.

Mami       : Sayang, kamu di mana?

Luna          : Luna lagi main di rumah Fika, Mi.

Mami       : Oh, begitu.

Luna          : Ada apa, Mi?

Mami       : Mami harus ke Surabaya sampai minggu depan.

Mami       : Barusan banget dapat kabarnya, kamu gapapa, ‘kan?

Luna          : Luna gapapa kok, Mi.

Mami       : Ya sudah. Mami berangkat ya?

Luna          : Iya, Mi.

Mami       : Kamu mau di sini apa menginap di rumah Fika aja?

Luna          : Luna belum tahu, Mi. Nanti Luna kabarin mami lagi ya.

Mami       : Iya, Nak.

Luna          : Hati-hati di jalan, Mi. Kabarin Luna kalau sudah sampai di sana.

Mami       : Iya, Sayang. Mami tutup ya?

Luna          : Iya, Mi.

Tut.

Luna bimbang mau tinggal di rumah atau di rumah Fika. Pasalnya jika ia bertahan di rumah, pasti ia hanya berdua saja dengan papinya. Biasanya jika maminya ada tugas di luar kota, ia pasti akan menginap di rumah Fika.

“Fika, mami mau ke Surabaya selama satu minggu.”

“Lo nginep aja di sini?”

“Gak enak sama Tante Sayla,” jawab Luna.

“Gapapa, mama pasti senang,” tukas Fika meyakinkan Luna.

“Gak ngerepotin?” tanya Luna memastikan.

“Enggak lah. Nanti pergi kampus bisa bareng gue sama Kaka.”

Luna memang satu kampus dengan Luna dan Kaka. Mereka kuliah di H University, kampus milik keluarga Huditama. Kampus elite ini terletak di pusat kota. Luna merupakan mahasiswi peraih beasiswa, sehingga ia tidak perlu memusingkan bayaran semester.

“Gue minta ijin sama Tante Sayla dulu.”

“Ya udah, yuk, kita turun ke bawah!” ajak Fika seraya menggandeng tangan Luna. Luna pun menganggukkan kepalanya.

Mereka pun segera turun ke lantai bawah. Kebiasaan di keluarga Huditama adalah jika sudah jam 5 sore, tepatnya sebelum makan malam semua anggota keluarga kumpul di ruang keluarga. Biasanya mereka mengobrol atau ada sesi curhat  di sana. Hal itu dibiasakan oleh Sayla dan Joe agar anak kembarnya itu terbuka dengan kedua orang tuanya.

“Hai, Semua,” sapa Fika. Sontak Sayla, Joe, dan Rafka yang sedang berada di situ semuanya menoleh ke Fika. Fika datang sambil menggandengan tangan Luna.

“Hallo, Sayang. Sini gabung duduk di sini, Luna,” ujar Sayla ramah.

“Iya, Tante.”

Luna pun duduk di samping Fika. Di sana ia melihat Rafka sedang asik menonton televisi, sedangkan Joe sedang membaca. Begitu melihat Luna dan Fika duduk bergabung, maka Rafka mematikan televisi dan Joe menutup novelnya.

“Luna, ‘kan?” tanya Joe – papa Fika.

“Iya, Om,” jawab Luna seraya tersenyum. Joe merupakan laki-laki yang ramah. Ia mempunyai wajah tegas seperti Rafka, namun matanya bulat seperti Fika.

“Gimana keadaanmu, Nak?”

“Baik, Om.”

“Kamu kuliah di mana sekarang?”

“Sama seperti Fika dan Rafka, Om.”

“Oh, ya? Di H University?” tanya Joe kembali. Ia memang jarang ke kampus, karena ia sendiri memiliki perusahaan yang bergerak di bidang properti.

“Betul, Om,” jawab Luna.

“Jurusan apa?”

“Luna ambil keguruan, Om.”

“Wah, calon ibu guru nih!”

“Iya, Om.”

“Hebat ya, Pa?” puji Sayla ke suaminya. Luna hanya tersenyum mendengar pujian Sayla kepadanya.

“Luna katanya di sana masuk jalur beasiswa,” sambung Sayla lagi. Joe langsung berdecak kagum ke Luna.

“Wow! Om justru baru tahu kamu di situ, Luna. Hebat kamu!”

“Papa ‘kan sibuk terus. Padahal kampus juga punya papa,” ujar Fika. Mendengar itu, Sayla langsung tertawa. Memang Fika itu dekat dengan papanya. Ia orang pertama yang sering protes dengan kesibukan papanya itu.

“Udah diprotes sama anaknya tuh, Pa,” sindir Sayla ke suaminya. Joe hanya menggelengkan kepalanya, ia pun terkekeh mendengar penuturuna dari putrinya itu.

“Papa gak merhatiin soalnya. Betewe, Kaka kok diam aja sih?”

“Eh?” kaka tersentak kaget karena sejak tadi dia hanya memperhatikan Luna. Jadi begitu namanya disebut, ia pun bingung harus menjawab apa.

“Ekhem!” Sayla mendeham seakan menyindir Rafka.

“Kamu kenapa, Ma? Sakit?” tanya Joe yang merasa tidak peka terhadap kode yang diberikan Sayla.

“Enggak, dasar tuan tidak peka memang kamu tuh.”

Fika tertawa terbahak mendengar percakapan orang tuanya. Rafka hanya salah tingkah karena ketahuan sedang disindir oleh mamamya.

“Om, Tante. Boleh gak kalau beberapa hari ini Luna menginap di sini? Mami Luna sedang ke luar kota. Ada dinas katanya di Surabaya,” Luna pun meminta ijin kepada Joe dan Sayla.

“Boleh dong, Sayang. Ya, Pa?”

“Iya, boleh kok. Malah makin ramaj aja di sini nanti,” sahut Joe. Luna pun tersenyum mendengar bahwa ia diperbolehkan untuk menginap di sana.

“Terima kasih, Om, Tante,” ucap Luna.

“Yeaaay! Fika jadi ada teman satu kamar dong.”

“Oh iya, besok rencananya kita mau ke Bandung. Luna ikut ya?” ajak Sayla.

“Eh? Kalau begitu Luna pulang aja, Tante,” Luna mencoba menolak secara halus. Karena ia merasa itu merupakan acara keluarga mereka. Tidak seharusnya ia ikut dalam acara keluarga Huditama itu.

“Yaaah jangan dong, Luna. Ikut aja ya?” Fika mencoba untuk membujuk Luna.

“Iya, ikut aja ya? Biar makin ramai,” sambung Sayla.

“Kalau begitu, Luna ikut, Tante,” jawab Luna yang akhirnya mau diajak pergi.

“Nah! Gitu dong! Kan seru nanti kalo Luna ikut, Fika jadi ada teman curhatnya.”

“Ya sudah, besok kita berangkat subuh ya? Biar agak lengang. Kaka nyetir ya?” tanya Joe memastikan ke putranya itu.

“Gak satu mobil aja, Pa?” tanya Rafka.

“Enggak, papa mau pacarana sama mama,” Joe menjawab santai pertanyaan putranya itu. Rafka memutar bolanya malas.

“Udah tua juga.”

“Biarin aja lah. Ya gak, Sayang?” Joe menggoda Sayla. Sontak pipi Sayla merona merah.

“Kak, ada anak-anak! Malu tahu!” protes Sayla.

“Hahaha masih aja merah mukanya.”

Cup.

Joe mengecup kening istrinya itu. Sayla hanya salah tingkah mendapat kecupan dari suaminya. Rafka menggelengkan kepalanya.

“Papa, Mama! Lihat tempat dong!” protes Fika.

“Tahu nih,” timpal Rafka.

“Hahaha kalian kan sudah besar,” jawab Joe santai.

“Benar-benar deh ini,” Fika memutar bola matanya malas.

Romantis dan harmonis memang keluarga ini. Tante Sayla dan Om Joe juga sangat baik. Beruntung banget Luna ada di tengah mereka ini, Tuhan.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status