Share

Bertemu

Luna tersentak kaget melihat chat dari Bryan ini.

Hah? Kok dia tahu sih? Apa jangan-jangan dia ada di sini juga?

Bryan        : Boleh kita ketemu?

Bryan        : Gue ada di dekat lo.

Bryan        : Tapi kalau memang lo gak berkenan, gue gak akan deketin lo.

Apa udah waktunya gue harus ketemu sama dia? Ketemu aja kali ya? Dari pada gue penasaran terus.

Luna          : Tunjukin muka lo.

Bryan        : Dengan senang hati 😊

Bryan        : Gue ada di depan lo sekarang.

Degup jantung luna beregup kencang. Ia pun segera menaikkan pandangannya. Terlihat sosok pria di hadapanya. Luna memperkirakan usia pria itu di atas 20 tahun. Pria ini berkulit putih, dengan sorot mata yang tajam. rambutnya berwarna cokelat mahoni di sisir rapi. Raut wajahnya tegas, alis matanya pun tebal memberikan visual tegas pada dirinya.

Jadi dia yang namanya Bryan Naradhipta? Gue gak pernah lihat sebelumnya. Siapakah dia sebenarnya?

Bryan tersenyum hangat melihat raut wajah penuh tanya pada Luna.

“Hai, Laluna Indhira. Boleh gue duduk di sini?” sapanya masih dengan senyum menghiasi wajahnya yang tampan itu.

“Hmm,” Luna hanya bergumam singkat.

“Terima kasih,” Bryan pun duduk di hadapan Luna, “Akhirnya kita ketemu juga ya?” lanjutnya lagi.

“Bua tapa lo kirim DM terus ke gue?” selidik Luna.

“Bukannya udah gue jelasin? Gue mau kenalan sama lo, Luna,” jawab Bryan tenang, “Oi ague belum kenalan secara langsung ya? Nama gue Bryan Naradhiptan,” sambungnya lagi. Kemudian ia mengulurkan tangan ke arah Luna. Luna tidak meraih tangan Bryan, ia hanya fokus menatap Bryan saja.

“Gak mau berjabat tangan, Luna? Oke, gapapa 😊 ,” ucap Bryan seraya menurunkan tangannya kembali dan tersenyum.

“Gak usah sok kenal, gue gak kenal sama lo,” hardik Luna.

“Tapi gue emang kenal sama lo kok, Luna.”

Luna menatap tajam ke arah Bryan. Bryan masih saja mengembangkan senyumnya itu. Entah mengapa Luna merasa senyum Bryan itu mempunyai banyak arti. Ia harus berhati-hati menghadapi pria ini.

“Gue gak kenal sama lo, sama sekali gak kenal,” tekan Luna kembali.

“Bukannya enggak, Luna. Tapi belum kenal aja kok. Betewe gimana keadaan mami? Apa dia sehat?” jawab Bryan santai. Luna tersentak kaget mendengarnya, bagaimana mungkin pria asing itu mengenal maminya?

“Gak usah sok kenal sama mami gue, lo itu hanya orang asing,” tukas Luna.

“Tapi kenyataannya emang gue kenal kok, Lun.”

“Lo siapa sebenarnya?” selidik Luna kembali.

“Gue Bryan, kan tadi udah gue kasih tahu lo,” jawab Bryan masih dengan santainya dan senyum terus mengembang di wajahnya itu.

“Maksudnya apa? Lo kenal sama mami, gitu?”

“Bahkan gue sangat mengenal papi lo juga, Luna.”

Luna kembali tersentak kaget, ia tak menyangka pria ini bisa kenal kedua orang tuanya. Tanpa sadar, Luna segera menundukkan kepalanya begitu mendengar bahwa pria ini mengenal papi. Rasa benci terhadap papinya kembali menghantuinya.

“Jangan pernah sedih lagi, Luna. Memang beraat kehidupan ini. Tapi lo masih bersyukur ada mami yang sayang sama lo, ‘kan?” tutur Bryan, ia melihat Luna masih menundukkan kepalanya.

“Gue tahu pasti perih banget yang sudah lo lalui selama ini. Tapi lo sanggup untuk hadapinnya, ‘kan?” sambungnya lagi.

“Lo masih dapat berdiri tegak sampai hari ini, detik ini juga. Jadi angkat kepala lo, jangan nunduk terus. Lo buktikan sama papi kalo lo itu bisa hadapin semuanya, lo itu wanita yang tegar.”

Entah kenapa Luna mendengar nada menguatkan yang terlontar dari Bryan. Secara tak sadar, hatinya menjadi kuat. Ia mulai menaikkan pandangannya dan menatap Bryan. Entah mengapa seakan Bryan ini sangat tahu apa yang dialami Luna selama ini.

“Lo siapa sih sebenarnya?”

“Gue Bryan, dan gue punya tugas untuk melindungi lo.”

Luna bingung harus bagaimana saat ini. Ia baru saja bertemu dengan Bryan, sosok misterius yang mengetahui tentang dirinya serta keluarganya. Namun entah kenapa sudah ada rasa nyaman sendiri dalam diri Luna, terlebih dengan mendengar penuturan Bryan tadi. Seakan-akan mereka sudah lama bertemu dan kenal satu dengan lainnya.

“Lo ada kelas jam 11, ‘kan? Sekarang udah jam setengah 11. Nanti lo telat lagi masuk kelasnya,” ucap Bryan seraya melirik jam tangannya.

Mendengar hal itu, Luna langsung mengernyitkan dahinya. Ia berpikir, bagaimana bisa Bryan tahu mengenai mata kuliahnya itu.

“Dari mana lo tahu?”

“Gue tahu semua tentang lo, Luna.”

Kok agak creeapy ya jadinya? Bagaimana bisa dia tahu semua kegiatan gue?

“Sana masuk kelas, ini gue bawain sesuatu buat lo,” sambung Bryan lagi. Kemudian ia memberikan kotak makan kepada Luna. Luna menautkan kedua alisnya, ia tak mengerti lagi tentang sosok yang ada di hadapannya ini.

“Gue tahu jadwal lo padat hari ini, makanya gue buat makan siang ini. Supaya maag lo gak kambuh lagi.”

Luna tersentak kaget, pasalnya tidak ada yang tahu bahwa ia memiliki maag. Bahkan Fika pun tidak mengetahui hal ini sama sekali. Hanya maminya yang tahu, tidak ada lagi yang tahu selain maminya.

“Selamat belajar ya, Luna. Gue pergi dulu.”

“Bye, Luna,” ujar Bryan seraya melambaikan tangan ke Luna. Luna hanya terdiam dan tidak tahu harus berkata apa lagi.

*****************

Matahari pun semakin tinggi, saat ini sudah jam 2 siang. Luna baru saja ke luar dari kelasnya. Ia baru masuk kelas lagi 30 menit kemudian. Ia lalu duduk di bangku yang ada di koridor kampusnya. Lalu ia membuka kotak bekal dari Bryan.

“Dari mana dia tahu makanan kesukaan gue?” tanya Luna terheran-heran. Luna kaget melihat isi kotak makan tersebut. Ada mie goreng di sana dengan tambaan sayuran, udang, dan telur.

Ting

Ting

Terdapat notif DM di IG Luna. Luna pun membuka aplikasinya itu.

Bryan        : Habiskan makan siangnya ya, Luna.

Bryan        : Semoga lo masih suka sama mie goreng dan udang 😊

Luna hanya membaca pesan itu. Ia pun terdiam seraya menatap layar ponselnya itu.

Siapa dia sebenarnya? Kenapa dia tahu semua tentang gue? Mulai dari mami, terus masalah gue di rumah. Bahkan dia tahu masalah maag gue juga. Sekarang juga ini, dia tahu masalah mie goreng ini. Dulunya gue suka sama mie goreng, tapi semenjak kejadian itu…

Luna melamun, ia mengingat kembali kisah masa lalunya.

***************

11 tahun yang lalu, saat itu ia berusia 7 tahun. Ia sedang duduk di atas meja makan, tampak ia sedang menunggu sesuatu.

“Luna, ini sayang mie-nya,” ucap Lina – maminya seraya memberikan piring yang berisi mie goreng dengan tambahan udang serta sayur di atasnya.

“Wah, ini pasti enak, Mi,” ujar Luna senang melihat makanan kesukaannya itu.

“Hahaha mami tambahin sayur di sana. Biar anak mami ini makan sayur, karena mami tahu kalo kamu itu paling susah makan sayur,” kekeh Lina melihat putrinya antusias dengan makanan yang ia bikin.

“Luna makan ya, Mi?” tanya Luna tak sabar.

“Iya, Sayang.”

Saat Luna akan makan, tiba-tiba papi masuk ke dalam ruang makan. Papi pun duduk di depan Luna.

“Aku lapar! Mana makan siangnya?” tanyanya kepada istrinya.

“Sebentar aku siapkan ya, Mas,” jawab istrinya.

“Enggak usah, aku mau makan mie ini aja!” cegah papi seraya melirik piring Luna. Lalu ia pun segera merampas piring berisi mie goreng itu.

“Papi..” ucapan Luna terhenti, ia menahan tangisnya.

“BERANI KAMU YA!”

PLAK!

Tamparan mendarat di pipi kiri Luna. Luna pun menangis.

“MAS! Kenapa kamu menampar anakmu sendiri?!” sungut Lina kepada Dhika – suaminya.

“JANGAN BERNADA TINGGI SAMA SUAMIMU!” bentak Dhika, “JAGA BICARAMU!”

“Mami.”

Luna pun memeluk maminya erat.

“Aku cuma mau mie ini! Tapi anak itu kebanyakan bicara!” cela Dhika.

“Ya ampun, Mas! Kalau memang kamu mau mie, biar aku buatkan lagi! Gak perlu sampai nampar anak sendiri!”

“AKU BILANG JAGA BICARAMU! AKU INI SUAMIMU!” bentak Dhika kembali.

PRANG.

Papi membanting piring berisi mie goreng itu. Lalu ia pun pergi dari ruang makan.

****

Luna menghela napasnya panjang. Secara tak sadar ia mengelus pipi kirinya itu.

Sakitnya masih terasa. Setiap tindakan kasarnya selalu gue ingat dengan jelas. Sejak itu gue gak mau lagi makan mie goreng.

Luna hanya memandang kotak bekalnya itu. Tak lama kemudian ia mendengar namanya disebut seseorang. Ia pun menoleh ke arah orang tersebut.

“Luna? Ini buat lo. Tadi gue beliin ini sekalian di kantin,” ucap Diana – teman kelasnya seraya memberikan kebab kepada Luna.

“Kebab?”

“Iya, tanpa mayo kok.”

“Makasih ya, Diana.”

“Eh? Lo bawa bekal?” tanya Diana.

“Iya, lo mau?” tawar Luna.

“Kok gak lo makan sih?” tanya Diana lagi.

“Gue makan kebab aja,” jawab Luna.

“Benaran nih, Lun?”

“Iya, makan aja nih!” Luna pun memberikan kotak makannya itu kepada Diana.

“Wah, dengan senang hati. Makasih ya, Luna.”

“Sama-sama.”

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status