Kamis, 21 Oktober 2021
Setelah menghabiskan kurang lebih lima bulan menulis –terkendala tugas perkuliahan dan sebagainya. Serial PARTNER IN CRIME resmi tamat kemarin malam, rasanya begitu lega dan menyenangkan bisa memberikan hasil akhir yang sesuai dengan keinginanku. Namun, cerita ini masih menyimpan beberapa kekurangan dan plothole di berbagai sisi. Oleh karena itu, penulis meminta maaf sebesar-besarnya jika ada cerita atau scene yang tidak dijelaskan secara detail. Tentu hal ini berkaitan dengan alur cerita agar tidak melenceng dan tetap di jalur utama kisah Revan dan Tiara.
Dasar dari ide saya membuat cerita perselisihan ditambah dengan romansa antara Mafia dan Polisi tak lain adalah nuansa yang baru, menciptakan kisah baru yang segar dan anti mainstream di kalangan pembaca yang banyak didominasi oleh cerita-cerita CEO, silat, dan sebagainya. Saya memang tipikal orang yang menyukai perbedaan dalam suatu perkumpulan, platform membaca online adalah perkumpulan yang kumaksud. Hal ini cukup nekat, benar-benar nekat karena saya sendiri belum memiliki reader base-ku tersendiri, namaku belum membooming atau famous seperti penulis lain. Namun, karena rasa ingin tahu tentang respon pembaca membuatku memutuskan untuk menulis sesuatu yang berbeda.
Tak kusangka, kesulitan pertama yang kudapatkan adalah menyinkronkan emosi antara Revan dengan Tiara. Penggambaran emosi Tiara yang masih hampa di awal memberikanku rintangan terjal bagaimana caranya agar pembaca dapat memahami isi hati Tiara. Aku bertanya-tanya kepada penulis lain, mencari riset keilmuan yang jelas, didapatkan satu cara yaitu dengan pendalaman dialog antar tokoh yang mengkaitkan tentang emosi keduanya. Awalnya memang sulit, karena menulis dengan POV 1 adalah sesuatu yang baru bagiku, tetapi aku tetap berusaha memberikan yang terbaik bagi pembaca.
Aku sengaja memberikan unsur politik di dalamnya, karena aku pikir dengan kondisi pemangku yang seperti ini bisa membangkitkan gairah dari pembaca agar melek sosial. Hal-hal yang dituliskan banyak menyiratkan persoalan sosial pelik yang dialami rakyat, kemiskinan, pencurian, dan sebagainya. Revan kuproyeksikan menjadi seseorang yang peduli pada rakyat dan benci terhadap pejabat, dan itu berhasil. Dalam pikirannya –pikiranku juga. untuk memberikan perubahan yang besar, maka diperlukan tindakan yang besar juga. Banyak scene aksi yang kumunculkan hanya berkutat di kehidupan glamor para pejabat, dan kuharap para pembaca bisa mengambil sisi lain dari scene-scene tersebut untuk diambil sebuah kesimpulan menurut pendapat masing-masing.
Endingnya mungkin membuat pembaca terkejut, terheran-heran, dan kebingungan besar. Aku memutuskan untuk memberikan kehidupan yang terbaik bagi mereka dengan alasan keselamatan keduanya. Itu termasuk janji Revan kepadanya untuk terus menjaga keselamatannya meski ia sudah jatuh hati pada pria lain, sebuah janji tetaplah janji yang harus dilaksanakan oleh pria mana pun. Ada yang merasa kesal, ada juga yang biasa saja, atau justru bahagia karena keduanya berakhir tanpa kesedihan. Namun, yang terpenting ending yang kutuliskan sesuai dengan apa yang kuinginkan ketika mengetikkan satu kata pertama di cerita ini.
Pada akhirnya, fiksi tetaplah fiksi. Isinya tetap akan mengoplos kenyataan dengan imajinasi, intuisi, dan pandangan penulis pada dunia. Hasil dari ketiganya membaur menjadi satu untuk menemukan satu jalan cerita yang terbaik yang berhak disuguhkan kepada pembaca, layaknya berlari di bawah kesadaran, mengalir layaknya air dari pegunungan. Begitulah kehidpan membaca terjadi, membiarkan imajinasi masuk dan melaju tak terkendali hingga ke relung hati terdalam.
Kenanglah penulis melalui karyanya, karena hanya karya yang bisa menetap hingga selamanya.
Singapura, 28 Oktober 2031Di salah satu sudut tersembunyi di Singapura, kawasan yang terkenal dengan perkampungan kumuh di tengah daerah industri megah dan gedung pencakar langit. Di tempat itu terlaksana pertemuan rahasia antar pemimpin organisasi dunia gelap se-Asia Tenggara.Aku datang bersama dengan ajudanku, Reno Zagreb dan beberapa pengawal yang sengaja kubawa karena tingkat kerawanan daerah tersebut. Kupijakan kaki di tanah kotor, berlumpur dan tergenang tersebut dengan pasrah.“Seharusnya mereka sudah berada di sini, kan?” tanyaku.Reno yang berada di sampingku hanya bisa mengangguk tanpa mengucap sepatah kata pun. Kulihat waktu mulai bergulir dengan cepat dan belum ada satu kepala yang datang untuk menyambutku. Sungguh penghinaan yang besar!Aku melanjutkan langkahku menyusuri setiap gang sempit dan gelap di daerah tersebut. Sesekali pandanganku tidak bisa lepas dari bayang-bayang kehidupan suram warga yang menetap di
***Pertemuan para pemimpin mafia se-Asia Tenggara itu berakhir ketika Pemimpin Perhimpunan Mafia Asia, Dong Yon Ji, pergi meninggalkan ruangan tersebut.Kuarahkan pandangan mata ini ke jam dinding besar yang berdetak dengan suara nyaring, waktu menunjukan pukul 7 malam waktu Singapura.Kaki ini langsung menopang tubuhku yang berdiri berbarengan dengan para pemimpin lain. Nyonya Missa sedari tadi terus saja melirikku dengan tatapan vulgarnya, kurasa ia terus melakukannya ketika Dong sedang berbicara selama pertemuan.“Apa kita akan pergi malam ini atau besok saja, Tuan Revan?” tanya Reno.Ia berjalan dan berdiri tepat di sampingku. Aku masih memerhatikan gerak dari Nyonya Missa yang sungguh menggoda batin. Harus kuakui dia memang wanita menarik, tapi kepribadiannya membuatku muak melihatnya.“Apa aku mengganggumu, Tuan Revan?” tanya Reno, wajahnya menyadariku yang sedari tadi terus menatap Nyonya Missa.“
Landing di Bandara Soekarno-Hatta. Beberapa orang berpakaian bebas mendatangiku yang baru saja keluar dari garbarata. Mereka semua menundukan kepalanya ketika aku memandang satu persatu wajah dari mereka. Seorang wanita datang memberikan laporan terbaru selama aku tidak berada di Indonesia. Aku bisa melihat hasil dari laporan tersebut, saham yang dimiliki oleh beberapa petinggi Cincin Hitam jatuh dengan drastis. Kuduga ini pasti akan terjadi, karena kejadian pembunuhan yang menimpa Anggota Dewan Lukman sangat mempengaruhi harga saham. Kubanting dokumen tersebut dengan kesal, kuperhatikan wajah seluruh orang di depanku, mereka tidak bisa berkata apa-apa selain diam dan mematung. Kupijat pelipis kanan seraya memejamkan mata, “Sudahlah, biar aku yang memikirkannya nanti. Kalian boleh pergi.” Mereka dengan sigap langsung membalikan badan, berjalan meninggalkanku dan dua orang di sampingku. “Siapa sebenarnya yang bermain-main denga
***Pertemuan dengan eksekutif selesai. Aku mencatat banyak perubahan yang terjadi dan menyepakatinya, salah satu perubahan tersebut adalah penggabungan beberapa saham agar nilainya tetap stabil.Kurapikan kembali berkas yang tadi digunakan dan memberikan semuanya kepada Violet. Wanita itu dengan senang hati menerima berkas tersebut dan membawanya ke ruang kerja dirinya.Terbesit dalam pikiranku tentang wanita yang kuhukum siang tadi. Ia kusuruh untuk menunggu di ruanganku, semoga saja dia terus merenungi kesalahan-kesalahan yang ia perbuat.“Bagaimana kabar anak dari Tuan Lee? Apa dia mengeluh sesuatu?” tanyaku kepad Reno.“Tidak, Tuan. Terakhir kuperiksa, dia tengah terdiam sambil terus menundukan kepalanya. Sepertinya dia begitu bersalah atas apa yang ia lakukan," ucap Reno yang masih berada di sampingku.“Iya, ini belum seberapa jika aku berniat menghukum wanita itu lebih jauh. Baiklah, aku akan pergi menemuinya,&
Pelayan hotel datang sesuai dengan permintaanku. Ia membawa pakaian staf dan resepsionis dengan harapan pakaian ini bisa mengelabui para polisi yang mengejar.Kedua orang di belakangku masih terduduk dengan bingung di atas kasur, mereka menutup tubuh toples mereka dengan selimut tebal kasur tersebut.“Terima kasih, berkat kalian kita tertolong,” ucapku, mereka memiringkan kepala dan memandangku dengan tatapan aneh.Segera kuajak wanita di sampingku, Gisele, keluar dari ruang tersebut. Kulihat di persimpangan depanku, beberapa polisi dengan pelindung tubuh dan senjata laras panjang menatapku dengan ramah.Untungnya mereka tidak tahu identitasku yang sebenarnya siapa. Mereka bisa bersikap baik karena mereka melihat aku hanya staf dan Gisele hanya seorang resepsionis.Ia berhenti di depan kami dan menatapku dengan tajam, “Apa kamu melihat seseorang yang turun dari lantai atas itu?”Ia menunjukan jari telunjuk kearah lang
*** Setelah situasi dirasa cukup kondusif. Aku berpamitan dan tak lupa berterima kasih pada keramahan pemilik rumah yang telah menerimaku. Mereka hanya terdiam dengan wajah yang kaget, itu terjadi setelah aku menjelaskan apa yang terjadi belakangan ini pada organisasi Cincin Hitam. Tanpa sepatah kata pun, mereka membiarkanku pergi dan segera menutup pintu rumah mereka rapat-rapat. Aku menyadari sikap mereka, sudah cukup buruk tinggal dan hidup di tempat kumuh seperti ini, mereka enggan berurusan dengan polisi terkait diriku. Aku berjalan sempoyongan, seragam staf hotelku lusuh. Ini diakibatkan pertempuran dengan polisi yang banyak membuatku kerepotan. Malam hari semakin gelap dan dinginnya malam semakin terasa menyeruak masuk ke setiap rongga tubuhku. “Akh … aku sangat lelah,” keluhku. Kususuri setiap jalan di daerah tersebut, hanya ada satu tempat yang bisa aku tuju, persembunyianku di rumah kecil. Di sana biasanya Tiara sudah
*** Setelah mendengarkan penjelasan dari mereka, aku mulai memfokuskan agenda hari ini untuk mengunjungi beberapa orang, salah satunya Lucas, anak dari Anggota Dewan Luqman. Kuraih pakaian sederhana di dalam lemari kayu, sebuah setelan sweater berwarna abu dengan celana jeans hitam, ditambah topi dan kaca mata membuatku seolah-olah bertransformasi menjadi orang yang berbeda. Aku dengan Lucas sudah beberapa kali bertemu di berbagai kesempatan, umurnya yang tidak terpaut terlalu jauh denganku membuat perbincangan kami terasa mengalir layaknya anak muda. Kini, fasilitas seperti mobil, penjagaan, dan senjata tidak kumiliki. Semuanya aku tinggalkan agar identitasku tidak diketahui dengan mudah oleh kepolisian, hal yang sama juga kuperintahkan kepada seluruh jajaranku di Cincin Hitam. Setelah dirasa semua rapi, kulangkahkan kaki ini menjauhi kamar dan membuka pintu rumah sederhana tersebut. Cuaca di siang hari itu begitu terik, bahkan panas
Tak kuduga kalau Tiara akan berpapasan denganku di rumah Luqman. Ia tengah berjongkok di depan noda darah seraya memegang sebuah plastik dengan tangan yang terbalut sarung tangan plastik berwarna putih.Ia seketika menghentikan aktivitas pemeriksaan itu dan berjalan dengan lenggang melewati garis polisi menghampiriku. Aku sama sekali tidak menemukan raut kecurigaan dari Tiara, ia bersikap ramah layaknya seorang kekasih menyapa pasangannya.“Kukira kamu pergi bekerja, Revan. Apa kamu sedang mengunjungi Lucas?” tanya Tiara, ia tersenyum membuat hatiku cukup lega.“Iya, aku sedang istirahat makan siang, karena lokasi yang berdekatan, aku sekalian mampir ke rumahnya,” ucapku.Baik Lucas atau Tiara tidak ada yang mengetahui identitasku yang sebenarnya. Mereka hanya mengetahui kalau aku adalah pekerja kantoran yang mendapatkan gaji standar UMR.Tiara juga tidak berniat mengulik kehidupanku lebih jauh, karena kita berpegang teguh p