Share

Trauma

Pukul 6 sore, Luna baru saja ke luar kelas. Ia segera ke toilet. Saat sedang mencuci tangan, tiba-tiba lampu padam. Luna pun tersentak kaget, karena ia tidak bisa berada di kamar mandi yang lampunya padam. Tiba-tiba tubuh Luna bergetar hebat, keluar keringat dingin di pelipisnya.

“A-ampun… Ampun, Pi,” gagap Luna. Ia pun meringkuk dan segera memeluk kedua lututunya. Tubuhnya menggigil hebat.

“Pa-papi, Lu-luna minta maaf. Lu-luna janji gak nakal lagi,” ucap Luna terbata. Ia pun mulai terisak, seraya memeluk erat lututnya.

Drrrt drrrt.

Terdengar ponselnya berbunyi, dengan sekuat tenaga ia mulai meraih ponselnya itu. Kemudian ia mulai menekan tombol menerima jawaban, lalu ia mulai melepaskan ponselnya itu. Ia masih saja menggigil hebat, tubuhnya bergetar, keringat dingin mulai banjir membasahi seluruh tubuhnya.

“Hiks hiks, a-ampun, Pi. Lu-luna janji gak nakal lagi. A-ampun, Pi.”

Kemudian Luna merasakan tubuhnya sangat lemas, sekelebat bayangan masa lalunya mulai menghantuinya.

****

Saat itu usia Luna menginjak 8 tahun. Ia pun ditarik tangannya oleh papi. Papi menarik keras tangan Luna, kemudian ia membuka pintu kamar mandi.

“Masuk kamu!” perintah papi seraya menarik tubuh Luna. Luna pun masuk ke dalam kamar mandi. Ia hanya dapat menangis terus menerus.

“Kamu harus tetap di situ! Sampai papi bukakan kembali pintunya! Berani-beraninya kamu bentak papi begitu!” hardik papi.

Saat itu, Luna melakukan kesalahan. Ia memecahkan vas bunga di ruang tamu, papi pun datang dengan amaranya. Kemudian Luna membela diri, ia bilang kalau dirinya tidak sengaja memecahkan vas bunga itu. Memang Luna mengucapkan hal itu dengan nada agak tinggi. Hal itu membuat papi Luna marah karena merasa anaknya itu membentaknya.

“Pa-papi.. Lu-luna minta maaf,” lirih Luna seraya menangkup kedua tangannya ke atas. Ia meminta maaf kepada papinya.

“TIDAK SEHARUSNYA KAMU BENTAK PAPI JUGA! PAPI INI ORANG TUAMU!” erang papi.

“MASIH KECIL SAJA SUDAH BERANI MEMBENTAK, APALAGI KALAU SUDAH BESAR! MAKIN GAK TAHU DIRI NANTI KAMU!” bentak papi kembali. Luna hanya dapat menangis menyesali perbuatannya itu.

“JANGAN MENANGIS! POKOKNYA KAMU TETAP DI SINI!” perintah papi, “RENUNGIN KESALAHANMU ITU! PAPI GAK AKAN BIARKAN KAMU KE LUAR DARI SINI SEBELUM KAMU SADAR!” lanjut papi lagi.

BRAK!

Papi menutup pintu kamar mandi dengan keras. Lalu papi mengunci pintu kamar mandi itu dari luar.

“Hiks hiks, Di-dingin, Pi,” rintih Luna.

Klik

Lampu kamar madni pun padam. Luna merasakan ketakutan yang teramat sangat. Sudah gelap di dalam ruangan sempit, di tambah dengan dinginnya kamar mandi membuat tubuhnya menjadi bergetar hebat.

“Huaaa, gelap, Pi. Lu-luna takut, Pi.”

Luna coba bangun, ia pun menggedor pintu kamar mandi, namun usahanya sia-sia, tidak ada respon dari luar kamar mandi.

“Papi, ampun, Pi. Luna minta maaf, Pi. Hiks hiks,” rintihan Luna terus terucap dari bibir mungilnya itu. Luna terus saja terisak, ia tak habis pikir kenapa papinya begitu tega terhadapnya. Kenapa perbuatannya itu selalu salah di mata papinya itu?

“Papi, hiks hiks,” tangis Luna terus saja ke luar.

Ternyata rintihan dan gedorannya itu tak ada respon apapun dari luar. Tubuh Luna menjadi lemas, ia sudah merasakan tubuhnya sangat kedinginan. Luna mulai menggelutukkan kedua giginya. Ia mulai menggigil kedinginan. Dingin kamar mandi mulai menusuk hingga ke dalam tulangnya.

“Di-dingin, Pa-papi.”

Luna meringkung di lantai kamar mandi yang dingin. Ia hanya bisa pasrah dan memeluk kedua lututnya itu dengan erat.

****

Dua orang mulai masuk ke dalam kamar mandi kampus. Mereka tersentak kaget melihat Luna yang sudah tak sadarkan diri. Tubuh Luna sudah jatuh pingsan di atas lantai kamar mandi.

“Luna!”

“Luna? Bangun, Luna!”

“Kita harus bawa dia ke rumah sakit!”

“Ayo cepat gendong dia, Ka!”

Greb

Tubuh Luna langsung digendong oleh orang itu, mereka pun segera menuju ke rumah sakit.

****

Pukul 9 malam, Luna mulai membuka kedua matanya. Ia bingung melihat sekelilingnya. Ruangan itu serba putih, dengan bau obat yang khas. Luna pun menoleh ke arah seseorang yang seseorang yang tengah menatapnya juga. Sorot matanya begitu intens menatap Luna.

“Luna?”

“Fika, cepat panggil dokter!”

Ternyata ia adalah Rafka, iya jadi Rafka dan Fika yang menyelamatkan Luna di kamar mandi itu. Rafka menatap Luna penuh kekhawatiran.

“Iya, Ka,” sahut Fika seraya ia pergi meninggalkan ruangan Luna.

“Ini di mana, Ka?” tanya Luna pelan. Ia masih terlalu lemas sehingga suaranya pun menjadi parau.

“Rumah sakit,” jawab Rafka singkat. Luna pun mengernyitkan dahinya.

“Rumah sakit?”

“Iya, lo pingsan di toilet kampus tadi.”

“Pingsan?”

Belum sempat Rafka menjawab, seorang pria dengan mengenakan jas putih datang ke dalam ruangan Luna. Pria itu mendekati Luna, di belakang pria itu ada Fika mengikuti.

“Permisi, nona Laluna sudah sadar?” tanya pria itu.

“Iya, Dok,” jawab Luna pelan.

“Biar saya periksa dulu ya?” tanya dokter. Dokter itu pun memeriksa kondisi Luna saat itu.

“Hmm, alhamdulillah semuanya baik,” ucap sang dokter itu kemudian, “Tapi, nona Luna harus istirahat dulu di sini ya. Karena kondisinya masih lemah, tidak memungkinkan untuk langsung pulang. Mungkin besok baru bisa pulang,” sambung dokter itu kembali.

“Baik, Dok.”

“Kalau begitu saya permisi dulu, jangan lupa diminum obat dan vitaminnya ya, Nona.”

“Terima kasih, Dok,” ucap Luna.

Dokter itu pun pergi meninggalkan Luna. Fika langsung menghampiri Luna, ia duduk di pinggir ranjang Luna. Kemudian ia menggenggam tangan sahabatnya itu.

“Lun, lo gapapa?” tanyanya khawatir.

Luna tersenyum mendengar nada khawatir dari sahabatnya itu. Kemudia ia pun menganggukkan kepalanya.

“Gue gapapa kok, Fika.”

“Gue khawatir banget sama lo, Lun. Kaka juga sama, dia khawatir juga sama lo. Dia sampe lari-larian nyari lo tadi keliling kampus,” jelas Fika. Mendengar itu, Luna pun melirik ke arah Rafka.

“Maaf ya, Ka, gue pasti udah ngerepotin lo lagi ya?”

“Enggak repot,” jawab Rafka singkat.

Luna tak habis pikir dengan kembaran Fika ini. Rafka itu tipe pria yang susah ditebak.

“Makasih ya,” ucap Luna tulus seraya tersenyum.

Rafka hanya menatap senyuman Luna itu tanpa meresponnya. Luna melihat Rafka mengalihkan pandangannya ke arah lain. Luna hanya tersenyum melihat tingkah pria itu.

“Lo laper, Lun? Mau makan?” tanya Fika.

“Enggak, Fika. Gue mau istirahat aja sekarang. Kalian pulang aja gapapa. Gue udah sehat kok dan gak perlu ada yang dikhawatirkan lagi. Lagian ada suster juga di sini,” pinta Luna kepada Fika dan Rafka.

“Enggak, gue mau jagain lo,” ucap Fika bersikeras.

“Tapi besok ‘kan  kalian harus kuliah?” tanya Luna kembali.

Ia harus membujuk Fika dan Rafka untuk pulang. Karena ia tidak mau membuat mereka repot lagi dengan keadaannya. Mereka berdua sudah terlalu baik padanya selama ini. Ia tak mau menjadi beban bagi keduanya.

“Gue gak mau ninggalin lo, Luna,” jawab Fika.

“Udah lo pulang aja, Fika. Biar gua aja di sini jagain Luna. Gue besok gak ada kelas,” ujar Rafka kemudian.

Luna tersentak kaget, jangan sampe hanya dia dan Rafka di sini. Luna masih terlalu canggung jika harus berdua dengan Rafka. Terlebih mereka memang tidak dekat sejak dulu. Rafka seakan menjaga jarak dengan Luna selama ini.  Namun, kenapa ia justru menawarkan diri untuk menjaga Luna?

Duh, bakalan canggung kayaknya kalo gue harus berdua aja sama Kaka. Gimana ya? Tapi kenapa dia bersikeras minta Fika pulang, terus biar dia yang jagain gue di sini? Lebih baik gue sendirin aja di sini.

“Tapi…”

“Kalian berdua pulang aja. Gue gapapa kok sendirian di sini. Gue gak mau ngerepotin kalian,” potong Luna. Ia terus berusaha agar mereka berdua pulang.

“Fika?” tanya Rafka penuh penekanan.

“Iya deh, gue balik ke rumah. Gue telepon Pak Kus dulu biar dijemput,” tutur Fika akhirnya mengalah juga.

“Hmm,” gumam Rafka singkat.

Fika pun akhirnya menelepon Pak Kus dan minta untuk dijemput di Rumah Sakit. Selesai menelepon, ia segera menoleh ke arah Luna. Luna dapat melihat raut wajah Fika masih menunjukkan kekhawatiran. Luna tahu jika selama ini Fika adalah sahabat terbaik baginya. Sejak dulu semua orang menatapnya sebelah mata, hanya Fika saja yang tulus mau berteman dengan Luna.

“Lun, benar lo gak mau ditungguin sama gue?”

“Gak usah, Fika. Sebenarnya gue bisa kok di sini sendirian. Ka, lo pulang aja.”

“Enggak,” jawab Rafka singkat. Luna hanya menghela napasnya.

“Ka, jagain Luna ya?” tanya Fika ke saudara kembarnya itu.

“Hmm,” gumam Rafka.

“Ya udah kalo gitu gue ke luar dulu ya? Luna, kalo ada apa-apa bilang ke Kaka aja.”

“Iya, Fika. Lo hati-hati ya.”

“Pasti, Luna. Bye semuanya,” ucap Fika lalu ia pun ke luar dari ruangan Luna.

Suasana canggung mulai terasa, Luna bingung harus bicara apa ke Rafka. Ia pun melihat Rafka masih menatapnya dengan ekspresi yang sulit ia artikan.

Tuh, ‘kan! Jadi krik krik gini suasananya. Mana dia natap ke arah gue mulu lagi? Tatapannya susah banget gue artiin. Dia kenapa emangnya? Apa dia marah sama gue ya? Duuh kenapa gue jadi begini sih?

Luna menatap ke arah lain, ia tidak bisa terus menerus menatap netra pria berlesung pipi di hadapannya itu. Terlebih jarak mereka juga dekat, membuat Luna bisa mencium parfum mint dari tubuh pria itu.

“Ka, lo udah makan?” tanya Luna pada akhirnya. Ia mencoba untuk membuat suasana canggung itu pergi.

“Udah,” jawab Rafka singkat.

Rafka masih terus memperhatikan lamat-lamat pada gadis di hadapannya itu.

“Gue tidur dulu ya? Lo gapapa sendirian?”

“Gapapa, gue di sofa itu aja,” ucap Rafka seraya menunjuk sofa yang ada di kamar itu,

“Iya, ya udah selamat tidur, Ka.”

Tak lama kemudian Luna pun mulai memejamkan matanya. Rafka hanya menatap wajah Luna secara intens. Setelah memastikan Luna tertidur, ia pun segera merebahkan tubuhnya di sofa.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status