Landing di Bandara Soekarno-Hatta. Beberapa orang berpakaian bebas mendatangiku yang baru saja keluar dari garbarata.
Mereka semua menundukan kepalanya ketika aku memandang satu persatu wajah dari mereka. Seorang wanita datang memberikan laporan terbaru selama aku tidak berada di Indonesia.
Aku bisa melihat hasil dari laporan tersebut, saham yang dimiliki oleh beberapa petinggi Cincin Hitam jatuh dengan drastis. Kuduga ini pasti akan terjadi, karena kejadian pembunuhan yang menimpa Anggota Dewan Lukman sangat mempengaruhi harga saham.
Kubanting dokumen tersebut dengan kesal, kuperhatikan wajah seluruh orang di depanku, mereka tidak bisa berkata apa-apa selain diam dan mematung.
Kupijat pelipis kanan seraya memejamkan mata, “Sudahlah, biar aku yang memikirkannya nanti. Kalian boleh pergi.”
Mereka dengan sigap langsung membalikan badan, berjalan meninggalkanku dan dua orang di sampingku.
“Siapa sebenarnya yang bermain-main dengan kita, Tuan Revan?” tanya Reno.
“Entahlah. Namun, melihat dampak yang ditimbulkan, bukan organisasi rendahan yang mampu melakukan ini.”
Kuraih kembali laporan yang tergeletak di atas lantai bandara, tidak etis apa yang sudah kulakukan dengan membanting dokumen yang susah-susah dibuat oleh wanita tersebut.
“Maafkan aku, tadi aku hanya kesal saja,” tuturku.
Wanita itu meraihnya seraya tersenyum, kedua mata wanita itu memandangku dengan tatapan yang berbeda. Aku sama sekali tidak tahu arti dari tatapan tersebut.
Tapi setidaknya aku bisa melihat wanita itu berpamitan dan meninggalkan kami dengan sebuah senyuman. Kuajak Reno untuk bergegas menuju markas besar Cincin Hitam, mendiskusikan isu yang terjadi dengan para petinggi di sana.
“Aku tidak pernah melihat sikap hangatmu seperti tadi. Apa perempuan itu spesial bagimu, Tuan Revan?” tanya Reno.
Ia berada di juru kemudi, membawaku menuju tempat pertemuan dengan para eksekutif. Aku berencana melakukan inspeksi terhadap seluruh anggota dan mencoba mencari tahu siapa pelaku pembunuhan.
“Tidak ada yang spesial darinya,” ucapku singkat.
Sampailah kami di depan gedung besar berwarna hitam dengan dekorasi vintage. Terpampang jelas papan nama di depan gedung tersebut bertuliskan Hotel Viscara, sengaja kugunakan tempat ini sebagai hotel agar tidak terlalu mencurigakan bagi para penegak hukum.
Kulihat mobil mewah dari para eksekutif sudah terparkir, aku hanya tertawa melihat selera mereka yang begitu norak dalam memilih warna mobil.
Mobilku terparkir, langsung kulangkahkan kakiku keluar dan berjalan menuju lobby hotel. Seorang wanita beradu pandangan denganku dan benar seperti yang kuduga, dirinya begitu kikuk dan gugup.
Wajar saja bagiku, karena dia tengah berhadapan dengan sang pemilik hotel ini sekaligus pemimpin mafia Cincin Hitam, aku sendiri.
Kulihat tangan wanita itu bergetar ketika memberikan sebuah dokumen kepadaku, ingin kutertawa kencang, tapi banyak orang yang tengah check in di tempat tersebut, aku lebih memilih menjaga image wanita itu daripada menuruti sifat burukku.
“Mereka sudah kumpul?” tanyaku seraya membuka dokumen.
“Ada beberapa sudah. Namun, Tuan Lee tidak bisa datang karena dia sedang sakit,” ungkap resepsionis tersebut.
Aku tidak masalah dengan Lee, lagi pula dia hanya pegang tidak lebih dari dua saham. Namun, pertemuan ini penting bagiku untuk menjelaskan kalau Cincin Hitam tidak ada kaitannya dengan pembunuhan Anggota Dewan Lukman.
“Hmm … yasudah aku akan meneleponnya nanti,” ungkapku.
Ketika hendak beranjak menuju elevator, langkahku terhenti oleh panggilan resepsionis tersebut. Wanita itu mengatakan kalau ada yang datang mewakili Lee di pertemuan nanti.
“Oh benarkah? Di mana dia?”
“Nona….”
Kulihat wanita itu keluar dari belakang meja lobby dan berjalan menuju salah satu wanita yang tengah duduk di atas sofa. Letak yang jauh dariku membuat mata ini tak bisa melihat wajahnya dengan jelas.
“Siapa dia?” tanyaku kepada Reno.
“Saya tidak tahu, Tuan. Namun, sepertinya dia masih satu keluarga dengan Lee,” ungkap Reno.
Wanita itu mulai berjalan cepat menghampiriku, wajahnya tiba-tiba mengkerut ketika memandangku, sekilas ia mengingatkanku pada wanita mabuk di pesawat, malam tadi.
“Tunggu, kamu siapanya Lee?” tanyaku kaget.
Wajah wanita yang sudah berada di dekatku terlihat jelas. Ternyata benar, dia adalah wanita mabuk yang ada di pesawat.
“Aku anaknya, lagipula kenapa kamu di sini? Apa kamu berencana untuk menguntitku, hah?!” bentak wanita tersebut.
Sikap dan perilakunya sama kasar saat pertama kali bertemu, ingin kubentak dan kumarahi habis-habisan dia karena sudah dua kali menghinaku. Namun, tangan Reno mencegah dan mengajakku untuk segera naik.
“Kalau kau tidak suka, jangan satu lift denganku!” bentakku.
Di dalam elevator tersebut, hanya ada kami bertiga, aku, Reno, dan wanita tersebut. Usia wanita pemarah itu kutaksir berada dikisaran 22-23 tahun, itu dikarenakan wajah dan tubuhnya masih terbilang muda layaknya seorang remaja.
“Yaampun, kamu pasti hanya seorang anggota rendahan, kan?! Jangan berani memerintahku yang datang sebagai eksekutif!” ketus wanita tersebut.
“Lagian aku juga sudah jijik dan enggan bertemu denganmu lagi. Semalam apa yang kau lakukan padaku ketika aku tertidur? Pasti pria mesum sepertimu berusaha untuk memerkosaku, kan?!” sambung wanita itu lagi, ucapannya jauh lebih pedas dan menyakitkan dari apa yang kuduga.
Tanganku mengepal erat, kedua pandanganku terus menatapnya dengan penuh emosi. Namun, Reno terus memegangi pundak dan bahuku, sehingga aku tak leluasa untuk menghampiri dan menghardik wanita tersebut.
“Tenanglah, ada masanya nanti dia akan diam sendiri melihatmu,” ucap Reno pelan di telingaku.
Benar juga apa yang ia katakan, dia sama sekali belum tahu siapa aku. Akan sangat menyenangkan jika aku bisa menyiksanya dengan label pemimpin mafia tepat di depannya nanti. Haha! Aku sangat menantikannya, sialan.
Pintu elevator terbuka, wanita itu dengan cepat langsung melangkah menjauhiku dan Reno yang masih terdiam di dalam lift. Wanita itu sangat angkuh sebagai perwakilan Lee di pertemuan ini, akan kubuat dia tersiksa ketika bertemu nanti.
“Di mana Violet?” tanyaku kepada salah satu staf kebersihan yang kebetulan melintas.
“Nona Violet sedang turun mengambil sesuatu, Tuan.” Pria tersebut langsung pergi setelah memberitahu lokasi wanita tersebut.
Mau tidak mau, aku harus menunggu di atas kursi di depan ruang wanita yang tengah kutunggu. Sudah berlalu 15 menit, aku belum melihat batang hidungnya sama sekali.
“Sedang apa dia? Apa ada sesuatu yang menarik di lantai bawah?” tanyaku kepada Reno.
“Tidak ada kurasa. Mesin permainan kita juga sedang diperbaiki, mungkin dia sedang mengambil secangkir kopi,” tutur Reno.
“Mengambil kopi dengan turun dari lantai 30? Sangat tidak masuk akal sekali, Reno. Sangat tidak masuk akal,” ungkapku.
Ia hanya bisa terdiam. Tak lama setelah itu, pintu elevator terbuka dan kulihat wanita itu datang bersama dengan seorang pria yang hanya bertelanjang dada. Tentu saja aku terkejut dengan keadaan tersebut.
“T-Tuan Revan…? Sejak kapan anda kembali ke sini?” tanya Violet.
Aku bisa melihat, kepanikan dari wanita itu yang terciduk membawa seorang pria ke lantai atas. Lantai 30 yang terbilang penting dan rahasia bagi umum.
Kulihat pria itu kembali masuk elevator dan turun ke lantai bawah. Kupandangi wajah Violet dengan tatapan tajam, kenapa anggotaku semuanya tidak ada yang waras?
“Apa yang kau lakukan, Violet?” tanyaku, tegas.
“Dia … tadi membantuku membawa dokumen, bajunya basah karena terjatuh di lantai jadi aku mengajaknya ke atas untuk mengambil baju lain,” ungkap Violet, matanya menatap langit-langit seraya tersenyum kecil.
“Aku tidak punya waktu untuk ocehanmu. Sekarang pertemuan akan berlangsung, apa kau sudah menyiapkan semuanya?” tanyaku.
“Sudah, aku sudah menyiapkannya. Kapan kau akan memulai pertemuan?” tanya Violet.
“30 menit lagi, bawa dan simpan di ruang eksekutif. Aku tunggu di sana.”
Segera kualihkan pandanganku menuju ruang pertemuan, tempat para eksekutif akan berdiskusi jika terjadi sesuatu yang gawat. Salah satunya adalah persoalan tentang saham dan pembunuhan Anggota Dewan Lukman.
Kubuka pintu tersebut dan seluruh orang di ruang tersebut sontak berdiri dengan sigap. Sangat menyenangkan sekali mereka menganggap dan menghargaiku, kulangkahkan kaki-kaki ini menuju kursiku yang berada di ujung ruangan tepat di tengah meja lonjong tersebut.
Ruangan sangat luas dan sejuk, seluruh interior sengaja kubuat hitam untuk menampilkan kesan keseriusan dan dewasa. Mataku menemukan seorang wanita muda yang tersentak kaget, ia duduk dan menatapku dengan tatapan yang membelalak, jackpot!
“Baiklah, pertemuan eksekutif ini akan saya mulai. Silakan kalian keluarkan seluruh data yang telah disiapkan,” ungkapku dengan tegas.
Sesuai perintah, hampir ke-25 orang eksekutif tersebut mengeluarkan data dan dokumen yang mereka bawa. Hanya ada seorang yang tidak mengeluarkannya, dialah wanita angkuh yang menghardikku habis-habisan di elevator.
“Apa Lee tidak memberitahumu?”
“Ayah … Lee tidak memberitahuku kalau ada dokumen yang perlu disiapkan,” ucapnya lirih, wanita itu berdiri dari atas kursi dan terus menundukan kepala.
“Oh begitu, yah?”
“Baiklah. Kemari, Gadis kecil!” pintaku sambil melambaikan tangan padanya.
Dengan langkah pelan, ia berjalan menaiki tangga dan berdiri tepat di sampingku. Bisa kulihat rona pipinya yang memerah, matanya terpejam, dan seperti dugaanku. Dia hanya pandai berbual, tak pandai bertindak.
“Kuberi kau dua pilihan, kau yang akan dihukum atau ayahmu? Pilih mana!” tegasku.
Karena suasana yang cukup sunyi, membuat suaraku yang tak terlalu keras bisa menggema di ruang tersebut. Violet datang membuka pintu dan memberikan beberapa dokumen yang tadi kuminta.
“Kalau begitu aku saja. Ayahku sedang sakit … aku tidak ingin merepotkannya,” ungkap wanita tersebut.
“Tuan Revan, Anda terlalu—”
“Kalau begitu keluar dari ruang ini, dan tunggu di ruanganku!” bentakku.
Ia segera berjalan menjauh dengan tangisan yang keluar dari wajahnya, aku memang tidak tega jika harus memarahi wanita semuda dirinya. Namun, ini penting untuk sikap dan perilakunya di masa depan.
“Apa anda yakin akan melakukan ini, Tuan Revan?” tanya Reno.
“Iya, dia perlu diajari tata krama.”
***Pertemuan dengan eksekutif selesai. Aku mencatat banyak perubahan yang terjadi dan menyepakatinya, salah satu perubahan tersebut adalah penggabungan beberapa saham agar nilainya tetap stabil.Kurapikan kembali berkas yang tadi digunakan dan memberikan semuanya kepada Violet. Wanita itu dengan senang hati menerima berkas tersebut dan membawanya ke ruang kerja dirinya.Terbesit dalam pikiranku tentang wanita yang kuhukum siang tadi. Ia kusuruh untuk menunggu di ruanganku, semoga saja dia terus merenungi kesalahan-kesalahan yang ia perbuat.“Bagaimana kabar anak dari Tuan Lee? Apa dia mengeluh sesuatu?” tanyaku kepad Reno.“Tidak, Tuan. Terakhir kuperiksa, dia tengah terdiam sambil terus menundukan kepalanya. Sepertinya dia begitu bersalah atas apa yang ia lakukan," ucap Reno yang masih berada di sampingku.“Iya, ini belum seberapa jika aku berniat menghukum wanita itu lebih jauh. Baiklah, aku akan pergi menemuinya,&
Pelayan hotel datang sesuai dengan permintaanku. Ia membawa pakaian staf dan resepsionis dengan harapan pakaian ini bisa mengelabui para polisi yang mengejar.Kedua orang di belakangku masih terduduk dengan bingung di atas kasur, mereka menutup tubuh toples mereka dengan selimut tebal kasur tersebut.“Terima kasih, berkat kalian kita tertolong,” ucapku, mereka memiringkan kepala dan memandangku dengan tatapan aneh.Segera kuajak wanita di sampingku, Gisele, keluar dari ruang tersebut. Kulihat di persimpangan depanku, beberapa polisi dengan pelindung tubuh dan senjata laras panjang menatapku dengan ramah.Untungnya mereka tidak tahu identitasku yang sebenarnya siapa. Mereka bisa bersikap baik karena mereka melihat aku hanya staf dan Gisele hanya seorang resepsionis.Ia berhenti di depan kami dan menatapku dengan tajam, “Apa kamu melihat seseorang yang turun dari lantai atas itu?”Ia menunjukan jari telunjuk kearah lang
*** Setelah situasi dirasa cukup kondusif. Aku berpamitan dan tak lupa berterima kasih pada keramahan pemilik rumah yang telah menerimaku. Mereka hanya terdiam dengan wajah yang kaget, itu terjadi setelah aku menjelaskan apa yang terjadi belakangan ini pada organisasi Cincin Hitam. Tanpa sepatah kata pun, mereka membiarkanku pergi dan segera menutup pintu rumah mereka rapat-rapat. Aku menyadari sikap mereka, sudah cukup buruk tinggal dan hidup di tempat kumuh seperti ini, mereka enggan berurusan dengan polisi terkait diriku. Aku berjalan sempoyongan, seragam staf hotelku lusuh. Ini diakibatkan pertempuran dengan polisi yang banyak membuatku kerepotan. Malam hari semakin gelap dan dinginnya malam semakin terasa menyeruak masuk ke setiap rongga tubuhku. “Akh … aku sangat lelah,” keluhku. Kususuri setiap jalan di daerah tersebut, hanya ada satu tempat yang bisa aku tuju, persembunyianku di rumah kecil. Di sana biasanya Tiara sudah
*** Setelah mendengarkan penjelasan dari mereka, aku mulai memfokuskan agenda hari ini untuk mengunjungi beberapa orang, salah satunya Lucas, anak dari Anggota Dewan Luqman. Kuraih pakaian sederhana di dalam lemari kayu, sebuah setelan sweater berwarna abu dengan celana jeans hitam, ditambah topi dan kaca mata membuatku seolah-olah bertransformasi menjadi orang yang berbeda. Aku dengan Lucas sudah beberapa kali bertemu di berbagai kesempatan, umurnya yang tidak terpaut terlalu jauh denganku membuat perbincangan kami terasa mengalir layaknya anak muda. Kini, fasilitas seperti mobil, penjagaan, dan senjata tidak kumiliki. Semuanya aku tinggalkan agar identitasku tidak diketahui dengan mudah oleh kepolisian, hal yang sama juga kuperintahkan kepada seluruh jajaranku di Cincin Hitam. Setelah dirasa semua rapi, kulangkahkan kaki ini menjauhi kamar dan membuka pintu rumah sederhana tersebut. Cuaca di siang hari itu begitu terik, bahkan panas
Tak kuduga kalau Tiara akan berpapasan denganku di rumah Luqman. Ia tengah berjongkok di depan noda darah seraya memegang sebuah plastik dengan tangan yang terbalut sarung tangan plastik berwarna putih.Ia seketika menghentikan aktivitas pemeriksaan itu dan berjalan dengan lenggang melewati garis polisi menghampiriku. Aku sama sekali tidak menemukan raut kecurigaan dari Tiara, ia bersikap ramah layaknya seorang kekasih menyapa pasangannya.“Kukira kamu pergi bekerja, Revan. Apa kamu sedang mengunjungi Lucas?” tanya Tiara, ia tersenyum membuat hatiku cukup lega.“Iya, aku sedang istirahat makan siang, karena lokasi yang berdekatan, aku sekalian mampir ke rumahnya,” ucapku.Baik Lucas atau Tiara tidak ada yang mengetahui identitasku yang sebenarnya. Mereka hanya mengetahui kalau aku adalah pekerja kantoran yang mendapatkan gaji standar UMR.Tiara juga tidak berniat mengulik kehidupanku lebih jauh, karena kita berpegang teguh p
Pria misterius itu masih berdiri di depanku, memegangi revolver yang tampak begitu nyata dan menatapku tajam. Reno dan Violet berada di belakang mengawasi dengan seksama.“Ikutlah denganku, kita bicara di pojok ruangan sebelah sana,” pinta pria tersebut.Aku mengangguk, kulangkahkan kaki ini bersamaan dengan pria itu yang mulai pergi. Tak hanya dia, hampir setengah dari pengunjung kedai kecil itu tampak misterius, mereka menatapku dan tak sedikit yang berdiskusi.“Apa kalian lakukan di sini sebenarnya?” tanyaku.Pria itu berhenti, ia segera mengeluarkan revolver dari dalam saku celana dan menodongkan benda itu tepat di depan dahiku.“SIALAN KAU!”“Jika kau maju, kepala bosmu akan berlubang saat ini juga,” ujar pria tersebut.Aku menyadari, mereka tidak bisa bertindak gegabah saat ini, semua yang mereka lakukan bisa menyebabkan nyawaku hilang di tangan para sialan ini.Namun, dari
Seperti dugaanku, ketika mobil kami sampai di depan rumah kepala kepolisian. Tampak kosong dan sepi penghuni, hanya ada beberapa orang yang berjaga seperti petugas keamanan.“Sepertinya mereka sedang tidak ada di sini,” ucap Reno.Aku mengangguk, ingin sekali aku melabrak dan menanyakan tentang semua yang tidak kuketahui padanya. Namun, aku juga tidak bisa terus berdiam diri di sini dengan harapan kedatangan kepala Kepolisian dengan segera.Kulirik jam tangan di tanganku, waktu sudah menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya aku pulang ke kontrakan kumuh nan kecil di pinggiran kota, begitu juga dengan Reno dan Violet yang pasti mempunyai kehidupannya sendiri.“Kita lanjutkan besok hari, sebaiknya kalian berdua beristirahat,” ucapku.Mereka mengangguk, apa pun yang keluar dari mulutku selalu mereka patuhi, meski pun perintah itu buruk bagi mereka. Kesetiaan kedua orang itu tak perlu diragukan lagi, mereka masih berutang budi
***Violet, ia datang melihatku bangun tanpa sehelai benang apa pun yang menempel. Wanita maniak pria atletis itu pasti sangat berhasrat ketika melihat tubuhku yang ia dambakan sejak lama.“Aku … biasa tidur dengan bertelanjang,” ucapku.“Oh apa itu kebiasaan atau memang suhu di ruangan ini cukup panas?” tanya Violet.Aku bangkit dari atas kasur dan memakai celana dalam dan celana pendek untuk menutupi daerah privasiku. Violet masih menunggu di ruang tengah dengan kedua lirikan mata yang masih memandang ke arah tonjolan di antara selangkanganku.“Apa kamu mau aku membantumu?” tanya Violet, dengan wajah malu-malu menunjuk kearah selangkanganku.“Tidak perlu. Apa ada urusan penting sampai kamu datang kemari?” tanyaku.“Oh iya, Aku datang ingin membawakanmu dokumen terkait identitas dari Budi. Ada beberapa hal yang mungkin bisa kamu lihat di dalamnya,” ucap Violet sambil